Sinta Murlistyarini
Departemen Dermatologi Dan Venereologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya/ Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

MELASMA TIPE EPIDERMAL DITERAPI DENGAN INJEKSI ASAM TRANEKSAMAT INTRADERMAL SERIAL DAN TABIR SURYA Murlistyarini, Sinta; Hidayah, Nurul
Majalah Kesehatan FKUB Vol 6, No 1 (2019): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.751 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.006.01.7

Abstract

 Melasma adalah kelainan pigmentasi kronis dengan rekurensi tinggi yang sering ditemukan pada area yang terpapar matahari sehingga menimbulkan efek psikososial negatif. Asam traneksamat yang diberikan secara injeksi intradermal sebagai salah satu modalitas terapi menghasilkan depigmentasi yang signifikan. Seorang wanita usia 38 tahun dengan keluhan bercak coklat pada kedua pipi sejak 8 tahun sebelumnya. Pasien mengalami kehamilan 2 kali dan bercak muncul setelah kelahiran anak kedua. Terdapat riwayat penggunaan KB suntik bulanan selama 10 tahun. Sehari-hari pasien bekerja di dalam ruangan, tanpa mengoleskan tabir surya dan menggunakan produk yang dijual bebas. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan tipe kulit Fitzpatrick IV. Regio zygoma dan temporal tampak makula dan patch hiperpigmentasi (coklat tua dan coklat muda), multipel, simetris, bentuk bulat sebagian irregular, batas tegas, ukuran bervariasi dengan diameter 0,5–2 cm. Lampu wood menunjukkan melasma tipe epidermal. Skor MASI 9,9. Pemeriksaan fungsi tiroid, liver  dan faal hemostasis normal. Pasien diterapi  injeksi asam traneksamat intradermal 5 mg/ml setiap 2 minggu selama 1 bulan dan tabir surya SPF33 setiap hari. Efek panas, perih, kemerahan dan bengkak setelah injeksi hilang dengan spontan. Setelah 2 kali injeksi didapatkan penurunan skor MASI sebesar 42,4%. Perkembangan melasma dapat dicetuskan oleh peningkatan vaskularisasi dan peningkatan ekspresi faktor angiogenik. Asam traneksamat menghambat aktivator plasminogen mengkonversi plasminogen menjadi plasmin, menekan produksi prostaglandin, tirosinase melanosit, VEGF, b-FGF, angiogenesis dan neovaskularisasi. Injeksi asam traneksamat intradermal memungkinkan pemberian dosis yang adekuat dan lebih rendah. 
Mixed-Type Melasma Treated with Low Fluence Q-Switched Nd-YAG 1064 nm Laser: A Case Report Nugrahani, Aninda Fitri; Murlistyarini, Sinta
Indonesian Journal of Medicine Vol. 5 No. 2 (2020)
Publisher : Masters Program in Public Health, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (731.358 KB)

Abstract

Background: Melasma is an acquired, chro­nic hypermelanosis condition. Melasma is more common in women of all races and occur espe­cially on the face. The pathogenesis of melasma is very complex and the treatment is still a challenge. The purpose of this study was to report mixed-type melasma treated with low fluence Q-switched Nd-YAG 1064 nm laser.Case Presentation: A case of melasma in 54 year old woman was reported. Dermatological examination showed presence of brownish macules and patches in the centro facial area with symmetrical distribution. Examination with wood lamp showed mixed type. Patients have received topical therapy but there were no improvement.Results: The patient was then treated with low fluence Q-switched Nd-YAG 1064 nm laser for three sessions with an interval of 2 weeks. At 6 weeks of treatment the modified MASI (mMASI) value was reduced from 8.4 to 4.6 and the VAS value was increased from 2 to 8.Conclusion: The depth of the pigment deter­mined the response to therapy. In the mixed type melasma the response for therapy is only partial. The low-fluence Q-switched Nd-YAG 1064 nm laser can penetrate deeper into the dermis and damage melanin in a short time.Keywords: mixed typed melasma, low fluence, Q-switched Nd-YAG laserCorrespondence: Aninda Fitri Nugrahani. Department of Derma­tology and Venereology, DR. Saiful Anwar Hospital, Malang, East Java/ Faculty of Medi­cine, Universitas Brawijaya, Malang, East Java. Email: aninda16fitri@gmail.comIndonesian Journal of Medicine (2020), 05(02): 95-101https://doi.org/10.26911/theijmed.2020.05.02.01
Laporan Kasus : INTENSE PULSED LIGHT (IPL) SEBAGAI TERAPI MELASMA TIPE EPIDERMAL: SUATU LAPORAN KASUS Ayuningtyas, Vidya Hana Dwi; Murlistyarini, Sinta
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 4 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.007.04.6

