Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

RABAB PASISIA SELATAN DI MINANGKABAU DIAMBANG KEPUNAHANNYA Rosa, Silvia
LOKABASA Vol 8, No 1 (2017): Vol. 8, No. 1, April 2017
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Barabab adalah suatu bentuk pertunjukan seni tradisi yang menyampaikan cerita kaba oleh seorang atau dua orang penampil dengan diiringi oleh permainan alat musik rabab (semacam alat musik gesek yang mirip biola). Pertunjukan Barabab berlangsung semalam suntuk. Biasanya pertunjukkan Barabab dihadirkan sebagai salah satu bentuk bungo alek (hiasan keramaian) dalam sebuah acara, baik perkawinan, perayaan atau peresmian peristiwa-peristiwa penting dalam masyarakat adat di Minangkabau. Permasalahannya kini adalah realitas pewarisan seni pertunjukkan Barabab, Pewarisan aktif keterampilan mempertunjukkan seni tradisi Barabab tidak berlangsung baik dan berkesinambungan dari si pewaris aktif kepada generasi berikutnya.Penampil Barabab adalah pria-pria tua yang sudah berumur di atas 55 tahun dan atau lebih. Lalu bagaimana bila pewarisan tidak berlangsung lurus secara berkesinambungan dari generasi tua kepada generasi muda berikutnya. Tentu saja seni tradisi Barabab akan tinggal kenangan dan nama saja, berganti dengan corak musik Barat yang cenderung lebih diminati oleh generasi muda kini, misalnya organ tunggal dan sejenisnya. Kerisauan akan kepunahan seni tradisi Barabab ini sudah patut direncanakan tindakan penyelamatannya. Salah satu upayanya adalah dengan mencanangkan secara aktif untuk belajar budaya, khususnya belajar seni tradisi pertunjukan Barabab yang telah menjadi ikon seni pertunjukan penting di Pesisir Selatan.Upaya ini penting dilakukan secara terorganisir antara pemerhati budaya (perguruan tinggi) dengan Pemerintah Daerah Pesisir Selatan. Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk membangun ruang atau tempat untuk belajar budaya, terutama seni Barabab, tindakan urgen untuk dirintis dan dikembangkan ke depan, dan sejak kini.ABSTRACTBarabab is a form of traditional art performances that convey kaba story by one or two performers that are accompanied by rabab musical instrument (a kind of stringed instrument similar to a violin). The Barabab show lasted all night long. Usually Barabab shows are presented as a form of bungo alek (ornament of the crowd) in an event, whether marriage ceremony, celebration or inauguration of important events in indigenous peoples in Minangkabau. In the reality there is problem that Barabab active inheritance of Barababs performing arts skills does not go well and sustain from the active performers to other generation. Barabab performers are old men over the age of 55. If the inheritance is not sustainable from older generation to other generation, the Barabab tradition will be extinct. One of the efforts to actively promote the learning of culture, especially learning the art of tradition of Barabab show which has become an icon of important performing arts in South Coastal of Minangkabau. The effort is important to be done in an organized manner between cultural observers (universities) and the South Coastal Government. There is a crusial needs of government decision and policies to build space or place to learn culture, especially Barabab art.
RABAB PASISIA SELATAN DI MINANGKABAU DI AMBANG KEPUNAHANNYA Rosa, Silvia
LOKABASA Vol 8, No 1 (2017): Vol. 8, No. 1, April 2017
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jlb.v8i1.15969

