Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

RESENSI BUKU: PEMOLISIAN KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA MENGHARMONIKAN ATAU MENDISHARMONIKAN? Weldemina Yudit Tiwery
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 3, No 2 (2017): KENOSIS : JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v3i2.14

Abstract

Agama merupakan fenomena yang menakjubkan yang mampu memainkan peran kontradiktif dalam kehidupan manusia. Agama dapat menghancurkan dan menghidupkan, meninabobokan dan membangkitkan, memperbudak dan membebaskan, mengajarkan ketaatan dan mengajarkan pemberontakan. Hubungan antarumat beragama di Indonesia agak mustahil bila dilepaskan dari problem mayoritas dan minoritas. Di kalangan mayoritas timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan peranannya. Demokrasi lebih sering dipahami sebagai keberpihakan terhadap mayoritas sementara di kalangan minoritas timbul ketakutan karena merasa terancam eksistensi dan hak-hak asasinya (minority syndrom). Kondisi ini terus dirasakan sebagai pemicu belum adanya keikhlasan hati untuk sungguh-sungguh saling menerima, demikian perasaan terdesak disatu pihak dan perasaan terancam di pihak lain, membawa implikasi dalam hubungan antarumat beragama.
EKOSPIRITUALITAS YANG HOLISTIK Weldemina Yudit Tiwery
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 1, No 1 (2015): KENOSIS : JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v1i1.17

Abstract

Persoalan ekologi merupakan sesuatu yang telah mewabah dan memengaruhi beragam sendi kehidupan manusia. Tak jarang ditemui masalah-masalah seputar kehidupan ekologi itu, dampaknya pun tak tanggung-tanggung datang menerpa. Efek negatif dari perusakan alam ciptaan itu menggugat eksistensi manusia sebagai orang yang bertanggungjawab atas persoalan-persoalan yang timbul akibat dari perbuatannya. Eksploitasi terhadap alam, semisal pertambangan liar, penebangan hutan, dan pengeboman ikan; krisis air bersih; sampah yang bertebaran secara serampangan, juga beragam permasalahan lainnya merupakan segelintir persoalan yang marak terjadi di wilayah kita, belum lagi eksploitasi tempat-tempat tertentu untuk kepentingan politis-parsial. Krisis ekologi bisa terjadi karena faktor alam, namun kebanyakan krisis itu justru disebabkan oleh perbuatan manusia. Ternyata di daerah di mana manusia tempati, tak pernah luput dari terjadinya berbagai macam krisis ekologis sebagai dampak buruk dari konsumerisme manusia. Manusia menyerap sumber-sumber daya bumi tanpa terkendali, berlebihan, dan tak teratur. Alam dianggap sebagai obyek yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat konsumerisme manusia. Di sinilah nampak manusia melakukan pengingkaran akan status quo-nya sebagai kerabat kerja Allah yang seharusnya memanfaatkan dan mengembangkan alam untuk kebutuhannya. Konsumerisme merupakan kebiasaan memenuhi keinginan diri secara berlebihan, sebuah eksploitasi besar-besaran dan tentunya mengandung unsur kenikmatan (pleasure principle). Ini sungguh merupakan suatu keprihatian bersama dan mesti ada kesadaran kolektif untuk memeranginya.
CINTA YANG MEMULIHKAN Weldemina Yudit Tiwery
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 4, No 1 (2018): KENOSIS : JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v4i1.18

