Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

DISKRESI KEPOLISIAN DALAM MEMBERHENTIKAN PERKARA PIDANA KARENA ADANYA PERDAMAIAN OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN RESORT LABUHANBATU DILIHAT DARI SEGI HUKUM Muhammad Yusuf Siregar; Zainal Abidin Pakpahan
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 5, No 2 (2017): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v5i2.307

Abstract

Penelitian ini membahas tentang Diskresi dan Landasan Hukum Kepolisian dalam memberhentikan perkara karena adanya perdamaian. Hasil Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kepolisian hanya melibatkan memberhentikan perkara karena berkaitan dengan jenis tindak pidana Delik Aduan. Pada praktiknya, Landasan Hukum Kepolisian dalam memberhentikan perkara karena dilakukan dengan konsep keadilan restoratif diajukan contoh kasus pemberlakuan konsep keadilan restoratif sebagai salah satu pertimbangan hakim dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 1600 K / PID / 2009 yang menerima pencabutan pengaduan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 75 KUHP yang mana korban telah mencabut pengaduannya dihadapan pengadilan. Diskresi Kepolisian dapat memberlakukan ketentuan yang telah ditegaskan dalam KUHP. Sementara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan perlindungan dan bantuan dalam menjalankan diskresi kepolisian. Kata Kunci: Diskresi, Kepolisian, Perdamaian.
MEKANISME PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM Zainal Abidin Pakpahan
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 5, No 1 (2017): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v5i1.326

Abstract

Lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 diharapkan dapat membantu dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan salah satu masalah penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyak yang menyelesaikan HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang masih ragu-ragu akan menegakan HAM tersebut. Penegakan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah yang diamanatkan oleh Pasal 28 AJ UUD 1945 dan dipertegas lagi pada Pasal 71-72 UU No. 39 Tahun 1999. Pemerintah wajib bertanggung jawab, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang mendukung UU ini Juga peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang HAM yang disetujui oleh Indonesia. Pendirian Pengadilan HAM di Indonesia merupakan salah satu wujud dari tanggung jawab negara dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Memang tidak dapat dipungkiri karena masih banyak kekurangan di Pengadilan HAM, baik dari instrumen hukum, infrastruktur maupun sumber daya manusianya yang bermuara pada saat menyangkut hukum. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk mengatasi masalah perpecahan Internasional untuk mengintervensi penyelesaian kesulitan HAM di Indonesia. Pengadilan HAM Internasional Ad hoc, jika Pengadilan HAM Indonesia tidak sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu, perlu adanya kemauan politik dari pemerintah dan juga adanya dukungan yang kuat dari masyarakat.
PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI KEJAHATAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN NEGERI PEKANBARU DITINJAU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Zainal Abidin Pakpahan
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 1, No 2 (2013): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v1i2.460

Abstract

Pemeriksaan terhadap korban dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Pekanbaru ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana perlindungan dan pelaporan kejahatan dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan untuk melihat bagaimana penelitian mengenai proses pemeriksaan pengadilan negeri di Pekanbaru tersebut. Populasi yang diambil dari saksi yang dapat dihadiahkan dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Sebanyak 3,880 orang yang memilih dari 970 perkara dalam kasus kejahatan di tahun 2010, dari bulan Oktober hingga bulan Desember sebanyak 968 orang yang menggunakan jumlah 242 perkara. Jumlah populasi yang sangat besar, penulis mengambil sampel sebanyak 3% atau 30 orang dari jumlah populasi yang ada. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan angket, wawancara, observasi, dan dokumentasi yang diambil dari lokasi penelitian, ditambah dengan literatur yang berkaitan dengan penelitian. Analisis yang digunakan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, dengan metode analisis deskriptif, deduktif dan induktif. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara random sampling yaitu mencari data kepada responden dengan acak. Hasil dari penelitian ini, di mana perlindungan yang diberikan terhadap saksi masih rendah, terbukti dari hasil pilihan responden atau saksi yang merasa takut untuk memberikan kesaksian. Hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi, komunikasi, dan pengayoman terhadap para saksi dari para penegak hukum, sehingga membuat keputusan untuk mendapatkan perlindungan yang efektif. Kata Kunci: Perlindungan, Saksi Kejahatan,
EKSISTENSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SUATU TINJAUAN YURIDIS KONSTITUSIONAL Zainal Abidin Pakpahan
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 4, No 2 (2016): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v4i2.338

