Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Teknologi Induced Pluripotent Stem Cell (IPSC) Berbasis Metode 3D Hanging Drop Sebagai Terapi Genodermatosis Generasi Baru DONI DERMAWAN; ELI HALIMAH
Farmaka Vol 15, No 2 (2017): Farmaka
Publisher : Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2430.158 KB) | DOI: 10.24198/jf.v15i2.12908

Abstract

Genodermatosis merupakan penyakit kulit disebabkan oleh faktor genetik yang berkaitan langsung dengan defisiensi struktur dan fungsi kulit. Beberapa jenis genodermatosis diakibatkan oleh adanya keterlibatan multisistem patologis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bagi penderitanya. Tingkat insidensi genodermatosis di seluruh dunia yakni antara 1:6000 sampai 1:500.000 dari penyakit kulit secara keseluruhan dan biasanya terjadi sejak lahir dan beberapa terjadi pada usia anak-anak. Keterbatasan akses terapi yang efektif, aman, dan terbukti secara klinis merupakan permasalahan utama dalam penanganan genodermatosis. Terapi gen merupakan fokus utama penelitian sebagai pilihan terapi genodermatosis namun juga memiliki keterbatasan meliputi risiko induksi tumor, pemilihan vektor, ekspresi gen dengan waktu yang singkat, adanya respons imun terhadap terapi gen yang diberikan, terbatas pada penyakit monogenik, dan risiko munculnya efek genotoksisitas. Tujuan dari literature review ini adalah untuk menganalisis secara komprehensif mengenai teknologi Induced Pluripotent Stem Cell (iPSC) berbasis metode kultur sel 3D Hanging Drop sebagai generasi baru terapi genodermatosis. Hasil studi menunjukkan Teknologi induced pluripotent stem cell (iPSC) yang dikombinasikan dengan metode kultur sel 3D hanging drop memiliki potensi yang sangat tinggi dalam penanganan penyakit genodermatosis ditinjau dari aspek keamanan berdasarkan profil keunggulan karakteristik koreksi secara genetik dengan mengganti jaringan yang mengalami mutasi dengan jaringan yang telah diprogram ulang. Kata Kunci : 3D hanging drop, Genodermatosis, iPSC (induced Pluripotent Stem Cell) 
Aktivitas Antikanker Prostat Beberapa Tumbuhan Di Indonesia Rena Choerunisa; Eli Halimah
Farmaka Vol 16, No 1 (2018): Suplemen Juni
Publisher : Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1842.155 KB) | DOI: 10.24198/jf.v16i1.17459

Abstract

ABSTRAKKanker merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia dengan angka kejadian yang semakin signifikan. Salah satu jenis kanker yang dilaporkan sebagai penyebab kematian utama pada pria setelah kanker paru-paru, yaitu kanker prostat. Untuk mengobati penyakit ini, beberapa terapi telah digunakan, diantaranya kemoterapi, terapi hormon, pembedahan, atau terapi radiasi. Akan tetapi dalam penerapannya, terapi tersebut dinilai masih belum efektif akibat efek samping yang ditimbulkan serta biaya pengobatan yang mahal sehingga untuk mengatasi masalah tersebut, para peneliti telah banyak melakukan pengembangan terapi kanker, yaitu dengan memanfaatan herbal sebagai agen antikanker. Dari hasil penelusuran pustaka terhadap tumbuhan-tumbuhan yang memiliki aktivitas antikanker prostat, tumbuhan Sirsak, Jambu Air, Adas, Rosmeri dan Jahe memiliki IC50 masing-masing sebesar 18.2 ppm, 4.59 ppm, 12.5 ppm, 26.6 ppm, dan 88 ppm.Kata Kunci : Kanker prostat, antikanker, herbal, IC50
Tinjauan Pustaka Mengenai Karakteristik Radioisotop yang Digunakan pada Pembuatan Radiofarmaka RISDA RAHMI ISLAMIATY; ELI HALIMAH
Farmaka Vol 16, No 1 (2018): Suplemen Juni
Publisher : Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1785.756 KB) | DOI: 10.24198/jf.v16i1.17452

