Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

The Profiles of Infantile Hemangiomas Patients hidayati, Arie; earlia, Nanda; Sari, Ninda; Vella; Maulida, Mimi; asrizal, Cynthia wahyu
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 35 No. 2 (2023): AUGUST
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V35.2.2023.130-135

Abstract

Background: Infantile hemangiomas (IH) are the most prevalent benign tumors in children, predominantly in girls. Most IH cases do not require treatment due to spontaneous involution, but 10% of cases do require early treatment due to size, location, and complications. Purpose: This study tried to define the profile, clinical aspects, and therapy of IH in Dr. Zainoel Abidin General Hospital, Banda Aceh. Methods: A descriptive approach using a retrospective analysis employing secondary data from the outpatient clinic's patient registration book. This study included all new cases of infantile hemangioma at the outpatient clinic general hospital between 2013 and 2021. Result: A total of 105 patients were involved in this study. The majority of IH patients (59%) were under the age of one year, with 64 female patients (61%) making the most visits to the pediatric clinic in 2017, 2018, and 2019 (77.1%). The most prevalent clinical features of skin lesions were nodules in 69 individuals (65.7%), and the most common site was the facial region (13.3%) in 44 patients. In 20 individuals, a combination of propanolol and oral corticosteroids was used as the most effective treatment strategy (19% ). Conclusion: Infantile hemangiomas is the most frequently reported benign tumor in children. Females are more likely than males to develop IH. The majority of IH is minor and normally resolves on its own without therapy. However, certain rare kinds of IH require clinician attention and systematic treatment.
KEBERHASILAN TERAPI LUKA BAKAR SUPERFICIAL PARTIAL-THICKNESS DENGAN ASTAXANTHIN SISTEMIK DAN TOPIKAL: SEBUAH LAPORAN KASUS Sari, Ninda; Dahlan, Nelly Herfina
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 1 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i1.485

Abstract

Pendahuluan: Luka bakar pada kulit terjadi ketika sebagian atau seluruh lapisan kulit rusak akibat energi fisik. Setelah terjadi luka bakar, beberapa faktor seperti iskemia, stres oksidatif, peradangan, dan kematian sel (nekrosis atau apoptosis), berkontribusi terhadap proses luka bakar menjadi lebih luas atau lebih dalam dari lokasi awal. Astaxanthin (ASX) merupakan karotenoid alami yang memiliki efek antioksidan yang kuat dan antiinflamasi sehingga sangat berperan dalam penyembuhan luka, termasuk luka bakar. Kasus: Dilaporkan satu kasus luka bakar derajat dua (superficial partial-thickness) akibat terkena air panas pada seorang perempuan berusia 28 tahun dengan tipe kulit Fitzpatrick III. Pengobatan yang diberikan berupa analgetik nonsteroid, ASX sistemik, formulasi topikal gentamisin dan ASX berbasis krim gel; memberikan penyembuhan luka komplet dalam 10 hari, tidak terjadi infeksi dan tanpa gejala sisa skar hipertrofik. Diskusi: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ASX berperan dalam semua fase penyembuhan luka sehingga dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar. Stres oksidatif sekunder terkait mitokondria dan apoptosis memiliki peran penting dalam fase awal luka bakar dan inflamasi yang berkepanjangan. Penyembuhan luka tanpa skar merupakan salah satu tujuan penatalaksanaan luka bakar, sehingga tindakan yang tepat, cepat, dan komprehensif sangat penting. Kesimpulan: Kombinasi ASX sistemik dan topikal memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat untuk luka bakar partial-thickness. 
PERAN ANTIOKSIDAN PADA MELASMA Sari, Ninda; Earlia, Nanda; Maulida, Mimi
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 2 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i2.479

