Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PELAKSANAAN DIVERSI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU PENYALAHGUNA NARKOTIKA PADA TAHAP PENYIDIKAN DI KOTA PONTIANAK NIM. A1011141008, YULIANA
Jurnal Fatwa Hukum Vol 1, No 3 (2018): E-Jurnal Fatwa Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11.642 KB)

Abstract

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kedasaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.  penyalahguna adalah mereka yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Dari sudut usia, narkotika sudah tidak dinikmati golongan setengah baya maupun golongan usia tua tetapi golongan anak dibawah umur. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat, khususnya para orang tua. Anak palaku penyalahguna narkotika tidak hanya dapat dipandang ia sebagai pelaku namun juga dikategorikan sebagai korban. Anak seringkali dijadikan alat  dan dimanfaatkan oleh pengedar atau bandar untuk melancarkan perdaran narkotika.Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak khusus untuk perkara Anak dikenal mekanisme untuk mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang dinamakan dengan Diversi. Dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA dengan jelas menyatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Namun dalam praktiknya, khususnya di Kota Pontianak penyidik belum pernah melaksanakan upaya diversi terhadap perkara penyalahguna narkotika oleh anak.Berdasarkan hasil penelitian penulis, faktor penyebab penyidik tidak melaksanakan diversi terhadap anak pelaku penyalahguna narkotika pada tahap penyidikan di kota Pontianak adalah adalah (1) Narkotika merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime), 2) Ancaman pidana diatas 7 tahun, 3) Pelaku sudah cukup lama menjadi penyalahguna narkotika, 4) Kurangnya tenaga ahli penyidik anak, 5) Sarana dan Prasarana yang kurang memadai dalam menunjang penegakkan hukum..Pada dasarnya, prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus dipandang sebagai of Paramout importence (memperoleh prioritas tinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip the best of the child digunakan karenakan dalam banyak hal anak menjadi “korban” disebakan ketidaktahuannya karena usia perkembangannya terutama dalam hal penyalahgunaan narkotika. jika hal ini diabaikan maka penjatuhan pidana penjara terhadap anak akan menimbulkan stigmasi negative bagi anak dan tentunya akan menimbulkan beban moral bagi anak itu sendiri.  Kata Kunci: Diversi, Anak, Penyalahguna Narkotika, Perlindungan Hukum, Penyidikan 
Komisi Hukum Indonesia Sebagai Solusi Dualisme Kedudukan Gubernur Dalam Sistem Hukum Di Indonesia Yuliana Yuliana; Immada Ichsani; Ratna Herawati
Jatiswara Vol 37 No 1 (2022): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v37i1.372

Abstract

Seiring dengan adanya perubahan yang cukup mendasar di dalam sistem ketatanegaraan pasca reformasi 1998, kedudukan Gubernur mengalami perubahan yang cukup signifikan di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam posisinya Gubernur bertindak selaku Kepala Daerah otonom karna ia di pilih langsung oleh rakyat di dalam sebuah proses politik di wilayah yang Ia pimpin, namun disisi lain Gubernur juga bertindak selaku wakil dari Pemerintah Pusat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini membuat posisi Gubernur menjadi dilematis dan berakibat persinggungan hubungan pusat dan daerah pun kerapkali terjadi. Dengan menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, artikel ini akan mengkaji bagaimana dualisme kewenangan Gubernur dalam sistem hukum di Indonesia, apa saja persinggungan yang terjadi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir juga mencari solusi terkait problem tersebut dengan manawarkan sebuah konsep kenegaraan baru dengan dibentuknya sebuah lembaga baru yang mewadahi kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Posisi Gubernur yang problematik kerapkali menimbulkan friksi diantara Pemerintah Pusat dan Daerah dan didalam konsep negara kesatuan praktik semacam ini tidaklah ideal dimana seharusnya pusat dan daerah harus satu suara didalam pengambilan kebijakan maka penelitian ini mendorong untuk dibentuk sebuah lembaga non structural bernama Komisi Hukum Indonesia yang berfungsi sebagai pusat koordinasi informasi hukum, pusat koordinasi rancangan hukum dan pusat koordinasi pemasyarakataan hukum agar koordinasi antara pusat dan daerah dapat berjalan lebih baik dan sebagaimana mestinya.
Criminal Accountability Of State Officials Committing Political Corruption In Indonesia Yuliana Yuliana; Mujiono Hafidh Prasetyo
Arena Hukum Vol. 15 No. 1 (2022)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2022.01501.8

