Adam Ilyas
Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

MEMBANGUN MORALITAS DAN HUKUM SEBAGAI INTEGRATIVE MECHANISM DI MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF Ilyas, Adam; Prasetio, Dicky Eko; Bakker, Felix Ferdin
Mimbar Keadilan Vol 14 No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/mk.v14i2.4694

Abstract

Abstract This study aims to analyze the application of morality to legal practice in Indonesia. This is because the reality of the rule of law today is dominated by a positivist-legalistic phenomenon that prioritizes text but darkens morality's meaning in law. Morality in law seems to be immersed in legal practice that deifies the textual law but neglects the law's moral essence. This research is juridical-normative research oriented towards coherence between the principles of law based on morality and legal norms and legal practice in society. This research's novelty is the development of morality in the rule of law practice by prioritizing two aspects, namely the integrative mechanism aspect of Harry C. Bredemeier with the progressive law of Satjipto Rahardjo. This study emphasizes that efforts to develop law must not forget the elements of morality development. This study's conclusions highlight that the development of law and morality will run optimally by upholding the law as an integrative mechanism and applying progressive law as a solution in facing the lethargy of the Indonesian nation.Keywords: integrative mechanism; morality; progressive lawAbstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan moralitas pada praktik berhukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa realitas praktik berhukum saat ini didominasi oleh fenomena positivistik-legalistik yang mengutamakan teks tetapi menggelapkan makna moralitas dalam berhukum. Aspek moralitas dalam hukum seakan tenggelam dalam praktik hukum yang mendewakan tekstual undang-undang tetapi melalaikan esensi moral dalam undang-undang. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif yang berorientasi pada koherensi antara asas-asas hukum yang bersumber pada moralitas dengan norma hukum serta praktik hukum di masyarakat. Kebaruan dari penelitian ini yaitu pembangunan moralitas dalam praktik negara hukum dengan mengedepankan dua aspek, yaitu aspek integrative mechanism dari Harry C. Bredemeier dengan hukum progresif dari Satjipto Rahardjo. Hasil dari penelitian ini menegaskan bahwa upaya membangun hukum tidak boleh melupakan aspek pembangunan moralitas. Simpulan dalam penelitian ini menegaskan bahwa, pembangunan hukum dan moralitas akan berjalan secara optimal dengan meneguhkan hukum sebagai integrative mechanism serta menerapkan hukum progresif sebagai solusi dalam menghadapi jagat kelesuan berhukum bangsa Indonesia.
Independensi Penuntut Umum dalam Kebijakan Rencana Tuntutan Berjenjang untuk Menentukan Tuntutan Pidana Ilyas, Adam
Pandecta Research Law Journal Vol 16, No 1 (2021): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v16i1.29292

Abstract

Kejaksaan Republik Indonesia berdasarkan kewenangannya merupakan lembaga yang berada pada posisi sentral dalam sistem peradilan pidana. Penuntut Umum sebagai perwakilan Kejaksaan didalam setiap perkara pidana merupakan pihak yang paling mengetahui ketercelaan seorang terdakwa karena mengikuti dinamika selama persidangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal atau yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang menunjukkan saat ini tuntutan pidana berasal dari petunjuk atau pendapat pimpinan Kejaksaan di setiap jenjang karena adanya kebijakan rencana tuntutan berjenjang. Dengan kebijkan rencana tuntutan berjenjang tersebut dapat juga menyebabkan kultur korup pada lembaga Kejaksaan karena ditengarai kebijakan tersebut digunakan untuk wadah tawar menawar oleh Penuntut Umum dengan terdakwa dan kemudian menyetor pada atasannya. Konkuensi dari adanya kebijakan rencana tuntutan berjenjang ini juga akan membuat terhambatnya proses peradilan yang pada dasarnya harus dijalanlan dengan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Terhadap kondisi ini diperlukan penataan ulang sistem penentuan tuntutan pidana demi independensi Penuntut Umum dan tercapainya peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.The Prosecutor’s Office of the Republic of Indonesia, based on its authority, is an institution that is in a central position in the criminal justice system. As the representative of the Prosecutor’s Office in each case, the Public Prosecutor is the party most aware of the accident of a defendant because it follows the dynamics during the trial. This research uses doctrinal or juridical normative research methods with a statutory approach that shows that currently, criminal charges are the instructions or opinions of the chief Prosecutor at every level due to the policy of tiered prosecution plans. The policy of the tiered prosecution plan can also cause a corrupt culture in the Prosecutor’s institution because it is signaled that the procedure is used as a bargaining place by the Prosecutor with the accused and used as a deposit event to his superiors. The consequences of this tiered prosecution plan policy will also hamper the judicial process, which has to be run quickly, only, and lightly. Against this condition, it is necessary to reorganize the criminal prosecution determination system for the Public Prosecutor’s independence and the achievement of a fast, simple, and low-cost judiciary.
KOMPARASI SISTEM PEMILIHAN PRESIDEN POPULAR VOTE DI INDONESIA DENGAN ELECTORAL COLLEGE DI AMERIKA Diana Septaviana; Adam Ilyas
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 10 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.499 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i10.p17