Abstract

Melasma adalah salah satu masalah kosmetik yang banyak ditemukan terutama pada wanita usia produktif. Faktor utama yang mencetuskan melasma adalah faktor genetik, paparan sinar UV kronis dan penggunaan kontrasepsi hormonal. Meski terapi topikal merupakan modalitas utama untuk mengatasi melasma, namun dengan lambatnya tingkat penyembuhan dan munculnya beberapa efek samping seperti eritema dan reaksi alergi, memicu para klinisi untuk menggunakan alternatif lain seperti laser dan intense pulsed light. Intense pulsed light adalah suatu modalitas yang memanfaatkan flashlamp untuk menyalurkan energi ke kulit dan dapat membidik berbagai macam chromophore dengan memanfaatkan rentang panjang gelombang yang lebar yakni antara 420 nm sampai 1400 nm. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 41 tahun dengan keluhan bercak kecoklatan di area pipi kanan dan kiri sejak sekitar dua tahun yang lalu. Pasien terdiagnosa mengalami melasma tipe epidermal. Penggunaan terapi topikal sebelumnya didapatkan hanya memberikan kepuasan minimal. Pasien memiliki tipe kulit Fitzpatrick V. Pasien mendapatkan terapi intense pulsed light sebanyak satu kali dengan fluence 16.0 J/cm2 dan filter 590 nm. Fluence yang rendah diperlukan untuk menghindari risiko hiperpigmentasi yang lebih tinggi pada pasien dengan tipe kulit gelap. Penggunaan filter 590 nm dipilih untuk menghindari epidermal burn akibat terlepasnya gelombang cahaya yang tidak diperlukan. Hasil evaluasi tiga hari pasca tindakan menunjukkan penurunan skor modified Melasma Area and Severity Index (mMASI) dari 40,5 menjadi 36. 
Laporan Kasus : KOMBINASI LASER Q-SWITCHED Nd:YAG (1064 nm) DAN TRETINOIN TOPIKAL 0,025% PADA PENGHAPUSAN TATO : SEBUAH LAPORAN KASUS Murlistyarini, Sinta; Rakhmawati, Yustian Devika
Majalah Kesehatan FKUB Vol 8, No 2 (2021): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.02.6

Abstract

Tato merupakan suatu tanda permanen atau desain yang dibuat di tubuh dengan memasukkan pigmen warna ke dalam lapisan dermis kulit melalui luka di lapisan atas kulit. Saat ini teknik laser menjadi pilihan efektif untuk penghapusan tato terutama laser Q-switched dengan konsep fototermolisis selektif.  Jenis terapi lain yaitu topikal tretinoin melalui mekanisme pengelupasan superfisialis pada lapisan epidermis yang berperan dalam penghapusan tato. Sejauh pengamatan penulis bahwa di Indonesia belum didapatkan laporan kasus penghapusan tato dengan teknik kombinasi antara laser Nd:YAG 1064 nm dan tretinoin topikal 0,025%. Dilaporkan kasus seorang laki-laki 40 tahun dengan keluhan penghapusan tato. Pasien diterapi dengan laser Q-switched Nd-YAG 1064 nm kombinasi dengan tretinoin topikal 0,025%. Kemudian didapatkan adanya tingkat pembersihan tato dalam derajat ringan 25-50%. Skala VAS nyeri pada sesi pertama dan sesi kedua adalah 3 dan 5. Tidak ditemukan efek samping yang berarti seperti terbentuknya jaringan parut. Terapi laser menyebabkan target destruksi terbatas hanya pada pigmen tato sehingga meminimalkan kerusakan pada epidermis, dermis, dan jaringan pendukung kulit, dengan tinta tato sebagai kromofor eksogen berperan sebagai molekul target laser. Efek laser akan ditingkatkan dengan kombinasi tretinoin topikal yang mempunyai efek pengelupasan secara superfisial. Teknik kombinasi antara laser Nd:YAG 1064 nm dan tretinoin topikal 0,025% dapat dipertimbangkan sebagai salah satu metode yang cukup efektif dalam penghapusan tato. 
Laporan Kasus : KOINFEKSI MORBUS HANSEN MULTIBASILER DAN TUBERKULOSIS PARU Hidayah, Noor; Yuniaswan, Anggun Putri; Murlistyarini, Sinta
Majalah Kesehatan FKUB Vol 8, No 1 (2021): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.01.6

