Articles
Pemindahan Ibu Kota Indonesia dan Kekuasaan Presiden dalam Perspektif Konstitusi
Fikri Hadi;
Rosa Ristawati
Jurnal Konstitusi Vol 17, No 3 (2020)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (462.25 KB)
|
DOI: 10.31078/jk1734
In 16 August 2019, the President of Republic of Indonesia gave speech on an idea of the translocation of the Indonesian capital city. The new capital city has also already decided by the President. The decision is made before the legal analysis including the legal basis of the decision to have new capital city. This paper will discuss the concept of the capital city from general- legal perspective to comparative perspective. This paper also discuss on how the concept of capital city is developed in Indonesia from the historical constitutional perspective. It will also analyze the presidential authority on the idea of proposing and deciding the translocation of the capital city. The argument in this paper is written as a legal argument by having perspective on the doctrinal-legal approach. It will use conceptual approach, legal and statutes approach and constitutional history approach. This paper ends up with the conclusion that the concept of the Indonesian capital city is different from the concept of the capital city in other countries, such as the Netherlands and Malaysia. In both countries, the concept of capital city is separated from the concept of government city, which is as the city center for governmental affairs. Besides, it is concluded that based on the Indonesian Constitution, the President of Republic of Indonesia has no absolute authority on the issue of translocation of the capital city. The President of Republic of Indonesia may have the power to propose the translocation of the capital city but there shall be further process of joint discussion and joint approval by the President and the DPR.
Kegagalan Peraturan Penanganan Covid-19 di Indonesia
Fikri Hadi;
Farina Gandryani
Jurnal Konstitusi Vol 19, No 1 (2022)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1322.208 KB)
|
DOI: 10.31078/jk1912
COVID-19's occurrence in Indonesia requires the use of a variety of legal instruments related to COVID-19 in Indonesia. In practice, the existence of various legislative laws creates new legal concerns, such as failure to implement in connection to the original handling of COVID-19. Both Lon Fuller's concept of legal failure and Emergency Constitutional Law can be used to explain this failure. According to this article, failure to implement COVID-19 handling manifests itself in a variety of ways: First, laws and regulations have yet to incorporate the concept of an outbreak as a disaster. Second, the government neglected to adopt legislative rules through the provisions of the Health Authenticity Acts. Third, the failure to establish consistent and evolving regulations was not caused by the controlled medications or the regulations in place. According to this article, the regulation failed because the government did not declare a state of emergency prior to its enactment.
Kedudukan Diplomasi Parlemen Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional Pasca Covid-19 Di Indonesia
Farina Gandryani;
Fikri Hadi
Jurnal Ilmiah Dunia Hukum VOLUME 6 NOMOR 1 OKTOBER 2021
Publisher : PDIH Untag Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35973/jidh.v6i1.2593
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia membuat seluruh negara dunia mengalami berbagai dampak baik kesehatan, ekonomi, dan sosial. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan kerjasama oleh seluruh negara. Indonesia seyogyanya turut serta dalam kerjasama multilateral dalam rangka penanganan COVID-19, salah satunya terkait dengan Pemulihan Ekonomi Nasional.Kerjasama yang dilakukan tentu melalui diplomasi. Salah satu cabang diplomasi adalah diplomasi ekonomi. Diplomasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah, melainkan juga salah satunya adalah DPR sebagai parlemen di Indonesia. Mengingat fungsi diplomasi parlemen tersebut tergolong baru dalam teori mengenai parlemen, maka artikel ini akan membahas mengenai kedudukan diplomasi parlemen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan model diplomasi yang dapat dilakukan dalam rangka penanganan dampak COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan tipe penelitian doktrinal. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkanbahwadiplomasi di Indonesia telah mengalami perkembangan, yang mana diplomasi tidak hanya dilakukan oleh eksekutif, melainkan juga oleh DPR sebagai lembaga parlemen di Indonesia. Bahkan secara normatif, diplomasi parlemen sudah diatur dalam sejumlah undang-undang di Indonesia seperti UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Terkait dengan Pemulihan Ekonomi Nasional, DPR-RI dapat melakukan fungsi diplomasi melalui wujud diplomasi ekonomi baik dalam bentuk bilateral, multilateral, ataupun melalui forum parlemen yang ada seperti lnter-Parliamentary UniondanAsia Pacific Parliamentary Forum.Pada penelitian ini terdapat model diplomasi ekonomi yang dapat dilakukan oleh DPR-RI dalam rangka PEN baik diplomasi yang ditujukan untuk membuat perjanjian internasional dan diplomasi yang ditujukan untuk pembinaan hubungan baik dengan negara lain yang kedua-duanya bermanfaat dalam rangka pemulihan ekonomipasca COVID-19 baik secara regional maupun di Indonesia.
PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19 DI INDONESIA: HAK ATAU KEWAJIBAN WARGA NEGARA
Farina Gandryani;
Fikri Hadi
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 10, No 1 (2021): April 2021
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (569.826 KB)
|
DOI: 10.33331/rechtsvinding.v10i1.622
Pandemi Covid-19 menimbulkan status kedaruratan di Indonesia. Melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, Indonesia telah mengumumkan status kedaruratan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19. Salah satunya adalah upaya vaksinasi. Namun, di masyarakat timbul pro kontra terkait vaksinasi tersebut. Sejumlah kalangan masyarakat menolak untuk divaksin. Oleh sebab itu, artikel ini akan menjelaskan apakah vaksinasi merupakan hak atau kewajiban bagi masyarakat dan apakah penolak vaksin dapat dikenakan sanksi pidana. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan tipe doctrinal research serta menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi yang pada mulanya adalah hak setiap orang, dapat menjadi suatu kewajiban mengingat situasi kedaruratan di Indonesia saat ini. Hal ini karena seseorang yang tidak divaksin berpotensi untuk menularkan bahkan membunuh orang lain. Adapun mengenai pemidanaan, hal tersebut seyogyanya menjadi ultimum remedium, apabila pranata-pranata lainnya seperti metode persuasif, sosialisasi bahkan sanksi administrasi terkait vaksinasi sudah tidak dapat berfungsi sedangkan kondisi kedaruratan kesehatan di Indonesia semakin memburuk.
Kegagalan Peraturan Penanganan Covid-19 di Indonesia
Fikri Hadi;
Farina Gandryani
Jurnal Konstitusi Vol. 19 No. 1 (2022)
Publisher : Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31078/jk1912
COVID-19's occurrence in Indonesia requires the use of a variety of legal instruments related to COVID-19 in Indonesia. In practice, the existence of various legislative laws creates new legal concerns, such as failure to implement in connection to the original handling of COVID-19. Both Lon Fuller's concept of legal failure and Emergency Constitutional Law can be used to explain this failure. According to this article, failure to implement COVID-19 handling manifests itself in a variety of ways: First, laws and regulations have yet to incorporate the concept of an outbreak as a disaster. Second, the government neglected to adopt legislative rules through the provisions of the Health Authenticity Acts. Third, the failure to establish consistent and evolving regulations was not caused by the controlled medications or the regulations in place. According to this article, the regulation failed because the government did not declare a state of emergency prior to its enactment.
