Retnani, Diah Prabawati
Department Of Pathological Anatomy, Faculty Of Medicine, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

Published : 36 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

TERAPI METHOTREXATE PADA PASIEN DENGAN VASKULOPATI LIVEDOID Lilasari, Sekar Puspita; Brahmanti, Herwinda; Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 5, No 1 (2018): Majalah Kesehatan Fakultas Kedokteran
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1641.398 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.005.01.8

Abstract

Penyakit Vaskulopati livedoid (VL) adalah penyakit hialinisasi vascular yang jarang dan ditandai dengan ulkus rekuren, kronik, pada ekstremitas bawah serta livedoid reticularis dan atrophie blanche. Akibat patogenesis yang belum jelas, belum ada konsensus terapi untuk VL. Methotrexate merupakan salah satu modalitas terapi berupa imunosupresan untuk vaskulitis. Dilaporkan satu kasus laki-laki usia 21 tahun dengan adanya luka yang nyeri dan berulang sejak 15 tahun. Luka dapat sembuh sendiri dan meninggalkan bercak kecoklatan disertai bercak putih yang mengkilat. Tidak ada penyakit penyerta sistemik lain. Pemeriksaan dermatologik pada kedua cruris dan kedua dorsum pedis didapatkan ulkus multipel, bentuk bulat dan ireguler, batas tegas, disertai dengan livedo reticularis dan atrophie blanche. Terapi awal yang diberikan adalah metilprednisolon 1x16 mg per oral namun dalam 2 minggu terjadi rekurensi. Kemudian diberikan methotrexate 15mg/minggu per oral, setelah 2 minggu didapatkan perbaikan yang dinilai dari jumlah ulkus baru yang muncul. Namun perlu follow-up lebih lanjut untuk mengetahui rekurensi.  
TERAPI EKSISI PADA NEUROFIBROMA Yulian, Inneke; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 5, No 3 (2018): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (572.635 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.005.03.7

Abstract

Neurofibroma dapat tampak sebagai nodul soliter atau dapat merupakan bagian dari neurofibromatosis atau penyakit Von Recklinghausen. Neurofibroma sering dikeluhkan karena alasan kosmetik atau adanya rasa nyeri terbakar dan gatal. Seorang laki-laki 56 tahun mengeluh benjolan di dada sebelah kiri sejak 43 tahun yang lalu. Benjolan awalnya muncul seperti jerawat yang bertambah besar secara lambat dan kadang terasa nyeri jika tersenggol baju sejak beberapa bulan terakhir. Riwayat keluarga ibu dan anak pasien terdapat benjolan yang sama. Pasien memiiki riwayat penyakit epilepsi. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan nodul sewarna kulit, bentuk bulat, batas tegas, diameter 3 mm-7,5 mm pada perabaan didapatkan konsistensi kenyal, mudah bergerak dan tidak terfiksasi dengan jaringan dibawahnya. Tidak didapatkan nodul lisch, freckles pada ketiak maupun tanda cafe-au lait. Pada pasien dilakukan tindakan bedah eksisi atas indikasi rasa tidak nyaman pada pasien. Pemeriksaan histopatologi jaringan hasil eksisi dengan pewarnaan HE  dan imunohistokimia S100 menunjukkan gambaran sesuai dengan suatu neurofibroma. Neurofibroma dapat tumbuh secara invasif. Pada lesi yang mengganggu secara kosmetik sering dilakukan terapi pembedahan. Modalitas terapi pembedahan untuk menghilangkan neurofibroma bergantung pada tipe, lokasi, ukuran tumor. Modalitas terapi dapat dipilih  bedah eksisi, bedah listrik maupun reseksi.  Pada kasus ini dipilih modalitas terapi bedah eksisi pada neurofibroma. Hasil terapi  setelah satu bulan menunjukkan hasil yang baik. Tidak tampak adanya gambaran skar hipertrofik 
Epidermolysis Bullosa Acquisita Occuring In A Patient With Systemic Lupus Erythematosus setyowatie, Lita; Rahmawati, Yustian Devika; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga Vol 15, No 2 (2019): December 2019
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.373 KB) | DOI: 10.22219/sm.Vol15.SMUMM2.9884

