Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

MODEL PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) SEBAGAI ALTERNATIF MEMULIHKAN KERUGIAN NEGARA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Darmadi Djufri; Derry Angling Kesuma; Kinaria Afriani
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 2, September 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Dalam usaha mengembalikan uang pengganti perkara korupsi, kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) selaku wakil negara atau pemerintah berdasarkan kewenangan menurut undang-undang dapat melakukan tindakan hukum yang dianggap perlu antara lain adalah melakukan mediasi, negosiasi serta melakukan gugatan di pengadilan. Upaya pemulihan aset sebagai supaya pengembalian kerugian negara atas tindak pidana korupsi, dapat dilakukan dengan perampasan aset hasil korupsi melalui jalur tuntutan pidana dan melakukan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata. Kata Kunci : Pengembalian Aset, Kerugian Negara, Tindak Pidana Korupsi ABSTRACT In an effort to return the replacement money for a corruption case, the prosecutor (Public Prosecutor) as the representative of the state or government based on the authority according to the law can take legal action deemed necessary, including mediation, negotiation and litigation in court. Efforts to recover assets as an effort to recover state losses from corruption can be carried out by confiscating assets resulting from corruption through criminal prosecution and confiscating assets resulting from criminal acts of corruption through civil suit.
TELAAH NORMATIF UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI KURIR NARKOTIKA Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 25 No 1, Maret 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Meningkatnya kasus pemakaian narkoba tidak terlepas dari para gembong mafia narkoba yang melakukan berbagai cara untuk memuluskan operasi barang berbahaya itu. Cara yang efektif untuk melakukan operasinya yaitu memerintahkan seseorang dengan berupa imbalan untuk mengedarkan narkoba, atau dapat disebut dengan kurir perantara narkotika. Kurir atau perantara narkotika ini kebanyakan dipaksa, diancam oleh mafia narkoba untuk diedarkan kepada calon pembeli. Selain kurir yang dipaksa untuk melakukan peredaran narkotika, banyak juga untuk menjadi kurir tidak mesti dipaksa, bahkan banyak juga yang sukarela demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan dalam hal ini yaitu mengenai peraturan tindak pidana terhadap kurir narkotika berdasarkan undang - undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia, bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap kurir Narkotika berdasarkan undang - undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian hukum yuridis empiris. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan dan hukum yang di konsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas, serta melihat dan mengkajibagaimana aturan hukum yang ada diterapkan kepada masayarakat Dalam tulisan ini yaitu yang berkaitan dengan kurir narkotika. Peredaran gelap narkotika yang menjadikan kurir sebagai pengedarnya merupakan tindak pidana yang serius. Sanksi pidana terhadap kurir ini diatur dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk penerapan sanksi pidana terhadap kurir anak sudah diatur lebih lanjut di dalam undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Penerapan sanksi pidana terhadap pekerjaan kurir narkotika mesti terlebih dahulu melihat latar belakang keinginan melakukan pekerjaan kurir ini agar tercipta suatu keadilan bagi masyarakat.
QUO VADIS PEMBERIAN HAK RESTITUSI BAGI PEREMPUAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG, ANTARA ATURAN DAN REALITA. Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 23, No 2, September 2017
