Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Naditira Widya

PEMUKIMAN KUNO DI DESA HAMARUNG, KECAMATAN JUAI, KABUPATEN BALANGAN, KALIMANTAN SELATAN Sunarningsih
Naditira Widya Vol. 13 No. 2 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 2 Oktober Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemukiman kuno yang ditemukan di wilayah Kalimantan pada umumnya berada di tepian aliran sungai, baik sungai besar (utama), maupun sungai kecil (anak sungai). Demikian juga yang terlihat di situs Hamarung, berada di tepi Sungai Campan, di Kalimantan Selatan. Pemukiman kuno ini sekarang berada di areal kebun karet, masyarakat sekarang tidak lagi memanfaatkannya sebagai tempat tinggal. Pemukiman yang baru pindah ke tepi jalan darat yang dibangun kemudian. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan cara bermukim masyarakat Hamarung pada masa lalu dan kronologi pemukiman kuno Hamarung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan induktif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, survei, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukiman kuno Hamarung berada di dua sisi Sungai Ninian lama yang sudah mati. Pemukiman kuno Hamarung dilengkapi dengan sebuah bangunan masjid dan kuburan muslim. Secara kronologis pemukiman kuno Hamarung dihuni pada masa Islam sampai dengan abad ke-19 Masehi. Old settlements discovered in Kalimantan are generally located on riverbanks, both on the main rivers and their tributaries. Such is on the bank of Campan River, the site of Hamarung, in South Kalimantan. The old settlement is now in a rubber plantation and no longer used by the present day community. A new settlement moved to the edge of the road that was built later. This study aims to describe how the Hamarung community settled down in the past and the chronology of the old Hamarung settlement. The method used in this research was descriptive with an inductive approach. Data collection was carried out by observation, survey, interview, and literature study. Research results indicated that the old Hamarung settlement waslocated on both sides of the old dead Ninian River. The old Hamarung settlement was complemented by a mosque and moslem cemetery. Chronologically the old Hamarung settlement was inhabited during the Islamic period up to the 19th century.
PEMUKIMAN MASYARAKAT NGAJU DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI KAHAYAN DARI ABAD KE-4 HINGGA KE-19 MASEHI Sunarningsih
Naditira Widya Vol. 12 No. 1 (2018): Naditira Widya Volume 12 Nomor 1 April Tahun 2018
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keberadaan sungai bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman sama pentingnya dengan keberadaan pantai bagi masyarakat pesisir. Salah satu masyarakat yang kehidupannya berkaitan dengan sungai adalah Ngaju, yang bertempattinggal di Sungai Barito, Sungai Kapuas, dan Sungai Kahayan. Penelitian ini akan membahas kehidupan masyarakat Ngajuyang tinggal di tepian Sungai Kahayan dan anak sungainya. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaranperubahan kehidupan mereka di bagian hulu Sungai Kahayan, dari abad ke-4 Masehi hingga abad ke-19 Masehi. Tulisanini bersifat deskriptif dengan penalaran induktif, dan menggunakan teori revolusi urban. Data arkeologi dan etnografimencerminkan perkembang luasan dan lokasi pemukiman yang berada pada tataran kedua revolusi urban. The presence of rivers for people living in the interior is as important as the presence of beaches for coastal communities. The Ngaju live along the Barito, Kapuas, and Kahayan rivers. This study discusses the life of Ngaju people on the banks of the Kahayan River and its tributaries, with the objective to understand the development of living from the 4th to 19thcenturies AD. This investigation uses descriptive-inductive approach which based on a theory of urban revolution.This data are from archaeology and ethnography, and reflect developments in settlement size and location which correspond to the second stage of an urban revolution.
SITUS JANGKUNG DAN KOMUNITAS MAANYAN Sunarningsih
Naditira Widya Vol. 10 No. 2 (2016): Naditira Widya Volume 10 Nomor 2 Oktober Tahun 2016
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situs pemukiman kuna Pulau Jangkung, Kabupaten Tabalong terletak di tepi aliran anak Sungai Tabalong, telah diteliti oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan pada tahun 2012. Keberadaan situs tersebut cukup menarik, karena letaknya yang berada di tempat yang jauh dari pemukiman sekarang, dan berada di lereng bukit dengan aliran sungai yang mengelilinginya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kapan dan siapa komunitas penghuni situs Jangkung. Olehkarena itu, artikel ini akan menggunakan data hasil penelitian tahun 2012 dan penelusuran studi pustaka untuk menjawab permasalahan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif eksplanatif dengan penalaran induktif. Data hasil penelitian akan dianalisis kembali dan disintesakan dengan dukungan data pustaka sehingga akan menghasilkan sebuah interpretasi baru. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa situs Jangkung dihuni oleh komunitas Maanyan pada masa setelah penaklukan Majapahit di wilayah Kalimantan bagian tenggara. Pulau Jangkung ancient settlement site is located on the banks of Tabalong's tributary stream which had been investigated by Balai Arkeologi Kalimantan Selatan in 2012. The existence of the site is quite interesting, because it lies at a distance from the recent settlement, on the slopes hill surrounded by the river flow. This paper aims to know the chronological site and who were Jangkung's occupants community during the past. Therefore, this paper will be using research data of 2012, and literature sources to answer the problem. The method used in this research is descriptive-explanative with inductive reasoning. Research data will be reanalyzed and synthesized with literature data support that will obtain a new interpretation. Results from the study showed that the site was inhabited by Maanyan community in the aftermath of the Majapahit conquest in the southeastern part of Kalimantan.
