Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Iktiosis Harlequin di Manado - Laporan Kasus Sengkey, Triomega F. X.; Adji, Aryani; Kapantow, Grace M. 3Johny Rompis; Rompis, Johny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.1.2018.19004

Abstract

Abstract: Harlequin ichthyosis is a severe autosomal recessive congenital ichthyosis (ARCI) due to mutation of ABCA12 gene, resulting defects in lamellar granules of stratum granulosum and extracellular lipid of the skin. It is rarely found and patients generally die a few days after birth. Harlequin ichthyosis is characterized by thickened stratum corneum separated by reddish fissures forming a geometric Harlequin pattern, impaired formation of ears, ectropion, and eclabium. Skin hydration and lubrication are recommended. Administration of systemic retinoid (acitretin 1mg/kg/day) may increase life expectancy. We reported the third Harlequin ichthyosis case since 1994 in Manado. A full-term, 2-day old baby, came with yellowish black crust on most of the body surface area since birth. Physical examination showed severely ill condition, generalized yellowish black hyperkeratosis, and fissures, auricle hypoplasia, ectropion, and eclabium. Diagnosis was based on specific clinical features. The patient was nursed in the incubator with NGT inserted, given amoxicillin 3x50mg IV drip, emollient (pseudoceramide, phytosterols, stearic acid, vegetable oil, squalene, and Zn oxide), fusidic acid cream, and NaCl 0.9% dressing. Chloramphenicol eye ointment 2xapp/day and artificial tear drops 1 drop/hour. The prognosis was poor and the patient died on the 7th day of treatment (aged 8 days) due to sepsis. Conclusion: A Harlequin ichtyosis case was diagnosed based on the specific clinical features. Management was not optimal due to the difficulties in maintaining peripheral venous system access for the provision of systemic therapy, nutrition, and laboratory examination. Moreover, the unavailability of acitretin worsened the prognosis.Keywords: Harlequin ichtyosisAbstrak: Iktiosis Harlequin adalah tipe autosomal recessive congenital ichthyosis (ARCI) yang berat akibat mutasi gen ABCA12 sehingga tidak terbentuk badan lamelar pada stratum granulosum dan hilangnya lamela lipid ekstrasel. Penyakit ini sangat jarang ditemukan dan umumnya pasien meninggal beberapa hari setelah kelahiran. Gambaran klinis berupa lempengan stratum korneum tebal yang dipisahkan oleh fisura kemerahan membentuk pola geometrik, gangguan pembentukan telinga, ektropion. dan eklabium. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas. Penatalaksanaan umumnya simtomatis terutama hidrasi dan lubrikasi. Retinoid sistemik (acitretin 1mg/kgBB/hari) dapat meningkatkan harapan hidup. Kami melaporkan kasus iktiosis Harlequin ketiga sejak tahun 1994 di Manado. Seorang bayi aterm usia 2 hari dikonsul dari Bagian Anak dengan kulit berkerak hitam kekuningan pada hampir seluruh tubuh sejak lahir. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit berat, ditemukan hiperkeratosis hitam kekuningan, fisura, hipoplasi aurikula, ektropion, dan eklabium. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas. Pasien dirawat dalam inkubator dan pemberian nutrisi melalui NGT. Terapi yang diberikan amoksisilin drip 3x50mg (0,5ml)/hari, emolien (pseudoceramide, phytosterol, stearic acid, vegetable oil, squalene, Zn oxide) 2xoles/hari, krim asam fusidat 2xoles/hari, kompres NaCl 0,9% 2x30menit/hari. Pada mata diberikan salep kloramfenikol 2xoles/hari dan airmata artifisial 1 tetes/jam. Prognosis quo ad vitam, quo ad functionam, quo ad sanationam malam. Pasien meninggal pada hari perawatan ke 7 (usia bayi 8 hari) karena sepsis. Simpulan: Kasus iktiosis Harlequin dengan diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas. Penanganan pada kasus ini tidak maksimal karena hambatan akses vena perifer untuk pemberian terapi sistemik, nutrisi, dan pemeriksaan laboratorium, serta ketidaktersediaan acitretin yang memperburuk prognosis.Kata kunci: iktiosis Harlequin
Retrospective Study: Management of Atopic Dermatitis Adji, Aryani; Cahyadi, Alexandro Ivan
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 35 No. 2 (2023): AUGUST
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V35.2.2023.116-125

