Anak Agung Oka Puspa
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KAJIAN ADAT JUJURAN DALAM PERKAWINAN SUKU DAYAK MERATUS DI DESA KADAYANG KALIMANTAN SELATAN Winda Winda; Kadek Hemamalini; Anak Agung Oka Puspa; I Made Biasa
Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu Vol 11 No 2 (2020): Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu
Publisher : STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36417/widyagenitri.v11i2.386

Abstract

Tulisan ini membahas tentang Adat Jujuran dalam Perkawinan Dayak Meratus di Desa Kadayang Kalimantan Selatan. Dimana dalam pelaksanaan upacara perkawinan sering mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh jumlah jujuran yang diminta terlalu besar sehingga menyebabkan pihak laki-laki tidak sanggup untuk membayarnya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan bahkan tidak jarang lebih memilih menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan dalam proses perkawinan masyarakat Hindu Kadayang bentuk jujuran yang diserahkan kepada adat dan juga keluarga pengantin wanita berupa sejumlah uang, yang jumlahnya tidak mengikat, tetapi disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai laki-laki. Besar kecilnya jumlah jujuran adalah hasil negosiasi yang terjadi pada acara Baruji. Makna yang terkandung dalam adat jujuran secara teologis bahwa perkawinan masyarakat Hindu desa Kadayang dikatakan sah apabila menggunakan adat jujuran yang harus disaksikan oleh adat dan disaksikan oleh Tuhan yang disimbolkan dengan penggunaan sirih, pinang dan kapur sebagai simbol Tuhan. Makna sosial kemasyarakatan dalam adat jujuran sebagai wujud penghargaan kepada orang tua calon mempelai perempuan dan ikatan yang menyatukan dua buah keluarga yang berbeda melalui pernikahan. Sanksi sosial keagamaan jika perkawinan dilaksanakan tanpa mengunakan adat jujuran maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah secara agama.
Tradisi Reboan Sebagai Upacara Pitra Puja Pada Masyarakat Hindu Jawa Di Lampung (Kajian Komunikasi Sosio-Religius) Anak Agung Oka Puspa; Kadek Hemamalini; Untung Suhardi; Wayan Kemenuh
Kamaya: Jurnal Ilmu Agama Vol 3 No 3 (2020)
Publisher : Jayapangus Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.041 KB)

Abstract

The tradition of Hindus in Pujodadi Village, Pesawaran District, Lampung, the Reboan tradition is an important part of respecting their ancestors. For Hindus, the tradition of Reboan is not only carried out on certain counts which are usually carried out to honor ancestors by the general public, after a thousand days ancestral worship is still carried out. There are two identifications that formulate the problem in this study, namely the meaning of the Reboan tradition as the Pitra Puja Ceremony on the Javanese Hindu Society in Lampung and the implications of the Reboan tradition as the Pitra Puja Ceremony on the Javanese Hindu Society in Lampung. The thesis research method uses a type of qualitative descriptive research method with a phenomenological approach and data collection from the results of interviews, documentation, and observation, then the authors analyze the data with analysis in the field then do data reduction, data presentation, and finally the conclusion. The results of the study show that the meaning of the Reboan Tradition is an activity carried out to strengthen the kinship among Hindus in Pujodadi Lampung Village to improve Sraddha and Bhakti through the pitra puja ceremony. The implications of the Reboan Tradition for Javanese Hindus in Pujodadi in the socio-religious aspects show a better understanding of Sraddha and Bhakti. In the social aspect, the interaction between Javanese Hindus in Pujodadi is getting better which is shown by the increasing sense of kinship among the people.
Kajian Nilai Nilai Kemanusiaan Pada Upacara Nyulubang/Mekingsan (Studii Kasus di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung) Putu Panila Saputra; I Ketut Budiawan; Anak Agung Oka Puspa
Pasupati Vol 9, No 2 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37428/pasupati.v9i2.334

