Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Epidermolysis Bullosa Acquisita Occuring In A Patient With Systemic Lupus Erythematosus setyowatie, Lita; Rahmawati, Yustian Devika; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga Vol 15, No 2 (2019): December 2019
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.373 KB) | DOI: 10.22219/sm.Vol15.SMUMM2.9884

Abstract

Epidermolysis Bullosa Acquisita (EBA) is a rare, chronic autoimmune subepidermal bullous disease and has been noted to be associated with systemic lupus erythematosus (SLE). The incidence of EBA and SLE in one patient within the period of 1980-1990 found only 7 published case reports. A 23 years old woman with exfoliate skin since 12 years ago. Initially itchy on her buttock then appeared small blister. Blister spread almost the entire body and rupture. This complaint got worsening in a year accompanied with hair loss, weight loss, and oral ulcer. Dermatological examination showed patch eritematosa, hyperpigmentation, hypopigmentation, erotion with erythematous base, yellow brownish crust. Also obtained sclerodactyli toes and nail fingers. Laboratory examination anemia gravis, hypoalbuminemia, Coombs test +2, ANA Test negatif, dsDNA IgG 32,80. Histopathology examination showed blister subepidermal, no vacuolar degeneration, no superficial and deep infiltrat, and minimal lymphocyte. Patient had diagnosed SLE from Internal Department based on MEX-SLEDAI score. The patient was treated with metylprednisolone intravenous pulse dose 500 mg on 3 days then tappering off and wound care. Epidermolysis Bullosa Acquisita immunogenetically related with MHC class II haplotype in particular  HLA-DR2. This factor suggest playing role in the development of  EBA to express more aggresive SLE. 
Laporan Kasus : EKSISI ELLIPS NEVUS MELANOSITIK INTRADERMAL PADA AREA WAJAH: SERIAL KASUS Boco Pranowo, Tri Pradesa; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 6, No 2 (2019): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (912.668 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.006.02.8

Abstract

Nevus melanositik intradermal merupakan varian nevus melanositik yang paling umum. Metode terbaik untuk terapinya adalah tindakan eksisi ellips. Bekas luka pasca operasi eksisi nevus memerlukan perhatian ekstra terutama pada area wajah karena pasien mengharapkan bekas luka yang minimal. Eksisi elips diorientasikan searah dengan relaxed skin tension line (RSTL) untuk mencapai hasil kosmetik yang optimal. Kasus pertama melaporkan seorang perempuan 23 tahun dengan tahi lalat di area dagu yang membesar mulai 15 tahun yang lalu. Keluhan gatal, nyeri, mudah berdarah pada tahi lalat disangkal. Pemeriksaan dermatologis pada regio mentalis didapatkan nodul hiperpigmentasi, soliter, oval, diameter ±6 mm, batas tegas, homogen, permukaan mengkilat dengan terdapat rambut, pada palpasi teraba keras dan solid. Kasus kedua melaporkan seorang perempuan 33 tahun dengan beberapa tahi lalat berwarna kehitaman di area hidung yang membesar sejak 27 tahun yang lalu. Keluhan gatal, nyeri, dan mudah berdarah pada tahi lalat disangkal. Pemeriksaan dermatologis pada regio nasal didapatkan papul hiperpigmentasi, multipel, solid, bulat, diameter ±2-4 mm, batas tegas, homogen, pada palpasi teraba kenyal. Histopatologis kedua kasus menunjukkan nevus intradermal. Pengangkatan nevus pada kedua kasus dengan bedah eksisi ellips pada  pasien diikuti sampai 1 tahun pertama pasca operasi, dan didapatkan bekas luka yang minimal. Dapat disimpulkan bahwa pengangkatan nevus melanositik intradermal dengan bedah eksisi ellips merupakan salah satu modalitas terapi terbaik dalam pemeriksaan histopatologis untuk penegakan diagnosis. Pencegahan pembentukan bekas luka pasca operasi dapat diminimalisir dengan memperhatikan teknik  eksisi, relaxed tension skin line, tehnik undermining, penjahitan, dan perawatan luka. 
The effectivity of ultrasound-guided platelet-rich plasma perineural injection in improving leprosy sensory peripheral neuropathy Brahmanti, Herwinda; Widiatmoko, Arif; Widasmara, Dhelya; Sari, Diane Tantia; Kurniawan, Shahdevi Nandar; Santoso, Widodo Mardi; Laksono, Ristiawan Muji; Gofur, Abdul
Journal of General - Procedural Dermatology & Venereology Indonesia Vol. 7, No. 1
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Sensory nerve damage is the earliest leprosy sign which can lead to disability. Previous studies showed that autologous platelet-rich plasma (PRP) perineural blind injection can stimulate leprosy sensory nerve regeneration. Our study provided a safer and more accurate PRP agent delivery method through ultrasound-guided injection and was the first to compare PRP versus standard neuropathy treatment, the neurotropic vitamin. This study aimed to determine the effectiveness of combination therapy of ultrasound-guided PRP perineural injection and oral vitamin B complex compared to single oral vitamin B complex in sensory peripheral neuropathy of posterior tibial nerve in leprosy patients.
PROFIL FAKTOR RISIKO DAN GAMBARAN DERMOSKOPI LESI AWAL KEGANASAN KULIT Yuniaswan, Anggun Putri; Widiatmoko, Arif; Ekasari, Dhany Prafita; Hidayat, Deriel Elka
Majalah Kesehatan Vol. 10 No. 4 (2023): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2023.010.04.5