Abstract

Puisi adalah salah satu karya seni yang memiliki makna mendalam termasuk makna spiritualitas, baik oleh pengarangnya maupun oleh para pembaca. Bahkan bagi para pembaca, puisi memiliki horizon yang luas, ia terbuka atas pemaknaan malampaui maksud si pengarang. Melalui puisi, seseorang dapat mengungkapkan emosinya entah kekaguman, kemarahan, cinta, benci, protes, kritikan, sedih ataupun gembira. Salah satu karya seni dari W.S. Rendra, “Nyanyian Angsa”, adalah kritik jumawa Rendra sekaligus pesan spiritualitas universal kepada semua orang beragama yang memiliki harapan sama bahwa Tuhan adalah Sang Adil yang memberikan cinta-Nya untuk memeluk, merawat, memulihkan dan mengangkat semua umat manusia tanpa memandang latarbelakangnya yang penuh noda dan dosa. Hal ini dipertegas dalam salah satu bait nyanyian angsa ‘ Lelaki itu membungkuk mencium bibirnya. Ia merasa seperti minum air kelapa, belum pernah ia merasa ciuman seperti itu. Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia berhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya. Di lambung kiri, di dua tapak tangan, di dua tapak kaki. Ini adalah ungkapan spiritualitas yang paling murni yakni ketulusan cinta Tuhan yang berbeda dengan cinta manusia. Cinta yang telah lebih dahulu merasakan penderitaan manusia, Ia mencintai sampai terluka dan mati untuk memulihkan yang dicintai-Nya.
Manusia Pertama Itu Namanya Ina: Membaca Narasi Mitos Penciptaan dari Perspektif Perempuan Maluku Weldemina Yudit Tiwery
Indonesian Journal of Theology Vol 5 No 2 (2017): Edisi Khusus Studi Biblika
Publisher : Asosiasi Teolog Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.534 KB) | DOI: 10.46567/ijt.v5i2.27

Abstract

This article elucidates the concept of creation, which is examined through the narrative of the creation of the Moluccas and the first Moluccans. As with Hebrew, Babylonian or Greek mythological tradition, the Moluccans also maintain a historical narration of the creation myth. This myth within the Moluccan tradition begs to be interpreted. The Moluccas (Nusaina) are considered by Moluccans to be a home shared as fellow brothers (and sisters), emerging from one womb of Ina (mother) who inhabits the realm of Nusaina. This creation narrative focuses on the role of Ina or mother as the central figure. Ina is she who is pregnant, breastfeeding, nurturing and raising. Beyond myth, this narrative also contains theological value, which needs to be constructed to offer theological meaning for the people of the Moluccas.
Mitigasi Bencana Gempa Bumi Berbasis Kearifan Lokal di Desa Nuwewang Kecamatan Pulau Letti Kabupaten Maluku Barat Daya Yamres Pakniany; Weldemina Yudit Tiwery; Heinrich Rakuasa
DIALEKTIKA Vol 15, No 1 (2022): Pemikiran Keagamaan dan Perubahan Sosial
Publisher : IAIN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33477/dj.v15i1.3155

Abstract

Maluku Barat Daya merupakan daerah yang memiliki indeks risiko gempa bumi tertinggi di Provinsi Maluku. Hal ini dikarenakan daerah ini merupakan daerah tektonik yang sangat aktif dan kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya mitigasi bencana berbasis kearifan lokal di Desa Nuwewang, dalam hal ini mitigasi bencana gempa bumi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara. Analisis data kualitatif melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, kearifan lokal masyarakat Desa Nuwewang dalam mitigasi bencana gempa bumi dapat dilihat pada konstruksi bangunan yang masih menggunakan material lokal seperti kayu dan bambu. Kedua, ketika terjadi gempa, masyarakat Nuwewang akan meneriakkan “Opruru Ampuapenu o” yang artinya “tanah goyang telah datang”. Ini adalah peringatan dini saat terjadi gempa. Masyarakat Desa Nuwewang menyadari bahwa falsafah (hnyoli lieta) adalah tradisi untuk saling mengingatkan dan membantu saat terjadi bencana, yang merupakan bagian dari mitigasi bencana berbasis kearifan lokal. Kata kunci: Gempa Bumi, Mitigasi Bencana, Kearifan Lokal.
Women's Rebellion in Tarian Bumi: Challenging Patriarchal Culture in Oka Rusmini’s Novel Weldemina Yudit Tiwery; Jefriyanto Saud; Everhad Markiano Solissa; Cicilia Tantri Suryawati; Rahmi Setiawati
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa Vol. 10 No. 1 (2024)
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Linguistik Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55637/jr.10.1.9453.166-182