Abstract

Radiofarmaka merupakan suatu obat yang biasa digunakan untuk diagnosis ataupun terapi. Perbedaan antara radiofarmaka dengan obat biasa adalah terkandungnya radioisotop. Radioisotop merupakan isot­op yang bersifat tidak stabil sehingga akan memancarkan suatu energi radioaktif untuk mencapai bentuk yang stabilnya. Pancaran radioaktif yang ditimbulkan pada setiap jenis radioisotop yang digunakan pada radiofarmaka memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan pada pancaran radioaktif mempengaruhi tujuan pengaplikasian radiofarmaka. Radioisotop yang memiliki sifat pemancar sinar gamma umum  digunakan untuk diagnosis sedangkan yang memancarkan sinar beta umum digunakan untuk terapi. Karakteristik lain yang dilihat, antara lain sifat metal dan non metal radioisotop yang menyebabkan perbedaan metode pembuatan radiofarmaka.Kata Kunci : Radiofarmaka, Radioisotop, sinar gamma, sinar beta.
SOSIALISASI PROTOKOL ADAPTASI KEBIASAAN BARU DI MASYARAKAT DESA SAYANG MELALUI MEDIA SOSIAL DAN TEMU MAYA Muchtaridi Muchtaridi; Cecep Suhendi; Nasrul Wathoni; Sandra Megantara; Eli Halimah
Dharmakarya Vol 10, No 3 (2021): September, 2021
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/dharmakarya.v10i2.31147

Abstract

Pandemi coronavirus yang diakibatkan oleh SARS-CoV-2 (Covid-19) telah menyebabkan berbagai permasalahan, meliputi kesehatan, ekonomi, dan sosial. Penyesuaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari di masa pandemi penting untuk dilakukan demi mencegah penularan dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat Desa Sayang, Kabupate Sumedang, dilakukan survey mengenai pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) dan ditindaklanjuti dengan pemberian materi berupa “Sosialisasi Protokol Adaptasi Kebiasan Baru pada Masyarakat Kabupaten Sumedang” dalam bentuk webinar. Hasil survey menunjukkan bahwa 95,2% masyarakat sudah mengetahui adanya penerapan protokol kesehatan di masa AKB. Namun demikian, hanya 64% masyarakat saja yang mengetahui tata cara pelaksanaan protokol kesehatan di masa AKB. Dengan demikian, diharapkan bahwa melalui sosialisasi protokol kesehatan di masa AKB dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam menjalankan hidup sehat di masa AKB
Pengujian Efek Antikalkuli dari Herba Seledri (Apium graveolens L.) secara In Vitro Taofik Rusdiana; Sriwidodo Sriwidodo; Jajan Solahudin; Eli Halimah; Aep W Irwan; Suseno Amin; Sri A Sumiwi; Marline Abdassah
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology Vol 2, No 2 (2015)
Publisher : Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (153.042 KB) | DOI: 10.15416/ijpst.v2i2.7812