Abstract

Barabab adalah suatu bentuk pertunjukan seni tradisi yang menyampaikan cerita kaba oleh seorang atau dua orang penampil dengan diiringi oleh permainan alat musik rabab (semacam alat musik gesek yang mirip biola). Pertunjukan Barabab berlangsung semalam suntuk. Biasanya pertunjukkan Barabab dihadirkan sebagai salah satu bentuk bungo alek (hiasan keramaian) dalam sebuah acara, baik perkawinan, perayaan atau peresmian peristiwa-peristiwa penting dalam masyarakat adat di Minangkabau. Permasalahannya kini adalah realitas pewarisan seni pertunjukkan Barabab, Pewarisan aktif keterampilan mempertunjukkan seni tradisi Barabab tidak berlangsung baik dan berkesinambungan dari si pewaris aktif kepada generasi berikutnya.Penampil Barabab adalah pria-pria tua yang sudah berumur di atas 55 tahun dan atau lebih. Lalu bagaimana bila pewarisan tidak berlangsung lurus secara berkesinambungan dari generasi tua kepada generasi muda berikutnya. Tentu saja seni tradisi Barabab akan tinggal kenangan dan nama saja, berganti dengan corak musik Barat yang cenderung lebih diminati oleh generasi muda kini, misalnya organ tunggal dan sejenisnya. Kerisauan akan kepunahan seni tradisi Barabab ini sudah patut direncanakan tindakan penyelamatannya. Salah satu upayanya adalah dengan mencanangkan secara aktif untuk belajar budaya, khususnya belajar seni tradisi pertunjukan Barabab yang telah menjadi ikon seni pertunjukan penting di Pesisir Selatan.Upaya ini penting dilakukan secara terorganisir antara pemerhati budaya (perguruan tinggi) dengan Pemerintah Daerah Pesisir Selatan. Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk membangun ruang atau tempat untuk belajar budaya, terutama seni Barabab, tindakan urgen untuk dirintis dan dikembangkan ke depan, dan sejak kini.ABSTRACT Barabab is a form of traditional art performances that convey kaba story by one or two performers that are accompanied by rabab musical instrument (a kind of stringed instrument similar to a violin). The Barabab show lasted all night long. Usually Barabab shows are presented as a form of bungo alek (ornament of the crowd) in an event, whether marriage ceremony, celebration or inauguration of important events in indigenous peoples in Minangkabau. In the reality there is problem that Barabab active inheritance of Barabab's performing arts skills does not go well and sustain from the active performers to other generation. Barabab performers are old men over the age of 55. If the inheritance is not sustainable from older generation to other generation, the Barabab tradition will be extinct. One of the efforts to actively promote the learning of culture, especially learning the art of tradition of Barabab show which has become an icon of important performing arts in South Coastal of Minangkabau. The effort is important to be done in an organized manner between cultural observers (universities) and the South Coastal Government. There is a crusial needs of government decision and policies to build space or place to learn culture, especially Barabab art.
LOVE AND POWER IN THE NOVEL OF THE SABDA PALON: PUDARNYA SURYA MAJAPAHIT BY DAMAR SHASHANGKA. Rosa, Silvia; Fatma, Surya Dewi
ATAVISME Vol 23, No 1 (2020): ATAVISME
Publisher : Balai Bahasa Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24257/atavisme.v23i1.590.44-61

Abstract

The love and power represented in the novel Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit is an interesting theme to be discussed semiotics. A series of signs are scattered in this novel to concretize it's meaning and store information related to the factors causing the decline of the Majapahit kingdom. This article discusses the meaning of a series of markers that contain meaning related to the past history of the Majapahit kingdom. The method used is a semiotic method with the presentation of results in the form of descriptive-analytical exposures. The results obtained show that the Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit revealed unpublished events to the public surface so far, especially related to the romance problem that struck the kingdom's leader, Bhre Kertabhumi with a Chinese princess named Siu Ban Ci, who almost ended the status of Dewi Ambarawati (Princess of Champa) as the official consort of kings in the kingdom. This research concludes that if a love relationship is not controlled properly it can destroy a power. Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit conveyed the message and the mandate perfectly.
REFLEKSI LINGKUNGAN DALAM KUMPULAN CERPEN HIKAYAT BUJANG JILATANG KARYA AFRI MELDAM (TINJAUAN EKOKRITIK SASTRA) Riri Novianti; Wasana Wasana; Silvia Rosa
Jurnal Elektronik WACANA ETNIK Vol 9, No 1 (2020): Jurnal Elektronik Wacana Etnik
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/we.v9.i1.138

