Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA RHEUMATOID ARTHRITIS DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD Dr. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG Boby Wijaya; Nurlis Mahmud; Hetti Rusmini
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 1, No 2 (2014): Vol 1 No 2
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.229 KB) | DOI: 10.33024/.v1i2.309

Abstract

Rheumatoid arthritis merupakan salah satu penyakit sendi akibat gangguan autoimun sistemik, dan merupakan penyakit sendi kedua tersering setelahosteoarthritis. Prevalensi rheumatoid arthritis meningkat di usia pertengahan dekade 4 sampai 5. Rheumatoid arthritis lebih sering menyerang wanita dari pada pria.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prevalensi dan karakteristik penderita rheumatoid arthritis di Bagian Penyakit Dalam RSUD Dr.H.Abdoel Moeloek Bandar Lampung Periode Juni – Desember 2010Jenis penelitian ini survei desktiptif secara retrospektif, penelitian ini dilakukan di Bagian Rekam Medik RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung Periode Juni – Desember 2010 Sampel penelitian ini adalah semua pasien rheumatoid arthritis yang tercatat di rekam medik rawat jalan yang berjumlah 127 orangPrevalensi rheumatoid arthritis di Bagian Penyakit Dalam RSUD Dr.H.Abdoel Moeloek Bandar Lampung sebesar 12.5%. Karakteristik penderita rheumatoid arthritis mayoritas terdapat pada kelompok umur 44 – 50 tahun (29,1%), kebanyakan berjenis kelamin perempuan (72,4%) lebih banyak terkena dari pada laki-laki (27,6%). Nyeri sendi merupakan keluhan utama (63,0%).
ANALISIS EFEKTIVITAS PENGGUNAAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DALAM PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN Hetti Rusmini
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 2, No 4 (2015): Volume 2 Nomor 4
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (25.195 KB) | DOI: 10.33024/.v2i4.717

Abstract

Demam tifoid merupakan  penyakit  yang  disebabkan  oleh bakteri Salmonella typhi terutama menyerang bagian pencernaan. Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid. Seftriakson merupakan obat yang efektif untuk pengobatan demam tifoid dalam jangka pendek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan kloramfenikol dan seftriakson pada pengobatan demam tifoid anak.Rancangan  penelitian ini menggunakan cross-sectional  dengan sampel adalah pasien demam  tifoid  anak  yang di  rawat  inap Rumah  Sakit  Umum  Daerah  Dr.  H.  Abdul Moeloek menggunakan  data  rekam medik periode tahun 2012-2014. Sebanyak 29  pasien  diberi  pengobatan kloramfenikol dan 29 pasien diberi pengobatan seftriakson. Analisa statistik menggunakan Mann Whitney Test.Berdasarkan  hasil  penelitian  diperoleh  lama perawatan pasien yang menggunakan kloramfenikol  adalah 4,18 ± 1,25 hari  sedangkan pasien     yang   menggunakan    seftriakson    adalah 2,38 ± 0,49 hari. Hilangnya demam pada pasien yang menggunakan kloramfenikol adalah pada hari ke 2,41 ± 0,68 dan pasien yang  menggunakan  seftriakson adalah pada hari ke  1,98 ± 0,28.Analisis  efektivitas  pengobatan  demam  tifoid  anak menunjukkan bahwa seftriakson mempunyai efektivitas pengobatan yang lebih baik   dibandingkan   dengan   pengobatan   demam   tifoid   anak   menggunakan kloramfenikol.
GAMBARAN PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID SISTEMIK JANGKA PANJANG TERHADAP KEJADIAN KATARAK DI POLI MATA RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG Hetti Rusmini; Syamsiatul Ma’rifah
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 4, No 2 (2017): Volume 4 Nomor 2
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (308.775 KB) | DOI: 10.33024/.v4i2.776