Abstract

"In 'Tarian Bumi,' the narrative vividly portrays Balinese women's defiance against the entrenched patriarchal norms of their society. The protagonist, Ida Ayu Telaga, emerges as a symbol of courage, challenging the oppressive customs that confine women's autonomy and expression. This research endeavors to delve into the diverse manifestations of Balinese women's resistance against patriarchal hegemony, employing a feminist lens. Utilizing a descriptive qualitative approach, the study mines the rich textual landscape of 'Tarian Bumi' for instances of women's defiance. The methodology involves a meticulous examination of the novel, supplemented by insights from various secondary sources such as books, theses, articles, and news reports on women's struggles against patriarchy. Through a process of data reduction, classification, and validation, the researcher identifies recurring themes of resistance encoded within the text. The findings underscore a spectrum of challenges, encompassing traditional gender roles, marital expectations, familial constraints, religious and social inequalities, and instances of gender-based violence. These acts of resistance are articulated through diverse mediums including written expressions, philosophical reflections, and symbolic dances—a testament to the enduring struggle for justice. By illuminating these narratives of defiance, the research serves as a catalyst for critical reflection, urging readers to interrogate prevailing patriarchal paradigms and advocate for gender equity."
Larvul Ngabal and Ain ni Ain as a Unifying Pluralism in the Islands Kei Southeast Maluku Yudit Tiwery, Weldemina
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6 No. 1 (2018): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.525 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v6i1.21200

Abstract

ABSTRACTIndonesia is a country that consists of various cultures, tribes, languages and religion. The plurality possessed is valued as the power to build the harmony of life among the citizens. There are many types of cultures that serve as the basis for living together by communities in each region, one of them is in Kei Islands, Southeast Maluku. People in Kei Islands, Southeast Maluku has local wisdom known as Larvul Ngabal and Ain ni Ain. These two local wisdoms become the unifying force of pluralism for the people in Kei islands that has been passed down from generation to generation. This study was conducted using qualitative method with descriptive data analysis. The purpose of this study was to find out the role of customary law of Larvul Ngabal and Ain ni Ain’s philosophy bringing together plurality in the Kei Islands, Southeast Maluku and its relevance to the peace building in Indonesia. The results showed that both local wisdom can unify plurality in Kei Islands, Southeast Maluku and has been used as a basis for living together.Keywords : Larvul Ngabal, Ain Ni Ain, Plurality, Kei Islands, Southeast MalukuABSTRAKIndonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, bahasa dan agama. Kemajemukan yang dimiliki dihargai sebagai kekuatan untuk membangun kehidupan yang harmonis antar warga masyarakat. Terdapat banyak jenis budaya yang dijadikan sebagai dasar untuk hidup bersama oleh masyarakat di masing-masing daerah, salah satunya di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Masyarakat di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara memiliki kearifan lokal yang dikenal dengan nama Larvul Ngabal dan Ain ni Ain. Dua kearifan lokal ini menjadi kekuatan pemersatu kemajemukan bagi masyarakat di Kepulauan Kei yang telah terwariskan dari generasi ke generasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan analisa data deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan hukum adat Larvul Ngabal dan falsafah Ain ni Ain dalam mempersatukan kemajemukan di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara dan relevansinya bagi pembangunan perdamaian di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kearifan lokal tersebut dapat mempersatukan kemajemukan di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara dan telah dijadikan sebagai dasar untuk hidup bersama.Kata kunci: Larvul Ngabal, Ain ni Ain, kemajemukan, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara
Representasi Kearifan Lokal dari Mimbar Gereja Protestan Maluku Pattiserlihun, Selvone Christin; Patty, Febby Nancy; Tiwery, Weldemina Yudit; Warela, Siphora Blandina
Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi) Vol 11, No 1 (2025): Jurnal SMaRT : Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18784/smart.v11i1.2650

Abstract

The pulpit is considered the throne of God's glory because it becomes a tool for delivering God's Words or sermons from the perspective of The Protestant Church in the Moluccas (PCM). The Sermon in worship is considered sacred, so the pulpit is the centre of attention in the church buildings' arrangement. This paper aims to describe and identify the meaning of the forms of pulpits in the architectural layout of most GPM church buildings. This qualitative research uses three data collection methods, namely direct and digital observations, and literature reviews. The selected data will be discussed using descriptive analysis and content analysis methods. The discussion in this paper refers to three findings. First, historical evidence confirms that PCM is a traditional church. Second, the pulpit used as the centre in arranging the worship space always uses forms of local wisdom such as traditional Maluku musical instruments, essential flora and fauna that live with the Maluku community in certain areas, and the livelihoods of the Maluku community. Third, local wisdom used as a pulpit in Maluku shows an intensive dialogue between traditional values and colonial Christianity that remains sustainable even in this post-modern civilization. In principle, PCM, as one of the mainstream churches that have long existed in Indonesia, still uses local wisdom symbols to represent a dialogue between religion and local community traditions.