Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KAFA’AH DALAM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT KECAMATAN BARRU KABUPATEN BARRU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Andi Anisa Faradilah; Sabri Samin; Hartini Tahir; Andi Akmal; Muhammad Akmal
Qadauna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Vol 3 No 3
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/qadauna.v3i3.27125

Abstract

Abstrak Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Kafa’ah dalam Perkawinan pada Masyarakat Kecamatan Barru Kabupaten Barru Perspektif Hukum Islam. Adapun permasalahan yang diteliti antara lain: 1) bagaimana persepsi masyarakat Kecamatan Barru Kabupaten Barru tentang kafa’ah. 2) bagaimana praktik kafa’ah dalam pelaksanaan proses perkawinan pada masyarakat Kecamatan Barru Kabupaten Barru. 3) bagaimana realisasi kafa’ah terhadap tingkat keharmonisan perkawinan di Kecamatan Barru Kabupaten Barru.Jenis penelitian ini tergolong kualitatif dimana data hasil penelitian diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dan observasi menurut budaya syariat Islam seperti Al-Qura’an, hadist, ijma, dan fatwa yang relevan dengan masalah yang di bahas.Berdasarkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) persepsi masyarakat terhadap kafa’ah dalam perkawinan lebih menekankan pada aspek kesetaraan dalam hal agama. 2) Perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Barru Kabupaten Barru telah mempraktekkan konsep kafa’ah terutama dalam segi keagamaan dimana telah sesuai dengan syariat Islam. Selain itu, ada pula beberapa keluarga yang memperhatikan pasangan dari segi pekerjaannya. Sedangkan untuk aspek kafa’ah nasab/keturunan tidak menjadikan permasalahan dengan harus menikah sesama bangsawan, sesama pemuka agama atau keturunan lainnya yang sama dengan keluarganya. 3) Realisasi kafa’ah yang ada di Kecamatan Barru Kabupaten Barru yaitu keluarga yang memiliki banyak kesetaraan antara pasangan maka keharmonisan keluarganya lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang memiliki tingkat kesetaraan yang lebih rendah. Ada empat keluarga yang sangat harmonis dan tujuh keluarga lainnya harmonis. Kata kunci: perkawinan, kafa’ah, hukum islam.
ANALISIS HUKUM NIKAH MUT'AH DALAM PERSPEKTIF MAQASID SYARIAH: PRO DAN KONTRA DALAM KONTEKS INDONESIA Nursyamsi Ichsan; Andi Akmal
El-Iqthisadi Vol 7 No 1 (2025): Juni
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i1.58783

Abstract

Abstrak Nikah mut’ah, atau pernikahan sementara yang dibatasi oleh jangka waktu tertentu, merupakan isu kontroversial dalam diskursus hukum Islam dan praktik sosial kontemporer. Dalam sejarah hukum Islam, praktik ini sempat dibolehkan pada masa awal Islam dalam konteks darurat, namun kemudian diharamkan secara permanen oleh Rasulullah SAW berdasarkan hadis-hadis sahih. Meskipun mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat mengharamkannya, sebagian kalangan Syiah Imamiyah masih menganggapnya sah berdasarkan interpretasi atas ayat Al-Qur’an tertentu. Di Indonesia, nikah mut’ah tidak hanya tidak diakui dalam sistem hukum nasional, tetapi juga ditolak oleh otoritas keagamaan melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan keharamannya secara mutlak. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan nikah mut’ah dalam perspektif maqasid syariah serta implikasinya terhadap sistem hukum dan nilai sosial keindonesiaan. Pendekatan normatif dan sosiologis digunakan untuk menilai kesesuaian praktik ini dengan tujuan utama syariat Islam, yaitu menjaga keturunan (hifz al-nasl), kehormatan (hifz al-‘irdh), dan agama (hifz al-din). Hasil analisis menunjukkan bahwa nikah mut’ah bertentangan dengan prinsip maqasid syariah dan nilai-nilai hukum serta budaya di Indonesia, karena cenderung membuka celah eksploitasi terhadap perempuan, merusak struktur keluarga, serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi anak yang dilahirkan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara hukum agama dan hukum negara dalam memberikan kepastian hukum, perlindungan sosial, dan edukasi publik terkait institusi pernikahan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan. Kata kunci: nikah mut’ah, maqasid syariah, hukum Islam, hukum nasional, perlindungan perempuan, ketahanan keluarga.   Abstract Mut’ah marriage, or temporary marriage limited by a certain period of time, is a controversial issue in Islamic legal discourse and contemporary social practice. In the history of Islamic law, this practice was allowed in the early days of Islam in the context of emergency, but was later permanently forbidden by the Prophet Muhammad SAW based on authentic hadiths. Although the majority of Ahlus Sunnah wal Jamaah scholars agree that it is forbidden, some Shia Imamiyah groups still consider it valid based on interpretations of certain verses of the Qur’an. In Indonesia, mut’ah marriage is not only not recognized in the national legal system, but is also rejected by religious authorities through a fatwa from the Indonesian Ulema Council (MUI) which states that it is absolutely forbidden. This article aims to analyze the position of mut’ah marriage from the perspective of maqasid sharia and its implications for the legal system and social values ​​of Indonesia. Normative and sociological approaches are used to assess the suitability of this practice with the main objectives of Islamic law, namely preserving offspring (hifz al-nasl), honor (hifz al-‘irdh), and religion (hifz al-din). The results of the analysis show that mut’ah marriage is contrary to the principles of maqasid sharia and legal and cultural values ​​in Indonesia, because it tends to open up opportunities for exploitation of women, damage family structures, and create legal uncertainty for children born. Therefore, synergy is needed between religious law and state law in providing legal certainty, social protection, and public education related to the institution of marriage in accordance with the principles of justice and welfare. Keywords: mut’ah marriage, maqasid sharia, Islamic law, national law, protection of women, family resilience.
INTEGRASI HUKUM ISLAM DAN NEGARA DALAM SERTIFIKASI HALAL: ANALISIS NORMATIF ATAS UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL (JPH) DAN IMPLIKASINYA TERHADAP EPISTEMOLOGI FIKIH KONTEMPORER Nasrah Hasmiati Attas; Andi Akmal
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 No 4 (2025): Juli
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v6i4.58977

