Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan

FUNGSI ITSBAT NIKAH TERHADAP ISTERI YANG DINIKAHI SECARA TIDAK TERCATAT (NIKAH SIRI) APABILA TERJADI PERCERAIAN Gema Mahardhika Dwiasa; K. N. Sofyan Hasan; Achmad Syarifudin
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Volume 7 Nomor 1 Mei 2018
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v7i1.265

Abstract

Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu akad yang menyebabkan halalnya hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri. Dalam ikatan perkawinan ditegaskan hak dan kewajiban antara suami-isteri tersebut, sehingga dapat tercapai kehidupan rumah tangga yang sakinah dan sejahtera. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin seorang pria dengan wanita untuk membentuk keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang telah dilangsungkan dengan memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) harus dicatat oleh petugas pencatat perkawinan dengan tujuan untuk tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan serta untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan yang dicatatkan merupakan sebagai bentuk perlindungan hukum apabila dikemudian hari terjadi permasalahan dalam sebuah ikatan perkawinan, apabila hal itu tidak dilakukan maka perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan hukum. Nikah siri atau perkawinan yang tidak tercatat adalah salah satu bentuk dari pemasalahan yang sering terjadi di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan sehingga tidak dicatatkan tetapi tidak dirahasiakan; belum cukup umur untuk melakukan perkawinan secara negara; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ada juga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Pada saat timbul masalah memerlukan akta nikah sebagai bukti autentik baik untuk perceraian maupun keperluan lainnya maka harus mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang adanya Itsbat Nikah menjadi salah satu fakor penghambat terlaksananya perlindungan hukum terhadap isteri yang dinikahi dari perkawinan yang tidak tercatat.
PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP HARTA YANG DIPEROLEH SELAMA PERKAWINAN PASCA PERCERAIAN Muhammad Akbar Aulia Ramadhan; KN. Sofyan Hasan
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Volume 6 Nomor 2 November 2017
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v6i2.305

Abstract

Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mana suatu perbuatan mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah melakukan perkawinan dalam hubungannya akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum antara suami istri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka selama perkawinan. Pembuatan perjanjian perkawinan merupakan solusi terbaik bagi pasangan suami istri yang akan melangsungkan perkawinan untuk melindungi harta benda kekayaan pasangan suami istri tersebut. Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis berupa akta notaris yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan dan didaftarkan ke pengadilan negeri setempat. Namun dalam putusan nomor 449/PDT/2016/PT.BDG dasar hukum pertimbangan hakim ialah Pasal 1338 KUHPerdata dimana perjanjian perkawinan yang dibuat berupa akta notaris tapi tidak disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan dan didaftarkan sebagaimana Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 152 KUHPerdata tetap menganggap sah perjanjian perkawinan tersebut. Hal ini membuat putusan hakim bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KUHPerdata sehingga kedudukan hukum perjanjian perkawinan tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum serta akibat hukumnya perjanjian perkawinan yang dibuat batal demi hukum. Maka terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan pasca perceraian dalam putusan nomor 449/PDT/2016/PT.BDG menjadi harta bersama. Perlu diadakan sosialisasi mengenai betapa pentingnya mendaftarkan perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan yakni KUA (Muslim) dan Catatan SIpil (Non Muslim). Hal ini agar perjanjian perkawinan tidak bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang – Undang Perkawinan dan KUHPerdata serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat pihak ketiga. Hakim dalam memutuskan perkara kurang memperhatikan keabsahan sebuah perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 152 KUHPerdata sehingga hakim menganggap sah perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan didaftarkan