Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Kemenag RI selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran untuk perbaikan terjemahan. Sebuah terjemahan tidak pernah mewakili Al-Qur’an, namun terjemahan dalam hal ini dilakukan dengan tujuan mempermudah masyarakat untuk mengetahui isi Al-Qur’an. Kritik terhadap terjemahan Al-Qur’an muncul dari berbagai pihak, termasuk Buya Syakur yang mengkritik Al-Qur’an dan Terjemahannya edisi 2019 dengan disiarkan melalui kanal YouTube. Ia sebagai pakar linguistik mengkritik terjemahan lafaz basmalah sebagai sampel atas kesalahan terjemahan yang diterbitkan Kemenag. Dalam hal ini, penulis akan mengkaji konstruksi kritik Buya Syakur pada saat melontarkan kritik terhadap terjemahan Al-Qur’an Kemenag. Penelitian ini mengandalkan tiga video dari kanal YouTube, dengan masing-masing durasi sepanjang 1:36:25, 7:31, dan 5:03. Untuk memahami konstruksi kritik terjemah Buya Syakur, penulis akan menggunakan hermeneutika Schleiermacher sebagai pisau analisis. Dalam hermeneutika Schleiermacher, proses interpretasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu interpretasi gramatika dan interpretasi psikologis. Kajian ini mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa Buya Syakur yang sederhana namun kritis tidak terlepas dari karakteristik pemikirannya yang analitis, kritis dan sistematis. Buya Syakur telah memberikan kontribusi terhadap kajian Al-Qur’an dan Terjemahannya edisi penyempurnaan 2019. Meskipun terdapat miskonsepsi antara kritik Buya Syakur dan penerjemahan Al-Qur’an Kemenag edisi 2019.