Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PERMOHONAN PRAPERADILAN OLEH TERSANGKA YANG BERSTATUS DAFTAR PENCARIAN ORANG DENGAN OBJEK PENETAPAN TERSANGKA Ersa Maulida Sari; Anang Shophan Tornado
Al Qisthas Jurnal Hukum dan Politik Vol. 15 No. 1 (2024): Januari-Juni 2024
Publisher : Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewenangannya yang terdapat pada putusan No. 21/PUU-XII/2014 untuk menambah beberapa hal dalam pengajuan praperadilan yaitu memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penetapan sebagai tersangka dan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan Seorang tersangka yang namanya tercantum dalam (DPO) dalam mengajukan praperadilan, jika dilihat dan berkaca pada KUHAP maka berhak mengajukan praperadilan. Hal ini didasarkan bahwa setiap tersangka berhak mengajukan praperadilan berdasarkan KUHAP tanpa mempermasalahkan tersangka tersebut dalam penahanan ataukah sedang dalam status DPO. Sehingga Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau sedang dalam status DPO. Dengan diterbitkannya aturan mengenai SEMA Nomor 1 Tahun 2018 tersebut tentu saja menjadi konflik norma antara KUHAP dan SEMA serta terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap tersangka khususnya tersangka yang termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) tersebut.
Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dengan Sistem Penjualan Pra-Pembangunan (Pre-Selling Project) Properti Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Mairiska Alya Saraswati; Anang Shophan Tornado
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 3 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i3.1734

Abstract

Penjualan properti dengan sistem pra-pembangunan telah menjadi praktik yang umum namun belum diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji regulasi hukum terhadap kewajiban penggunaan rekening bersama (escrow account) dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sistem pra-pembangunan dan menganalisis akibat hukum apabila mekanisme tersebut tidak diterapkan. Metode yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif dengan teknik studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur hukum yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum positif yang secara tegas mewajibkan penggunaan escrow account dalam transaksi pra-pembangunan, sehingga dana konsumen tidak terlindungi secara maksimal apabila terjadi wanprestasi dari pihak pengembang. Implikasi dari temuan ini menekankan perlunya pembentukan regulasi bersifat imperatif terkait escrow account sebagai mekanisme perlindungan hukum preventif dalam kontrak jual beli properti, guna memperkuat posisi konsumen dan meningkatkan transparansi dalam industri properti nasional.
Asas Keseimbangan Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Perumahan Marisa Humaira; Anang Shophan Tornado
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 4 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i4.1812

Abstract

Peningkatan kebutuhan perumahan di Indonesia menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan berkelanjutan, terutama akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan keterbatasan lahan. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran notaris dalam mewujudkan asas keseimbangan pada pembuatan Akta PPJB, mengidentifikasi hambatan yang dihadapi dalam praktik, dan merumuskan strategi penguatan perlindungan hukum bagi para pihak. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan analisis kualitatif berbasis kajian literatur, doktrin hukum, regulasi, dan praktik terbaik internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan asas keseimbangan sangat bergantung pada peran aktif notaris dalam memverifikasi keadilan klausul perjanjian, memberikan penyuluhan hukum, serta memastikan adanya kesetaraan hak dan kewajiban. Namun, tantangan seperti dominasi pengembang, lemahnya literasi hukum konsumen, dan keterbatasan pengawasan regulasi seringkali menghambat penerapannya. Oleh karena itu, diperlukan penguatan regulasi, peningkatan kompetensi notaris, dan reformasi sistem perlindungan konsumen untuk menciptakan ekosistem transaksi perumahan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
The Authority of Prosecutors to Seize Assets in Corruption Cases Agung Pamungkas; Achmad Faisal; Anang Shophan Tornado
International Journal of Sociology and Law Vol. 2 No. 3 (2025): August : International Journal of Sociology and Law
Publisher : Asosiasi Penelitian dan Pengajar Ilmu Hukum Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62951/ijsl.v2i3.792

Abstract

Corruption is an extraordinary crime that not only causes massive state financial losses but also impedes national development. Efforts to eradicate corruption are insufficient if limited to the imprisonment of perpetrators; they must be accompanied by state asset recovery. The prosecutor, as the dominus litis in the criminal justice sistem, plays a central role in the process of seizing assets derived from corruption. This research aims to analyze the authority of prosecutors to seize assets in corruption cases, identify the obstacles encountered, and formulate solutions to optimize the exercise of this authority. The research method employed is normative juridical, utilizing a statutory approach and a case approach. The findings indicate that prosecutors have a strong legal basis for asset seizure, as stipulated in the Criminal Procedure Code (KUHAP), the Anti-Corruption Law, and other relevant regulations. However, in practice, prosecutors face various obstacles, both juridical, such as legal loopholes in the evidentiary process, and non-juridical, such as the complex modus operandi of perpetrators in concealing assets, slow inter-agency coordination, and challenges in tracing assets located abroad. Therefore, it is imperative to strengthen the regulatory framework through the enactment of the Asset Forfeiture Bill, enhance the capacity and integrity of prosecutors, and bolster international cooperation to maximize the recovery of state losses.