Abstract

Keganasan kulit merupakan salah satu jenis keganasan yang paling sering terjadi. Gambaran lesi awal keganasan kulit seringkali tidak spesifik sehingga terlambat dikenali. Konfirmasi keganasan kulit dapat dilakukan dengan pemeriksaan dermoskopi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi profil faktor risiko dan gambaran dermoskopi lesi awal keganasan kulit. Penelitian bersifat deskriptif observasional dengan metode total sampling dari survei yang dilakukan pada masyarakat awam. Variabel faktor risiko yang dianalisis meliputi tempat kerja (di dalam atau luar ruangan), durasi paparan sinar matahari, penggunaan tabir surya atau pelindung lain terhadap sinar matahari. Responden berjumlah 559 orang dengan 9  responden memiliki hasil pemeriksaan dermoskopi yang mengarah pada keganasan kulit. Kecurigaan diagnosis mengarah pada melanoma maligna ditemukan pada 8 responden (88,89%) dan 1 responden (11,11%) ke arah karsinoma sel basal. Sebanyak 33,3% (3 responden) dari kelompok dengan pemeriksaan dermoskopi mengarah pada keganasan memiliki tahi lalat yang mudah berdarah. Sebanyak 76% responden terpapar sinar matahari dengan durasi 1-2 jam per hari, tidak rutin menggunakan tabir surya (52,1%) dan alat pelindung lain terhadap sinar matahari (58,1%). Berdasarkan analisis Chi square tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada masing-masing faktor risiko antara kelompok responden dengan dermoskopi yang mengarah ke keganasan dan normal. Pada studi ini disimpulkan bahwa durasi paparan sinar matahari dan penggunaan tabir surya tidak berbeda secara signifikan antara kelompok keganasan dengan kelompok normal. Tahi lalat yang mudah berdarah merupakan lesi awal keganasan kulit yang tersering dijumpai dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan dermoskopi sebagai skrining awal.  
Mohs Micrographic Surgery for Morpheaform Type Basal Cell Carcinoma: A Case Report Larasaty, Nanda Shaskia; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 33 No. 3 (2025)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2025.033.03.9

