Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Moral Character Education In Early Childhood In The Hindu Family I Made Adi Widnyana; Ida Bagus Komang Sindhu Putra; I Putu Adi Saskara; Anak Agung Ngurah Budiadnyana; I Nengah Juliawan
Vidyottama Sanatana: International Journal of Hindu Science and Religious Studies Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25078/ijhsrs.v4i1.1414

Abstract

This study aims to describe the moral character education in early childhood in the Hindu family. Education itself is the noblest thing in achieving physical and spiritual perfection, education, which should begin to be instilled as early as possible, starting moral character education cultivation from the smallest environment, namely the family. In the family, children feel a peaceful and harmonious environment. The results showed that moral character education in early childhood in the Hindu family, in the beginning, children were taught about how to live the greatness of God by carrying out prayers or Tri Sandya three times a day. It was along with the introduction of spiritual songs to develop good behaviors and strengthen their diversity.
Eksistensi Tradisi Makare-Kare Sebagai Intangible Heritage Tourism Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Putu Ersa Rahayu Dewi; I Nengah Juliawan
Maha Widya Duta : Jurnal Penerangan Agama, Pariwisata Budaya, dan Ilmu Komunikasi Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/duta.v5i2.1698

Abstract

Bali has a variety of traditions that can become an attraction for cultural tourism, one of which is the Makare-Kare tradition found in the Bali Aga Village, namely the Tenganan Pegringsingan Traditional Village. As a Balinese Aga community, the Tenganan Pegringsingan Traditional Village has a distinctive style and identity compared to the Balinese people in general. The development of the Makare-Kare tradition every year experiences changes that lead to a more complex one through the development of tourism in the Tenganan Pegringsingan traditional village which has a positive impact and the Makare-Kare tradition is included in the intangible cultural heritage category. This tradition still exists and runs without any significant changes that can obscure the meaning or noble values of the makare-kare tradition, this is due to the persistence factor of the Tenganan Pegringsingan traditional village community in applying village law or awig-awig. This study uses a qualitative method with the data sources used in this study are primary data and secondary data through an ethnographic approach.Keywords: cultural tourism, Makare-Kare tradition, intangible cultural heritage.
PELESTARIAN HUTAN ADAT BERBASIS LOCAL WISDOM DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN KECAMATAN MANGGIS KABUPATEN KARANGASEM I Nengah Arimbawa; I Nengah Juliawan
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v5i2.1751

Abstract

Masyarakat lokal atau masyarakat adat secara historis telah mengembangkan sistem pengelolaan lokalnya sendiri terhadap lingkungan dan sumber daya alamnya. Sistem pengelolaan tingkat lokal atau sistem pengelolaan adat tersebut umumnya didasarkan atas praktek adat, tradisi kebiasaan, kepercayaan, dan pengetahuan yang merupakan kearifan lokal setempat dengan syarat-syarat khusus sesuai dengan peraturan adat. Kearifan lokal (local wisdom) juga bertumbuh kembang di desa Bali Aga yakni desa adat Tenganan Pegringsingan, kearifan lokal tersebut mempengaruhi tentang pelestarian lingkungan di desa adat Tenganan Pegringsingan, yang salah satunya tentang pelestarian hutan yang masih terjaga dan mempertahankan pola hidup dengan tata masyarakatnya mengacu pada aturan adat atau awig-awig masyarakat adat dengan pola pengelolaan yang dilakukan berdasarkan sistem adat setempat serta sejalan dengan nilai-nilai tradisional di dalamnya melalui Awig-awig yang mengatur lingkungan hidup di desa adat Tenganan Pegringsingan dibagi menjadi beberapa pasal, diantaranya ; pasal 8, 9, 10, 12, 14, 37, 38, dan pasal 61. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi, dengan unsur-unsur upaya masyarakat melestarikan lingkungan berbasis local wisdom.Kata Kunci : Hutan, Local Wisdom, Awig-awig.
EKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP HARMONISASI KRAMA DESA DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN I Wayan Landrawan; I Nengah Juliawan
Pariksa: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v6i1.2242