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kejahatan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yangbertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan. Itulah sebabnya perbuatan kejahatan terhadap perempuan merupakan salah satu perbuatan yang melanggar HAM sehingga diibutuhkan suatu instrumen hukum nasional tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, termasuk didalamnya kejahatan perdagangan perempuan (women trafficking). Kebijakan hukum pidana dalam melindungi hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang terdapat dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang memberi landasan hukum materiil dan formil. Hanya saja penulis ingin menelaah lebih mendalam dengan menggunakan metodelogi penelitian hukum normatif tentang sejauh mana negara memberikan perlindungan terhadap perempuan korban tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dalam hal pemberian restitusi, dan kendala apa yang kemudian menjadi halangan terhadap pemberian hak restitusi bagi perempuan korban perdagangan orang (women trafficking). Dari hasil penelusuran didapatlah jawaban bahwa penerapan pasal demi pasal dalam undang-undang No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tersebut terbantahkan dengan sendirinya, karena kurang memberikan kepastian hukum dan kekuatan mengikat pada pengimplementasinya. Ketentuan pasal 50 ayat (4) UUPTPPO menjadikan gugurnya hak perempuan korban untuk mendapatlan restitusi. Kurangnya peraturan-peraturan internal dari masing-masing instansi penegak hukum tentang petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana mengenai bagaimana petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana pengajuan restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang juga menjadi kendala terhadap pemberian hak restitusi pada perempuan korban perdagangan orang. Terdapat pula kendala diluar penerapan undang-undang, yaitu faktor pada sumber daya manusia penegak hukum , faktor pada kesadaran hukum korban. Harus ada tindakan Konkret untuk menanggulangi kejahatan perdaganagn manusia, terutama ketika perempuan yang menjadi korban. Pasal 50 ayat (4) perlu direvisi karena dirasa kurang efektif dan menimbulkan permasalahan dalam penerapan restitusi dan perlu ada aturan acara tersendiri berkenaan tentang mekanisme pemberian restitusi bagi korban.
TANGGUNGJAWAB NEGARA MELINDUNGI GURU DALAM MELAKSANAKAN TUGAS PROFESIONALNYA Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 2, September 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Guru adalah Pendidik Profesional yang tugas dan peranya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Negara selaku pemangku kewajiban dalam melindungi guru dari tindakan kriminilasi akibat melaksanakan tugas profesionalnya. Pada tataran peraturan, pemerintah telah melakukan tindakan aktif berupa pengundangan beberapa peraturan terkait tugas dan peran guru. Namun dalam taraf penegakan hukkum, masih sering ditemui guru yang berhadapan dengan hukum akibat laporan dari orang tua murid atas tindakan guru yang mendisiplinkan murid. Mahkamah Agung selaku judex juris, melalui putusan Nomor : 1554K/ Pid /2013 telah memvonisbebas guru di Majalengka yang bernama Aop Saopudin selaku terdakwa karena Mahkamah Agung menggangap apa yang dilakukanya sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/ tindakanya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin. Putusan Mahkamah Agung merupakan wujud tanggungjawab negara melalui lembaga kekuasaan kehakiman memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
KEWENANGAN PENYIDIKAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Muhammad Romadhan; Muhammad Nugraha; Aldy Sopandy; Zain Agiel Abdullah; Andreas Jona Situmorang; Derry Angling Kesuma
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): Februari
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (641.084 KB)

