Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Perjanjian Kerja Laut Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Di Indonesia Andi Takdir Djufri
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Volume 1 Nomor 4 Juli 2020
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v2i3.18589

Abstract

AbstrakBerdasarkan Pasal 1 ayat 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian buruh dikenal dengan istilah perjanjian kerja bersama yaitu perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara seorang pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Penelitian ini menggunakan penelitian pustaka dengan pertimbangan karena banyaknya masalah tentang awak kapal yang tidak menerima hak sesuai yang diperjanjikan. Dengan adanya landasan perjanjian perburuhan atau kesepakatan kerja bersama merupakan salah satu sarana untuk terciptanya hubungan industrial pancasila yang menciptakan hubungan yang penuh dengan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya yang kesemuanya itu bisa dipakai sebagai modal untuk meningkatkan produktifitas yang akhirnya diharapkan bisa menjamin kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Dalam pengoperasian kapal laut, ditegaskan bahwa kapal harus dalam keadaan laiklaut dan diawaki oleh sejumlah Awak Kapal yang telah memenuhi persyaratan untuk berlayar.Kata Kunci: Tenaga Kerja, Laut, Perjanjian Kerja. AbstractBased on Article 1 paragraph 21 of Law Number 13 Year 2003 concerning Manpower, a labor agreement is known as a collective labor agreement, namely an agreement which is the result of negotiations between a worker/laborer union registered with the agency responsible for the manpower sector with employers' associations which contain the terms of employment, rights and obligations of both parties. This study uses literature research with the consideration that there are many problems about ship crews who do not receive the rights as promised. With the basis of a labor agreement or collective labor agreement is one of the means for the creation of Pancasila industrial relations which creates a relationship that is full of harmony and balance between the two, all of which can be used as capital to increase productivity which is ultimately expected to guarantee welfare, health, and work safety. In the operation of ships, it is emphasized that the ship must be in a seaworthy condition and manned by a number of crew members who have met the requirements to sail.Keywords: Labor, Sea, Work Agreement.
METODE SAD/FATH AZ ZARIAH DALAM PEMAHAMAN HUKUM ISLAM Andi Takdir Djufri; Abdul Halim Talli; Saleh Ridwan
El-Iqthisadi Vol 7 No 1 (2025): Juni
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i1.58777

Abstract

Abstrak: Tulisan ini membahas metode Sad/Fath Az-Zariah dalam pemahaman hukum Islam yang berperan penting dalam penerapan Ushul Fiqh untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer. Sad Az-Zariah bertujuan untuk menutup jalan yang dapat mengarah pada kerusakan, sementara Fath Az-Zariah membuka jalan untuk kemaslahatan dengan mendukung perbuatan yang membawa kebaikan. Penelitian ini menyelidiki keduanya dalam konteks perdebatan mazhab klasik, seperti Mazhab Maliki dan Hanbali yang menerima penuh, serta Mazhab Hanafi dan Syafi'i yang lebih selektif. Perbandingan dengan metode ijtihad lain, seperti Qiyas, Istihsan, dan Maslahah Mursalah, menunjukkan peran Sad/Fath Az-Zariah dalam melindungi Maqashid Syariah—memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Penerapan kedua metode ini dalam isu-isu kontemporer, seperti ekonomi syariah, kesehatan, dan sosial, menunjukkan relevansi dan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi tantangan zaman. Ke depannya, disarankan untuk mendorong kolaborasi lintas disiplin dalam penerapan metode ini untuk menghasilkan fatwa yang lebih komprehensif dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Kata Kunci: ad Az-Zariah, Fath Az-Zariah, Ushul Fiqh, Maqashid Syariah, Ijtihad   Abstract: This article discusses the Sad/Fath Az-Zariah method in understanding Islamic law which plays an important role in the application of Ushul Fiqh to overcome contemporary problems. Sad Az-Zariah aims to close paths that can lead to damage, while Fath Az-Zariah opens paths for benefit by supporting actions that bring goodness. This research investigates both in the context of debates between classical schools of thought, such as the Maliki and Hanbali schools which fully accept them, as well as the more selective Hanafi and Shafi'i schools. Comparison with other ijtihad methods, such as Qiyas, Istihsan, and Maslahah Murlahah, shows the role of Sad/Fath Az-Zariah in protecting Maqashid Syariah—protecting religion, soul, mind, descendants, and property. The application of these two methods to contemporary issues, such as sharia economics, health and social affairs, shows the relevance and flexibility of Islamic law in facing the challenges of the times. In the future, it is recommended to encourage cross-disciplinary collaboration in the application of this method to produce fatwas that are more comprehensive and acceptable to the wider community. Keywords: ad Az-Zariah, Fath Az-Zariah, Usul Fiqh, Maqashid Syariah, Ijtihad
PENGELOLAAN ZAKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM KONTEMPORER Andi Takdir Djufri; Hamzah Hasan; Abdul Wahid Haddade
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 No 4 (2025): Juli
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v6i4.58780