Abstract

Tanaman seledri (Apium graveolens L.) mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder antara lain flavonoid, polifenol, dan kuinon. Tanaman seledri selain untuk bumbu masakan dan sayuran, telah lama digunakan sebagai obat tradisonal untuk penurun tekanan darah tinggi (hipertensi), diuretik, dan hematuria. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap khasiat lain dari tanaman seledri sebagai antikalkuli atau peluruh batu ginjal. Pengujian efek antikalkuli (bagian dari uji preklinis) dilakukan secara in vitro yaitu dengan menguji tingkat kelarutan komponen batu ginjal (kalsium oksalat atau magnesium ammonium fosfat) sebagai solut (100 mg serbuk batu) dalam berbagai variasi konsentrasi sediaan cair seledri sebagai solven dibandingkan dengan solven air (volumen= 10 mL, suhu= 37 oC, waktu= 4 dan 24 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cairan infusa seledri pada konsentrasi 1,3; 3,3; dan 5,0% dapat melarutkan komponen kalsium dan magnesium batu ginjal dengan tingkat kelarutan yang secara signifikan lebih besar dibandingkan kelarutan dalam air sebagai kontrol negatif (konsentrasi 5%, Ca: 4,657 vs 199 ppm, Mg: 9,912 vs 9,37 ppm). Sementara fraksi air dari ekstrak metanol seledri juga menunjukkan daya larut yang signifikan terhadap baik kalsium maupun magnesium komponen batu ginjal pada konsentrasi pada 0,5% dibandingkan air (Ca: 3,7 vs 1,5 ppm dan Mg: 25,9 vs 14,5 ppm). Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa herba seledri memiliki potensi sebagai peluruh batu ginjal dengan mekanisme melarutkan kristal komponen batu ginjal. Kata kunci: Antikalkuli, Apium graveolens L., batu ginjal, seledri
Perbandingan Efektivitas Ampisilin dengan Ampisilin-Gentamisin pada Pasien Balita dengan Pneumonia Salma H. California; Rano K. Sinuraya; Eli Halimah; Anas Subarnas
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (308.09 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2018.7.1.52

Abstract

Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian anak usia di bawah lima tahun (balita) di dunia. Terapi antibiotik untuk pneumonia biasanya dipilih secara empirik karena mikroorganisme penyebab pneumonia belum dapat diketahui saat diagnosis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi antibiotik empirik pneumonia dengan menggunakan ampisilin tunggal maupun dikombinasikan dengan gentamisin pada balita yang dirawat dengan pneumonia di salah satu rumah sakit di kota Bandung pada tahun 2013–2015. Metode penelitian yang digunakan adalah potong lintang dengan pengambilan data sekunder secara retrospektif. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Chi Square, uji Fisher, dan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas antara pasien yang diterapi menggunakan ampisilin maupun ampisilin-gentamisin dari parameter perbaikan batuk (p=0,381), sesak (p=0,294), demam (p=0,405), maupun laju pernapasan (p=0,306), namun terdapat perbedaan pada lama hari rawat (p<0,001). Tidak adanya perbedaan efektivitas pada parameter perbaikan gejala (sesak dan batuk) dan tanda (suhu tubuh dan laju pernapasan) tersebut dapat menjadi dasar untuk rekomendasi penggunaan ampisilin tunggal sebagai pilihan terapi utama pada pasien pneumonia balita. Selain pertimbangan efektivitas terapi, pemberian terapi antibiotik harus memperhatikan aspek lain seperti pola kepekaan bakteri, risiko efek samping pada pasien, serta efektivitas biaya.Kata kunci: Anak, antibiotik, efektivitas, pneumonia, terapi empirik Effectiveness of Ampicillin and Ampicillin-Gentamicin for Children under Five Years Old with PneumoniaPneumonia was one of the main causes of mortality in children aged under five years old. Empirical antibiotic therapy was usually selected in pneumonia because the microorganisms have not been known at diagnosis. The purpose of this study was to compare the effectiveness of empirical antibiotic therapy using ampicillin or ampicillin-gentamicin for children aged under five years old with pneumonia at one hospital in Bandung in period of 2013–2015. The method used in this study was cross-sectional method with retrospective data collection. Collected data were analyzed using Chi-Square, Fisher, and Mann-Whitney methods. The results showed that there was no difference in effectiveness between patients treated with ampicillin and ampicillin-gentamicin from improvement of cough (p=0.381), shortness of breath (p=0.294), fever (p=0.405), and respiratory rate (p=0.306) parameters but there was a difference in length of stay (p<0.001). Therefore, it might be the basis for the use of a single ampicillin as a primary treatment option in pneumonia for children aged under five years old. In addition, antibiotic therapy should consider other aspects such as bacterial susceptibility patterns, the risk of side effects in patients, as well as cost effectiveness.Keywords: Antibiotic, children, effectiveness, empirical therapy, pneumonia
Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP) sebagai Penanda Biokimiawi untuk Membedakan Stroke Iskemik dan Hemoragik Eli Halimah; Evy Liswati; Erwin Sasmita
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6927.71 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2017.6.1.55

