Seiring dengan adanya perubahan yang cukup mendasar di dalam sistem ketatanegaraan pasca reformasi 1998, kedudukan Gubernur mengalami perubahan yang cukup signifikan di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam posisinya Gubernur bertindak selaku Kepala Daerah otonom karna ia di pilih langsung oleh rakyat di dalam sebuah proses politik di wilayah yang Ia pimpin, namun disisi lain Gubernur juga bertindak selaku wakil dari Pemerintah Pusat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini membuat posisi Gubernur menjadi dilematis dan berakibat persinggungan hubungan pusat dan daerah pun kerapkali terjadi. Dengan menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, artikel ini akan mengkaji bagaimana dualisme kewenangan Gubernur dalam sistem hukum di Indonesia, apa saja persinggungan yang terjadi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir juga mencari solusi terkait problem tersebut dengan manawarkan sebuah konsep kenegaraan baru dengan dibentuknya sebuah lembaga baru yang mewadahi kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Posisi Gubernur yang problematik kerapkali menimbulkan friksi diantara Pemerintah Pusat dan Daerah dan didalam konsep negara kesatuan praktik semacam ini tidaklah ideal dimana seharusnya pusat dan daerah harus satu suara didalam pengambilan kebijakan maka penelitian ini mendorong untuk dibentuk sebuah lembaga non structural bernama Komisi Hukum Indonesia yang berfungsi sebagai pusat koordinasi informasi hukum, pusat koordinasi rancangan hukum dan pusat koordinasi pemasyarakataan hukum agar koordinasi antara pusat dan daerah dapat berjalan lebih baik dan sebagaimana mestinya.