Abstract

Majelis Permusyawratan Rakyat (MPR) sebagai nama dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia telah ada sejak lahirnya negara ini. Pada awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 MPR memiliki posisi sebagai lembaga negara tertinggi. Sebagai lembaga negara tertinggi saat itu MPR ditetapkan dalam UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat MPR memiliki wewenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Oleh karena memiliki wewenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, maka MPR memiliki wewenang pula untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sebelum masa kepemimpinannya berakhir dengan Presiden dan Wakil Presiden bertanggung jawab mengatasi haluan negara. Berubahnya kedudukan MPR memang sering diartikan salah baik terkait dengan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR, ia juga berimplikasi pada tugas dan wewenang MPR. Sebagai lembaga negara yang memiliki eksistensi dalam bangunan negara, MPR diberikan konstitusional yang diberikan dan diserahkan kepada Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2) dan ( 3) UUD Negara RI Tahun 1945. Dengan sebatas yang terkait dalam pasal-ayat dan ayat-ayat itu, fungsi dan wewenang MPR sekarang, subtansinya adalah hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam bernegara. Kedudukan MPR setelah perubahan UUD 1945 adalah Lembaga negara sejajar dengan Lembaga Negara lain, tidak lagi sebagai Lembaga Negara. MPR yang sekarang bukan lagi sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan kedaulatan rakyat. Lembaga-lembaga Negara yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk pemerintahan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat yang harus bertanggung jawab dan bertanggung jawab kepada rakyat, karena lembaga-lembaga juga langsung dipilih oleh rakyat (Presiden, PDR, dan DPD) . Kata Kunci: Esksistensi, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketatanegaraan
MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DILUAR PENGADILAN Zainal Abidin Pakpahan
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 2, No 2 (2014): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v2i2.422

Abstract

Bentuk-bentuk proses penyelesaian sengketa pada hakikatnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a). proses peradilan (ajudikasi) dapat dibagi menjadi dua komponen yaitu, 1. Litigasi (proses Pengadilan), 2. Arbitrase, b). proses konsensual (non ajudikasi) atau di sebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa (APS/ADR) seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian/ pendapat ahli, evaluasi netral dini (early neutral evaluation), pencarian fakta netral (neutral fact-finding). Dengan berbagai macam alternatif penyelesaian sengketa yang ada, sehingga disini penulis lebih memfokuskan terhadap mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa diluar Pengadilan. Penelitian ini hanya bersifat Normatif yang mengkaji dari sisi peraturan perundang-undangan. Maka dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini yaitu, bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai alternatif dalam menyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan, dan bagaimana cara penyelesaiannya dengan bentuk mediasi sebagai bagian dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup juga dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan dalam hal ini dapat dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XIII bagian kesatu yang terdapat didalam pasal 84 ayat (1,2,3) yang menyatakan: ayat (1) penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan. Pada ayat (2) pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Pada ayat (3) gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh satu atau para pihak yang bersebngketa. Sesuai yang diamanatkan dalam pasal tersebut dapat di interpretasikan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat dilakukan dengan melalui jalur mediasi di lingkungan pengadilan dan di luar lingkungan pengadilan yang sudah dapat disepakati para pihak yang bersengketa. Disarankan kepada stakholders agar kiranya dapat menjadikan PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan sebagai prodak peraturan perundang-undangan agar penyelesaian dengan jalur mediasi yang dibantu oleh seorang mediator dapat lebih terkoordinir dengan baik.Kata Kunci: Mediasi, Lingkungan Hidup, Pengadilan
Sosialisasi Preventif Perceraian Atas Perkawinan Di Desa Bandar Tinggi Berdasarkan Hukum Zainal Abidin Pakpahan
JURNAL PKM IKA BINA EN PABOLO Vol 3, No 1: PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT | JANUARI 2023
Publisher : IKA BINA EN PABOLO : PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/ikabinaenpabolo.v3i1.4091

