Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

THE ELIMINATION OF STATE ADMINISTRATIVE COURT’S AUTHORITY TO DECIDE POSITIVE FICTITIOUS DECISIONS AFTER THE AMENDMENT TO LAW NUMBER 30 OF 2014 CONNECTED WITH THE GENERAL PRINCIPLES OF GOOD GOVERNANCE Pertiwi, Adinda Putri; Rompis, Adrian E.; Nurzaman, R. Adi
Jurnal Poros Hukum Padjadjaran Vol. 5 No. 1 (2023): JURNAL POROS HUKUM PADJADJARAN
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jphp.v5i1.1390

Abstract

Government agencies and/or officials carry out the task of administering the state using legal instruments, one of which is decisions. If within the allotted time a government official does not respond to the request filed against him, his silence is equated with a fictitious decision. The fictitious decisions that apply in Indonesia are positive fictitious decisions, implicitly contained in Article 53 paragraph (3) of Law Number 30 of 2014, namely the government's silence means a form of acceptance. A positive fictitious decision needs to be submitted to the Administrative Court to get an acceptance decision. After the UUCK, PTUN's authority to decide on positive fictitious decisions was abolished, so what are the legal consequences and whether this is in accordance with the AUPB. The research method uses normative juridical with statutory, case, and conceptual approaches. The results of the research show that PTUN does not have the authority to decide on a positive fictitious decision request due to the abolition of Article 53 paragraph (4) in UUCK, so that the settlement lies with government agencies. However, there is a disparity in the judge's decision regarding the authority of PTUN to decide on a positive fictitious decision request caused by two approaches, namely legalistic positivism and action. It is possible to enter a positive fictitious case by filing a lawsuit for unlawful acts by government agencies and/or officials. The abolition of PTUN's authority is not in accordance with AUPB, especially the principles of legal certainty, expediency, accuracy, and fairness.
Legal Status of Legal Entity State Universities regarding the Implementation of Public-Private Partnership Laksono, Wahyu Agung; Amalia, Prita; Nurzaman, R. Adi
Jurnal Manajemen Pelayanan Publik Vol 9, No 1 (2025): Jurnal Manajemen Pelayanan Publik
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jmpp.v9i1.56868

Abstract

The presidential regulation provides a policy that provides a regulatory basis for government cooperation with business entities, including cooperation carried out by state universities as legal entities. However, the position of state universities as legal entities has characteristics as determined by the Law on Higher Education, so that there are legal problems related to the legal position of state universities as legal entities in implementing government cooperation with business entities and the absence of government support for state universities as legal entities for implementing government cooperation with business entities. The research method uses a normative legal research method that focuses on library data using the legal interpretation analysis method with analytical descriptive presentation. The results of the study indicate that state universities as legal entities are required to consider management independence, funding sources, development planning, funding concepts, and delegation of authority in terms of obtaining legal standing for implementing government cooperation with business entities. State universities as legal entities also need to get support from the Ministry of Education, Culture, Research and Technology as a government institution that oversees state universities as legal entities through the preparation of regulations on implementing government cooperation with business entities within the Ministry of Education, Culture, Research and Technology.
Wewenang KPI Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Muhammad Zen Al-Faqih; Hidayat, Dadang Rahmat; Nurzaman, R. Adi; Hudi, Nurul
Jurnal Pewarta Indonesia Vol 7 No 2 (2025): Jurnal Pewarta Indonesia
Publisher : Persatuan Wartawan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25008/jpi.v7i2.218