Abstract

Krama Desa Adat Tenganan Pegringsingan memiliki prinsip interaksi yang mengarah pada keseimbangan dan keharmonisan. Prinsip keseimbangan merupakan pola bagimana harmonisasi tercipta melalui hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Awig-awig sebagai konsensus yang dipahami, diyakini, dan ditaati membentuk pola bagaimana menjaga, memelihara dan melanjutkan peradaban yang harmonis pada tiap generasi Krama Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Semua bentuk pola aktivitas Krama Desa adat Tenganan Pegringsingan bermuara pada eksistensi awig-awig dalam menjaga keseimbangan sehingga tercipta harmonisasi hubungan masyarakat baik secara vertikal dan horizontal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu fenomena sosial dengan pendekatan etnografiKata Kunci: Awig-awig, harmonisasi, Krama Desa, Tengangan Pegringsingan.
Tradisi Matimpugan Sebagai Akar Pendidikan Integratif Membangun Karakter Teruna-Daha Tenganan Pegringsingan I Nengah Juliawan; Putu Ersa Rahayu Dewi
Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/widyacarya.v5i2.966

Abstract

AbstrakPelaksanaan proses pendidikan merupakan upaya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi untuk persaingan di era globalisasi. Pendidikan baik formal maupun informal, adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan kepada generasi yang lebih muda agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berdasarkan pendidikan integritas memberikan rasa suasana kebatinan dan keutuhan yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Matimpugan merupakan akar Pendidikan integritas dalam konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan serta konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip yang diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Tradisi Matimpugan merupakan salah satu upacara daur hidup yang terdapat dalam bagian proses Materuna Nyoman yang dilaksanakan oleh remaja di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, dimana dalam tradisi ini memberikan makna mendalam sebagai pendidikan yang membentuk karakter pemuda Hindu yang religious. Karya tulis ilmiah ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi dengan cara mencatat setiap data yang diperoleh dari lapangan.Kata Kunci : Pendidikan, Integritas, Matimpugan, Teruna-Daha.
TRADISI MATIMPUGAN SEBAGAI AKAR PENDIDIKAN INTEGRATIF MEMBANGUN KARAKTER TERUNA-DAHA TENGANAN PEGRINGSINGAN I Nengah Juliawan; Putu Ersa Rahayu Dewi
Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya Vol 6, No 2 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/widyacarya.v6i2.1527

Abstract

Pelaksanaan proses pendidikan merupakan upaya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi untuk persaingan di era globalisasi. Pendidikan baik formal maupun informal, adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan kepada generasi yang lebih muda agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berdasarkan pendidikan integritas memberikan rasa suasana kebatinan dan keutuhan yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Matimpugan merupakan akar Pendidikan integritas dalam konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan serta konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip yang diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Tradisi Matimpugan merupakan salah satu upacara daur hidup yang terdapat dalam bagian proses Materuna Nyoman yang dilaksanakan oleh remaja di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, dimana dalam tradisi ini memberikan makna mendalam sebagai pendidikan yang membentuk karakter pemuda Hindu yang religious. Karya tulis ilmiah ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi dengan cara mencatat setiap data yang diperoleh dari lapangan.Kata kunci:Pendidikan, Integritas, Matimpugan, Teruna-Daha
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP KRAMA DESA DALAM TRADISI MUHU-MUHU DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN Putu Ersa Rahayu Dewi; I Nengah Juliawan
Guna Widya: Jurnal Pendidikan Hindu Vol 9 No 2 (2022): Jurnal Guna Widya Volume 9 Nomor 2 September 2022
Publisher : Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.379 KB) | DOI: 10.25078/gw.v9i2.1515

Abstract

Abstract The Muhu-Muhu tradition is one of the cleaning ceremonies and returns, all elements in Bhuana agung and Bhuana alit back to their place, which is carried out by Krama desa in the Tenganan Pegringsingan Traditional Village, which in this tradition gives deep meaning as the internalization of values ​​that shape the character of Hindu society. religious ones. The first internalization process is transformation. The transformation process is defined as a process carried out by educators to inform good and bad values. At the transformation stage in the internalization process, educators do it through verbal communication. This value transformation process is only the transfer of knowledge from educators to students. The value transaction stage is the second process, in the stage of the process of internalizing character values ​​to students, namely Krama Desa in including ethical values ​​in maintaining a tradition it has. The actualization of character values ​​in internalization leads to ethics and morals. Every Krama Desa who is equipped in the stage of transinternalization of values ​​about the Muhu-Muhu tradition finds a truly deep understanding of the meaning of a character value, living side by side peacefully, both with fellow creatures of this nature, on a scale and niskala. The results of the process of internalizing character values ​​to Village Krama in the Muhu-Muhu tradition include religious values, social values, tolerance values, discipline values, friendly/communicative values, creative values, responsibility values ​​and aesthetic values. Keywords: Muhu-Muhu Tradition, Education, Character Values, Village Courtesy
EXAMINING THE CULTURAL SIGNIFICANCE OF WAYANG KEBO GRINGSING PATTERN IN TENGANAN PEGRINGSINGAN TRADITIONAL VILLAGE FROM TRI HITA KARANA PERSPECTIVE I Nengah Juliawan
Cultoure: Jurnal Ilmiah Pariwisata Budaya Hindu Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/cultoure.v4i1.3100

