Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

QUO VADIS PENGATURAN KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENERIMAAN PERMOHONAN FIKTIF POSITIF PASCA PENATAAN REGULASI DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA Wicaksono, Dian Agung; Hantoro, Bimo Fajar; Kurniawan, Dedy
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 10, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (542.749 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v10i2.715

Abstract

Penataan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) dengan metode omnibus law membawa perubahan mendasar dalam penataan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Fokus penelitian ini adalah mengenai pengaturan penerimaan permohonan fiktif positif yang sebelumnya diatur dalam Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) yang turut diubah dalam Pasal 175 UU CK. Penelitian ini mencoba menjawab: (a) Bagaimana dinamika pengaturan mengenai fiktif positif dalam sistem hukum Indonesia? (b) Apa implikasi pengaturan penerimaan permohonan fiktif positif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta? Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan fiktif positif dan kewenangan PTUN. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika pengaturan mengenai fiktif positif dapat dilihat sejak diadopsinya KTUN dengan konstruksi fiktif negatif dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya, yang kemudian diubah menjadi KTUN dengan konstruksi fiktif positif dalam UU AP, yang selanjutnya diubah melalui UU CK dengan menghapuskan kewenangan PTUN dalam memutus permohonan penerimaan fiktif positif. Pengaturan penerimaan permohonan fiktif positif dalam UU CK setidaknya membawa implikasi terhadap: (a) hilangnya alas kewenangan PTUN untuk memutus permohonan penerimaan fiktif positif; dan (b) fiksi dianggap telah dikabulkan secara hukum terhadap KTUN dengan konstruksi fiktif positif tanpa putusan PTUN menimbulkan ketidakpastian hukum.
DISKURSUS KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENGADILI PERBUATAN PEMERINTAH DALAM PENGADAAN BARANG/JASA Dian Agung Wicaksono; Dedy Kurniawan; Bimo Fajar Hantoro
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 9, No 3 (2020): Desember 2020
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v9i3.512

Abstract

Diskursus mengenai kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam mengadili perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa menjadi yang tidak pernah tuntas, karena dalam praktik PTUN di Indonesia ditemukan pandangan yang diametral dalam memaknai kompetensi absolut PTUN dalam memutus perkara terkait perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa. Penelitian ini mencoba menjawab: (a) bagaimana konstruksi hukum dari kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara di Indonesia? (b) bagaimana dikotomi perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa? (c) bagaimana kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara untuk mengadili perbuatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa? Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan kompetensi absolut peradilan tata usaha negara, administrasi pemerintahan, dan hukum pengadaan barang/jasa di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterbatasan pengaturan dalam UU Peratun 1986 dan perubahan membuat hakim memilih penafsiran ekstensif yang notabene kontradiktif dengan penafsiran gramatikal dari ketentuan UU Peratun 1986 dan perubahannya.
Menguji Normatifisasi Prinsip Kesempatan Yang Sama Sebagai Jaminan Terhadap Hak Pilih Penyandang Disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Terkait Glinggang Hima Pradana; Bimo Fajar Hantoro Fajar Hantoro
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 2 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 2 DESEMBER 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) secara eksplisit menyebutkan prinsip kesempatan yang sama (equality of opportunity) sebagai landasan dalam pemenuhan hak politik dari penyandang disabilitas, spesifik berkenaan dengan hak pilih. Namun halnya, perlu dilihat bagaimana kemudian prinsip tersebut dibadankan dalam UU Pemilu beserta dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait. Maka dari itu, dalam penelitian ini penulis mencoba menjawab bagaimana kesesuaian pembadanan normatif prinsip kesempatan yang sama dalam UU Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait. Penelitian ini menunjukkan bahwasanya paradigma kesempatan yang sama dalam UU Pemilu berkesesuaian dengan konsepsi prinsip kesempatan yang sama sebagaimana dicetuskan oleh John Rawls. Namun halnya, terdapat ketidaksesuaian dalam pembadanan prinsip tersebut pada UU Pemilu dan PKPU terkait, seperti halnya berkenaan dengan dipersempitnya addressat hanya terhadap penyandang disabilitas netra dan penyandang disabilitas fisik lainnya yang berhalangan untuk melaksanakan hak pilihnya. Pengejawantahan hak pilih penyandang disabilitas dalam PKPU seharusnya tidak menderogasi spektrum hak yang dijamin oleh UU Pemilu. Kata Kunci: UU Pemilu, penyandang disabilitas, hak pilih, prinsip kesempatan yang sama, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Abstract Law Number 7 of 2017 on General Election (General Election Law) explicitly states the principle of equality of opportunity as the basis for fulfilling the political rights of persons with disabilities, specifically with regard to their right to vote. However, it needs to be investigated on how then that principle are institutionalized on the General Election Law along with related General Election Committee Regulation. Therefore, in this research, the authors try to answer how is the conformity of normative institutionalization of equality of opportunity principle on General Election Law and related General Election Committee Regulation. This research shows that the equal opportunity paradigm in the General Election Law is consistent with the conception of the equal opportunity principle as coined by John Rawls. However, there are discrepancies in the institutionalization of that principle in the General Election Law and General Election Committee Regulation, such as with regard to the narrowing of addressat only for persons with visual impairments and other persons with physical disabilities who are unable to exercise their voting rights. General Election Committee Regulation as implementing law of General Election Law shall not derogate the right to vote of persons with disabilities. Keywords: General Election Law, persons with disabilities, right to vote, equality of opportunity principle, General Election Committee Regulation
Originalisme dan Syarat Keserentakan Pemilu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Bimo Fajar Hantoro
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.33-64