Abstract

Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid alami pada manusia yang disintesin dan disekresi oleh korteks adrenal.Efek samping dari terapi kortikosteroid ini baik kortikosteroid topikal maupun sistemik dapat timbul akibat pemberian yang terus menerus terutama dalam dosis yang besar diantaranya seperti osteoporosis, katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi frekuensi pasien katarak yang memiliki riwayat penggunaan Kortikosteroid sistemik jangka panjang di Poli Mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung Februari 2016.Jenis penelitian ini menggunakan metode survey descriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 127 diambil menggunakan proportional random sampling.Hasil penelitian pada distribusi frekuensi karakteristik responden didapatkan (7,10%) responden mengalami jenis katarak Trauma, (18,9 %) responden mengalami jenis katarak yang disebabkan oleh Diabetes Melitus, (0,7 %) responden megalami katarak yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan jenis steroid, (73,3 %) responden mengalami jenis katarak yang lainnya. (31,5 %) responden menggunakan kortikosteroid, (68,5 %) responden tidak menggunakan kortikosteroid. (97,5 %). Kesimpulan: Walaupun hanya 31,5% yang menggunakan terapi kortikosteroid pada pasien katarak hal ini harus tetap diperhatikan oleh para klinisi dalam pengelolaan pasien pemakai terapi kortikosteroid jangkan panjang.
PERBANDINGAN STATUS GIZI PASIEN TB LULUH PARU DENGAN PASIEN TB TANPA LULUH PARU Hetti Rusmini; Yesi Nurmalasari; Retno Ariza Soemarwoto
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 5, No 1 (2018): Volume 5 Nomor 1
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.392 KB) | DOI: 10.33024/.v5i1.1319

Abstract

Latar belakang: Foto toraks yang menunjukkan penghancuran parenkim paru yang progresif, luas dan ireversibel akibat tuberkulosis (TB) paru disebut tuberkulosis luluh paru. Penyakit infeksi seperti TB dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan penurunan berat badan, sehingga menurunkan status gizi. Salah satu indikator gizi yang digunakan untuk mengukur status gizi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT).Metode: Penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan rancangan prospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang baru didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru dan tuberkulosis luluh paru oleh dokter spesialis paru di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Poli Paru RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo dan Klinik Paru Harum Melati Kabupaten Pringsewu. Sampel diambil menggunakan metode purposive sampling.Hasil: Dari 68 sampel yang terdiri dari 34 sampel TB luluh paru dan 34 sampel TB paru, menunjukan bahwa baik pada sampel TB luluh paru maupun TB paru paling banyak terjadi pada usia produktif (18-59 tahun) (67,6%) dan laki-laki (>60%). Kebanyakan pasien memiliki riwayat pendidikan rendah (SD >50%) dan rerata pekerjaan adalah buruh, 35,5% pada pasien TB luluh paru dan 29,4% pada pasien TB paru. Sebanyak >50% pasien mengaku pernah menjadi perokok aktif sebelum menderita penyakit TB dan >70% pasien berstatus gizi rendah dan tidak ada yang berstatus gizi lebih. Hasil dari uji analitik Independent t-test menunjukkan rerata IMT sampel TB luluh paru adalah 16,4, lebih rendah 0,9 daripada rerata IMT sampel pasien TB paru, yaitu 17,3.
Tuberkulosis Paru Dengan Pneumonia Komunitas, Paraparese Inferior, Dan Penyakit Jantung Koroner: Laporan Kasus Syazili Mustofa; Mia Esta Poetri Afdal Faisal; Retno Ariza S Soemarwoto; Hetti Rusmini; David Tongon Silaen
Jurnal Kedokteran Universitas Lampung Vol 7, No 1 (2023): JURNAL KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23960/jkunila7118-24