Abstract

Epidermolysis Bullosa Acquisita (EBA) is a rare, chronic autoimmune subepidermal bullous disease and has been noted to be associated with systemic lupus erythematosus (SLE). The incidence of EBA and SLE in one patient within the period of 1980-1990 found only 7 published case reports. A 23 years old woman with exfoliate skin since 12 years ago. Initially itchy on her buttock then appeared small blister. Blister spread almost the entire body and rupture. This complaint got worsening in a year accompanied with hair loss, weight loss, and oral ulcer. Dermatological examination showed patch eritematosa, hyperpigmentation, hypopigmentation, erotion with erythematous base, yellow brownish crust. Also obtained sclerodactyli toes and nail fingers. Laboratory examination anemia gravis, hypoalbuminemia, Coombs test +2, ANA Test negatif, dsDNA IgG 32,80. Histopathology examination showed blister subepidermal, no vacuolar degeneration, no superficial and deep infiltrat, and minimal lymphocyte. Patient had diagnosed SLE from Internal Department based on MEX-SLEDAI score. The patient was treated with metylprednisolone intravenous pulse dose 500 mg on 3 days then tappering off and wound care. Epidermolysis Bullosa Acquisita immunogenetically related with MHC class II haplotype in particular  HLA-DR2. This factor suggest playing role in the development of  EBA to express more aggresive SLE. 
Tinjauan Literatur : PERAN ASPEK KLINIKOPATOLOGI, IMUNOFENOTIP, DAN ANALISIS KLONALITAS UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS MYCOSIS FUNGOIDES Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 1 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.007.01.7

Abstract

Mycosis fungoides (MF) adalah prototipe dari cutaneous T-cell lymphoma (CTCL) yang bersifat   indolen, dengan evolusi klinis yang lambat berupa bercak, plak dan tumor. Diagnosis  MF pada stadium dini merupakan tantangan yang cukup berat bagi ahli patologi karena spesimen kulit yang diperiksa sering tidak adekuat, tidak khas dan dapat menyerupai dermatitis kronis yang resisten terhadap terapi. Diagnosis MF yang akurat memerlukan korelasi klinikopatologi yang seksama karena setiap stadium MF memiliki diagnosis banding yang berbeda baik secara klinis maupun histopatologi. Pengambilan spesimen jaringan pada lesi awal melalui  biopsi terbuka (biopsi plong maupun insisional) harus mempertimbangkan waktu dan lokasi yang tepat. Aspek karakteristik klinikopatologi, imunofenotip dan pemeriksaan analisis klonalitas diharapkan dapat membantu diagnosis dengan mengurangi kemungkinan terjadinya overdiagnosis maupun underdiagnosis. 
MEDIASTINAL GRAY ZONE LYMPHOMA DENGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIRIP HODGKIN LYMPHOMA Retnani, Diah Prabawati; Norahmawati, Eviana
Majalah Kesehatan FKUB Vol 5, No 4 (2018): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (523.194 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.005.04.7

Abstract

 Mediastinalgray zone lymphoma (MGZL) adalah limfoma sel B yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai Hodgkin lymphoma (HL) maupun Non Hodgkin lymphoma (NHL).  MGZL dapat terdiagnosis sebagai Nodular sclerosis classical Hodgkin lymphoma (NSCHL) karena kemiripan gambaran histopatologiknya. Untuk menegakkan diagnosis yang akurat diperlukan pemeriksaan imunohistokimia (IHK). Seorang wanita muda dengan keluhan massa di supraklavikula disertai nyeri dada, batuk dan demam menjalani serangkaian pemeriksaan di Laboratorium Patologi Anatomi RS Saiful Anwar Malang. Hasil CT-scan toraks mendeteksi adanya massa mediastinum anterosuperior dengan efusi pleura bilateral. Pasien menjalani reseksi kedua massa tersebut dan hasil pemeriksaan histopatologik menunjukkan gambaran fibrous band tebal, sel Lakunar-like berlatar belakang sel radang mendukung diagnosis NSCHL. Hasil pemeriksaan IHK menunjukkan CD20 dan CD30 positif kuat sehingga pasien didiagnosis sebagai MGZL. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa pada pasien dewasa muda dengan tumor mediastinum dan supraklavikula yang menunjukkan gambaran klinis dan histopatologi NSCHL-like perlu dipertimbangkan adanya diagnosis MGZL . 
Laporan Kasus : EKSISI ELLIPS NEVUS MELANOSITIK INTRADERMAL PADA AREA WAJAH: SERIAL KASUS Boco Pranowo, Tri Pradesa; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 6, No 2 (2019): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (912.668 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.006.02.8