Abstract

Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis konsep pengelolaan zakat dalam hukum Islam klasik, mengevaluasi model kontemporer, serta mengkaji isu-isu hukum dan solusi syariah dalam konteks dinamika sosial-ekonomi modern. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan multidisipliner dengan analisis teks fiqh klasik, fatwa kontemporer, studi kasus lembaga zakat global, dan data empiris terkini. Pendekatan maqasid al-shariah dan teori taysir (kemudahan) menjadi kerangka analisis utama. penelitian ini menemukan bahwa, prinsip keadilan distributif (QS. At-Taubah: 60) dan sistem Baitul Mal tetap relevan, tetapi memerlukan reinterpretasi untuk menjawab kompleksitas modern, seperti perluasan objek zakat (aset digital, saham) dan redefinisi asnaf (pengungsi, urban poor). Sinergi tridaya (negara, swasta, komunitas) terbukti optimal: negara sebagai regulator, lembaga swasta sebagai inovator, dan komunitas sebagai jaring pengaman berbasis lokal. Prinsip amanah (QS. An-Nisa: 58) menuntut sistem pengawasan hybrid (syariah-audit keuangan) dan sanksi progresif (pidana hingga restorative justice). Dengan demikian, zakat berpotensi menjadi instrumen transformatif pengentasan kemiskinan global jika dikelola dengan integritas syar’i, adaptasi teknologi, dan kolaborasi antarlembaga. Rekomendasi kebijakan mencakup harmonisasi regulasi internasional, sertifikasi amil berbasis kompetensi, dan pemberdayaan berbasis data. Kata Kunci: Zakat, Hukum Islam, Kontemporer.   Abstract This study aims to analyze the concept of zakat management in classical Islamic law, evaluate contemporary models, and examine legal issues and sharia solutions in the context of modern socio-economic dynamics. This qualitative study uses a multidisciplinary approach with analysis of classical fiqh texts, contemporary fatwas, case studies of global zakat institutions, and current empirical data. The maqasid al-shariah approach and the theory of taysir (ease) are the main analytical frameworks. This study found that the principle of distributive justice (QS. At-Taubah: 60) and the Baitul Mal system remain relevant, but require reinterpretation to address modern complexities, such as the expansion of zakat objects (digital assets, stocks) and the redefinition of asnaf (refugees, urban poor). The synergy of tridaya (state, private sector, community) has proven optimal: the state as a regulator, private institutions as innovators, and the community as a locally-based safety net. The principle of amanah (QS. An-Nisa: 58) demands a hybrid supervision system (sharia-financial audit) and progressive sanctions (criminal to restorative justice). Thus, zakat has the potential to become a transformative instrument for global poverty alleviation if managed with sharia integrity, technological adaptation, and inter-institutional collaboration. Policy recommendations include harmonization of international regulations, competency-based amil certification, and data-based empowerment. Keywords: Zakat, Islamic Law, Contemporary.
HUKUM ISLAM BIDANG POLITIK (SIYASAH) DI INDONESIA Andi Takdir Djufri; Jamiat Akadol; Andi Akmal
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 7 No 1 (2025): Oktober
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v7i1.58781

Abstract

Abstrak Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menghadapi tantangan unik dalam mengintegrasikan prinsip politik Islam (Siyasa Syar’iyyah) ke dalam sistem hukum sekuler berbasis Pancasila. Makalah ini menganalisis rekonstruksi hukum Islam bidang politik (Siyasa) dalam konteks ketatanegaraan Indonesia melalui pendekatan kualitatif yang menggabungkan analisis teks normatif Islam (Al-Qur’an, Hadis, karya ulama klasik). Temuan penelitian menunjukkan bahwa Siyasa di Indonesia tidak diwujudkan melalui formalisasi syariat secara legalistik, melainkan melalui adaptasi nilai-nilai etis Islam ke dalam kebijakan publik, desentralisasi kekuasaan, dan partisipasi politik. Partai Islam dan otonomi daerah menjadi instrumen utama artikulasi Siyasa, sementara lembaga seperti pesantren berperan dalam mendamaikan prinsip agama dengan identitas kebangsaan. Studi ini menyimpulkan bahwa pendekatan kultural—seperti penguatan etika politik berbasis maqashid al-shariah (tujuan syariah) dan dialog inklusif—lebih efektif dalam memperkaya demokrasi Indonesia daripada model formalisasi hukum agama. Dengan kerangka teori legal pluralism dan post-secularism, makalah ini menegaskan bahwa integrasi Siyasa ke dalam sistem nasional harus memprioritaskan kemaslahatan publik, keadilan sosial, dan kohesi bangsa, tanpa mengabaikan karakter pluralistik Indonesia. Kata Kunci: Hukum Islam, Politik (Siayasah), Indonesia   Abstract Indonesia, as the world's most populous Muslim nation, faces unique challenges in integrating Islamic political principles (Siyasa Syar'iyyah) into a secular legal system based on Pancasila. This paper analyzes the reconstruction of Islamic political law (Siyasa) in the context of Indonesian constitutional law through a qualitative approach that combines analysis of Islamic normative texts (the Qur'an, Hadith, and works of classical Islamic scholars). The research findings indicate that Siyasa in Indonesia is not realized through the legalistic formalization of Sharia, but rather through the adaptation of Islamic ethical values into public policy, decentralization of power, and political participation. Islamic parties and regional autonomy are the primary instruments for the articulation of Siyasa, while institutions such as Islamic boarding schools (pesantren) play a role in reconciling religious principles with national identity. This study concludes that cultural approaches—such as strengthening political ethics based on the maqasid al-shariah (the objectives of Sharia) and inclusive dialogue—are more effective in enriching Indonesian democracy than the formalization of religious law. Within the theoretical framework of legal pluralism and post-secularism, this paper asserts that the integration of Siyasa into the national system must prioritize public welfare, social justice, and national cohesion, without neglecting Indonesia's pluralistic character. Keywords: Islamic Law, Politics (Siyasa), Indonesia
VARIAN TEKSTUAL BAB AN-NIKĀḤ DAN REKONSTRUKSI METODE ISTIDLĀL USHUL FIQH ABAD XIX Andi Takdir Djufri; Muammar Muhammad Bakry; Abdul Rauf Muhammad Amin
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.58779