Abstract

Koinfeksi lepra dan tuberkulosis (TB) paru pada satu individu jarang terjadi, tercatat 2-6 per 100.000 penduduk per tahun di dunia. Koinfeksi dapat terjadi akibat kondisi imunokompromais. Seorang perempuan berusia 51 tahun datang dengan keluhan benjolan kemerahan yang nyeri di seluruh tubuh, hilang timbul sejak 1 tahun. Pasien minum metilprednisolon 2 kali sehari selama setahun. Pemeriksaan fisik didapatkan nodul dan plak eritem multipel di seluruh tubuh, konjungtiva hiperemis dan penebalan saraf common perineus kiri. Tidak didapatkan bercak mati rasa dan slit skin smear negatif. Biopsi kulit tampak gambaran infiltrat limfosit dan neutrofil di dermis, foam cells, grenz zone dan pannuculitis lobular yang sesuai dengan lepromatous leprosy dan eritema nodosum leprosum. Radiologi thorak tampak fibroinfiltrat dan konsolidasi, dicurigai TB paru. Pemeriksaan sputum Tes Cepat Molekuler menunjukkan very low detected untuk kuman tuberkulosis yang sensitif rifampisin. Pasien mendapatkan multidrug therapy untuk Morbus Hansen Multibasiler, metilprednisolon serta Obat Anti Tuberkulosis kategori 1 dan memperlihatkan perbaikan klinis. Koinfeksi lepra dan TB jarang terjadi, diduga karena adanya kekebalan silang. Biasanya infeksi lepra mendahului TB, karena periode inkubasi lepra lebih lama. Mekanisme koinfeksi pada kasus diduga akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Terapi koinfeksi TB paru dan lepra dilakukan secara bersamaan dengan dosis rifampisin mengikuti dosis terapi tuberkulosis. 
Laporan Kasus : EVALUASI TEKNIK CROSS TCA 70% TERHADAP SKAR AKNE ATROFI PADA KULIT FITZPATRICK TIPE IV Murlistyarini, Sinta; Nahlia, Nurul Laili
Majalah Kesehatan FKUB Vol 8, No 3 (2021): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.03.6

Abstract

Skar akne atrofi banyak terjadi pasca inflamasi akne dengan derajat lebih berat, durasi lebih lama, adanya riwayat keluarga skar akne, serta kebiasaan memencet akne. Teknik chemical reconstruction of skin scars (CROSS) menggunakan asam trikloroasetat (TCA) menunjukkan perbaikan sempurna  dengan efek samping minimal. Tujuan penulisan kasus ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan skar akne atrofi berbagai tipe yang diterapi dengan teknik CROSS TCA 70%. Seorang laki-laki berusia 22 tahun dengan keluhan utama bekas jerawat di wajah yang cukup terlihat sehingga mengganggu penampilan dan menurunkan kepercayaan dirinya. Pemeriksaan dermatologis pada pipi kanan dan kiri didapatkan skar atrofi derajat sedang tipe ice pick, rolling dan boxcar, tanpa akne aktif. Persiapan sebelum prosedur diberikan krim hidrokuinon 2%, gel niasinamid, serta tabir surya selama 2 minggu. Teknik CROSS TCA konsentrasi 70% dilakukan sebanyak dua kali dengan interval empat minggu. Penilaian perkembangan skar akne dilakukan menggunakan Goodman’s global scarring grading system, 4-point scale system, self-assessment of clinical acne-related scars (SCARS) dan facial acne scar quality of life (FASQoL). Pada minggu ke-10 terdapat perbaikan pada semua instrumen penilaian, yaitu penurunan kurva keparahan skar, perbaikan >50%, serta peningkatan kepercayaan diri pasien. Efek samping sementara yaitu berupa rasa terbakar saat prosedur serta hipopigmentasi pasca inflamasi. Dapat disimpulkan bahwa teknik CROSS TCA 70% merupakan terapi yang dapat memperbaiki kondisi skar akne atrofi berbagai tipe secara kosmetik, selain juga mudah dilakukan, aman, serta minimal efek samping. 
Formulasi Krim Anti-Aging Pada Kulit Daerah Tropis Berbasis Ekstrak Daun Kelor, Minyak Kenanga Dan Minyak Lemon Sebagai Bioaktif Vivi Nurhadianty; Herwinda Brahmanti; Sinta Murlistyarini; Safira Khanza; Citra Wahyu Rizkita; Chandrawati Cahyani
Journal of Innovation and Applied Technology Vol 7, No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jiat.2021.007.01.7