Abstract

Penelitian ini membahas kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara independen serta perubahan kewenangannya pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Regulasi tersebut membawa dampak signifikan terhadap reposisi peran KPI dalam sistem penyiaran nasional. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implikasi hukum dari berlakunya UU Cipta Kerja terhadap kewenangan KPI, khususnya dalam ranah perizinan dan pengawasan penyiaran. Metode yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan yurisprudensi, serta berlandaskan pada teori wewenang dan teori lembaga negara. Data dianalisis melalui studi literatur terhadap peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi, serta dokumen relevan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah UU Cipta Kerja berlaku, KPI mengalami pengurangan kewenangan strategis. KPI tidak lagi berwenang mengusulkan alokasi frekuensi penyiaran dan memproses izin penyelenggaraan penyiaran, padahal kewenangan tersebut sebelumnya merupakan instrumen penting dalam menjaga independensi serta kualitas penyiaran di Indonesia. Pengurangan ini menimbulkan kekhawatiran atas melemahnya fungsi KPI sebagai lembaga pengawas independen. Sebagai rekomendasi, penelitian ini menyarankan adanya perubahan dalam UU Cipta Kerja untuk mengembalikan kewenangan KPI di bidang perizinan penyiaran. Hal ini penting agar KPI tetap mampu menjalankan fungsi pengawasan dan menjaga prinsip demokratisasi informasi sesuai amanat reformasi penyiaran.
FUNGSI PERIZINAN DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN BANDUNG UTARA DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Adharani, Yulinda; Nurzaman, R. Adi
Bina Hukum Lingkungan Vol. 2 No. 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan, Volume 2, Nomor 1, Oktober 2017
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.039 KB)

Abstract

Saat ini telah terjadi perubahan di KBU, pembangunan yang semakin luas dan cenderung tidak terkendali, sehingga mengakibatkan penurunan daya tampung, daya dukung dan daya lenting KBU sebagai kawasan resapan air. Pada kenyataannya KBU khususnya daerah Ledeng sebagian lahannya digunakan oleh pengembang untuk membangun kompleks perumahan. Sehingga KBU dan kawasan lainnya seperti Dago, Punclut dan lainnya terancam akan beralih fungsi dari kawasan konservasi menjadi kawasan pemukiman. Akibatnya, telah terjadi alih fungsi di kawasan tersebut yang akan berdampak seperti banjir dan tanah longsor. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, memaparkan teori tentang perizinan dan tata ruang serta pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan kasus alih fungsi ruang. Dari hasil penelitian ini dilihat dari kasus-kasus yang ada di KBU, kebanyakan ialah apartemen dan hotel yang telah memiliki izin tetapi ternyata tidak memiliki rekomendasi gubernur. Hal ini harus menjadi perhatian para pemberi izin karena dalam Pasal 54 Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat dijelaskan perlunya rekomendasi dari gubernur untuk mendapatkan izin. Hal ini menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam penaatan hukum lingkungan yaitu lebih berhati-hati dalam mengeluarkan izin sehingga dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
FUNGSI PERIZINAN DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN BANDUNG UTARA DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Adharani, Yulinda; Nurzaman, R. Adi
Bina Hukum Lingkungan Vol. 2 No. 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan, Volume 2, Nomor 1, Oktober 2017
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.039 KB)

Abstract

Saat ini telah terjadi perubahan di KBU, pembangunan yang semakin luas dan cenderung tidak terkendali, sehingga mengakibatkan penurunan daya tampung, daya dukung dan daya lenting KBU sebagai kawasan resapan air. Pada kenyataannya KBU khususnya daerah Ledeng sebagian lahannya digunakan oleh pengembang untuk membangun kompleks perumahan. Sehingga KBU dan kawasan lainnya seperti Dago, Punclut dan lainnya terancam akan beralih fungsi dari kawasan konservasi menjadi kawasan pemukiman. Akibatnya, telah terjadi alih fungsi di kawasan tersebut yang akan berdampak seperti banjir dan tanah longsor. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, memaparkan teori tentang perizinan dan tata ruang serta pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan kasus alih fungsi ruang. Dari hasil penelitian ini dilihat dari kasus-kasus yang ada di KBU, kebanyakan ialah apartemen dan hotel yang telah memiliki izin tetapi ternyata tidak memiliki rekomendasi gubernur. Hal ini harus menjadi perhatian para pemberi izin karena dalam Pasal 54 Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat dijelaskan perlunya rekomendasi dari gubernur untuk mendapatkan izin. Hal ini menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam penaatan hukum lingkungan yaitu lebih berhati-hati dalam mengeluarkan izin sehingga dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan.