Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Laporan Kasus : KOINFEKSI MORBUS HANSEN MULTIBASILER DAN TUBERKULOSIS PARU Hidayah, Noor; Yuniaswan, Anggun Putri; Murlistyarini, Sinta
Majalah Kesehatan FKUB Vol 8, No 1 (2021): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.01.6

Abstract

Koinfeksi lepra dan tuberkulosis (TB) paru pada satu individu jarang terjadi, tercatat 2-6 per 100.000 penduduk per tahun di dunia. Koinfeksi dapat terjadi akibat kondisi imunokompromais. Seorang perempuan berusia 51 tahun datang dengan keluhan benjolan kemerahan yang nyeri di seluruh tubuh, hilang timbul sejak 1 tahun. Pasien minum metilprednisolon 2 kali sehari selama setahun. Pemeriksaan fisik didapatkan nodul dan plak eritem multipel di seluruh tubuh, konjungtiva hiperemis dan penebalan saraf common perineus kiri. Tidak didapatkan bercak mati rasa dan slit skin smear negatif. Biopsi kulit tampak gambaran infiltrat limfosit dan neutrofil di dermis, foam cells, grenz zone dan pannuculitis lobular yang sesuai dengan lepromatous leprosy dan eritema nodosum leprosum. Radiologi thorak tampak fibroinfiltrat dan konsolidasi, dicurigai TB paru. Pemeriksaan sputum Tes Cepat Molekuler menunjukkan very low detected untuk kuman tuberkulosis yang sensitif rifampisin. Pasien mendapatkan multidrug therapy untuk Morbus Hansen Multibasiler, metilprednisolon serta Obat Anti Tuberkulosis kategori 1 dan memperlihatkan perbaikan klinis. Koinfeksi lepra dan TB jarang terjadi, diduga karena adanya kekebalan silang. Biasanya infeksi lepra mendahului TB, karena periode inkubasi lepra lebih lama. Mekanisme koinfeksi pada kasus diduga akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Terapi koinfeksi TB paru dan lepra dilakukan secara bersamaan dengan dosis rifampisin mengikuti dosis terapi tuberkulosis. 
Multisystem Langerhans Cell Histiocytosis in high-risk group: A case series of two infants Yuniaswan, Anggun Putri; Safitri, Putri Rachma; Retnani, Diah Prabawati
Journal of General - Procedural Dermatology & Venereology Indonesia Vol. 5, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Langerhans Cell Histiocytosis (LCH) has diverse manifestations, from asymptomatic to aggressive, which involves many organs. Histopathological examination playsa crucialrole as a basic diagnostic standard for LCH. Writing Group of the Histiocyte Society proposes a guideline for diagnosing LCH, divided into presumptive, designated, and definitive diagnosis. Case Illustration: Two cases of a 14 month-old girl and an 18 month-old girl presented similar clinical manifestation and multi-organ involvement. Dermatological examination revealed red papules and plaques covered by brownish scales and crusts on the scalp and body, erosion in some folds of the body. Histopathological examination of the first case revealed an early purpuric phase. S100 immunostaining just revealed hyperplasia of Langerhans cell but still could not support the diagnosis of LCH. Fine Needle Aspiration Biopsy of the enlarged submandibular lymph node after two months ofobservation suggested LCH. In the second case, histopathological examination revealed proliferation of round-oval nucleated cells, pleomorphic, some reniform nuclei, with amphophilic cytoplasm. S100 and CD1a immunostaining revealed a positive reaction in the proliferative cells. Discussion: Patients aged 14 and 18 monthsoldindicatedalmost similar clinical manifestations leading to LCH diagnosis, with different histopathological pictures. The first patient was presumptively diagnosedas high-risk multisystem LCH, but theinitial histopathology results did not support LCH diagnosis. On the other hand, the second patient was definitively diagnosed with high-risk multisystem LCH. Conclusion: Patientswith clinically suspected LCH without histopathological confirmation should be observed at least six months to reassess the necessity of a follow-up biopsy.
Effects of 5% astaxanthin gel on angiogenesis and granulation tissue in second-degree burn animal model Rofiq, Aunur; Yuniaswan, Anggun Putri; Nugraha, Rizki Hapsari
Journal of General - Procedural Dermatology & Venereology Indonesia Vol. 7, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Burn injuries generate more free radicals and lead to complex immune dysfunction, which can delay wound healing compared to other wound types. Angiogenesis, essential for wound healing, requires granulation tissue as a marker for successful wound healing. Low concentrations of reactive oxygen species (ROS) are necessary to initiate this process. Astaxanthin is a potent antioxidant with anti-inflammatory properties, known to activate angiogenesis and modulate ROS signaling during wound healing. Methods: This experimental study aimed to evaluate 5% astaxanthin gel on second-degree burns using 30 male Wistar rats. Simple random sampling was utilized. A total of 6 groups were divided according to the time the lesions were evaluated i.e., I. Normal saline, day 2 (n=5); II. Normal saline, day 5 (n=5); III. Normal saline, day 7 (n=5); IV. 5% astaxanthin gel, day 2(n=5); V. 5% astaxanthin gel, day 5 (n=5); VI. 5% astaxanthin gel, day 7 (n=5). Histological assessment of angiogenesis and granulation tissue was based on the number of blood vessels and the extent of the wound to the dermis, respectively. Result: The mean of angiogenesis in 5% astaxanthin gel group was higher than the control group on day 5 (p-value < 0.05). The positive correlation between angiogenesis and granulation tissue was observed on day 5 (p-value < 0.05). Conclusion: The primary effect of 5% astaxanthin gel is during the proliferative phase of wound healing in second-degree burns.
Combination Therapy of Prednisone, Azathioprine, and Hydroxychloroquine in Patient with Dermatomyositis Swanenghyun, Garnis; Yuniaswan, Anggun Putri
Asian Journal of Health Research Vol. 3 No. 1 (2024): Volume 3 No 1 (April) 2024
Publisher : Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55561/ajhr.v3i1.149