Abstract

Loss of moisture in the skin and exposure to high UV rays can cause dry, thin, inelastic skin and wrinkles. Proper anti-aging cream can reduce and prevent skin damage. Moringa leaf extract and cananga oil have specific bioactive properties such as antioxidants and antibacterials. Meanwhile, lemon oil is high in vitamin C and can improve the collagen structure in the skin. To produce anti-aging cream, essential oils as active ingredients are added with various compositions and then formulated and on the skin of the dorsal hand. The results showed that the cream produced was homogeneous but still required the addition of an emulsifier. The cream also meets SNI in terms of pH. The creams in formulas 7 and 9 provide significant results in reducing the level of aging. In this study, it needs to take a longer time to determine the stability of the cream.
Precipitating Factors of Acne Vulgaris at Dr. Saiful Anwar Hospital Malang Sinta Murlistyarini; Alfonsus Rendy Laksditalia Nugroho; Diane Tantia Sari; Silfia Mandasari
Jurnal Berkala Epidemiologi Vol. 9 No. 3 (2021): Jurnal Berkala Epidemiologi (PERIODIC EPIDEMIOLOGY JOURNAL)
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jbe.V9I32021.257-265

Abstract

Background: Acne vulgaris (AV) is an inflammatory disease of the pilosebaceous unit, which often causes stress and disrupts quality of life. Correctly identifying precipitating factors and preventing disease development will holistically increase the effectiveness of acne therapy, enabling better therapeutic outcomes to be achieved. Purpose: The objective of this study is to identify the clinical profile and precipitating factors of AV patients who visited Dr. Saiful Anwar Hospital between 2015 until 2017. Methods: This was a descriptive study, using a retrospective case study approach. The sample data was collected from medical records of AV patients from the period of 2015–2017 who met the following inclusion criteria: new AV cases with a complete medical record including gender, age, and precipitating factors. The dependent variable of this study was new AV patients, while the independent variables were the patient clinical profile and precipitating factors. Results: This study included 930 samples, with the number of female patients significantly higher (75.48%) than the number of males. The highest AV prevalence was found in the 15–24 years age group. The most common precipitating factors in females were hormonal issues, stress, and cosmetics; in males, these were stress, genetics, and dietary factors. Conclusion: The incidence of AV at Dr. Saiful Anwar Hospital mostly occurs in the 15–24 years age group, with varying trigger factors. The most frequent AV trigger factor in female patients was hormonal issues; in males, this was stress.
Eksisi dengan Rhomboid Flap pada Karsinoma Basoskuamosa di Area Temporal: Laporan Kasus Arif Widiatmoko; Sinta Murlistyarini; Silfia Mandasari
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 1 (2019): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (485.469 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V31.1.2019.71-78

Abstract

Latar belakang: Karsinoma basoskuamosa merupakan varian agresif karsinoma sel basal (KSB) yang jarang serta memiliki kecenderungan rekuren dan metastasis. Teknik Rhomboid flap merupakan salah satu teknik penutupan luka eksisi luas di area temporal. Tujuan: Mengevaluasi kasus jarang karsinoma basoskuamosa dan salah satu tatalaksananya. Kasus: Seorang perempuan usia 43 tahun datang dengan keluhan benjolan pada pelipis kiri yang mudah berdarah sejak 6 bulan. Status dermatologis pada regio temporal sinistra didapatkan tumor soliter berbentuk bulat dengan diameter 1,2 cm disertai erosi dan krusta kehitaman. Pemeriksaan dermoskopi menunjukkan telangiektasis tidak teratur, masa keratin, area keputihan dan ulserasi. Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy menunjukkan sebaran dan kelompok sel-sel dengan inti bulat-oval, pleomorfik hiperkromatik, membran inti ireguler. Eksisi dengan jarak irisan 5 mm dari tepi tumor dan Rhomboid flap dilakukan untuk mengangkat tumor dan menutup luka. Pemeriksaan histopatologis sesuai gambaran karsinoma basoskuamosa yang menunjukkan proliferasi sel-sel berinti bulat-oval, pleomorfik, hiperkromatik, dengan nukleolus prominen. Sel di bagian tepi tersusun palisading dengan retraction spacer menginfiltrasi stroma. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening dan tidak didapatkan metastasis pada foto rontgen toraks. Pembahasan: Karsinoma basoskuamosa merupakan bentuk agresif dari KSB. Eksisi dengan jarak irisan > 4 mm bisa digunakan untuk terapi KSB non-morpheaform dengan diameter < 2 cm. Rhomboid flap berbentuk belah ketupat digunakan untuk menutup luka di area temporal dan memberi hasil yang baik secara kosmetik dengan sedikit komplikasi. Simpulan: Eksisi dengan jarak irisan 5 mm dan Rhomboid flap memberikan hasil yang baik untuk karsinoma basoskuamosa area temporal.
Injeksi intradermal toksin botulinum tipe A sebagai terapi facial enlarged pore Sinta Murlistyarini; Wuriandaru Kurniasih
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 1 (2021): (Available online : 1 April 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1100.034 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i1.946

Abstract

Introduction: Pores are openings of the sebaceous gland on the skin’s surface that secrete oil, acting as the skin’s lubricant and protection. Pores can appear tiny funnel-shaped structures found on most of the body but most commonly seen on the face. Facial enlarged pores can be a cosmetic problem, especially for women. There are various factors involved in developing enlarged facial pores. However, sebum production and facial skin’s elasticity are the main factors. Botulinum toxin type A injection can reduce enlarged pore with three mechanisms. Therefore, there are inhibit acetylcholine, reducing sebaceous follicles glands, paralyzing the muscular erector pilli, reducing sebum secretion, and assuming increasing collagen.Case: The following reported two cases with grade 6 enlarged facial pores in a 38-year-old man and a 35-year-old woman. Patients have been given Botulinum Toxin A injection therapy with intradermal small bolus injection of botulinum toxin in one-time therapy and evaluated after four weeks of therapy. At the fourth week of evaluation of the first patient, there was a decrease in facial enlarged pores’ severity from 6 to 3 and a decrease in the sebum score from 3 to 1. Whereas in the second case, the pores severity degree decreased from 5 to 3, and the sebum score decreased from 3 to 2.  Dermoscopy examination before and after therapy showed reduced pore size.Conclusion: Botulinum toxin type A intradermal injection is effective in reducing sebum production and facial pore size. Pendahuluan: Pori-pori merupakan lubang dari kelenjar sebaceous pada permukaan kulit yang mengeluarkan minyak yang berfungsi sebagai pelumas dan perlindungan kulit. Pori-pori dapat tampak sebagai struktur berbentuk corong kecil yang dapat ditemukan pada hampir seluruh tubuh tetapi paling sering tampak pada wajah. Facial enlarged pore dapat menjadi masalah kosmetik terutama bagi wanita. Berbagai macam faktor dilaporkan dapat terlibat dalam perkembangan facial enlarged pore, tetapi produksi sebum dan elastisitas kulit wajah merupakan faktor yang paling sering berperan. Injeksi botulinum toksin tipe A memiliki mekanisme kerja menurunkan facial enlarged pore dengan menghambat asetilkolin sehingga menurunkan aktivitas kelenjar folikel sebaceous, melumpuhkan musculus arector pilli sehingga mengurangi sekresi sebum, dan meningkatkan kolagen.Kasus: Berikut ini dilaporkan dua buah kasus facial enlarged pore pada wajah dengan tingkat derajat 6 pada laki-laki berusia 38 tahun dan wanita berusia 35 tahun. Pasien diberikan terapi menggunakan injeksi Botulinum Toxin A metode multiple intradermal small bolus injection of botulinum toxin selama 1 kali terapi dan dilakukan evaluasi hingga 4 minggu terapi. Evaluasi pada minggu ke-4 pada pasien pertama didapatkan penurunan derajat keparahan facial enlarged pore dari 6 ke 3 dan penurunan skor sebum dari 3 ke 1. Sedangkan pada kasus kedua didapatkan penurunan derajat keparahan pori-pori dari 5 ke 3 dan penurunan skor sebum dari 3 ke 2. Pemeriksaan dermoskopi pada sebelum dan sesudah terapi memperlihatkan ukuran pori-pori menurun.Simpulan: Injeksi intradermal botulinum toksin tipe A dinilai efektif dalam menurunkan produksi sebum dan ukuran pori-pori wajah.