Abstract

Background: Atopic dermatitis (AD) is a chronic skin inflammatory disease characterized by mild to severe itching, relapses, and mostly appears in infants and children. Although there have been current advances in the management of AD, satisfactory treatment has not been achieved. Purpose: To evaluate the treatment of patients with AD in order to provide better management. Methods: A retrospective study of newly diagnosed AD patients at the Allergy and Immunology Division of the Outpatient Unit, Dermatology and Venereology Clinic, Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital Manado from 2019-2021. Result: Antihistamines were the most widely prescribed medication, administered to 108 patients of all patients' visits, and 94 (87%) of them were given cetirizine (the most widely prescribed type). Emollients were used adequately; they included petroleum jelly in 82 patients (90.1%) and urea 10% cream  in 9 patients (9.9%). Conclusion: There were 108 AD patients in Dermatology and Venereology Clinic, Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital Manado from 2019-2021. Treatment with antihistamine and emollient therapy gave satisfactory results.
Vaksin Tungau Debu Rumah: Terobosan Baru untuk Mengatasi Tantangan Dermatitis Atopik Adji, Aryani; Niode, Nurdjannah J.; Wijaya, Lorettha; Putri, Devita
Bahasa Indonesia Vol 23 No 2 (2024): Damianus Journal of Medicine
Publisher : Atma Jaya Catholic University of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/djm.v23i2.3830

Abstract

Pendahuluan: Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronis yang sering dikaitkan dengan alergen tungau debu rumah (TDR), terutama Dermatophagoides pteronyssinus. Penatalaksanaan saat ini belum memadai untuk memberikan perlindungan jangka panjang. Tujuan: Tinjauan ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi vaksin TDR sebagai terobosan baru dalam pengelolaan DA. Metode: Artikel ini disusun melalui telaah literatur dari jurnal, buku, dan dokumen relevan lainnya yang membahas DA, imunoterapi, dan vaksinasi terkait. Data dianalisis secara komprehensif untuk mendukung kesimpulan. Diskusi: Disfungsi sawar kulit dan respons imun yang dimediasi IgE adalah faktor utama dalam pathogenesis DA. Vaksinasi berbasis epitope TDR menawarkan peluang untuk pencegahan dengan efektivitas tinggi. Studi in sillico menunjukkan hasil menjanjikan, namun validasi lebih lanjut secara in vitro dan in vivo diperlukan. Pengembangan vaksin TDR multi-epitop dapat menjadi alternatif jangka panjang untuk DA. Simpulan: Vaksinasi TDR memiliki potensi besar sebagai strategi pencegahan primer untuk DA, namun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk penerapan klinis.
SATU KASUS NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK PADA ANAK DIDUGA AKIBAT OBAT TRADISIONAL Putri, Devita; Adji, Aryani; Mamuaja, Enricco Hendra; Mawu, Ferra Olivia
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 1 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i1.502

Abstract

Pendahuluan: Nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas. Kasus NET pada anak jarang terjadi, sekitar 0,4-1,2 juta per tahun. Sebagian besar kasus (60-90%) dipicu oleh obat, dan sebagian lainnya oleh infeksi virus atau bakteri. Tata laksana utama adalah menghentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab dan terapi suportif. Prognosis kasus ini dinilai dengan Pediatric SCORTEN secara berkala. Kasus: Perempuan usia 13 bulan, mengalami ruam merah, lepuh, dan kulit mengelupas setelah mengonsumsi obat tradisional berbahan kulit kayu eboni, daun sirsak, dan daun mangga. Pemeriksaan fisik menunjukkan lesi makula eritematosa-hiperpigmentasi, multipel, bula multipel berdinding kendur, erosi, epidermolisis, dan tanda Nikolsky positif. Diagnosis NET ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien mendapatkan terapi sistemik dan topikal dengan hasil perbaikan klinis signifikan setelah 20 hari. Diskusi: Obat tradisional mengandung komponen bioaktif yang diduga memicu NET, namun infeksi virus belum dapat disingkirkan sebagai penyebab. Kesimpulan: Telah dilaporkan satu kasus pada NET pada anak diduga akibat obat tradisional yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Meskipun jarang, obat tradisional perlu diwaspadai sebagai pencetus NET.