Baskoro Daru Tjahjono
Unknown Affiliation

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Transformasi Fragmen Tembikar dan Keramik di Situs Kota Lama, Indragiri Hulu, Riau Stanov Purnawibowo; Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 19 No 2 (2016)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/bas.v19i2.29

Abstract

AbstractStudy on the transformation of pottery and ceramic fragments at Kota Lama Site, Indragiri Hulu, Riau is a study that scrutinizes the formation process of archaeological data. The formation process is identified through artifactual and contextual data resulted from an archaeological excavation at the site in 2016. The problem to be uncovered is the transformation process of archaeological data at Kota Lama site to reveal the formation of data and context found at the site. The research was carried out using the inductive chain of thought, which uses data classifications of fragments of pottery, ceramics, and coin-shaped terracotta objects called gacuk, as well as matrix, provenience, and association during the early phase. Analyses on artifactual data include quantitative, typological/morphological (form), spatial, and temporal ones. Contextual data were analyzed using morphological and their positions. Furthermore, those data were elaborated one with another to identify their type of context in order to understand their formation process that occurred at the site. In the last part, there are in general two contexts at the site, which are primary and secondary contexts.AbstrakKajian transformasi fragmen tembikar dan keramik di situs Kota Lama, Indragiri Hulu, Riau merupakan kajian untuk menelaah proses pembentukan data arkeologi yang diidentifikasi melalui data artefaktual dan data kontekstual yang dihasilkan dalam ekskavasi arkeologis di situs tersebut tahun 2016. Penelitian dilakukan dengan alur induktif yang menggunakan pemerian data fragmen tembikar, keramik, gacuk, matriks, provinience, dan asosiasi pada tahap awal. Analisis yang dilakukan pada data  artefak menggunakan analisis kuantitif, bentuk, keruangan, dan waktu. Adapun data konteks dianalisis mengunakan analisis morfologi dan posisinya. Selanjutnya data tersebut digabungkan satu dengan lainnya untuk mengidentifikasi jenis konteks untuk mengetahui proses pembentukan data yang terjadi di situs tersebut. Hasilnya, transformasi data arkeologi di situs Kota Lama membentuk dua buah konteks, yaitu konteks primer dan konteks sekunder
Kontribusi Arkeologi Bagi Pengembangan Pulau-Pulau Kecil dan Terdepan di Sumatera Bagian Utara Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 17 No 2 (2014)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (730.179 KB) | DOI: 10.24832/bas.v17i2.79

Abstract

AbstractAn archipelago country consisting of tens of thousands of small and big islands, Indonesia is mostly of a vast waters territory. Despite the amazing maritime potentials they are posed, the small, frontmost islands still experience difficulties in maximazing their natural riches, beauty, and mining potentials for their prosperity. Maritime policy repositioning is significant to implement to optimize those frontmost, small islands’ potentials. Such policy repositinoning shall include economy and politics sectors to optimize people’s welfare through the prioritization of our previously-abandoned maritime sector and integrate it with the land. The archaeological researches in small and frontmost islands may help describe the inhabiting of the islands by ancient people of such periods of pre-historic, classic, Islamic, or colonial. Such archaeological findings suggest the potentials of the small, frontmost islands to be used for the current Indonesian people’s prosperity when handled with care.AbstrakIndonesia sebagai negara kepulauan, terdiri atas puluhan ribu pulau, baik kecil maupun besar, dengan sebagian besar wilayahnya adalah lautan luas. Pulau-pulau kecil dan terdepan mempunyai potensi kelautan yang luar biasa, namun kekayaan hayati, keindahan alam, dan pertambangan belum dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan penghuninya. Untuk dapat mengembangkan pulau-pulau kecil dan terdepan secara optimal, perlu adanya reposisi kebijakan kelautan. Reposisi kebijakan kelautan adalah suatu kebijakan politik dan ekonomi dalam rangka pembangunan ekonomi, yang meninggalkan paradigma lama yakni menempatkan sektor kelautan sebagai marjinal, berubah menjadi arus utama dalam pembangunan ekonomi dengan tetap mengintegrasikannya dengan sektor daratan. Penelitian arkeologi di pulau-pulau kecil dan terdepan dapat memberi gambaran bahwa sebagian dari pulau-pulau itu pernah dihuni atau dimanfaatkan manusia pada masa lalu, sejak masa Prasejarah, masa Klasik, masa Islam, maupun masa Kolonial. Ini menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil dan terdepan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia masa kini, jika dikelola dengan serius. Untuk menjawab permasalahan itu digunakan metode penelitian deskriptif dengan penalaran induktif melalui penggabungan penelitian sejarah, filologi, dan arkeologi. Pengembangan berbagai potensi tinggalan arkeologis di pulau-pulau kecil dan terdepan yang merupakan hasil penelitian arkeologi merupakan kontribusi arkeologi bagi pengembangan pulau-pulau kecil dan terdepan.
Lwah Inalih Haken, Arti Kiasan Atau Sebenarnya? Baskoro Daru Tjahjono; nfn. Widianto
Berkala Arkeologi Vol 14 No 2 (1994): Edisi Khusus
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1419.348 KB) | DOI: 10.30883/jba.v14i2.642