Abstract

Morpheaform basal cell carcinoma (BCC) is an infiltrative and destructive type of BCC with a high recurrence, necessitating effective and minimally invasive management. Mohs Micrographic Surgery (MMS) is a treatment option for BCC with high conservation results of the entire tumor wall with minimal removal of surrounding healthy tissue, and the lowest recurrence rate compared to other treatment options.  In this study, we report a 48-year-old woman with dark spots on the left cheek area that had enlarged over the past year. Dermatological examinations showed hyperpigmentation patches with indistinct borders, irregular edges, and telangiectasis. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) confirmed BCC, and the patient underwent Mohs Micrographic Surgery (MMS) for tumor removal. The post-procedural follow-up showed a good outcome.
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN IPS BERBASIS LINGKUNGAN DAN KEARTIFAN LOKAL DI SEKOLAH DASAR KELAS IV Azhary, Luqman; Suharini, Erni; Widiatmoko, Arif
JISPE Journal of Islamic Primary Education Vol. 6 No. 01 (2025): JISPE Journal of Islamic Primary Education
Publisher : Institut Daarul Qur'an Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51875/jispe.v6i01.602

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi implementasi pembelajaran IPS berbasis lingkungan dan kearifan lokal di kelas IV sekolah dasar. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif, yang meliputi observasi kelas, wawancara guru, dan diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan siswa. Data yang terkumpul dianalisis untuk memahami bagaimana pembelajaran IPS dapat diintegrasikan dengan potensi lokal dan nilai-nilai budaya lokal. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis konteks dan kearifan lokal tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tetapi juga memperkuat identitas dan karakter budaya mereka. Selain itu, keterlibatan masyarakat sekitar sebagai sumber belajar memperkaya pengalaman belajar siswa dan meningkatkan motivasi belajar mereka. Namun, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa tantangan dalam mengimplementasikan jenis pembelajaran ini, termasuk kurangnya sumber daya dan dukungan dari sekolah. Temuan ini mendukung pentingnya mengembangkan kurikulum di pendidikan dasar yang disesuaikan dengan nilai-nilai lokal untuk memberikan siswa pemahaman yang lebih komprehensif tentang lingkungan dan budaya mereka. Lebih lanjut, penelitian ini memberikan rekomendasi untuk pelatihan guru agar dapat mengimplementasikan pembelajaran berbasis tempat secara lebih efektif. 
KEBERHASILAN KOMBINASI TERAPI MIKOFENOLAT SODIUM DAN AZATHIOPRINE PADA KOEKSISTENSI PEMFIGOID BULOSA DAN PSORIASIS VULGARIS Fitriana, Nadia Aprilia; Yuniaswan, Anggun Putri; Widiatmoko, Arif; Prawitasari, Suci
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 3 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i3.504

Abstract

Pendahuluan: Koeksistensi pemfigoid bulosa dan psoriasis vulgaris merupakan kasus yang jarang dijumpai dan hingga kini patogenesis keduanya belum dapat dijelaskan, sehingga tata laksana pada kasus tersebut masih menjadi tantangan. Pemberian kortikosteroid pada pemfigoid bulosa merupakan kontraindikasi bagi psoriasis vulgaris. Kasus: Pasien laki-laki berusia 47 tahun mengeluhkan bercak merah disertai sisik putih tebal pada area punggung, bokong, kedua tangan dan kaki. Pasien dengan riwayat pemfigoid bulosa dan rutin mendapatkan terapi metilprednisolon dan azatioprin. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan multipel plak eritematosa, tertutup skuama putih tebal, Auspitz (+), Karsvlek (+), total Body Surface Area 22% dan Psoriasis Area Severity Index 5,3, serta multipel bula dinding tegang dengan dasar eritematosa. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan Munro’s microabscess yang menunjang gambaran psoriasis vulgaris. Pasien didiagnosis dengan pemfigoid bulosa dan psoriasis vulgaris, serta diberikan terapi mikofenolat sodium dan azatioprin. Diskusi: Kortikosteroid sebagai terapi lini pertama pemfigoid bulosa merupakan kontraindikasi bagi psoriasis. Monoterapi azatioprin pada kasus ini tidak memberikan perbaikan klinis, sehingga diberikan kombinasi azatioprin dengan metotreksat. Adanya kondisi anemia menjadi dasar pertimbangan untuk mengganti metotreksat dengan mikofenolat sodium. Kombinasi azatioprin dan mikofenolat sodium belum pernah dilaporkan sebelumnya. Kesimpulan: Kombinasi azatioprin dan mikofenolat sodium terbukti efektif dalam memberikan perbaikan klinis pada kasus koeksistensi ini.