Abstract

AbstrakJaminan atas kehalalan produk merupakan kebutuhan esensial bagi umat Islam yang kini memperoleh legitimasi dalam sistem hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Regulasi ini menandai keterlibatan aktif negara dalam pengelolaan aspek keagamaan melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai otoritas administratif, sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap memegang kewenangan normatif dalam menetapkan fatwa kehalalan. Dalam konteks tersebut, penting untuk menelaah bagaimana integrasi antara hukum Islam dan negara dalam sistem sertifikasi halal berlangsung, serta dampaknya terhadap konfigurasi epistemologi fikih kontemporer. Dengan menggunakan metode hukum normatif dan pendekatan konseptual-reflektif, tulisan ini menganalisis data sekunder berupa regulasi, fatwa, dan literatur akademik terkait. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara negara dan lembaga keagamaan bersifat simbiotik tetapi menyisakan ketegangan epistemologis. Proses formalisasi fikih dalam sistem hukum negara menggeser locus otoritas keagamaan, membatasi fleksibilitas metode istinbāṭ, dan menyederhanakan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah menjadi kerangka legal-formal. Untuk merespons kondisi ini, diperlukan pembaruan epistemologi fikih yang mengedepankan maqāṣid sebagai prinsip metodologis, menjaga independensi otoritas keilmuan ulama, serta mendorong dialog kritis dan konstruktif antara aktor negara dan institusi keagamaan. Kata Kunci: Sertifikasi Halal, Hukum Islam, Epistemologi Fikih   Abstract The assurance of halal products is an essential need for Muslims, which has now gained formal recognition within Indonesia's national legal system through Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Assurance (UU JPH). This regulation signifies the state's active involvement in managing religious affairs through the establishment of the Halal Product Assurance Agency (BPJPH) as the administrative authority, while the Indonesian Ulema Council (MUI) retains normative authority in issuing halal fatwas. Within this context, it is important to examine how the integration between Islamic law and the state functions within the halal certification system, and how it impacts the configuration of contemporary Islamic legal epistemology. Using a normative legal method and a conceptual-reflective approach, this study analyzes secondary data including regulations, fatwas, and relevant academic literature. The findings indicate that the relationship between the state and religious institutions is symbiotic but not free from epistemological tensions. The formalization of fiqh within the legal framework of the state has shifted the locus of religious authority, constrained the flexibility of istinbāṭ methods, and simplified the maqāṣid al-sharī‘ah approach into a legal-formal structure. To respond to this condition, a renewal of Islamic legal epistemology is necessary—one that emphasizes maqāṣid as a methodological foundation, upholds the scholarly independence of religious authorities, and promotes critical and constructive dialogue between state actors and religious institutions. Keywords: Halal Certification, Islamic Law, Fiqh Epistemology
HUKUM ISLAM BIDANG POLITIK (SIYASAH) DI INDONESIA Andi Takdir Djufri; Jamiat Akadol; Andi Akmal
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 7 No 1 (2025): Oktober
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v7i1.58781