Abstract

Perceraian dalam aspek perkawinan menajadi suatu dilema kehidupan dalam rumah tangga dimana harus dituntut menjadi rumah tangga yang harmonis menjadi kebanggaan setiap orang, namun tidak semua perkawinan berjalan mulus sesuai diharapkan oleh setiap orang, maka   hal ini tidak terlepas dari adanyanya perkawinan pasti akan menuntut pula untuk terjadinya perceraian diakibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi akan terjadinya perceraian itu sehingga perceraian yang mulai terjadi diambang pintu bagi suami dan istri untuk dapat dilakukannya dengan metode preventif agar terhindar dari perpisahaan yang akan berdampak kepada anak-anak, keluarga diantara belah pihak untuk itu perlu diakomodir yang menjadi dasar agar tidak semudah itu antara pasangan suami istri untuk melakukan proses gugat menggugat di Pengadilan Agama setempat, dengan ini Mahkamah Agung melaui adanya suatu sistem penerapan kamar Agama di internal Mahkamah Agung yang bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi dalam putusan untuk mewujudkan tujuan tersebut oleh Mahkamah Agung maka termuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2022 tentang pencegahan perceraian di pengadilan, merujuk akan demikian sangat penting dilakukannya sosialisasi tersebut di Desa Bandar Tinggi, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhanbatu untuk pola Preventif bagi masyarakat agar berhati-hati untuk melakukan perceraian di Pengadilan sehingga secara philosopi perlu adanya suatu perdamaian melalui mediasi di tingkat desa sebelum menuju suatu proses pengadilan yang berwenang untuk itu, karena surat edaran mahkamah agung tersebut mulai membatasi pengajuan perceraian berkenaan dengan batas waktu yang ditentukan setelah terbuktinya perpisahaan antara suami dan istri yang bisa dikabulkan perceraiannya oleh Pengadilan Agama setempat.
Pelatihan Paralegal Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Desa Tanjung Siram Kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhanbatu Zainal Abidin Pakpahan; Muhammad Yusuf Siregar; Sriono Sriono
JURNAL PKM IKA BINA EN PABOLO Vol 2, No 2: PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT | JULI 2022
Publisher : IKA BINA EN PABOLO : PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/ikabinaenpabolo.v2i2.4093

Abstract

Pelatihan paralegal bagi masyarakat sangat relevan saat ini untuk dapat memahami konsep-konsep pengetahuan hukum melalui bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu sehingga bisa mendapatkan hak-hak nya ketika berhadapan dengan hukum secara prodeo atau cuma-Cuma yang akan disampaikan kepada masyarakat yang berada di desa Tanjung Siram, hal ini melihat snagat rendahnya pengetahuan masyarakat tanjung siram berkenaan dengan program bantuan hukum secara gratis sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukumsebagai dasar pijakan untuk mengakomodir hak-hak kaum lemah yang ingin mencari keadilan di pengadilan. Kegiatan pengabdian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tanjung siram tentang pentingnya pelatihan paralegal mengenai bantuan hukum bagi masyarakat sehingga hasil dari kegiatan ini adalah masyarakat desa Tanjung Siram mengetahui dan mendapatkan hak-hak nya sebagai masyarakat kurang mampu ketika berhadapan dengan problematika hukum ditengah-tengah masyarakat akan pentingnya bantuan hukum melalui pelatihan paralegal bagi masyarakat di perdesaan.