Abstract

The Constitutional Court changed its stance in interpreting the time for holding elections from the interpretation of five concurrent general elections in Decision Number 14/PUU-XI/2013 to offering several concurrent election models in Decision Number 55/PUU-XVII/2019. The interesting aspect of this shift is that both decisions used the same method of interpretation, namely originalism with an original intent approach, which is intended to discover the original intent of the framers of the Constitution. This article aims to examine the Constitutional Court's use of originalism in interpreting the timing of holding general elections. This study's findings led to two conclusions. First, the use of originalism has resulted in dynamic changes in the interpretation of the time of holding elections, which in turn have resulted in a shift in the scope of the legislature's authority to regulate. Second, there are inconsistencies and disparities in the Constitutional Court's application of originalism, as evidenced by differences in the historical references used between decisions and incoherence in the use of historical references with the resulting interpretations. This confirms originalism's criticism, namely the impossibility of determining the collective intent of the framers and originalism's inability to limit judges from rendering extensive interpretation or committing judicial activism. Abstrak Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengubah pendiriannya dalam memaknai waktu penyelenggaraan pemilu dari pemaknaan pemilu serentak lima kotak dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan menawarkan sejumlah model keserentakan. Poin menarik dari pergeseran ini adalah fakta bahwa kedua putusan tersebut menggunakan metode penafsiran yang sama, yaitu originalisme dengan pendekatan original intent yang dimaksudkan untuk menemukan maksud asli perumus konstitusi dalam rangka menafsirkan konstitusi. Artikel ini ditujukan untuk mengkaji penggunaan metode penafsiran originalisme oleh Mahkamah Konstitusi dalam memaknai waktu penyelenggaraan pemilu. Hasil dari kajian ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, penggunaan metode penafsiran originalisme telah menimbulkan dinamika pemaknaan waktu penyelenggaraan pemilu yang kemudian menyebabkan terjadinya dinamika luas kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai waktu penyelenggaraan pemilihan umum. Kedua, terjadi inkonsistensi dan disparitas dalam penerapan metode originalisme oleh Mahkamah Konstitusi yang ditunjukkan oleh dua hal, yaitu perbedaan rujukan historis antar satu putusan dengan putusan lainnya dan inkoherensi dalam penggunaan rujukan historis dengan penafsiran yang dihasilkan. Hal mana kemudian mengafirmasi kritik originalisme, yaitu mengenai kemustahilan menentukan maksud kolektif dari perumus dan ketidakmampuan originalisme untuk membatasi hakim dari melakukan penafsiran yang ekstensif ataupun aktivisme yudisial.
IMPLIKASI PILIHAN METODE KONVERSI SUARA TERHADAP PROPORSIONALITAS PEROLEHAN KURSI DALAM PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Hantoro, Bimo Fajar
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Choice of vote conversion method, as an element of the general election system, has implications for the degree of proportionality. The degree of proportionality in question is divided into two elements, namely between the percentage of seats acquired and the fairness to large and small parties. The author here is interested in measuring the degree of proportionality generated by each of the vote conversion methods. The author then performs a simulation to measure these two elements from two families of vote conversion methods, namely the Quota method and the Divisor method. The simulation results show that in terms of proportionality of votes with seats, the Hare Quota method is the most proportional, followed jointly by the Droop Quota and the Sainte-Laguë Divisor in the second position, the Imperiali Quota and the Modified Sainte-Laguë Divisor in the third position, and D'Hondt Divisor as the one with the lowest proportionality.
PROSPEK PENGATURAN KOMISI KHUSUS PENYUSUN DAERAH PEMILIHAN DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Hantoro, Bimo Fajar
Veritas et Justitia Vol. 9 No. 2 (2023): Veritas et Justitia
Publisher : Faculty of Law, Parahyangan Catholic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25123/vej.v9i2.5837