Abstract

manifestations of inflammatory myopathy accompanied by cutaneous involvement. In patients with cutaneous DM, for the first line of therapy can be given photoprotection, topical steroids, Hydoroxychloroquin (HCQ) or Chloroquine and Quinacrine, while the gold standard in DM myopathy is systemic corticosteroids. Inadequate therapeutic regimens can result in morbidity or complications, especially calcinosis. Case Presentation: A 29-year-old woman had reddish spots on her face and hands accompanied by pain in her hands, hips, knees and elbows making it difficult for the patient to walk. Found it exists Heliotrop sign, Gottron papule and Gottron sign. The main aim of providing therapy to DM patients is to reduce inflammation, such as minimizing symptoms, especially those related to muscle weakness and improving the patient's quality of life. Glucocorticoids remain the first line therapy option for DM with the choice of oral prednisone 1mg/kgBW/day. Meanwhile, moderate to severe DM specifically should be treated with a combination which contains steroids and immunosuppressants, such as Methotrexate (MTX), Azathioprine (AZA), or Mycophenolate Mofetil (MMF). The therapy regimen must be given appropriately and adequately to minimize the occurrence of complications. Conclusion: A combination of Prednisone, Azathioprine, andHydoroxychloroquin is effective as a therapy for Dermatomyositis. This can be proven by an increase in muscle strength and the red spots disappearing in this patient.
PROFIL FAKTOR RISIKO DAN GAMBARAN DERMOSKOPI LESI AWAL KEGANASAN KULIT Yuniaswan, Anggun Putri; Widiatmoko, Arif; Ekasari, Dhany Prafita; Hidayat, Deriel Elka
Majalah Kesehatan Vol. 10 No. 4 (2023): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2023.010.04.5

