Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Urgensi Perluasan Kewenangan Ombudsman Dalam Pemberian Sanksi Terhadap Pelaku Maladministrasi Perizinan Daerah Ananda, Ahmad Alveyn Sulthony; Anggraeni, Reni Putri
JURNAL ANTI KORUPSI Vol 12 No 1: Mei 2022
Publisher : PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jak.v4i1.31109

Abstract

Sebagai salah satu hak warga negara, pelayanan publik haruslah dilaksanakan dengan optimal dan penuh tanggung jawab. Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik merupakan cita-cita setiap negara berdaulat. Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, pemangku kebijakan yakni pejabat publik haruslah memgang teguh prinsip umum pemerintahan yang baik dan bebas dari Korupsi, Kolusi , Nepotisme, serta maladministrasi. Namun kenyataan berbanding terbalik dengan cita yang diharapkan. saat ini banyak sekali tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat publik di berbagai sektor. salah satu sektor yang rentan dijadikan lahan maladministrasi adalah pada sektor perizinan. Maraknya tindakan maladministrasi dikarenakan kurangnya kesadaran dan integritas para pemangku kebijakan. Oleh karenanya, dibutuhkan pengawasan baik internal maupun eksternal sebagai pendukungnya. Ombudsman yang merupakan lembaga pengawas eksternal pejabat publik, telah dibatasi kewenangannya hanya sebagai pemberi rekomendasi terhadap tindakan maladministrasi. Dibatasinya kewenangan ombudsman dalam memberikan tindakan langsung, mengakibatkan semakin maraknya tindakan maladministrasi khususnya dalam penerbitan suatu perizinan. Oleh karenanya, penulis hendak meninjau urgensi memperluas kewenangan ombudsman dalam menangani tindakan maladministrasi di bidang perizinan. Serta, bagaimanakah formulasi pembaharuan hukum dalam memperluas kewenangan ombudsman. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif/doktrinal. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan yang mengatur tentang pelayanan ublik dan ombudsman. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus maladministrasi perizinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sektor perizinan sangat rentan dijadikan lahan basah pelaku maladministrasi. hal ini selaras dengan data triwulan II dan III 2020 sebanyak 32 dan 154 laporan. sedangkan pada triwulan I dan II 2021 sebanyak 50 dan 21 laporan. Selain itu ombudsman sebagai lembaga pengawas yang berwenang menyisir tindakan maladministrasi, nyatanya dalam pemberian rekomendasi banyak tidak diindahkan oleh atasan terlapor. Ombudsman juga tidak memiliki kewenangan memutus dan menindak secara langsung pelaku maladministrasi. Oleh karenanya, sangat dipandang perlu untuk memperluas kewenangan ombudsman sebagai stabilisator pelayanan publik dengan mekanisme pembaharuan hukum.
Penguatan Kewenangan Komisi Yudisial di Indonesia Yunita, Fenny Tria; Umami, Abdul Basith; Ananda, Ahmad Alveyn Sulthony; Anggraeni, Reni Putri
Jurnal Kajian Konstitusi Vol 1 No 1 (2021): JURNAL KAJIAN KONSTITUSI
Publisher : Department of Constitutional Law, Faculty of Law, University of Jember, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (693.072 KB) | DOI: 10.19184/jkk.v1i1.23822

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji persoalan Komisi Yudisial (KY) sebagai komisi independen yang mempunyai kewenangan terbatas terhadap cabang peradilan. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan Komisi ini dalam memilih hakim pengadilan tingkat pertama dihilangkan. Konsekuensinya, pada tahun 2019, dari 130 sanksi yang direkomendasikan KY, hanya 10 sanksi yang ditegakkan oleh MA. Penelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, pemberian kewenangan memilih pengangkatan hakim pertama kepada KY. Kedua, memberikan kewenangan menjatuhkan sanksi kepada hakim yang melanggar kode etik kepada KY. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan konseptual-komparatif untuk menganalisis bahan hukum. Kajian menemukan bahwa undang-undang telah menempatkan KY sebagai lembaga etik sekaligus pengawas kekuasaan kehakiman, namun pada praktiknya banyak kewenangan KY yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena belum adanya regulasi dan pemahaman teknis dengan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan. di Indonesia. Sangat penting untuk mengembalikan kewenangan KY dalam mengangkat hakim tingkat pertama dan meningkatkan kewenangan KY dalam menjatuhkan sanksi etik kepada hakim yang melanggar etika.Kata Kunci: Komisi Yudisial; Pengangkatan Hakim; Sanksi Etik.This paper aim to examine issues regarding Komisi Yudisial (KY) as an independent commission with limited authorities over judicial branch. As the Constitutional Court decision, this Commission’s authority in selecting first-level court judges was eliminated. The consequences is that in 2019, from 130 sanctions recommended by KY, only 10 sanctions were enforced by the Supreme Court. This research discuss two issues. First, granting the authority to select the first judge’s appointment to KY. Second, giving the authority to impose sanctions on judges who violate the code of ethics to KY. This study uses a juridical-normative method with a conceptual-comparative approach to analyze the legal materials. The study found that the law has placed KY as an ethical institution as well as a supervisor of judicial power, but practically, many KY authorities cannot be implemented optimally because of the lack of regulation and technical understanding with the Supreme Court as the pinnacle of justice in Indonesia. It is very important to restore KY authority in appointing first-level judges and increase KY authority in imposing ethical sanctions on judges who violate ethics.Keywords: Komisi Yudisial; Judges Appointment; Ethical Sanction.
PERLUASAN YURISDIKSI PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA BERDASARKAN PRINSIP UNIVERSALITAS Anggraeni, Reni Putri; Ananda, Ahmad Alveyn Sulthony
Majalah Hukum Nasional Vol. 54 No. 2 (2024): Majalah Hukum Nasional Volume 54 Nomor 2 Tahun 2024
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/mhn.v54i2.396

Abstract

Pasal 5 UU Pengadilan HAM menjadi bukti bahwa Indonesia belum menjadi pendukung aktif penegakan HAM secara universal. Ketentuan pasal ini menutup akses masyarakat internasional yang hendak meminta keadilan HAM melalui Indonesia. Orientasi penelitian ini adalah menguraikan urgensi perluasan yurisdiksi pengadilan HAM Indonesia dan menemukan rekonstruksi terhadap penegakan pelanggaran HAM. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konsep, dan pendekatan perbandingan negara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, UU Pengadilan HAM di Indonesia masih belum inklusif dalam menindak setiap pelaku kejahatan HAM yang menabrak amanat UUD NRI 1945 dalam memberikan perlindungan HAM untuk setiap orang tanpa terkecuali serta mereduksi asas universalitas penegakan HAM. Selain itu, perlu adanya rekonstruksi Pengadilan HAM di Indonesia dengan memperluas yurisdiksi kewenangan untuk mengadili setiap pelaku kejahatan HAM tanpa memperhatikan batas teritorial dan kewarganegaraan melalui amandemen UU Pengadilan HAM.
FULL E-BOOK MAJALAH HUKUM NASIONAL VOLUME 54 NOMOR 2 TAHUN 2024 Hadi, Fikri; Gandryani, Farina; Putra, Antoni; Hastiti Putri, Dayandini; Sofwan, Edi; Trisia, Siska; Azairin, Maudy Prima; Anggraeni, Ricca; Anggraeni, Reni Putri; Ananda, Ahmad Alveyn Sulthony; Fadli, Muhammad
Majalah Hukum Nasional Vol. 54 No. 2 (2024): Majalah Hukum Nasional Volume 54 Nomor 2 Tahun 2024
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/mhn.v54i2.948

Abstract

Versi Ebook ini merupakan kumpulan dari 7 (tujuh) tulisan yang ada di Majalah Hukum Nasional Volume 54 Nomor 2 Tahun 2024. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Constituent Recall Arrangements of the People's Representative Board Anggraeni, Reni Putri; Sulthony Ananda, Ahmad Alveyn; Gross, Elliot
Jurnal Kajian Pembaruan Hukum Vol. 4 No. 2 (2024): July-December 2024
Publisher : University of Jember, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jkph.v4i2.52899

Abstract

The principle of popular sovereignty is fundamental in establishing a democratic legal state, primarily reflected in general elections that determine representatives in the People's Representative Council (DPR). However, this principle often loses its significance post-election, as citizens have little control over their elected representatives. This is evident in the DPR's Inter-Time Change (PAW) mechanism, which excludes public participation. This study emphasizes two main points: the urgent need to amend Article 22B of the 1945 Constitution and to develop a new DPR reconstruction model as part of legal reform. Employing normative legal research through statutory, comparative, and case approaches, the study analyzes secondary legal materials. The findings reveal that the nomenclature of Article 22B requires revision to facilitate greater public involvement in the DPR dissolution process. Currently, dissolution relies on political party leaders, leading members to prioritize party interests over public aspirations, which can create conflicts. The article's language should be amended to allow for public dismissal of DPR members through a clearly defined legal mechanism. Additionally, the study suggests that the PAW process in Indonesia could draw inspiration from the Philippines and Venezuela, incorporating public input through a withdrawal proposal and voting mechanism for council members, thus reinforcing popular sovereignty in the legislative process.