Abstract

AbstrakPada hakekatnya hukum diciptakan di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan kecil maupun dalam lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat keserasian, ketertiban, kepastian hukum dan lain sebagainya. Agar semua orang dapat bertingkah laku yang benar, harus ada ketentuan yang dapat dijadikan tolok ukur. Apabila terjadi perbuatan yang melanggar hukum atau menyimpang dari keserasian, ketertiban dan kedamaian dalam pergaulan hidup maka akan ada hukuman atau pidana berupa sanksi hukum bagi pelakunya. Sanksi hukum ini akan menimbulkan penderitaan baik secara fisik maupun secara mental bagi semua orang yang melakukan kejahatan, sehingga ia jera atau kapok untuk mengulangi kembali perbuatannya. Budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus terhadap korupsi dan penyuapan dapat menyebabkan korupsi sebagai hal biasa. Pelaksanaan sistem perdilan pidana, hingga saat ini belum menunjukkan kinerja secara optimal dikarenakan secara struktural tidak bersifat terpadu dalam hal konsep fungsi dan pengawasan dalam manejemen sistem peradilan/penegakan hukum tidak dalam arti luas, lemah dalam penegakan hukum sebab berkedudukan di bawah kekuasaan eksekutif (pemerintah) sehingga dalam hal-hal tertentu pelaksanaan penegakan hukum pidana mendapat pengaruh kekuasaan eksekutif dan tidak menutup kemungkinan pengaruh kekuasaan lainnya, jadi masih belum ada ketegasan mengenai perbedaan antara fungsi eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kata kunci : Penyidik, Korupsi, Tindak Pidana AbstractCriminal acts of fraud are currently growing following the times and advances in technology. Legal regulations are made to anticipate this, but the existing regulations do not seem to reduce these crimes but have increased. This study aims to: first, determine law enforcement against criminal acts of fraud based on e-commerce; and second, knowing the inhibiting factors in enforcing criminal law against criminal acts of e-commerce based fraud. The results of the study illustrate that the crime of fraud based on e-commerce is in principle the same as fraud in the conventional way, but the difference lies in the evidence or means of action, namely using electronic systems (computers, internet, telecommunication devices). Therefore law enforcement regarding this crime of fraud should still be accommodated by the Criminal Code through article 378, and to strengthen the legal basis it can also be accommodated through Article 28 paragraph (1) of Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions. As a special law (Lex Specialist Derogat Lex Generale), the ITE Law can at least become a guideline and legal basis for members of the public in their activities in cyberspace. Keywords: Law Enforcement, Transactions, Buying and Selling, Online
PERLINDUNGAN HUKUM MEREK ASING TERKENAL TERHADAP PENIRUAN MEREK YANG MENYEBABKAN PERSAINGAN CURANG MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK Riviyusnita, Rianda; Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 2 (2021): Mei
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i2.34

Abstract

Abstrak Dalam peraturan hukum nasional, pengaturan tentang merek terkenal diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2016 dimana kantor merek wajib menolak pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. Undang-undang ini sudah memberikan pengertian yang lebih rinci tentang pengertian persamaan pada pokoknya maupun pengertian tentang merek terkenal. Walaupun penilaian terhadap keterkenalan suatu merek pada akhirnya tergantung kepada penilaian hakim yang memeriksa sengketa suatu merek. Hal ini disebabkan karena kriteria yang diatur dalam undang-undang merek yang telah ada selama ini belum dianggap cukup untuk mengkategorikan apakah suatu merek terkenal atau tidak. Selain peraturan hukum nasional, perlindungan terhadap merek asing terkenal juga diatur menurut instrumen internasional seperti yang terdapat dalam (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris), (Agreement on Trade Related Aspects of International Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs), dan (World Intellectual Property Organization/WIPO). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peniruan merek terkenal, antara lain dikarenakan 1. Tidak adanya pedoman yang mutlak mengenai apa yang disebut sebagai merek terkenal, 2. Aparatur Penegak Hukum Lemah Pengetahuan Mengenai Hak Atas Merek, 3. Pihak pelaku usaha saingan yang tidak mau mengeluarkan biaya promosi mereknya. Kata kunci : Persiangan Curang, Perbuatan Melawan Hukum, Pelaku Usaha Abstract In national legal regulations, the regulation of well-known marks is regulated in Article 6 paragraph (1) letter a of Law No. 20 of 2016 where the mark office is obliged to refuse registration of a mark that has similarities in principle or in its entirety to a well-known mark belonging to another party for similar goods and/or services. This law has provided a more detailed understanding of the meaning of equality in principle as well as the notion of well-known marks. Although the assessment of the recognition of a brand ultimately depends on the judgment of the judge who examines the dispute over a trademark. This is because the criteria regulated in the existing trademark law have not been considered sufficient to categorize whether a brand is well-known or not. In addition to national legal regulations, the protection of well-known foreign marks is also regulated according to international instruments such as those contained in (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Paris Convention), (Agreement on Trade Related Aspects of International Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods). /TRIPs), and (World Intellectual Property Organization/WIPO). Factors that lead to imitation of well-known brands include: 1. There is no absolute guideline regarding what is known as a well-known brand, 2. Law Enforcement Apparatuses are Weak in Knowledge of Trademark Rights, 3. Rival business actors who do not want to issue brand promotion costs.