Abstract

Strok merupakan sindrom neurologis yang bersifat akut yang terjadi karena adanya penurunan aliran darah yang disebabkan oleh terhambat atau pecahnya pembuluh darah otak (cerebrovaskular) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak. Berdasarkan patogenesisnya, terdapat dua jenis strok, yaitu strok iskemik dan hemoragik. Penanganan pengobatan pada kedua jenis strok tersebut sangat berbeda sehingga diperlukan diagnosis diferensial untuk membedakan kedua jenis strok tersebut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menentukan apakah Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP) dapat dijadikan sebagai parameter penanda biokimiawi untuk membedakan strok iskemik dan hemoragik. Penetapan kadar H-FABP dilakukan dengan menggunakan serum darah dan dianalisis dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) sandwich masing-masing menggunakan H-FABP test kit. Serum darah diambil dari 20 orang pasien strok iskemik dan 18 orang pasien strok hemoragik dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), Unit Strok dan Instalasi Rawat Inap di salah satu Rumah Sakit Umum di Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rata-rata H-FABP pada pasien strok iskemik sebesar 9,07 ng/mL sedangkan pasien strok hemoragik sebesar 18,54 ng/mL; secara statistik terdapat perbedaan kadar H-FABP yang signifikan antara pasien strok iskemik dan hemoragik (α=0,05). Dengan demikian, Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP) dapat dijadikan sebagai salah satu parameter penanda biokimiawi untuk membedakan strok iskemik dan hemoragik.Kata kunci: Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP), strok hemoragik, strok iskemik Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP) as a Biochemical Marker to Differentiate Ischemic and Hemorrhagic StrokeAbstractStroke is an acute neurological syndrome that occurs due to a decrease in blood flow caused by blocked or rupture of blood vessels of the brain (cerebrovascular) that causes damage to brain tissue. Based on the pathogenesis, there are two types of stroke, the ischemic and hemorrhagic stroke, in which the handling of treatment in both types of stroke are very different, so the differential diagnosis is required to distinguish the two types of stroke. The purpose of this study is to determine whether Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP) can be used as a parameter of biochemical marker to distinguish between ischemic and hemorrhagic stroke. H-FABP assay is performed using blood serum and analyzed by Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) sandwich method, each using H-FABP test kit. Blood serum taken from 20 patients with ischemic strokes and 18 hemorrhagic stroke patients from one of a hospital in Jakarta. The results showed that the average H-FABP concentration in ischemic stroke‑patients is 9,07 ng/mL and hemorrhagic stroke‑patients is 18,54 ng/mL; statistically there are significant difference between H-FABP concentration in ischemic stroke‑patients and hemorrhagic stroke-patients (α=0.05). Thus Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP) can be used as one of the parameters of biochemical markers to distinguish between ischemic and hemorrhagic stroke.Keywords: Heart-type Fatty Acid-Binding Protein (H-FABP), hemorrhagic stroke, ischemic stroke
Hubungan Pola Sensitivitas Bakteri pada Penggunaan Antibiotik Empirik terhadap Pencapaian Clinical Outcome Pasien Pneumonia Anak Vesara A. Gatera; Ahmad Muhtadi; Eli Halimah; Dwi Prasetyo
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7892.903 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2014.3.4.127