Abstract

Electoral redistricting institution has a critical role in determining whether a proportional arrangement of electoral districts can be achieved. In Indonesia, there has been a disparity between electoral districts established by the House of Representatives (DPR) and the General Elections Commission (KPU), especially during the 2019 DPR Election. Using doctrinal and socio-legal approaches, this paper aimsto evaluate the prospect of establishing a separate boundary commission in accordance with the 1945 Constitution. The findings suggest that the establishment of a boundary commission as part of electoral management bodies is normatively feasible. However, it must meet the institutional requirements of being national, permanent, and independent. Independency has to be construed as the institution being impartial. By conferring the boundary delimitation authority to a boundary commission, not only would KPU's burden be reduced, it could also better ensure that the delimitation process adheres to the delimitation principles.
The Use of Progressive Law Phrase in Constitutional Court Decisions: Context, Meaning, and Implication: Penggunaan Frasa Hukum Progresif dalam Putusan Mahkamah Konstitusi: Konteks, Makna, dan Implikasi Aulia, Muhammad Zulfa; Hantoro, Bimo Fajar; Sanjaya, Wawan; Ali, Mahrus
Jurnal Konstitusi Vol. 20 No. 3 (2023)
Publisher : Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31078/jk2034

Abstract

As an influential legal idea, Satjipto Rahardjo’s progressive law has colored various legal discourses and practices in Indonesia. Court decisions, as legal texts that record and summarize the trial process, also show that litigants, experts, and court judges often use this legal idea. This research will examine how progressive legal phrases are used in court decisions and whether the users have considered their underlying assumptions, pillars, or principles. This research is limited to Constitutional Court decisions in law review cases. The use of progressive legal phrases is generally accompanied by several progressive legal assumptions proposed by Satjipto Rahardjo. However, these are selected and used partially according to the needs and interests of their users, and thus can have bias implications when compared and examined comprehensively based on other assumptions or pillars.
Pembatasan Yudisial dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Sengketa Hasil Pilkada Hantoro, Bimo Fajar
Media Iuris Vol. 7 No. 1 (2024): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mi.v7i1.41871