Abstract

Abstrak Lonjakan kajian kritis terhadap manuskrip fikih belum sepenuhnya menyingkap bagaimana varian tekstual perbedaan kata, ejaan, dan riwayat, pada Bab an-Nikāḥ mempengaruhi bangunan argumentasi hukum Islam. Artikel ini bertolak dari pertanyaan utama: bagaimana ulama Ushul Fiqh abad XIX mengelola varian tekstual tersebut melalui metode istidlāl guna menjaga koherensi syariat dan relevansi sosial? Dengan rancangan penelitian kepustakaan kritis, data diambil dari kolasi tujuh manuskrip nikāḥ abad XVIII–XIX, edisi cetak awal, serta risalah reformis Muhammad ʿAbduh dan Sayyid Aḥmad Khān; seluruhnya dianalisis secara filologis, kodikologis, dan hermeneutik-historis. Hasilnya menunjukkan, pertama, empat pola varian (leksikal, gramatikal, redaksional, dan komentar marginalia) berpotensi memicu divergensi hukum mahar, wali, dan ṭalāq. Kedua, para fuqahā abad XIX menata ulang istidlāl klasik dengan memadukan tarjih berbasis kekuatan sanad, maqāṣid al-sharīʿah untuk menimbang maslahat, serta teknik takhayyur-talfiq guna merespons realitas kolonial dan modernitas; pola ini membentuk “kerangka istidlāl adaptif” yang menegaskan legalitas varian tanpa meniadakan otoritas mazhab. Temuan ini mengisi kekosongan literatur tentang hubungan naskah, metode, dan reformasi hukum, serta menawarkan model konseptual yang dapat diadopsi lembaga fatwa kontemporer untuk merumuskan putusan nikāḥ lebih inklusif dan berbasis manuskrip. Kata Kunci: manuskrip ushul fiqh abad XIX; Bab an-Nikāḥ; filologi hukum Islam; kerangka istidlāl adaptif; maqāṣid al-sharīʿah; takhayyur talfiq.   Abstract The surge in critical studies of fiqh manuscripts has not fully revealed how textual variants, including differences in wording, spelling, and narration, in Chapter an-Nikāḥ influence the construction of Islamic legal arguments. This article begins with the main question: how did nineteenth-century Usul Fiqh scholars manage these textual variants through the istidlāl method to maintain sharia coherence and social relevance? Using a critical bibliographical research design, data were drawn from a collation of seven 18th-19th-century nikāḥ manuscripts, early printed editions, and the reformist treatises of Muhammad ʿAbduh and Sayyid Aḥmad Khān; all were analyzed philologically, codicologically, and hermeneutically-historically. The results indicate, first, four patterns of variants (lexical, grammatical, editorial, and marginal commentary) that have the potential to trigger divergence in the laws of dowry, guardianship, and ṭalāq. Second, nineteenth-century jurists reorganized classical istidlāl by combining tarjih based on the power of sanad (Islamic law), maqāṣid al-sharīʿah (the principles of Islamic law) for weighing benefits (maslahat), and takhayyur-talfiq (the techniques of Islamic law) to respond to colonial and modern realities. This pattern formed an “adaptive istidlāl framework” that affirmed the legality of variants without negating the authority of the madhhab (school of thought). This finding fills a gap in the literature on the relationship between manuscripts, methods, and legal reform and offers a conceptual model that contemporary fatwa institutions can adopt to formulate more inclusive and manuscript-based nikāḥ rulings. Keywords: nineteenth-century ushul fiqh manuscripts; Bab an-Nikāḥ; Islamic legal philology; adaptive istidlāl framework; maqāṣid al-sharīʿah; takhayyur-talfiq.