BUDAYA SILEK MINANGKABAU PADA FILM “SURAU DAN SILEK”.Pudarnya nilai budaya silek Minangkabau disebabkan oleh faktor internal dan eksternal dalam masyarakat tersebut. Faktor eksternal yang memengaruhi melibatkan lupa akan tradisi, yang tercermin dalam pandangan bahwa budaya silek semakin tertinggal dari perkembangan zaman dan kemajuan pemikiran. Di sisi lain, faktor internal melibatkan kesulitan menemukan guru silek dengan pemahaman mendalam dan pengetahuan yang matang, serta menurunnya minat generasi muda Minangkabau terhadap budaya ini. Arif Malinmudo menggambarkan nilai-nilai silek tersebut dalam film "Surau dan Silek," yang menyoroti unsur-unsur seperti salat, selawat, dan silek itu sendiri. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan representasi nilai budaya silek dalam film tersebut berdasarkan teori budaya J.J. Hoeningman, yang mencakup gagasan (ideologi), aktivitas (tindakan), dan artefak (karya). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui teknik dokumentasi, serta menganalisis data dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian mencakup tiga aspek utama. Pertama, nilai ideologi yang terkandung dalam film melibatkan salat selawat dan silek sebagai nilai inti silek, dengan beberapa inti silek, banyak nasihat silek, dan pesan penulis. Kedua, aktivitas silek yang ditampilkan dalam film mencakup latihan dasar, latihan silek lebih mendalam, beberapa perguruan silek, dan adanya pertandingan silek. Ketiga, artefak silek yang muncul dalam film termasuk baju silek anak-anak, baju silek dewasa, dan kurambik sebagai senjata. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi audiovisual, terutama nilai budaya silek Minangkabau, yang perlu dilestarikan dan dipelajari dari satu generasi ke generasi berikutnya.