Abstract

Political corruption is a form of violation of people's human rights and is a worrying phenomenon because it is dominated by state officials who have superior positions. This article aims to find out how the reality of law enforcement against corruption is carried out by state officials and how the criminal responsibility of state officials who commit political corruption in Indonesia. This article uses a normative juridical method. The results shows that law enforcement against state officials who commit political corruption has not been carried out optimally. The low demands of prosecutors followed by judges' verdicts against state officials who commit corruption are the cause of the difficulty of eradicating this crime. The imposition of a maximum criminal threat or life imprisonment for perpetrators of political corruption is something that should be done to create a deterrent effect for the perpetrators or the public who see it. In this case, law enforcement officers must have the courage, integrity, and high morale to be indiscriminate in eradicating political crimes in Indonesia.
IMPLEMENTASI PRINSIP KONSTITUSIONAL DALAM REGULASI KEAMANAN STRUKTURAL BANGUNAN GEDUNG: KAJIAN YURIDIS, NORMATIF, DAN TEKNIS Parabi, Ashraf Dhowian; Aisyah, Siti; Serera, Aulia Yuti; Yuliana; Mukti, Plasma Versiana; Octaviyana, Rickhy Artha
Jurnal Teknologi Infrastruktur Vol 7 No 1 (2025): Jurnal Teknologi Infrastruktur Vol 7 Nomor 1 Tahun 2025
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study critically analyzes the implementation of constitutional principles within the framework of structural safety regulations for building constructions in Indonesia. The intersection between constitutional law and civil engineering becomes urgent to analyze considering the significant transformation of building construction regulations following the enactment of the Job Creation Law (Law No. 11 of 2020) and Government Regulation No. 16 of 2021. The study employs a normative juridical approach integrated with technical analysis through doctrinal legal research methods while still considering empirical aspects of structural safety standards. Through legislative, conceptual, and comparative approaches, this study identifies significant implementation gaps between constitutional principles and structural safety technical standards. The results indicate that: (1) there is disharmony between constitutional principles and the implementation of technical regulations, especially in the aspect of protecting citizens' human rights; (2) the paradigm shift from Building Permit (IMB) to Building Approval (PBG) has not fully accommodated the fulfillment of constitutional rights of building users; and (3) the state's constitutional accountability mechanism in building failures remains weak. The study recommends reformulating structural safety regulations that integrate constitutional principles with technical standards by strengthening the state's responsibility dimension in ensuring building safety, as well as improving the Building Feasibility Certificate (SLF) mechanism as a constitutional protection instrument. Keywords: Building construction, normative juridical study, job creation law
The Deviation of Criminal Law Principles in Embezzlement of Joint Property Committed by Husband or Wife Supriadi, Moh; Husain, Natasya Auliya; Jasri Akadol, Nina Septiana; Gayatri, Nungky Dwi; Yuliana, Yuliana; Natalia, Kristiani
Jurnal Mahkamah : Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam Vol. 10 No. 1 June (2025)
Publisher : Institut Agama Islam Ma'arif NU (IAIMNU) Metro Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25217/jm.v10i1.5807

Abstract

This study aims to determine the deviation of criminal law principles in the embezzlement of joint assets committed by a husband or wife in marriage. Therefore, criminalization is an ideal policy formulation to overcome this deviation. This study uses normative legal research with a legislative approach that examines the Criminal Code, especially the crime of family embezzlement. In addition, a conceptual approach is also used to determine the deviation of criminal law principles so that efforts are obtained to overcome deviations from criminal law principles. This study concludes that there is a deviation of criminal law principles in the crime of embezzlement of joint assets committed by a husband or wife during marriage. This deviation is based on the inconsistency between the formulation of the crime which states that it cannot be prosecuted with the principle of criminal responsibility which regulates the reasons for eliminating the crime, namely the reason for forgiveness and the reason for justification. Furthermore, moral norms cannot prevent the prosecution of a criminal act, as long as there is a complaint from the victim as the concept of the complaint crime. Therefore, as a repressive effort in providing legal protection for victims, a formulation policy is needed by criminalizing embezzlement of joint assets committed by a husband or wife during marriage by eliminating the phrase " "it is impossible to hold criminal charges".