Abstract

Nevus melanositik intradermal merupakan varian nevus melanositik yang paling umum. Metode terbaik untuk terapinya adalah tindakan eksisi ellips. Bekas luka pasca operasi eksisi nevus memerlukan perhatian ekstra terutama pada area wajah karena pasien mengharapkan bekas luka yang minimal. Eksisi elips diorientasikan searah dengan relaxed skin tension line (RSTL) untuk mencapai hasil kosmetik yang optimal. Kasus pertama melaporkan seorang perempuan 23 tahun dengan tahi lalat di area dagu yang membesar mulai 15 tahun yang lalu. Keluhan gatal, nyeri, mudah berdarah pada tahi lalat disangkal. Pemeriksaan dermatologis pada regio mentalis didapatkan nodul hiperpigmentasi, soliter, oval, diameter ±6 mm, batas tegas, homogen, permukaan mengkilat dengan terdapat rambut, pada palpasi teraba keras dan solid. Kasus kedua melaporkan seorang perempuan 33 tahun dengan beberapa tahi lalat berwarna kehitaman di area hidung yang membesar sejak 27 tahun yang lalu. Keluhan gatal, nyeri, dan mudah berdarah pada tahi lalat disangkal. Pemeriksaan dermatologis pada regio nasal didapatkan papul hiperpigmentasi, multipel, solid, bulat, diameter ±2-4 mm, batas tegas, homogen, pada palpasi teraba kenyal. Histopatologis kedua kasus menunjukkan nevus intradermal. Pengangkatan nevus pada kedua kasus dengan bedah eksisi ellips pada  pasien diikuti sampai 1 tahun pertama pasca operasi, dan didapatkan bekas luka yang minimal. Dapat disimpulkan bahwa pengangkatan nevus melanositik intradermal dengan bedah eksisi ellips merupakan salah satu modalitas terapi terbaik dalam pemeriksaan histopatologis untuk penegakan diagnosis. Pencegahan pembentukan bekas luka pasca operasi dapat diminimalisir dengan memperhatikan teknik  eksisi, relaxed tension skin line, tehnik undermining, penjahitan, dan perawatan luka. 
EKSPRESI BCL-2 PADA NEOPLASMA EPITELIAL OVARIUM JINAK, BORDERLINE, DAN GANAS SERTA KORELASINYA DENGAN DERAJAT HISTOPATOLOGIK Dewi, Rose Khasana; Hardika, Arif Satria; Retnani, Diah Prabawati; Rasyid, Harun Al
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 1 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (320.012 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.007.01.1

Abstract

Neoplasma epitelial ovarium diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu jinak, borderline, dan ganas. Neoplasma ganas ovarium termasuk dalam sepuluh besar penyebab kematian tersering akibat kanker pada perempuan di dunia. Penentuan kategori neoplasma ovarium kadang masih menjadi masalah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk proliferasi dan apoptosis sel serta invasi stroma. Bcl-2 (B-cell lymphoma 2) merupakan salah satu protein prosurvival yang berfungsi sebagai antiapoptosis dan cukup berperan dalam perkembangan neoplasma. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan eks-presi Bcl-2 pada neoplasma epitelial ovarium jinak, borderline, ganas serta untuk mengungkap hubungan ekspresi Bcl-2 dengan derajat histopatologik pada neoplasma ganas. Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross-sectional. Sampel penelitian berupa 35 blok parafin kasus neoplasma ovarium serosum dan musinosum (13 jinak, 8 borderline, 14 ganas) di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang periode 2016-2017. Kelompok neoplasma ganas terdiri dari masing-masing 5 kasus derajat 1 dan 3 (35,7%) serta 4 kasus derajat 2 (28,6%). Perbedaan ekspresi pulasan imunohistokimia Bcl-2 antara neoplasma jinak, borderline, dan ganas dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis, sedangkan korelasinya dengan derajat histopatologik dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi Bcl-2 tidak berbeda signifikan antara neoplasma jinak, borderline, dan ganas (p = 0,159). Bcl-2 pada neoplasma ganas menunjukkan eks-presi yang semakin rendah dengan meningkatnya derajat histopatologik (p = 0,021 dan r = -0,608). Ke-simpulannya, tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 yang signifikan antara neoplasma epitelial ovarium jinak, borderline, dan ganas. Ekspresi Bcl-2 berkorelasi negatif yang kuat dengan derajat histopatologik pada neoplasma ganas. 
Laporan Kasus : MULTISYSTEM LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS DENGAN PENINGKATAN HbF PADA ANAK PEREMPUAN BERUSIA 2 TAHUN Aprilia, Andrea; Hanggara, Dian Sukma; Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 2 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.89 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.07.02.7

