Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KEDAULATAN SEMU: PRAKTIK PEMERINTAHAN NEGARA DAN DAERAH BENTUKAN BELANDA 1947-1948 Prabowo, Mohammad Rikaz; Aman, Aman
Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya Vol 16, No 1 (2022): Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya
Publisher : Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17977/um020v16i12022p18-32

Abstract

This research aims to find out the extent of the sovereignty possessed by the countries and regions formed by the Netherlands around 1947-1948, by taking the example of the Pasundan State and the Special Region of West Kalimantan (DIKB). The results of the study is 1) The Pasundan State was founded by Kertalegawa on May 4, 1947, with the support of van Mook. Kertalegawa's efforts ran aground because of the lack of support from Sundanese leaders. The Dutch again tried to establish Pasundan after West Java has controlled thanks to the Renville Agreement. This effort was successful on February 26, 1948, with the Mayor, namely R.A.A Wiranatakusumah, and Prime Minister Adil Puradiredja. The two figures were actually pro-republican, elected based on a session of the Pasundan State Parliament. 2) DIKB was formed on May 12, 1947, which was attended by van Mook, chaired by Sultan Hamid II with the assistance of five members of the Daily Governing Body and a Secretary who was held by Dutch officials. Meanwhile, the West Kalimantan Council (DKB) as parliament is also chaired by Dutch officials. The DKB consists of 40 representatives of ethnic/customary figures and self-government leaders such as the Sultan and Panembahan. 3) The State of Pasundan and DIKB are constituents of the Provisional Federal Government of the Netherlands by adopting a federal system. There was a dualism of government in which the Dutch kept their officials and employees. The State and Regions do not have authority and independence in making policies because they are not implemented 100 percent by the Indonesian people. Penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara dan daerah bentukan Belanda sekitar tahun 1947-1948, dengan mengambil contoh pada Negara Pasundan dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Penelitian menggunakan metode sejarah melalui tahapan seperti heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Berdasarkan hasil telaah didapatkan hasil penelitian sebagai berikut. 1)Negara Pasundan didirikan oleh Kertalegawa pada 4 Mei 1947 yang didukung oleh van Mook. Usaha Kertalegawa kandas karena kurangnya dukungan dari tokoh Sunda. Belanda kembali mencoba mendirikan Pasundan setelah Jawa Barat dikuasai berkat Perjanjian Renville. Usaha ini berhasil pada 26 Februari 1948 dengan Wali Negaranya yakni R.A.A Wiranatakusumah, dan Perdana Menteri  Adil Puradiredja. Kedua tokoh sebenarnya pro-republik, terpilih berdasarkan sidang Parlemen Negara Pasundan. 2)DIKB dibentuk pada 12 Mei 1947 yang dihadiri oleh van Mook, diketuai oleh Sultan Hamid II dengan dibantu oleh lima orang anggota Badan Pemerintahan Harian dan seorang Sekretaris yang dipegang oleh pejabat Belanda. Sedangkan Dewan Kalimantan Barat (DKB) sebagai parlemen juga diketuai oleh pejabat Belanda. DKB beranggotakan 40 perwakilan tokoh-tokoh etnis/adat dan pemimpin swapraja seperti Sultan dan Panembahan. 3)Negara Pasundan dan DIKB adalah konstituen dari Pemerintahan Federal Sementara Belanda dengan mengadopsi sistem federal. Terjadi dualisme pemerintahan dimana Belanda tetap mempertahankan para pejabat dan pegawainya. Negara dan Daerah tidak memiliki kewibawaan dan kemerdekaan dalam membuat kebijakan karena tidak dijalankan 100 persen oleh masyarakat Indonesia.
The Growth of Islamic Schools in Singkawang in the Colonial Era Prabowo, Mohammad Rikaz; Firmansyah, Andang; Mirzachaerulsyah, Edwin
AT-TURATS Vol 18, No 2 (2024)
Publisher : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/at-turats.v18i2.3210