Abstract

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang memerlukan upaya komprehensif dan efektif dalam penanganannya terutama dalam penggunaan antibiotik empiris. Penggunaan antibiotik empiris harus berdasarkan pola sensitivitas terhadap bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik berdasarkan pola sensitivitas dengan memperhatikan faktor clinical outcome pasien sebagai tujuan pengobatan. Penelitian ini dilaksanakan di RS Dr. Hasan Sadikin pada bulan Oktober–Desember 2013 dengan menerapkan desain potong lintang secara retrospektif. Data sekunder diperoleh dari rekam medis dalam kurun waktu Januari 2011–Desember 2012. Objek penelitian terdiri dari rekam medis 24 pasien berusia 1–5 tahun dengan hasil kultur positif dan menerima resep antibiotik. Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan sefotaksim-ampisilin sebesar 37,5%, sefotaksim 33,3%, ampisilin 20,8%, dan seftriakson 8,4%. Antibiotik yang paling memengaruhi pencapaian clinical outcome dengan taraf kepercayaan 95% adalah kombinasi sefotaksim-ampisilin (p=0,044) dengan tingkat sensitivitas 77,7%. Pola sensitivitas penggunaan antibiotik memengaruhi clinical outcome padapasien pneumonia anak.Kata kunci: Clinical outcome, pneumonia, sensitivitas antibiotikAssociation of Pattern of Bacteria Sensitivity During the Empirical Antibiotics Use to the Achievement of Clinical Outcome in Pediatric Patients with PneumoniaPneumonia is one of infectious diseases that require a comprehensive and effective effort in its treatment,including in the use of empirical antibiotics. The use of empirical antibiotics should be based on patterns of sensitivity toward bacteria. The aim of this study was to evaluate the use of antibiotics based on the sensitivity patterns by clinical outcomes as the goal of treatment. This study was conducted in Hasan Sadikin Hospital Bandung in October–December 2013 using a retrospective cross-sectional study design. Secondary data were obtained from medical records during January 2011–December 2012. This study consisted of 24 patients with positive culture test and received antibiotic prescription. The results showed the percentage of the use of cefotaxime-ampicillin (37.5%), cefotaxime (33.3%), ceftriaxone (20.8%), and ampicillin (8.4%). The most influential antibiotics for achieving clinical outcome using 95% confidence level is combination of cefotaxime-ampiciline (p=0.044) with 77.7% sensitivity level. This study suggested that the pattern of antibiotic sensitivity affected the clinical outcomes of pediatric patients with pneumonia.Key words: Clinical outcome, pneumonia, sensitivity of antibiotic
Monitoring Penggunaan Antibiotik dengan Metode ATC/DDD dan DU 90%: Studi Observasional di Seluruh Puskesmas Kabupaten Gorontalo Utara Sarini Pani; Melisa I. Barliana; Eli Halimah; Ivan S. Pradipta; Nurul Annisa
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 4, No 4 (2015)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2722.634 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2015.4.4.280

Abstract

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Monitoring penggunaan antibiotik diperlukan dalam mendukung program pemerintah khususnya Dinas Kesehatan yang menyatakan penggunaan antibiotik untuk penyakit ISPA non-pneumonia adalah kurang dari 20%. Evaluasi penggunaan antibiotik ini menggunakan metode ATC/DDD dan DU 90%. Antibiotik yang digunakan untuk ISPA non-pneumonia adalah sebanyak 9 jenis dan antibiotik yang masuk dalam DU90% sebanyak 3 jenis yaitu amoksisilin 500 mg (2,723 DDD/1000 pasien-hari), siprofloksasin (0,378 DDD/1000 pasien-hari) dan sefadroksil (0,202 DDD/1000 pasien-hari). Analisis data secara kuantitatif menggunakan ATC/DDD menunjukkan bahwa antibiotik yang banyak digunakan adalah amoksisilin (500 mg) 2723 DDD/1000 pasien-hari dan yang paling sedikit yaitu amoksisilin (125 mg/5 ml) 1,5 DDD/1000 pasien-hari. Efek peresepan penggunaan antibiotik jangka pendek pada pelayanan pengobatan dasar dapat meningkatkan kejadian resistensi. Diperlukan studi kualitatif untuk mengetahui pola ketidakrasionalan penggunaan antibiotik di pusat pelayanan kesehatan masyarakat tersebut dan mengembangkan model intervensinya.Kata kunci: ATC/DDD, DU 90%, ISPA non-pneumonia antibiotikMonitoring the Use of Antibiotics by the ATC/DDD Method and DU 90%: Observational Studies in Community Health Service Centers in North Gorontalo DistrictIrrational use of antibiotics may lead to increase morbidity and mortality. Monitoring of antibiotics was required to support government programs, especially The Department of Health stating the use of antibiotics for non-respiratory diseases pneumonia was less than 20%. The evaluation of antibiotics use in this research applied ATC / DDD methods and DU 90%. The antibiotic used for non-pneumonia ARI were 9 types and the antibiotics contained DU 90% were three types namely amoxicillin 500 mg (2,723 DDD/1000 patients-year), ciprofloxacin (0,378 DDD/1000 patients-day) and cefadroxil (0,202 DDD/1000 patients-day). Quantitative data analysis using the ATC / DDD indicated that the most used antibiotic was amoxicillin (500 mg) 2723 DDD / 1000 patients-day and the least was amoxicillin (125 mg / 5 ml) 1.5 DDD / 1000 patients-day. The effects of short-term use of antibiotic prescribing in primary medical care could increase the resistance. Qualitative studies were needed to determine the pattern of irrational antibiotic use in community health service center and to develop the intervention model.Keywords: ARI non-pneumonia antibiotics, ATC/DDD, DU 90%
N-MID Osteocalcin (N-MID Oc) dan β-Crosslaps (β-CTx) sebagai Penanda Biokimia Bone Turn Over pada Wanita Menopause Eli Halimah; Wiwik Rositawati; Irma Pratiwi
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7724.024 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2016.5.1.67