Abstract

Langerhans cell histiocytosis (LCH) merupakan suatu penyakit keganasan hematologi yang jarang ditemui. Petanda utamanya adalah proliferasi sel Langerhans. Manifestasi LCH dapat berupa unisistem atau multisistem. Kasus ini membahas seorang anak perempuan usia 2 tahun yang datang dengan keluhan utama adanya benjolan di bagian kanan leher disertai sesak napas. Pemeriksaan fisik menemukan adanya takipneu, anemis, splenomegali serta redup ketika dilakukan perkusi pada lapang paru kiri. Pemeriksaan laboratorium hematologi terdapat anemia, leukositosis, disertai trombositopenia dan pada bone marrow puncture (BMP),  disimpulkan suspek limfoma dengan diagnosis banding LCH. Pemeriksaan kimia darah menunjukkan penurunan Fe serum, TIBC, transferin, dan hipoalbuminemia serta peningkatan globulin yang menggambarkan suatu proses yang bersifat kronis. Pemeriksaan CT Scan thoraks menunjukkan adanya lesi litik tulang serta nodul dengan karakteristik ganas pada leher. Pada pemeriksaan IHK didapatkan S100 dan Vimentin positif yang cukup untuk menegakkan diagnosis LCH. Ekokardiografi menemukan adanya dilated cardiomyopathy dan regurgitasi pada semua katup jantung. Anemia dan trombositopenia merupakan manifestasi gangguan sumsum tulang akibat infiltrasi LCH ke sumsum tulang. Leukositosis merupakan akibat infeksi berulang karena sistem imun menurun pada LCH. Hasil pemeriksaan BMP menggambarkan infiltrasi sel histiosit pada sumsum tulang. Splenomegali menunjukkan keterlibatan limpa dan efusi pleura menunjukkan keterlibatan paru serta lesi litik membuktikan adanya penyebaran ke tulang oleh LCH. Berdasarkan  anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien menderita LCH multisistem yang menyerang sumsum tulang, lien, paru, dan tulang disertai komplikasi infeksi berulang, efusi pleura, serta anemia yang menyebabkan gangguan jantung. Kasus LCH merupakan kasus yang jarang ditemukan dengan gejala klinis berbeda-beda tergantung dengan organ apa saja yang terlibat sehingga penyakit ini penting untuk dikenal lebih baik. 
HUBUNGAN EKSPRESI HER2 DENGAN UKURAN TUMOR DAN INVASI KAPSULAR PAPILLARY THYROID CARCINOMA (PTC) Pinahayu, Griesinta Trianty Andria; Retnani, Diah Prabawati; Anita, Kenty Wantri; Rasyid, Harun Al; Susilo, Hery
Majalah Kesehatan FKUB Vol 8, No 1 (2021): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2021.008.01.3