Abstract

Keganasan kulit merupakan salah satu jenis keganasan yang paling sering terjadi. Gambaran lesi awal keganasan kulit seringkali tidak spesifik sehingga terlambat dikenali. Konfirmasi keganasan kulit dapat dilakukan dengan pemeriksaan dermoskopi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi profil faktor risiko dan gambaran dermoskopi lesi awal keganasan kulit. Penelitian bersifat deskriptif observasional dengan metode total sampling dari survei yang dilakukan pada masyarakat awam. Variabel faktor risiko yang dianalisis meliputi tempat kerja (di dalam atau luar ruangan), durasi paparan sinar matahari, penggunaan tabir surya atau pelindung lain terhadap sinar matahari. Responden berjumlah 559 orang dengan 9  responden memiliki hasil pemeriksaan dermoskopi yang mengarah pada keganasan kulit. Kecurigaan diagnosis mengarah pada melanoma maligna ditemukan pada 8 responden (88,89%) dan 1 responden (11,11%) ke arah karsinoma sel basal. Sebanyak 33,3% (3 responden) dari kelompok dengan pemeriksaan dermoskopi mengarah pada keganasan memiliki tahi lalat yang mudah berdarah. Sebanyak 76% responden terpapar sinar matahari dengan durasi 1-2 jam per hari, tidak rutin menggunakan tabir surya (52,1%) dan alat pelindung lain terhadap sinar matahari (58,1%). Berdasarkan analisis Chi square tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada masing-masing faktor risiko antara kelompok responden dengan dermoskopi yang mengarah ke keganasan dan normal. Pada studi ini disimpulkan bahwa durasi paparan sinar matahari dan penggunaan tabir surya tidak berbeda secara signifikan antara kelompok keganasan dengan kelompok normal. Tahi lalat yang mudah berdarah merupakan lesi awal keganasan kulit yang tersering dijumpai dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan dermoskopi sebagai skrining awal.  
KEBERHASILAN KOMBINASI TERAPI MIKOFENOLAT SODIUM DAN AZATHIOPRINE PADA KOEKSISTENSI PEMFIGOID BULOSA DAN PSORIASIS VULGARIS Fitriana, Nadia Aprilia; Yuniaswan, Anggun Putri; Widiatmoko, Arif; Prawitasari, Suci
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 3 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i3.504

Abstract

Pendahuluan: Koeksistensi pemfigoid bulosa dan psoriasis vulgaris merupakan kasus yang jarang dijumpai dan hingga kini patogenesis keduanya belum dapat dijelaskan, sehingga tata laksana pada kasus tersebut masih menjadi tantangan. Pemberian kortikosteroid pada pemfigoid bulosa merupakan kontraindikasi bagi psoriasis vulgaris. Kasus: Pasien laki-laki berusia 47 tahun mengeluhkan bercak merah disertai sisik putih tebal pada area punggung, bokong, kedua tangan dan kaki. Pasien dengan riwayat pemfigoid bulosa dan rutin mendapatkan terapi metilprednisolon dan azatioprin. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan multipel plak eritematosa, tertutup skuama putih tebal, Auspitz (+), Karsvlek (+), total Body Surface Area 22% dan Psoriasis Area Severity Index 5,3, serta multipel bula dinding tegang dengan dasar eritematosa. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan Munro’s microabscess yang menunjang gambaran psoriasis vulgaris. Pasien didiagnosis dengan pemfigoid bulosa dan psoriasis vulgaris, serta diberikan terapi mikofenolat sodium dan azatioprin. Diskusi: Kortikosteroid sebagai terapi lini pertama pemfigoid bulosa merupakan kontraindikasi bagi psoriasis. Monoterapi azatioprin pada kasus ini tidak memberikan perbaikan klinis, sehingga diberikan kombinasi azatioprin dengan metotreksat. Adanya kondisi anemia menjadi dasar pertimbangan untuk mengganti metotreksat dengan mikofenolat sodium. Kombinasi azatioprin dan mikofenolat sodium belum pernah dilaporkan sebelumnya. Kesimpulan: Kombinasi azatioprin dan mikofenolat sodium terbukti efektif dalam memberikan perbaikan klinis pada kasus koeksistensi ini.