Abstract

Lwah inalih haken is a sentence contained in the Ciwagreha inscription, which means the river is moved. The transfer of the river flow is carried out because the place through which the river will pass will be built a sacred building complex (temple). The sacred building referred to in the Ciwagreha inscription is associated with the Rara Jonggrang temple complex in Prambanan. Indeed, the one that best fits the cluster of temples as described in the inscription is Candi Rara Jonggrang. If this is true, it means that the river that has been displaced is the Opak River which is located west of the temple. The problem is whether in reality the Opak River. Have you experienced a river flow change? The title above appears due to the fact that the third page of the Rara Jonggrang Temple complex is not as concentric as the other two pages, but is slightly inclined as if to. avoid streams. So that the question arises whether the river was moved or the third page?
Hindu-Buddhis Dalam Bingkai Budaya Jawa Asli Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Vol 15 No 1 (1995)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (601.636 KB) | DOI: 10.30883/jba.v15i1.650

Abstract

Hinduism and Buddhism originated in India, entered Indonesia almost at the same time, namely around the first century AD. This culture that originated from India is often referred to as Hindu culture only. This cultural influence has not only led the Indonesian nation to enter the historical era but has also brought about major changes in various aspects of life, such as religion, government structures, and other aspects of society.
Pemikiran Inklusif Atas Dampak Pembangunan Terhadap Kelestarian Sumberdaya Arkeologi Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Vol 16 No 1 (1996)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1715.952 KB) | DOI: 10.30883/jba.v16i1.745

Abstract

We always expect the ideal both in the implementation of development and in the management of archaeological resources. However, the reality on the ground is that these ideal expectations cannot always be fulfilled, on the contrary, the worst things happen. Development does not always have a positive impact, often development has a negative impact on efforts to conserve archaeological resources. .
Penetapan Sima Dalam Konteks Perluasan Wilayah Pada Masa Mataram Kuna: Kajian Berdasarkan Prasasti-Prasasti Balitung (899-910 M) Baskoro Daru Tjahjono; Nurhadi Rangkuti
Berkala Arkeologi Vol 18 No 1 (1998): Edisi Khusus
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1985.077 KB) | DOI: 10.30883/jba.v18i1.775