Abstract

The purpose of this study is to describe the development of Islamic schools in Singkawang during the Dutch East Indies colonial era (1901-1942). This era was marked by the transformation of Islamic education from traditional to formal, which was driven by the need to integrate general subjects. Interestingly, Islamic schools were able to exist amidst the rapid growth of Catholic Mission schools and the dominance of the Chinese community in Singkawang.Based on the results of the study through historical methods with the stages of heuristics, verification, interpretation, and historiography, it shows the following. Traditional Islamic education still dominated in the early 20th century through pengajian and alim-ulama as teachers. This practice occurred in several places around Singkawang, such as in the large mosque (Jami), surau in Selakau led by H. Muhammad As'ad, Semelagi, and other Malay villages. Driven by the development of Pan-Islamism, the existence of educated natives, and the wild school ordinance, traditional Islamic education was transformed into formal schools. Islamic schools that were once established in Singkawang during this era included the Islamiyah School in the city center, Madrasah in Semelagi Besar, Semelegi Kecil, Sungai Daun, Setapuk Besar, Madrasah Diniyah Setapuk, and Ahhadiah School Sedau. The curriculum used continued to emphasize Islamic religious studies plus general subjects in the three-year Volkschool and the five-year Standaarschool. The existence of Islamic schools in this city has encouraged the birth of the national movement with the establishment of various national movement organizations.Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan perkembangan sekolah Islam di Singkawang pada era kolonialisme Hindia-Belanda (1901-1942). Era ini ditandai dengan terjadinya transformasi pendidikan Islam dari corak tradisional ke formal, yang didorong perlunya pengintegrasian pelajaran umum. Hal ini menjadi menarik bahwa sekolah Islam mampu eksis di tengah pesatnya sekolah Misi Katolik dan dominasi masyarakat Tionghoa di Singkawang. Berdasarkan hasil penelitian melalui metode sejarah dengan tahapan heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi, menunjukkan hal berikut. Pendidikan Islam tradisional masih mendominasi pada awal abad ke-20 lewat pengajian dan alim-ulama sebagai pengajarnya. Praktik ini terjadi di beberapa tempat sekitar Singkawang, seperti di masjid besar (jami’), surau di Selakau pimpinan H. Muhammad As’ad, Semelagi, dan kampung-kampung Melayu lainnya. Didorong berkembangnya paham Pan Islamisme, keberadan bumiputera terpelajar, dan ordonansi sekolah liar, pendidikan Islam bercorak tradisional itu bertransformasi menjadi sekolah formal. Sekolah Islam yang pernah berdiri di Singkawang di era ini antara lain Islamiyah School di pusat kota, Madrasah di Semelagi Besar, Semelegi Kecil, Sungai Daun, Setapuk Besar, Madrasah Diniyah Setapuk, dan Ahhadiah School Sedau. Kurikulum yang digunakan tetap menekankan pelajaran agama Islam ditambah pelajaran umum yang ada di Volkschool tiga tahun dan Standaarschool lima tahun. Keberadaan sekolah Islam di kota ini telah mendorong lahirnya pergerakan kebangsaan dengan berdirinya berbagai organisasi pergerakan nasional.
Eksistensi sarekat rakyat Pontianak, 1924-1926 Prabowo, Mohammad Rikaz
AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA Vol. 15 No. 1 (2025)
Publisher : UNIVERITAS PGRI MADIUN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25273/ajsp.v15i1.19580

Abstract

Sarekat rakyat Pontianak merupakan organisasi afiliasi PKI tahun 1924 dan hasil gabungan sarekat islam (merah) dan National Indische Partij. Penelitian bertujuan mendeskripsikan proses terbentuk, gerakan, dan berakhirnya SR Pontianak (1924-1926). Penelitian menggunakan metode sejarah melalui heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Temuan menunjukkan bahwa vakumnya SI di Kalimantan Barat 1920 mendorong aktivisnya mengembangkan SI merah yang terpengaruh komunis. Berkembang pula NIP berhaluan nasionalisme. Pada November 1924 pengurus SI merah dan NIP sepakat berfusi membentuk sarekat rakyat Pontianak berafiliasi dengan PKI pimpinan Gusti Sulung Lelanang. SR Pontianak menggunakan agitasi dan propaganda melalui penerbitan surat kabar berhaluan kiri. Gunanya menyadarkan rakyat dan sarana kritik terhadap penguasa kolonial. Surat kabar tersebut, yakni warta Borneo (1924), halilintar-Hindia (1924), dan Berani (1925). Organisasi ini juga mendirikan klub debat serta mengirimkan kader ke daerah untuk memperluas pengaruh. Aktivitas SR Pontianak yang dianggap radikal mendorong pemerintah kolonial melakukan pelarangan terbit surat kabar dan hak berserikat. Momentum perlawanan PKI 1926-1927 di Banten dan Sumatera Barat turut mempengaruhi eksistensinya. Langkah preventifnya adalah aparat kolonial menangkap pengurus kemudian diasingkan ke Boven Digul.
Dari Kota Tradisional Menjadi Kota Kolonial: Dinamika Perkembangan Kota Singkawang pada Awal Abad XX Firmansyah, Andang; Mirzachaerulsyah, Edwin; Prabowo, Mohammad Rikaz
Fajar Historia: Jurnal Ilmu Sejarah dan Pendidikan Vol 9 No 2 (2025): Agustus
Publisher : Universitas Hamzanwadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29408/fhs.v9i2.28100