KERAMAT BATU (PATAHU) DI MASYARAKAT NGAJU, KALIMANTAN TENGAH Sunarningsih
Naditira Widya Vol. 9 No. 2 (2015): Naditira Widya Volume 9 Nomor 2 Oktober Tahun 2015
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masyarakat Ngaju yang tinggal di sepanjang Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas Kalimantan Tengah merupakankomunitas asli. Mereka mengenal kepercayaan Kaharingan dan masih mengadakan ritual yang berkaitan dengan daur kehidupan dan kematian. Salah satu bangunan yang dimiliki oleh setiap desa di masyarakat Ngaju adalah keramat batuatau yang biasa disebut dengan patahu. Artikel ini mengkaji tentang ragam bentuk dan fungsi, serta perubahan fungsikeramat batu di masyarakat sekarang. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan penalaran induktif. Data patahudikumpulkan melalui kegiatan survei dan wawancara. Berdasarkan hasil observasi dan analisis dapat diketahui bahwamayoritas bentuk batu yang dikeramatkan adalah batu bentukan alam, dan ada bentuk lain yang memberi petunjuk padamasuknya pengaruh luar di masyarakat. Selain itu, meskipun kepercayaaan terhadap kekuatan keramat batu tetap lestari, tetapi fungsi utama keramat batu di masyarakat telah berubah, hanya sebagai simbol penjaga desa. Ngaju communities who are living along the river banks of Kapuas and Kahajan in Central Kalimantan are indigenouse people. Some of them are adherent the Kaharingan belief and still hold rituals associated with the cycle of life and death. One of the buildings owned by each village community is a sacred stone or commonly referred to as patahu. This article attempts to learn about the various forms and functions, as well as changes in rock sacred function in today’s society. The method used is descriptive with inductive reasoning. Patahu data were collected through surveys and interviews. Based on observations and analysis, the paper shows that the majority forms of sacred stones are natural rockformations, and there are other forms that give instructions on the influx of outside influences in society. In addition, although the belief of sacred stones power remains stable, but the principal function of sacred stone in society has changed, just as the symbol of guardian villages.
DINAMIKA SANDUNG DI HULU SUNGAI KAHAYAN Sunarningsih
Naditira Widya Vol. 9 No. 1 (2015): Naditira Widya Volume 9 Nomor 1 April Tahun 2015
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan mengalir di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan bermuara di Laut Jawa. Di sepanjang DAS Kahayan ini bermukim masyarakat Ngaju yang menjadi mayoritas. Sandung merupakan bangunan kubur yang digunakan oleh masyarakat Ngaju dari dulu hingga sekarang. Tulisan ini akan membicarakan penggunaan sandung dan perubahannya pada masyarakat Ngaju di hulu DAS Kahayan. Metode yang digunakan adalah deskriptif eksplanatif. Data yang digunakan diperoleh melalui survei dan wawancara yang dilakukan pada 2013. Selain itu, juga dilakukan penelusuran terhadap data pustaka untuk membantu dalam analisis dan interpretasi. Dari data yang didapatkan dan hasil analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa perubahan terjadi pada penggunaan sandung sebagai tempat kubur sekunder oleh masyarakat Ngaju, terlihat pada letak, bentuk, pemilihan bahan, dekorasi (motif hias), dan konsep. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan tata cara hidup (bermukim), ketersediaan bahan baku di lingkungan sekitar, perubahan cara pandang masyarakat terhadap keberadaan sandung, perubahan kepercayaan keluarga si mati yang menyediakan bahan pembuatan sandung, dan perubahan tren.Kahayan watershed flows in theregion of Central Kalimantanan disembogues into the Java Sea. Along the Kahayan are settled the major communities, Ngaju. They build sandung, a secondary burial that has been used by the publicfrom the past until present. This paper discusses the use of sandung and its changes, to the Ngaju community in the watershed flows Kahayan. The method used is descriptive explanative. Meanwhile, data were obtained by archaeological survey and interview conducted by Balai Arkeologi Banjarmasin in 2013. Analysis and interpretation processes will be completed by adding data from literature. The results depict that the changes in the use of sandung as a secondary burial of Ngaju society are location, shape, material selection, decoration, and concepts. Those are caused by the changes of their living, basic materials in their surroundings, the family's belief of the dead, and trend.