Abstract

Di antara raja-raja yang memerintah Kerajaan Mataram kuna yang cukup banyak menerbitkan prasasti salah satunya adalah Dyah Balitung. Raja Balitung memerintah antara tahun 821 sanmpai 832 C atau 899 sampai 910 M dan mempunyai wilayah kekuasaan yang cukup luas. Prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja tersebut sebagian di antaranya berisi tentang penetapan sima, melalui prasasti-prasasti ini akan dikaji bagaimana konteks penetapan suatu daerah menjadi sima dengan proses perluasan wilayah pada masa Mataram Kuna.
Teknik Survei Situs Terbuka Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Vol 20 No 1 (2000)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (772.238 KB) | DOI: 10.30883/jba.v20i1.801

Abstract

Pada tulisan ini diharapkan tidak sekedar menyajikan teknik-teknik survei pada situs-situs terbuka yang mungkin telah banyak dibicarakan para ahli dan telah diterapkan pada penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia. Namun diharapkan juga dapat mencari alternatif penerapan teknik-teknik survei yang tepat untuk sebuah penelitian arkeologi. Untuk itu diusulkan adanya tema-tema khusus dalam sebuah penelitian arkeologi, jadi tidak sekedar penelitian yang bersifat artefaktual.
Paregreg Dalam Sebuah Monumen Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Vol 19 No 2 (1999)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (421.552 KB) | DOI: 10.30883/jba.v19i2.823

Abstract

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu masih berkuasa di Indonesia, pendirian sima sering dikaitkan dengan jasa yang telah diberikan oleh masyarakat sebuah desa terhadap rajanya. Untuk memperingati peristiwa itu kemudian didirikan sebuah bangunan suci, dan masyarakat desa yang bersangkutan diwajibkan untuk memeliharanya. Karena adanya beban untuk memelihara bangunan suci maka masyarakat desa tersebut dibebaskan dari kuwajiban membayar pajak kepada raja. Sebuah bangunan yang baru saja di temukan di Dukuh Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar kemungkinan merupakan salah satu contoh sebuah bangunan yang merupakan monumen peringatan suatu peristiwa penting pada masa Majapahit. Walaupun bangunan itu tidak terlalu besar namun sangat menarik untuk diteliti, terutama jika dikaitkan dengan latar belakang sejarahnya serta bentuk arsitekturnya yang langka.
Harta Karun Itu Candi Bata Yang Unik Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Vol 23 No 2 (2003)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1002.34 KB) | DOI: 10.30883/jba.v23i2.876

Abstract

Sebuah situs yang terletak di Dusun Candi, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang pun tak luput dari penjarahan. Penduduk menyebut situs itu Candi Wurung, karena dianggap sebagai candi yang belum selesai dibangun. Beberapa tahun lalu situs yang terletak di tanah milik Hadi Prayitno itu digali oleh sekelompok orang. Masyarakat sekitar tidak tahu asal mereka dan maksud penggalian itu. Hanya berita dari mulut ke mulut tersiar kabar bahwa tujuan mereka adalah mencari harta karun. Entah ketemu entah tidak tetapi lubang bekas galian tanah itu mereka tinggalkan begitu saja. Situs itu sempat terbengkelai setelah terjadinya penggalian liar itu. Pemilik tanah pun tak tahu apa yang akan dia kerjakan, sehingga tanah sawah yang sebenamya produktif itu dibiarkan saja tak ditanami apapun.
Majapahit Pun Runtuh Karena Ulah Para Elit Politiknya Baskoro Daru Tjahjono
Berkala Arkeologi Vol 24 No 1 (2004)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1636.496 KB) | DOI: 10.30883/jba.v24i1.892

Abstract

From the beginning of its establishment, Majapahit could not escape the actions of the political elites who tried to break the unity of the Majapahit kingdom. This is due to their dissatisfaction with the king's leadership or dissatisfaction with the position they received. When Raden Wijaya had become king he was abandoned by some of his colleagues at the time of facing Jayakatwang and Kubhilai Khan's army. Although they had obtained high positions but some of them were not satisfied with the awards or positions given by the king. Ranggalawe who was not appointed as a patih (duke), was against the king so there was a war called Paranggalawe in 1217 C (1295 AD).