Abstract

Woven fabric is one of the results of community culture and is one of the crafts that still survive in the midst of society, especially in Bali. One of the woven fabrics that has prestige value in Bali and even Indonesia is woven fabric with double ikat technique known as gringsing woven fabric. Gringsing woven fabric is the result of the original culture of the Bali Aga people, namely the Tenganan Pegringsing an Traditional Village. One of the gringsing woven fabrics is the gringsing wayang kebo motif which is considered exclusive because the motif contained in the fabric sheet is inspired by the story of the Mahabharata epic. This research is a qualitative type of research that produces descriptive data. In general, gringsing  fabric has three basic colors, namely white, black and red, which explicitly symbolize the beliefs of Balinese Hindus called the trinity of the main gods, namely Tri Murti (Brahma, Vishnu and Shiva). The wayang kebo motif has a more complicated pattern than the gringsing barak motif in general, this is because there is a composition of shapes and colors that can be considered perfect in terms of style and in terms of the manufacturing process is quite complicated. The patterns contained in this wayang kebo gringsing  cloth are believed to be the concept of life of the Tenganan Pegringsing an community which boils down to the philosophy of Tri Hita Karana, which is visualized in 3 large pattern forms namely (1) Main Pattern, (2) Middle Pattern, (3) Edge Pattern.Keywords: Culture, Woven fabric, Gringsing  wayang kebo, Tenganan Pegringsing an, Tri Hita Karana.
IMPLEMENTASI AWIG-AWIG PERKAWINAN TERHADAP KETAHANAN SOSIAL KEAGAMAAN DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN I Nengah Juliawan; Putu Ersa Rahayu Dewi
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/subasita.v2i2.1767

Abstract

Bali is one of the provinces in Indonesia, with customary law regulated in awig-awig which has become an agreement in the customs that apply in indigenous people which are shown to regulate the needs of the community, one of which is the marriage rule. Traditional marriages held in the Tenganan Pegringsingan traditional village are an inner and outer bond between men and women carried out with a series of sacred events in order to form and build a safe and controlled family based on awig-awig which incidentally is the basis of social resilience of the Tenganan Pegringsingan traditional village communitywhich has been regulated in Article 4, Article 5, Article 15, Article 16, Article 32, Article 40, Article 49, Article 50, Article 56, and Article 57. This manuscript is based on qualitative research, through descriptive analysis methods and ethnographic approaches.Keywords: awig-awig, marriage, social resilience
HITANING BHUWANA GUMI BALI AGA MELALUI TRADISI MUHU-MUHU DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN I Nengah Juliawan; Putu Ersa Rahayu Dewi
Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali Vol 3, No 2 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/subasita.v3i2.2768

Abstract

Tradisi muhu-muhu merupakan salah satu tradisi yang berasal dari Desa Adat Tenganan Pagringsingan yang masih dilestarikan hingga saat ini. Tradisi muhu-muhu merupakan salah satu bentuk Hitaning Bhuana atau harmonisasi dunia dengan mengembalikan segala unsur di Bhuana Agung dan Bhuana Alit kembali pada tempatnya, yang dilaksanakan oleh krama desa di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Tradisi ini memberikan makna mendalam bagaimana pentingnya manusia membangun nilai-nilai yang mencerminkan keharmonisan secara skala dan niskala yang dituangkan dalam prosesi ritual keagamaan dengan serangkaian upacarAnya.Kata kunci: Bali Aga, Hitaning Bhuwana Gumi, Muhu-Muhu