Abstract

Artikel ini membahas gambaran lingkungan flora, fauna dan gambaran lingkungan sosial budaya yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hikayat Bujang Jilatang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan keadaan lingkungan alam yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hikayat Bujang Jilatang. Metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekokritik sastra. Ekokritik sastra adalah strategi pembacaan karya sastra yang bermuatan tentang aspek lingkungan (flora, fauna, dan budaya) yang terdapat dalam karya sastra. Teknik yang digunakan adalah menentukan cerpen yang mengandung pesan moral atau kritikan terhadap lingkungan dan menganalisis data-data yang ditemukan.Hasil analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kumpulan cerpen Hikayat Bujang Jilatang merupakan refleksi lingkungan flora, fauna dan sosial budaya masyarakat. Pesan moral dan kritikan yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut berperan untuk menjaga ekosistem alam. Kepercayaan rakyat yang ada dalam kumpulan cerpen Hikayat Bujang Jilatang merupakan kearifan lokal masyarakat yang hidup di desa untuk menjaga lingkungannya.
GALOMBANG DUNIE DAN BUJANG MARANTAU: KAJIAN PROSES KREATIF PENGARANG Fahmi Fahrozi; Silvia Rosa; Pramono Pramono
Jurnal Elektronik WACANA ETNIK Vol 9, No 1 (2020): Jurnal Elektronik Wacana Etnik
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/we.v9.i1.137

Abstract

Artikel ini menguraikan proses kreatif penggarapan naskah randai yang bertemakan merantau antara dua orang pengarang yang berbeda domisili. Naskah randai yang dituliskan oleh Jamaluddin Umar yang berjudul Galombang Dunie dituliskan di daerah asal (kampung) Minangkabau; sedangkan naskah randai yang ditulis Namlani yang berjudul Bujang Marantau dituliskan di daerah rantau Minangkabau (Denpasar, Bali). Penelitian ini menggunakan metode penelitian sosiologi sastra. Adapun tahap-tahap dalam penelitian ini adalah tahap pengumpulan data, tahap analisis, dalam penarikan simpulan. Untuk menganalisis proses kreatif, dalam penelitian ini dilakukan analisis latar belakang sosial, proses kreatif kedua pengarang, dan faktor pendorong terjadinya proses kreatif.Hasilnya, proses kreatif kedua pengarang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan dan latar belakang pekerjaan. Selanjutnya proses kreatif naskah randai Galombang Dunie dan naskah randai Bujang Marantau meliputi proses mendapatkan ide, proses inkubasi, proses iluminasi, proses verifikasi dan proses publikasi karya. Terakhir, faktor pendorong terjadi proses kreatif terhadap naskah randai Galombang Dunie dan naskah randai Bujang Marantau meliputi pengaruh pengalaman dalam menentukan tema dan pengaruh psikologis dalam menentukan tema dan hasil kreativitas dalam menentukan tema.
Novel "Memang Jodoh" Karya Marah Rusli: Kajian Intertekstual Nia Kurnia; Silvia Rosa; Muchlis Awwali
Jurnal Elektronik WACANA ETNIK Vol 7, No 1 (2018): Jurnal Elektronik Wacana Etnik
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/we.v7.i1.78

Abstract

This paper presents the ideological theme of the text Memang Jodoh. The method used is the method of suprasegmental and intertextual. This method tries to find the intertextual functions that exist in the text. This function is a code that is related to social contexts and history.The results show that social and historical texts found in the text Memang Jodoh has similarities or parallels with social and historical contexts which are mamak, kemenakan, inheritance, marriage, uang jemputan, sumando, rumah gadang and rangkiang, malakok, school during colonial era, colonialism, and military aggressions. The social and historical texts are dominated by Minangkabau culture. This dominance illustrates the exclusivity of culture.
PERKAWINAN DALAM KABA BUJANG PIAMAN JO PUTI PAYUANG LAUIK SELASIH Vebria Marta Ningsih; Silvia Rosa; Muchlis Awwali
Jurnal Elektronik WACANA ETNIK Vol 9, No 2 (2020): Jurnal Elektronik Wacana Etnik
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/we.v9.i2.153