Abstract

This study aims to examine the dynamics of Singkawang City's development in the 20th century. This development was marked by the growth of various urban infrastructures that supported the economy and population mobility, causing the city to transform from a traditional city into a colonial city. This study employs a qualitative method using literature review, drawing on written sources such as books, journal articles, and various studies previously conducted that are related to Singkawang City. The findings of this study indicate that the transformation of Singkawang City from a traditional city to a colonial city was marked by the Dutch beginning to build infrastructure, establish administrative governance, and implement policies within the city. The growth of Catholic missionaries during this period also brought changes to Singkawang City, particularly in the fields of education and health, as they helped build various facilities such as Catholic churches, schools, and hospitals. The transition from a traditional city to a colonial one did not erase the multicultural identity of Singkawang's society, as the changes occurred primarily in infrastructure and government administration.
Perjuangan Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan dalam Perang Melawi Tahun 1867-1875 Tiningsih, Alpi Wahyu; Firmansyah, Andang; Prabowo, Mohammad Rikaz
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 10, No 1 (2025): February 2025, Disaster and Disease in History
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jimps.v10i1.34109

Abstract

Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan merupakan seorang Pahlawan Nasional yang berasal dari Kalimantan Barat. Abdul Kadir merupakan pemimpin dalam peristiwa Perang Melawi dalam perlawanan antara Pasukan Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah tentang perjuangan tokoh Pahlawan Nasional serta penyebab dan dampak dalam peristiwa Perang Melawi tahun 1867-1875. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari Pemilihan Topik, Heuristik, Verifikasi, Interpretasi, dan Historiografi. Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan metode pengumpulan data Penelitian Perpustakaan (pustaka). Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan Sosiologis dan Politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Abdul Kadir merupakan salah seorang pejuang yang tidak ingin Belanda ikut campur dalam wilayah kekuasaannya. Perlawanan yang terjadi di Melawi tersebut dicatat dalam Ensiklopedi Nederlandsch-Indie . Penyebab awal terjadinya perang tersebut didasari oleh kebijakan-kebijakan yang terdapat di Kesultanan Sintang di Wilayah Melawi perlahan berubah seiring dengan adanya keterlibatan Belanda. Hal tersebut pada akhirnya membawa dampak berkepanjangan yang dirasakan oleh rakyat maupun pihak Kesultanan dari bidang sosial, politik, hingga ekonomi.
Analisis Penerapan Literasi pada Pembelajaran Sejarah Peserta Didik SMA Negeri 1 Siantan Khairudin, Boy Zikri Imam; Ulfah, Maria; Prabowo, Mohammad Rikaz
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 10, No 1 (2025): February 2025, Disaster and Disease in History
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jimps.v10i1.34116

Abstract

Literasi dalam pendidikan sejarah sangat penting untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis siswa, memungkinkan mereka untuk memahami konteks sejarah, penyebab, akibat, dan dampak di luar menghafal fakta. Literasi membantu siswa mengidentifikasi sumber sejarah yang kredibel dan menavigasi informasi yang melimpah di era digital, di mana keakuratannya tidak selalu terjamin. Studi kualitatif ini, yang menggunakan metode deskriptif, mengumpulkan data melalui wawancara dengan guru sejarah kelas X, siswa, dan Wakil Kepala Sekolah Kurikulum di SMA Negeri 1 Siantan, serta observasi dan dokumentasi. Analisis data meliputi reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan, dengan validitas yang dipastikan melalui teknik triangulasi. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa: 1) Perencanaan oleh guru sejarah meliputi penyusunan modul pengajaran, media, materi, dan tugas dalam Bentuk Lembar Kerja Siswa (LKPD). 2) Pelaksanaan mengikuti langkah-langkah terstrukturpembukaan, kegiatan inti, dan penutupyang menggabungkan kegiatan literasi seperti membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. 3) Tantangan meliputi keterbatasan buku teks dan alat bantu pembelajaran bagi guru, sementara siswa menghadapi motivasi rendah dan masalah akses internet saat terlibat dengan sumber literasi digital.