Pemindahan Ibu Kota Indonesia dan Kekuasaan Presiden dalam Perspektif Konstitusi
Fikri Hadi;
Rosa Ristawati
Jurnal Konstitusi Vol 17, No 3 (2020)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (462.25 KB)
|
DOI: 10.31078/jk1734
In 16 August 2019, the President of Republic of Indonesia gave speech on an idea of the translocation of the Indonesian capital city. The new capital city has also already decided by the President. The decision is made before the legal analysis including the legal basis of the decision to have new capital city. This paper will discuss the concept of the capital city from general- legal perspective to comparative perspective. This paper also discuss on how the concept of capital city is developed in Indonesia from the historical constitutional perspective. It will also analyze the presidential authority on the idea of proposing and deciding the translocation of the capital city. The argument in this paper is written as a legal argument by having perspective on the doctrinal-legal approach. It will use conceptual approach, legal and statutes approach and constitutional history approach. This paper ends up with the conclusion that the concept of the Indonesian capital city is different from the concept of the capital city in other countries, such as the Netherlands and Malaysia. In both countries, the concept of capital city is separated from the concept of government city, which is as the city center for governmental affairs. Besides, it is concluded that based on the Indonesian Constitution, the President of Republic of Indonesia has no absolute authority on the issue of translocation of the capital city. The President of Republic of Indonesia may have the power to propose the translocation of the capital city but there shall be further process of joint discussion and joint approval by the President and the DPR.
POLITIK HUKUM GREEN BOND DI INDONESIA
Budi Endarto;
Fikri Hadi;
Nur Hidayatul Fithri
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 1 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24970/bhl.v7i1.303
AbstrakPembangunan Berkelanjutan saat ini menjadi acuan utama terhadap proses perencanaan serta penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan tersebut melahirkan konsep keuangan berkelanjutan. Salah satu implementasinya adalah adanya Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan atau green bond pada Pasar Modal di Indonesia. Mengingat Istilah green bond masih sangat baru pada sistem Pasar Modal di Indonesia dan kajian mengenai green bond di Indonesia masih jarang, maka artikel ini akan membahas mengenai bagaimana politik hukum green bond di Indonesia dan arah kebijakan green bond di Indonesia yang akan datang. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan jenis eksploratif. Penelitian menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan dan historis. Artikel ini memberikan eksplanasi serta preskripsi mengenai pengaturan green bond di pasar modal Indonesia dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan paradigma terhadap pembangunan nasional dengan ditetapkannya lingkungan sehat sebagai salah satu hak asasi pada amandemen UUD 1945. Implementasinya, setiap pembangunan harus memperhatikan aspek lingkungan hidup, salah satunya melalui instrument green bond. Kedepan diharapkan agar memperkuat instrument yuridis green bond yang saat ini masih berlandaskan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Salah satunya dengan memasukkan konsep green bond pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan maupun Rancangan Perubahan Undang-Undang tentang Pasar Modal.Kata Kunci: pasar modal; obligasi; obligasi hijau; politik hukum AbstractSustainable development is being the main principle on the planning and implementation of development in Indonesia. It gave rise to the sustainable financing. One of the implementations is green bond on Capital Market in Indonesia. Whereas the term of Green Bond is still very new and the research of green bond is still rarely, therefore this article will explain how is the politic of law on green bond in Indonesia and the future direction of green bond policies in Indonesia. This research is a normative research with the conseptual and statute approach. This article provides an explanation and prescription regarding the regulation of green bonds in the Indonesian capital market in order to realize sustainable development. The result shows there is a change of the paradigm on national development. Now, The environment is the part of human rights on The Constitution of Indonesia. Every development must pay attention to environmental aspects, one of which is through green bond instruments. In the future, it is expected to be a part of New and Renewable Energy Bill and Capital Market Bill to strengthen the law on green bond In Indonesia.Keywords: capital market; bond; green bond; politic of law
TANGGUNG GUGAT PEMERINTAH TERHADAP PEMBATALAN HASIL TENDER SECARA SEPIHAK
Fikri Hadi;
Farina Gandryani;
Dwi Elok Indriastuti
Wijaya Putra Law Review Vol 1 No 1 (2022): April
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.38156/wplr.v1i1.65
Pemerintah dalam rangka mendukung terlaksananya program kerja, maka Pemerintah melaksanakan suatu pengadaan barang dan jasa. Salah satunya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Pada akhir 2018, Pemerintah Kota Semarang secara sepihak membatalkan hasil pemenang tender dikarenakan adanya kesalahan penghitungan anggaran. Padahal sejumlah tender telah diterbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa. Secara hukum privat, kesepakatan tidak dapat ditarik kembali kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Namun secara hukum publik terdapat larangan untuk melakukan pembelanjaan apabila tidak terdapat anggaran. Oleh sebab itu, artikel ini akan membahas mengenai konsep kontrak yang dilakukan Pemerintah terkait di bidang kontrak pengadaan barang dan jasa serta tanggung gugat Pemerintah Kota Semarang terhadap pembatalan hasil tender. Penelitian ini merupakan penelitian hukum bertipe doktrinal dengan pendekatan konseptual, perundang- undangan dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrak Pemerintah berbeda dengan kontrak privat pada umumnya dikarenakan terikat pada aspek hukum publik (hukum administrasi dan hukum pidana) serta aspek hukum privat. Sehingga dari konsep tersebut dikaitkan dengan kasus di Semarang, pemenang tender yang dirugikan tidak bisa mengajukan gugatan ataupun permohonan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Pemenang tender yang dirugikan dapat menggugat Pemerintah melalui peradilan umum berdasarkan konsep tanggung gugat Pemerintah.
NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Fikri Hadi
Wijaya Putra Law Review Vol 1 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.38156/wplr.v1i2.79
Konsep Negara Hukum merupakan konsep universal yang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Secara umum, tipe negara hukum terbagi menjadi dua yakni negara hukum Rechtsstaat dan negara hukum The Rule of Law. Kedua tipe negara hukum mempunyai karakteristik tersendiri, namun mempunyai persamaan yakni terkait perlindungan Hak Asasi Manusia. Artikel ini akan membahas mengenai Negara Hukum Indonesia dari sudut pandang tipe Rechtsstaat dan The Rule of Law serta membahas mengenai konsep Hak Asasi Manusia di Indonesia. Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, peraturan konseptual dan pendekatan historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Negara Indonesia memenuhi syarat sebagai negara hukum berdasarkan indikator tipe Rechtstaat maupun The Rule of Law. Sedangkan terkait konsep Hak Asasi Manusia berdasarkan Negara Hukum Indonesia ialah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara dan Pemerintah yang berdasarkan konsep gotong royong dan asas kerukunan. Inilah yang menjadi ciri khas Negara Hukum Indonesia atau disebut juga Negara Hukum Pancasila.
KONSTITUSIONALITAS OTORITA IBU KOTA NUSANTARA SEBAGAI BENTUK PEMERINTAHAN DAERAH: The Constitutionality of Nusantara Capital City Authority as a Local Government
Fikri Hadi;
Farina Gandryani
Majalah Hukum Nasional Vol. 52 No. 1 (2022): Majalah Hukum Nasional Volume 52 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33331/mhn.v52i1.164
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara telah disahkan sebagai landasan hukum Ibu Kota baru yang sedang dibangun. Nama Ibu Kota baru tersebut adalah “Nusantara”. Bentuk Pemerintahan Daerahnya adalah Otorita yang diselenggarakan oleh Lembaga Otorita Ibu Kota Nusantara dan dipimpin oleh seorang Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. Hal tersebut menimbulkan permasalahan, dikarenakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945, bentuk pemerintahan daerah yang dikenal adalah Provinsi, Kabupaten dan Kota, dengan penyebutan kepala daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Maka, penelitian ini akan membahas mengenai konstitusionalitas dari Lembaga Otorita Ibu Kota Nusantara dan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bertujuan dalam rangka menemukan kebenaran koherensi antara UU Nomor 3 Tahun 2022 dengan Konstitusi di Indonesia. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan konseptual serta pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep Lembaga Otorita dan Kepala Otorita dalam UU IKN bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI 1945. Pasal tersebut tegas menyatakan konsep pemerintahan daerah di Indonesia dan tidak memberikan ruang untuk memberikan kebebasan menafsirkan kepada legislator sebagaimana konsep Open Legal Policy. Lembaga otorita juga dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah daerah di sekitarnya dan menimbulkan kerancuan akibat kedudukannya yang setingkat dengan menteri.