HANUGRAH TITI HABSARI
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ANALISIS NORMATIF KEWAJIBAN ORANG TUA MELAPORKAN ANAKNYA SEBAGAI PECANDU NARKOTIKA DITINJAU BERDASARKAN PASAL 26 AYAT (1) BUTIR a UURI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK HANUGRAH TITI HABSARI
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Februari 2015
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.11 KB)

Abstract

Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Kewajiban Orang Tua Melaporkan Anaknya Sebagai Pecandu Narkotika Ditinjau Berdasarkan Pasal 26 Ayat (1) Butir a UURI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Latar belakang permasalahan tersebut yaitu adanya kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya sebagai pecandu narkotika pada instansi pemerintah terkait berdasarkan pasal 128 ayat (1) UURI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika bila ditinjau dari kewajiban orang tua melindungi anaknya berdasar pasal 26 ayat (1) butir a UURI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah: (1) Apakah kewajiban orangtua untuk melaporkan anaknya sebagai pecandu narkotika sesuai UURI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 128 ayat (1) tidak bertentangan dengan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya sebagaimana diatur pada UURI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? (2) Apakah orang tua yang melakukan inisiatif tersendiri untuk melakukan rehabilitasi tanpa melapor tetap dapat dikenakan sanksi seperti yang terdapat pada UURI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 128 ayat (1)?Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer, sekunder, dan terseier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan teknik interpretasi gramatikal dengan memilih pasal-pasal yang terkait pokok bahasan lalu dianalisis menggunakan hukum pidana materil terkait pasal tersebut.Dari hasil penelitian dengan menggunakan metode tersebut, penulis memperoleh jawaban dari rumusan masalah yaitu kewajiban orangtua untuk melaporkan anaknya sebagai pecandu narkotika sesuai UURI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 128 ayat (1) jelas bertentangan dengan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya sebagaimana diatur pada UURI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat (1) butir a. Orang tua yang melakukan inisiatif tersendiri untuk melakukan rehabilitasi tanpa melapor seharusnya tidak dapat dipidana karena adanya alasan penghapusan pidana yang sebab-sebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan tersebut berasal dari diri si pelaku berupa adanya daya paksa relatif yang disebut keadaan darurat (noodtoestand). Keadaan darurat yang dimaksud berupa perbenturan antara dua kewajiban hukum ini bila dikaji dari segi kesejahteraan anak maka, perlindungan anak menurut UURI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memenuhi dengan tidak melaporkan anaknya sebagai pecandu narkotika pada instansi terkait.Kata Kunci: Kewajiban Orang Tua, Pecandu Narkotika, Anak di Bawah Umur.
Motion Sickness: Holding the Acupressure Point of Village-Owned Business Entities on the Wheel of “Good Corporate Governance” Dewi, Amelia Sri Kusuma; prasetyo, Ngesti Dwi; Rifan, Mohamad; Habsari, Hanugrah Titi
Brawijaya Law Journal Vol. 11 No. 1 (2024): Economic Law
Publisher : Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.blj.2024.011.01.03

Abstract

The transcription of Good Corporate Governance (GCG) scenarios in various state regulations basically attempts to build plots to move various economic resources from an area with low productivity to an area with higher productivity with greater results. However, this condition is different when the Indonesian Government wants Village-Owned Enterprises (BUMDes) which normatively and culturally are not designed for entrepreneurship like BUMD/BUMN. The consequence of this desire is that in its implementation BUMDes tends to be neglected and not bound by the principles of Good Corporate Governance (GCG). Through juridical-normative research methods and 3 (three) legal approaches, this research focuses on "Motion Sickness" towards BUMDes resulting from their placement in the "return on investment" space without Good Corporate Governance (GCG). The results of this research show that when analogous to a vehicle, BUMDes experience Motion Sickness or nausea due to: First, the psychological burden on the apparatus in the Village Government; Second, the Good Corporate Governance (GCG) Design is not in accordance with the BUMDes Design. Hence, the acupressure points that need to be pressed in dealing with BUMDes problems include: legal revitalization in the Village Law, overcoming work culture (such as fraud and insider transactions), sterilization of political elements (separating the interests of village officials from interests of Business Entities), and expansion of the business environment. So that in the future Corporate Governance and Corporate Management in BUMDes can be realized through the commitment of stakeholders such as: Capital Owners/GMS, Board of Supervisory/Commissioners, and Board of Directors.
Kripto Dalam Pusaran Tindak Pidana Pencucian Uang dan Perampasan Aset di Indonesia Habsari, Hanugrah Titi; Maharani, Nina
Jurnal Fundamental Justice Vol. 6 No. 1 (2025): Maret 2025
Publisher : Universitas Bumigora

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30812/fundamental.v6i1.4882

Abstract

Transformasi teknologi turut mewarnai perkembangan transaksi dalam perdagangan. Bentuk mata uang pun semakin bervariasi seperti emas, cek, uang logam, uang kertas, dan saat ini berkembang menjadi mata uang dalam bentuk elektronik salah satunya adalah mata uang kripto (bitcoin). Mata uang kripto adalah mata uang berbasis elektronik yang seluruh aktivitas transaksi tidak memerlukan pihak ketiga sebagai perantara atau dengan kata lain tidak ada lembaga yang terpusat atau keuangan untuk mengontrol aktivitas dari penggunanya. Dewasa ini, mata uang kripto (bitcoin) disalahgunakan untuk menyembunyikan dana-dana ilegal baik yang dihasilkan maupun yang digunakan sebagai sarana dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pada penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Fokus penelitian ini adalah menganalisis kedudukan mata uang kripto (bitcoin) dalam hukum positif di Indonesia dan mengkaji kedudukan mata uang kripto sebagai aset dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dari hasil penelitian ditemukan masih adanya kekosongan hukum yang mengatur mengenai perampasan aset dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan kurangnya kemampuan tenaga ahli dalam bidang digital forensic mengakibatkan sulitnya untuk dilakukan perampasan aset milik pelaku dalam bentuk mata uang kripto (bitcoin) walaupun telah merugikan keuangan negara.