Abstract

Papillary thyroid carcinoma (PTC) merupakan karsinoma tersering pada tiroid yang secara klinis dapat menyerupai lesi jinak. PTC subtipe ocult tidak jarang ditemukan bermetastase pada kelenjar getah bening  (KGB) atau organ lain. Faktor prognosis pada pasien PTC ditentukan oleh subtipe histologi, ukuran tumor, usia, jenis kelamin, metastase dan invasi kapsular, dengan angka kekambuhan cukup tinggi, yaitu 20%.  Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 (HER2) adalah anggota Epithelial Growth Factor Receptor (EGFR), yang menunjukkan ekspresi kuat pada keganasan sel epitel manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan ekspresi HER2 dengan ukuran tumor dan invasi kapsular PTC. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia HER2 dilakukan pada 54 sampel, 27 dengan invasi kapsular dan 27 tanpa invasi kapsular, kemudian diukur besar tumor, interpretasi ekspresi HER2, lalu ditabulasi dan dianalisis hubungan ekspresi HER2 dengan ukuran tumor dan invasi kapsular PTC. Ekspresi HER2 pada penelitian ini didapatkan pada 10 sampel HER2 skor 3+,  22 sampel skor 2+, 14 sampel skor 1+, dan  8 sampel skor 0. Hubungan antara ekspresi HER2 dengan invasi kapsular PTC, dianalisis dengan Mann Whitney test, didapatkan hasil bermakna (p = 0,002). Dengan uji korelasi Spearman, didapatkan korelasi lemah terbalik (koefisien korelasi -.299) tapi bermakna (p = 0,028) antara ekspresi HER2 dengan ukuran tumor PTC. Terdapat hubungan ekspresi HER2 dengan invasi kapsular, dan hubungan lemah berbanding terbalik antara ekspresi HER2 dengan ukuran tumor yaitu semakin besar ukuran tumor semakin rendah skor HER2 dan sebaliknya. 
Multisystem Langerhans Cell Histiocytosis in high-risk group: A case series of two infants Anggun Putri Yuniaswan; Putri Rachma Safitri; Diah Prabawati Retnani
Journal of General - Procedural Dermatology and Venereology Indonesia Vol 5, No 2 (2021): June 2021
Publisher : Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Langerhans Cell Histiocytosis (LCH) has diverse manifestations, from asymptomatic to aggressive, which involves many organs. Histopathological examination playsa crucialrole as a basic diagnostic standard for LCH. Writing Group of the Histiocyte Society proposes a guideline for diagnosing LCH, divided into presumptive, designated, and definitive diagnosis. Case Illustration:Two cases of a 14 month-old girl and an 18 month-old girl presented similar clinical manifestation and multi-organ involvement. Dermatological examination revealed red papules and plaques covered by brownish scales and crusts on the scalp and body, erosion in some folds of the body. Histopathological examination of the first case revealed an early purpuric phase. S100 immunostaining just revealed hyperplasia of Langerhans cell but still could not support the diagnosis of LCH. Fine Needle Aspiration Biopsy of the enlarged submandibular lymph node after two months ofobservation suggested LCH. In the second case, histopathological examination revealed proliferation of round-oval nucleated cells, pleomorphic, some reniform nuclei, with amphophilic cytoplasm. S100 and CD1a immunostaining revealed a positive reaction in the proliferative cells.Discussion:Patients aged 14 and 18 monthsoldindicatedalmost similar clinical manifestations leading to LCH diagnosis, with different histopathological pictures. The first patient was presumptively diagnosedas high-risk multisystem LCH, but theinitial histopathology results did not support LCH diagnosis. On the other hand, the second patient was definitively diagnosed with high-risk multisystem LCH. Conclusion:Patientswith clinically suspected LCH without histopathological confirmation should be observed at least six months to reassess the necessity of a follow-up biopsy. Keywords: Langerhans Cell Histiocytosis, multisystem organ, histopathology, S100
Co-Authors Aina Angelina Amelinda Natania Nurasih Andreas Putra Christiawan Purba Andri Andri Anggie Sasmita Kharisma Putri Anggun Putri Yuniaswan Anugrah Putri, Deka Miftalia Aprilia, Andrea Arif Widiatmoko Ariyanta Dafa Diputra Artono Isharanto Artono Isharanto Barasabha, Thareq Berlian Anggraeni Putri Boco Pranowo, Tri Pradesa Christiawan Purba, Andreas Putra Dewi, Rose Khasana Dini Rachma Erawati Diputra, Ariyanta Dafa Djanggan Sargowo Dwi Hadi Sulistyarini Dwi Jayasa, Pande Made Dwi Jayasa, Pande Made Dwi Rosa Eka Agustina DYAH FAUZIAH, DYAH Ekasari, Dhany Prafita Ervina, Rita Eviana Norahmawati Eviana Norahmawati Fadli, Muhammad Luqman Fahmi Adhi Prasetya Fitria Mayasari frenky hardiyanto Hamka Muhammad Nasir Laitupa Hanggara, Dian Sukma Hardika, Arif Satria Harun Al Rasyid Harun Al Rasyid Harun Al Rasyid Hendy Setyo Yudhanto Herman Saputra hermanto, djoko heri Herwinda Brahmanti Herwindo Pudjo Hery Susilo Hidayat Sujuti Holipah Holipah Ihda Dian Kusuma Ihda Dian Kusuma Indrastuti Normahayu Karyono Mintaroem Kenty Wantri Anita Kenty Wantri Anita, Kenty Wantri Larasaty, Nanda Shaskia Lilasari, Sekar Puspita Lita Setyowatie Lita setyowatie Lita Setyowatie, Lita Lucky Pratama Muhammad Agung Putra Yudha Ngakan Putu Parsama Putra Nurasih, Amelinda Natania Pande Made Dwi Jayasa Pinahayu, Griesinta Trianty Andria Putra Yudha, Muhammad Agung Putri Rachma Safitri Putri, Berlian Anggraeni RA Rose Khasana Dewi Rachma Dini Erawati Rachmad Sarwo Bekti Rahmadiani, Nayla Rahmawati, Yustian Devika Safitri, Putri Rachma Setiyaningsih, Fera Yuli Shinta Okta Shinta Oktya Wardhani, Shinta Oktya Suryanti Dwi Pratiwi Suryanti Dwi Pratiwi Susanthy Djajalaksana Susilo, Hery Tazakka, Achmad Aidil Thareq Barasabha Widiatmoko, Arif Widiatmoko, Arif Yudanto, Hendy Setyo Yudhanto, Hendy Setyo Yulian, Inneke Yuniaswan, Anggun Putri Yustian Devika Rahmawati