Abstract

Abstrak Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menghadapi tantangan unik dalam mengintegrasikan prinsip politik Islam (Siyasa Syar’iyyah) ke dalam sistem hukum sekuler berbasis Pancasila. Makalah ini menganalisis rekonstruksi hukum Islam bidang politik (Siyasa) dalam konteks ketatanegaraan Indonesia melalui pendekatan kualitatif yang menggabungkan analisis teks normatif Islam (Al-Qur’an, Hadis, karya ulama klasik). Temuan penelitian menunjukkan bahwa Siyasa di Indonesia tidak diwujudkan melalui formalisasi syariat secara legalistik, melainkan melalui adaptasi nilai-nilai etis Islam ke dalam kebijakan publik, desentralisasi kekuasaan, dan partisipasi politik. Partai Islam dan otonomi daerah menjadi instrumen utama artikulasi Siyasa, sementara lembaga seperti pesantren berperan dalam mendamaikan prinsip agama dengan identitas kebangsaan. Studi ini menyimpulkan bahwa pendekatan kultural—seperti penguatan etika politik berbasis maqashid al-shariah (tujuan syariah) dan dialog inklusif—lebih efektif dalam memperkaya demokrasi Indonesia daripada model formalisasi hukum agama. Dengan kerangka teori legal pluralism dan post-secularism, makalah ini menegaskan bahwa integrasi Siyasa ke dalam sistem nasional harus memprioritaskan kemaslahatan publik, keadilan sosial, dan kohesi bangsa, tanpa mengabaikan karakter pluralistik Indonesia. Kata Kunci: Hukum Islam, Politik (Siayasah), Indonesia   Abstract Indonesia, as the world's most populous Muslim nation, faces unique challenges in integrating Islamic political principles (Siyasa Syar'iyyah) into a secular legal system based on Pancasila. This paper analyzes the reconstruction of Islamic political law (Siyasa) in the context of Indonesian constitutional law through a qualitative approach that combines analysis of Islamic normative texts (the Qur'an, Hadith, and works of classical Islamic scholars). The research findings indicate that Siyasa in Indonesia is not realized through the legalistic formalization of Sharia, but rather through the adaptation of Islamic ethical values into public policy, decentralization of power, and political participation. Islamic parties and regional autonomy are the primary instruments for the articulation of Siyasa, while institutions such as Islamic boarding schools (pesantren) play a role in reconciling religious principles with national identity. This study concludes that cultural approaches—such as strengthening political ethics based on the maqasid al-shariah (the objectives of Sharia) and inclusive dialogue—are more effective in enriching Indonesian democracy than the formalization of religious law. Within the theoretical framework of legal pluralism and post-secularism, this paper asserts that the integration of Siyasa into the national system must prioritize public welfare, social justice, and national cohesion, without neglecting Indonesia's pluralistic character. Keywords: Islamic Law, Politics (Siyasa), Indonesia
TEORI PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Umar Laila; Andi Akmal; Jamiat Akdol
El-Iqthisadi Vol 7 No 2 (2025): Desember
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/el-iqthisady.v7i2.58825

Abstract

Abstrak Penelitian ini mengkaji “Teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia”, dengan fokus historis, teoretis, dan kontemporer. Pendekatan kualitatif kombinatif digunakan—menggabungkan analisis normatif-yuridis terhadap Al-Qur’an, Hadis, fatwa DSN‑MUI, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan qanun Aceh; komparatif antara teori kredo, receptio, dan eksistensi; serta empirik-sosiologis melalui wawancara dengan hakim agama, anggota tim penyusun KHI, dan praktisi hukum Islam. Temuan menunjukkan bahwa penerapan hukum Islam di Indonesia dipengaruhi secara simultan oleh kesepakatan individu Muslim (kredo), sejarah penerimaan masyarakat (receptio), serta keberlanjutan sosial-politik (eksistensi). Namun, pluralitas sistem hukum nasional, keragaman budaya, serta tantangan konstitusional dan HAM menuntut model pemberlakuan yang lebih adaptif dan integratif. Rekomendasi penelitian ini menegaskan perlunya harmonisasi norma, dialog lintas-agama, dan penguatan kerangka legal yang menghormati prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, agar hukum Islam dapat berfungsi secara efektif dan adil dalam kerangka negara plural. Kata kunci: Hukum Islam, pemberlakuan, teori kredo, receptio, eksistensi, pluralisme hukum, maqāṣid al‑syarī‘ah, Indonesia   Abstract This study examines the "Theory of Islamic Law Implementation in Indonesia", focusing on historical evolution, theoretical frameworks, and contemporary relevance. A qualitative mixed-methods approach was employed—normative-legal analysis of primary sources such as the Qur’an, Hadith, DSN-MUI fatwas, the Compilation of Islamic Law (KHI), and Aceh’s qanun; comparative analysis of the credal, receptio, and existence theories; and empirical-sociological research through interviews with religious court judges, members of the KHI drafting team, and Islamic legal practitioners. Findings indicate that Islamic law implementation in Indonesia is simultaneously shaped by individual affirmation (credal), communal acceptance (receptio), and socio-political continuity (existence). Nevertheless, the pluralistic legal system, cultural diversity, and constitutional and human rights challenges call for a more adaptive and integrative implementation model. This study recommends harmonizing norms, promoting interfaith dialogue, and strengthening legal frameworks that respect maqāṣid al-syarī‘ah principles, to enable effective and equitable functioning of Islamic law within a pluralist state. Keywords: Islamic law, law implementation, credal theory, receptio, existence theory, legal pluralism, maqāṣid al-syarī‘ah, Indonesia