Abstract

   Melasma adalah kelainan hipermelanotik didapat, biasanya terjadi pada perempuan dengan jenis kulit yang lebih gelap. Sejumlah faktor pemicu melasma antara lain genetik, pajanan sinar ultraviolet (UV), dan hormon seks perempuan. Patofisiologi melasma tidak terbatas pada melanosit; penelitian saat ini menunjukkan bahwa keratinosit, sel mast, regulasi gen yang menyimpang, neovaskularisasi, dan gangguan membran basal saling barkaitan. Sinar UV sebagai agen utama diyakini memicu reactive oxygen species (ROS) melalui stimulus melanogenesis dan mengaktifkan oksida nitrat terinduksi. Melasma sulit diobati dan cenderung kambuh setelah pengobatan karena patofisiologinya yang kompleks. Antioksidan telah digunakan dalam pengobatan melasma untuk mengurangi melanogenesis akibat sinar UV, karena fungsinya sebagai penetral dan penghambat pembentukan ROS. 
PERAN MIKROBIOMA KULIT PADA AKNE Sari, Ninda; Adriman, Zikri; Pradistha, Aldilla
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 50 No 4 (2023): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v50i4.445

Abstract

Kulit adalah permukaan terluar tubuh, yang berfungsi untuk membentuk barier pelindung antara tubuh dan lingkungan eksternal. Kulit terdiri dari populasi mikroorganisme yang berbeda yang berada di lapisan epidermis dan dermis. Mikrobioma kulit berpartisipasi secara fisik, kimia, mikroba dan jalur imunologi bawaan serta adaptif dalam perannya sebagai barier kulit. Hilangnya keragaman mikrobioma kulit, serta perubahan komposisi alami, mendorong perkembangan penyakit inflamasi di kulit, seperti akne. Akne vulgaris adalah peradangan folikel sebaseus manusia yang paling sering. Beberapa mekanisme telah diusulkan dimana Cutibacterium acnes memperberat akne, termasuk aktivitas kelenjar sebaseus, pembentukan komedo, dan respon inflamasi pejamu. Meskipun peran C.acnes dalam patofisiologi akne tidak sepenuhnya dipahami, hilangnya keseimbangan antara filotipe C.acnes tampaknya berperan dalam memicu akne. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari distribusi strain C.acnes pada akne ringan dan berat. Staphylococcus epidermidis dapat mengontrol proliferasi C.acnes melalui fermentasi gliserol menjadi asam lemak rantai pendek dan melepaskan asam suksinat. Mallasezia juga jenis fungal yang hidup berdampingan dengan C.acnes dan dianggap potensial untuk menginduksi akne refrakter. Interaksi mikroorganisme di usus dan sistem kekebalan tubuh pejamu penting untuk menjaga homeostasis kulit melalui aksis usus-kulit.
Successful Treatment of Burn Wounds with Combined Astaxanthin and Gentamycin Topical: A Serial Case Report Sari, Ninda; Bulqiah, Mikyal
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 37 No. 3 (2025): DECEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikkk.V37.3.2025.222-227

Abstract

genodermatosis with an estimated incidence of 0.7–1.2 per 100,000 live births. It is caused by mutations in the IKBKG gene. Affected women have a 50% chance of transmitting the defective gene, while male fetuses usually do not survive due to the lethal effect of the mutation. Purpose: This report aims to present a rare surviving male case of incontinentia pigmenti with early dermatological manifestations and to highlight the importance of clinical recognition and multidisciplinary follow-up. Case: A 4-day-old male newborn presented with blisters on the left leg since birth. Dermatological examination showed multiple papules and vesicles arranged along Blaschko’s lines on erythematous macules without erosion. Based on clinical findings, the patient was diagnosed with stage 1 incontinentia pigmenti. Management included the use of moisturizers, topical antibiotics, and parental education regarding potential multi-organ involvement. Regular monitoring for neurological and ophthalmological manifestations was advised. Discussion: Incontinentia pigmenti is caused by an IKBKG gene mutation that disrupts NF-κB signaling, leading to increased apoptosis. It mainly affects ectodermal tissues such as the skin, hair, teeth, eyes, and CNS. The disease progresses through four skin stages: vesiculobullous, verrucous, hyperpigmented, and atrophic/alopecic. Diagnosis is mostly clinical, with histopathology or genetic testing used in atypical cases. Skin lesions usually resolve on their own, but preventing secondary infections is important. Conclusion: Incontinentia pigmenti in male infants is exceedingly rare. Early recognition, supportive care, and vigilant multidisciplinary monitoring are crucial to detect and manage possible systemic complications, improving survival and quality of life.