Abstract

Artikel ini mengungkap perjodohan yang terdapat dalam kaba Bujang Piaman Jo Puti Payuang Lauik. Penelitian ini menggunakan analisis sosiologi sastra. Metode yang digunakan adalah metodologi penelitian sosiologi sastra dan teknik yang dilakukan adalah teknik kepustakaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam  kaba Bujang Piaman Jo Puti Payuang Lauik versi Selasih  terdapat beberapa  fakta cerita yaitu pemilihan perjodohan harus dengan orang yang babangso, orang yang  jelas asal usulnya dan memiliki karib kerabat di daerah yang ditempatinya, selanjutnya yaitu peran mamak  yang telah digantikan oleh seorang ayah dan  peranan perempuan yang tidak sesuai lagi dengan  perempuan Minangkabau pada umumnya. 
Jejak Perkawinan Minangkabau dengan Tionghoa dalam Film Jangan Panggil Aku Cina dan Novel Mengurai Rindu Rifki Kurniawan; Silvia Rosa; Yerri Satria Putra
Jurnal Elektronik WACANA ETNIK Vol 7, No 2 (2018): Jurnal Elektronik Wacana Etnik
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/we.v7.i2.81

Abstract

This article is the comparative analysis result of the film "Jangan Panggil Aku Cina" and the novel "Mengurai Rindu" through intertextual studies. The film "Jangan Panggil Aku Cina" and the novel "Mengurai Rindu" have three formulas of hypograms (1) expansion, found in conflict, character, and characterization, (2) conversion, found in the cast of Minangkabau and Chinese Ethnic figures and social status of the main character, (3 ) Modifications or changes, found in the “Mengurai Rindu” about the rejection of mamak over the future husband, and the way of the main character deals with mamak's rejection.
Ecological Crisis And Exploitation Of Women in Margaret Atwood’s Surfacing Riyani Vadilla; Ferdinal Ferdinal; Silvia Rosa
Journal Polingua: Scientific Journal of Linguistics, Literature and Language Education Vol 9, No 2 (2020)
Publisher : Politeknik Negeri Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30630/polingua.v9i2.145

Abstract

The problem of ecological crisis and exploitation of women is a topic that is often discussed today because it occurs in various parts of the world. The natural conditions and fate of women both in developing and developed countries are in an alarming condition because the development and exploitation of nature causes water, soil and air pollution. Women who use nature for their daily needs with development are forced to become objects of capitalist patriarchal exploitation. In addition, the degradation of nature due to the interference of science and technology causes the degradation of natural ecosystems so that the survival of other living things such as plants and animals is disrupted. This descriptive study aims to examine the issue of ecological crisis and exploitation of women found in the novel Surfacing by Margaret Atwood by using the ecofeminism theory of Vandana Shiva and Maria Mies. This research uses 3 variables: 1. Reduction of women's uterus, 2. Development, 3. Exploitation . This research is a library research. To see the colors of representation, researchers used the theory of ecofeminism introduced by Vandana Shiva and Maria Mies. The results showed an ecological crisis and exploitation of women found in the novel Surfacing, namely (1) the reduction of the womb of women with the presence of modern science, (2) pornography of women and exploitation of animals for commercial purposes, (3) development and illegal logging for various interests industry
Deceptive Strategies in Literature: The Meaning of Folded Story Silvia Rosa
Humaniora Vol 31, No 3 (2019)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (457.747 KB) | DOI: 10.22146/jh.43880

Abstract

Tambo Minangkabau is a storehouse of knowledge about the history of the Minangkabau people. Initially, it developed as oral literature, passed from generation to generation in the Minangkabau community in West Sumatra, an Indonesian provinces with a matrilineal kinship structure. However, after the Minangkabau people embraced Islam, Tambo began to be written using Jawi characters in Arabic thus becoming an historical literary work. Tambo tells the history of the Minangkabau ethnic group and also the history of customs and Minangkabau culture. Tambo records past events, stories about the origins of Minangkabau ancestors, philosophy, norms and laws in community life, and even the tragedies that have occurred in this ethnic group. To express the tragedies that have occurred in the past history of the Minangkabau ethnic group, Tambo uses the power of symbolic language. There are two episodes in Tambo that illustrate this. This article reveals the strategy of hiding a tragedy by the Minangkabau tribe through the power of the use of language in historical literary works, especially those depicted in the episodes of “Teka-teki Kayu Tataran” and “Teka-teki Unggas”.