Abstract

Abstrak: Tuberkulosis Paru dengan Pneumonia Komunitas, Paraparesis Inferior, dan Penyakit Jantung Koroner. Pasien tuberkulosis paru dapat mengalami komplikasi kardiovaskular termasuk penyakit jantung koroner. Kondisi seperti pneumonia komunitas dan paraparesis inferior yang dicurigai akibat spondilitis tuberkulosis juga merupakan kondisi komorbid terhadap pasien tersebut. Telah dilaporkansatu kasus di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Lampung dengan keluhan utama sesak napas pada seorang perempuan berusia 37 tahun yang ditegakkan diagnosisnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diberikan penanganan baik secara farmakologis maupun nonfarmakologis, terimasuk intervensi koroner  perkutaneus. Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, Pneumonia Komunitas, Paraparesis, Penyakit Jantung Koroner.
Perbandingan Tekanan Darah Perokok Elektrik Dan Perokok Konvensional Pada Mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Malahayati Tahun 2019 I Gusti Agung Ngurah Maha Yudha; Rita Agustina; Hetti Rusmini; Fransisca Sinaga
The Indonesian Journal of General Medicine Vol. 8 No. 1 (2025): The Indonesian Journal of General Medicine
Publisher : International Medical Journal Corp. Ltd

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70070/7bqrwg89

Abstract

Latar belakang : Kehadiran rokok elektrik menyebabkan sebagian pengguna rokok konvensional yang ingin berhenti merokok beralih menggunakan rokok elektrik yang menurut masyarakat lebih aman. Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan tekanan darah perokok elektrik dan perokok konvensional pada mahasiswa kedokteran umum Universitas Malahayati. Metode : Penelitian ini adalah analitik komparatif dengan desain cross-sectional. Sampel merupakan mahasiswa kedokteran yang merokok usia 19-22 tahun. Nilai tekanan darah diperoleh dari pengukuran langsung. Uji statistik menggunakan uji perbandingan t-tes independen dengan nilai kemaknaan p<0,05 Hasil : Distribusi frekuensi usia terbanyak pada usia 20 tahun yaitu sebanyak 23 sampel (34,8%). Lama penggunaan terbanyak dengan lama penggunaan 12 bulan sebanyak 28 sampel (42,4%). Tekanan darah sistolik terbanyak pada rentang 120-139 mmHg dengan 55 (83,3%) sampel dan tekanan darah diastolik terbanyak pada rentang 80-89 mmHg dengan 42 (43,75) sampel. Uji bivariat didapatkan nilai p-value 0,007 untuk sistolik dan 0,013 untuk diastolik. Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang bermakna antara tekanan darah perokok elektrik dengan tekanan darah perokok konvensional.
Hubungan Kadar Kreatinin dengan Durasi Pengobatan HD pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Shelfi Aprilia Ningsih; Hetti Rusmini; Ratna Purwaningrum; Zulfian Zulfian
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada Vol 10 No 1 (2021): Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Akademi Keperawatan Sandi Karsa (Merger) Politeknik Sandi Karsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35816/jiskh.v10i1.581

Abstract

Introduction; One of the renal replacement therapies in kidney failure patients in hemodialysis (HD). The length of hemodialysis affects the serum creatinine level. Aim; knowing creatinine levels with the duration of HD treatment in patients with chronic renal failure. Method; retrospective analytic study with cross-sectional approach. The sample in this study was all serum of hemodialysis chronic renal failure patients recorded in medical record data. Data analysis used univariate analysis and bivariate analysis with the Spearman rho test. Result; It is known that the prevalence of serum creatinine levels in Chronic Renal Failure. Patients with the average creatinine level of respondents were 8.6 mg/dl with the lowest creatinine level was 4.4 mg/dl and the highest was 18.4 mg/dl, and the prevalence of HD treatment. hemodialysis treatment> 6 months as many as 43 respondents (82.7%). The results of the analysis of creatinine levels with HD treatment duration: p-value: 0.001; r: -0.464). Conclusion: There is a significant relationship between creatinine levels and the length of HD treatment in patients with chronic renal failure.