Abstract

This study discusses: Study of Human Values at the Nyulubang Ceremony in Mesuji Regency, Lampung Province. The Nyulubang or Mekingsan ceremony in Mesuji Regency is very important to study because it is carried out from generation to generation but not many understand its function, and meaning, but in general people believe there will be impacts if the tradition is violated. the meanings and values of humanity that are written and implied in it. In general, this study aims to describe the data and facts that occur in the field so that it is expected to be a guide and provide guidance to the public in order to know how the procession of the Nyulubang Mekingsan Ceremony in Mesuji Regency, Lampung Province; This study uses qualitative research methods to systematically obtain data, determine data sources, data processing, and data analysis so that it can be understood about the Human Values at the Nyulubang Ceremony in Mesuji Regency, Lampung Province. The results of this study reveal that the Nyulubang/Mekingsan ceremony is carried out by Hindus in Mesuji Regency, Lampung Province, because there is no good day to carry out the pitra Yadnya ceremony (burying the corpse carrying out the Pengabenan Ceremony). The Nyulubang/Mekingsan ceremony is a procession of burying corpses carried out by Hindus in Mesuji Regency, Lampung Province secretly (not reporting to Kelian Adat, Parisada, and other Village Officials, therefore the implementation is only attended by the closest family). The purpose of carrying out the Nyulubang / Mekingsan Ceremony is so that the body is not long left in the house. The human values contained in the Nyulubang/Mekingsan ceremony are the values of compassion, non-violence, the value of peace, the right attitude, and the truth.
Upacara Autotu Nimoe (Pemakaman Mayat) Sebagai Proses Pembelajaran Teologi Hindu Pada Masyarakat Etnik Nuaulu Kampung Lama, Desa Sepa, Kabupaten Maluku Tengah Wanasia Peririsia; Anak Agung Oka Puspa; I Made Sutresna
Pasupati Vol 9, No 1 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37428/pasupati.v9i1.323

Abstract

This study discusses the understanding of the Autotu Nimoe (corpse burial) ceremony as a learning process for the Hindu theology of the Nuaulu ethnic group in Lama village, Sepa village, Central Maluku district. This study discusses the understanding of the Nuaulu ethnic community towards the form, meaning and function of the Autotu Nimoe (corpse burial) ceremony. This study aims to determine the understanding of the ethnic community of Nuaulu Autotu Nimoe Ceremony (corpse burial). In this study using an approach approach, with interview and library techniques. The results of the study reveal that the Autotu Nimoe (corpse burial) ceremony is still applied by the Nuaulu ethnic community until now in the same form. The understanding of the Nuaulu ethnic community about this ceremony is that it has been carried out by ancestors from ancient times.
KAJIAN ADAT JUJURAN DALAM PERKAWINAN SUKU DAYAK MERATUS DI DESA KADAYANG KALIMANTAN SELATAN Winda Winda; Kadek Hemamalini; Anak Agung Oka Puspa; I Made Biasa
Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu Vol 11 No 2 (2020): Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu
Publisher : STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36417/widyagenitri.v11i2.386

Abstract

Tulisan ini membahas tentang Adat Jujuran dalam Perkawinan Dayak Meratus di Desa Kadayang Kalimantan Selatan. Dimana dalam pelaksanaan upacara perkawinan sering mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh jumlah jujuran yang diminta terlalu besar sehingga menyebabkan pihak laki-laki tidak sanggup untuk membayarnya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan bahkan tidak jarang lebih memilih menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan dalam proses perkawinan masyarakat Hindu Kadayang bentuk jujuran yang diserahkan kepada adat dan juga keluarga pengantin wanita berupa sejumlah uang, yang jumlahnya tidak mengikat, tetapi disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai laki-laki. Besar kecilnya jumlah jujuran adalah hasil negosiasi yang terjadi pada acara Baruji. Makna yang terkandung dalam adat jujuran secara teologis bahwa perkawinan masyarakat Hindu desa Kadayang dikatakan sah apabila menggunakan adat jujuran yang harus disaksikan oleh adat dan disaksikan oleh Tuhan yang disimbolkan dengan penggunaan sirih, pinang dan kapur sebagai simbol Tuhan. Makna sosial kemasyarakatan dalam adat jujuran sebagai wujud penghargaan kepada orang tua calon mempelai perempuan dan ikatan yang menyatukan dua buah keluarga yang berbeda melalui pernikahan. Sanksi sosial keagamaan jika perkawinan dilaksanakan tanpa mengunakan adat jujuran maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah secara agama.