Abstract

  Osteocalcin merupakan senyawa penanda untuk pembentukan tulang sedangkan β-CrossLaps (β-CTx) merupakan fragmen hasil pemecahan kolagen tipe 1. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menentukan N-MID osteocalcin (N-MID Oc) dan β-CTx sebagai penanda biokimia Bone Turn Over untuk deteksi dini osteoporosis pada wanita menopause. Nilai N-MID Oc dalam serum ditentukan dengan pereaksi Elecsys N-MID Osteocalcin kit dan nilai β-CTx dalam serum ditentukan dengan pereaksi Elecsys β-CROSSLAPS kit yang bekerja berdasarkan prinsip Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA). Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan Uji-T. Sampel yang dikumpulkan berasal dari wanita normal, osteopenia, dan penderita osteoporosis pada wanita menopause. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nilai N-MID Oc pada wanita menopause normal dengan wanita menopause osteopenia, wanita menopause normal dengan wanita menopause penderita osteoporosis dan wanita menopause osteopenia dengan wanita menopause penderita osteoporosis (α=0,05), sedangkan pada nilai β-CTx terdapat perbedaan antara wanita menopause normal dengan wanita menopause osteopenia, wanita menopause osteopenia dengan wanita menopause osteoporosis, tetapi antara wanita menopause osteopenia dengan wanita menopause osteoporosis tidak menunjukkan perbedaan (α=0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa N-MID Oc dan β-CTx dapat dijadikan parameter untuk deteksi dini osteoporosis.Kata kunci: N-MID Osteocalcin (N-MID Oc), Osteoporosis, β-CrossLaps (β-CTx) N-MID Osteocalcin (N-MID Oc) and β-Crosslaps (β-CTx) as Biochemical Markers of Bone Turnover in Menopausal Women Osteocalcin is a marker compound for bone formation while the β-crosslaps a fragment split from collagen type 1. The aims of this study were to determined of the value of N-MID osteocalcin (N-MID Oc) and β-CTx as a biochemical marker of Bone Turn Over as early detection of osteoporosis in postmenopausal women. The value of N-MID Oc in serum was determined by reagent Elecsys N-MID Osteocalcin kit and the value of β-CTx in serum was determined by reagent Elecsys β-Crosslaps kit which works with the principle of Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA). The data obtained were examined using T-test. The sample collected from normal, osteopenia, and osteoporotic in menopausal women. There were a significant difference N-MID Oc between normal, osteopenia, and osteoporotic in menopausal women (α=0,05). There were significant differences of β-CTx between normal and osteopenia, normal and osteoporosis but between osteopenia and osteoporotic menopausal women not showed any difference (α=0,05). N-MID Osteocalcin (N-MID Oc) and β-CTx can be used as parameter for early detection of osteoporosis.Key words: N-MID Osteocalcin (N-MID Oc), Osteoporosis, β-CrossLaps (β -CTx)