Abstract

AbstractThe Constitutional Court in Decision Number 85/PUU-XX/2022 stated that the authority to decide regional head election result dispute is the Constitutional Court's original authority. This decision represents a shift from the Court's position in Decision Number 97/PUU-XI/2013, which stated that the Court's authority to settle regional head election result disputes is temporary. The purpose of this study is to examine Decision Number 85/PUU-XX/2022 according to the concept of judicial restraint. This is a juridical-normative research, employing statutory, case, conceptual, and historical approaches. The data used are primary and secondary legal materials. The findings of the study point to two major conclusions. First, there is a dynamic in the regulation of the authority to decide regional head election result dispute. This dynamic occurs as a result of the Court's inconsistent interpretation of the position of regional head elections in the electoral regime, the Court's authority, and the extent of legislators' lawmaking authority. Second, from the standpoint of judicial restraint, the Constitutional Court Decision Number 85/PUU-XX/2022 cannot be justified because of three main considerations: (1) the constitutional limits of Court's authority based on textual, grammatical, and historical interpretations; (2) the ambiguity and variability of interpretations of the Court's authorities under the 1945 Constitution; and (3) separation of powers and institutional limitations of the Constitutional Court.Keywords: Judicial Restraint; Constitutional Court; Regional Head Election Dispute. Abstrak Pasca Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, Mahkamah Konstitusi menyatakan kewenangan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebagai kewenangan asli dari Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut merupakan bentuk pergeseran pendirian Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus sengketa hasil pilkada sebagai kewenangan yang bersifat sementara. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 dari sudut pandang pembatasan yudisial. Penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Data yang digunakan berupa bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, bahwa terdapat dinamika pengaturan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada. Dinamika tersebut terjadi karena inkonsistensi penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam memaknai letak pilkada dalam rezim pemilihan, kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan luas kewenangan mengatur pembentuk undang-undang. Kedua, dalam sudut pandang pembatasan yudisial, Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 tidak dapat dijustifikasi karena tiga pertimbangan utama, yaitu: (1) batasan kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi berdasarkan penafsiran tekstual, gramatikal, dan historis; (2) kekaburan dan keragaman penafsiran terhadap norma UUD NRI 1945 mengenai kewenangan sengketa hasil pilkada; dan (3) pemisahan kekuasaan dan batasan institusional Mahkamah Konstitusi.Kata Kunci: Pembatasan Yudisial; Mahkamah Konstitusi; Sengketa Hasil Pilkada.
PEMAKNAAN PUTUSAN PLURALITAS DALAM SYARAT PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 Wicaksono, Dian Agung; Hantoro, Bimo Fajar
Jurnal Yudisial Vol. 17 No. 2 (2024): Child Protection
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v17i2.702

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah memperluas persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dari hanya memuat minimal umur 40 tahun menjadi rumusan alternatif dengan penyepadanan jabatan publik tertentu. Meski demikian, dalam komposisi lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan, terdapat keterbelahan antara pendapat pluralitas yang didukung oleh tiga hakim konstitusi dengan alasan berbeda yang ditulis oleh dua hakim konstitusi. Kondisi ini harus dimaknai sebagai keputusan pluralitas. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengulas konsep putusan pluralitas sebagai perspektif dalam memaknai putusan dengan suara mayoritas terbelah. Pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana seharusnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 ditinjau dari perspektif putusan pluralitas. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus putusan pluralitas, putusan harus ditafsirkan berdasarkan posisi yang diambil oleh para anggota yang setuju dengan putusan dengan alasan yang paling sempit. Berdasarkan kaidah ini, perluasan syarat pencalonan dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 harus dibaca sebagai “memperluas syarat pencalonan hanya untuk yang berpengalaman sebagai gubernur.”
Quo Vadis Pengaturan Unit Pelaksana Tugas Bidang Pelayaran Agung Wicaksono, Dian; Mulyani, Cora Kristin; Hantoro, Bimo Fajar
Jurnal Penelitian Transportasi Laut Vol. 26 No. 2 (2024): Jurnal Penelitian Transportasi Laut
Publisher : Sekretariat Badan Kebijakan Transportasi, Formerly by Puslitbang Transportasi Laut, Sungai, Danau, dan Penyeberangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25104/transla.v26i2.2380

Abstract

Eksistensi Unit Pelaksana Tugas (UPT) pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan saat ini masih disertai beberapa permasalahan kelembagaan seperti tumpang tindih kewenangan antar UPT, tidak sesuainya UPT dengan direktorat teknis, hingga ketidaksesuaian organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Penelitian ini berfokus menjawab rumusan masalah berikut: (1) Bagaimana pengaturan mengenai unit pelaksana tugas di bidang pelayaran? (2) Bagaimana evaluasi dan rekomendasi atas pengaturan kelembagaan unit pelaksana tugas di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia? Hasil dari penelitian ini penting untuk menjadi rekomendasi dalam penataan dan penguatan kelembagaan di bidang pelayaran. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menganalisis secara deskriptif kualitatif data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan adanya konstruksi pengaturan di bidang pelayaran yang memberikan mandat pembentukan UPT serta penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang pelayaran. Dengan demikian, rekomendasi kelembagaan yang diberikan adalah perlu adanya pembentukan UPT sesuai mandat pengaturan di bidang pelayaran.