Abstract

Tujuan studi ini mengkaji mengenai sistem Pemilihan Presiden melalui popular vote di Indonesia dan electoral college di Amerika Serikat yang dianggap sesuai dijalankan oleh negara masing-masing berdasarkan tinjauan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Selain itu, menganalisis kelebihan dan kekurangan dari penerapan sistem Pemilihan Presiden melalui popular vote di Indonesia dan electoral college di Amerika Serikat. Studi memakai penelitian hokum normatif, pendekatan perundang-undangan, serta komparatif. Hasil dari studi ini memperlihatkan kecocokan sistem popular vote di Indonesia dan electoral college di Amerika Serikat yang ditinjau secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. Masing-masing sistem Pilpres yaitu popular vote di Indonesia dan electoral college di Amerika Serikat memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan popular vote di Indonesia berarti suara tiap orang memiliki nilai yang sama. Berbeda dengan sistem electoral college, dimana Setiap negara bagian mengalokasikan sejumlah suara yang sama dengan jumlah senator dan wakil dalam delegasi kongres Amerika Serikat The aim of this study is to examine the presidential election system through popular voting in Indonesia and the electoral college that apply in the United States is considered applicable to be run by their respective countries based on philosophical, sociological, and juridical reviews. In addition, analyzing the advantages and disadvantages of implementing the Presidential Election system through popular voting in Indonesia and the electoral college in the United States. this study run with normative legal research methods, statutory, along comparative approach. Results revealed that the compatibility of a popular voting system in Indonesia and the electoral college in the United States was reviewed philosophically, sociologically, and juridically. Each of the presidential election systems, namely popular voting in Indonesia and then electoral college that apply in the United States has advantages and disadvantages. The popular vote in Indonesia means that everyone's vote has the same value. Unlike with the electoral college, every state allocates the same amount of votes as the number of senators along with representatives in the United States congressional delegation.
URGENSI KRIMINALISASI BENTUK KORUPSI TRADING IN INFLUENCE DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA Adam Ilyas; Hervina Puspitosari
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.287 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i02.p11

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui urgensi pengaturan perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif Indonesia. Metode penelitian dalam tulisan ini seluruhnya menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasilnya adalah terjadi kekosongan hukum terkait pengaturan Trading in influence di Indonesia, disisi lain ditemukan bahwa telah ada kasus-kasus yang merupakan perbuatan korupsi dengan bentuk trading in influence. Tidak adanya pengaturan mengenai bentuk korupsi trading in influence dalam hukum positif Indonesia menyebabkan aparat penegak hukum kerap kali menggunakan delik suap. Padahal antara Suap dan trading in influence merupakan dua bentuk tindak pidana korupsi yang berbeda. Jika suap subyek pelakunya harus pegawai negeri atau penyelenggara negara dan harus berkaitan dengan kewenangannya, sedangkan Trading in Influence subyek pelakunya tidak harus penyelenggara negara, asal dalam melakukan perbuatannya pelaku menggunakan pengaruh yang dimilikinya untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Pada hakikatnya Trading in Influence merupakan delictum sui generis (tindak pidana yang berdiri sendiri) sehingga seharusnya jika dalam satu rangkaian melakukan trading in influence, maka seluruh pelaku harus masuk dalam kualifikasi melakukan tindak pidana memperdagangkan pengaruh dan bukan merupakan bagian dari suap. Dengan kekosongan hukum tersebut, maka diperlukan pengaturan trading in influence melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. This study aims to analyze and determine the urgency of regulating the act of trading influence in Indonesian positive law. The research method in this paper entirely uses normative legal research methods. The result is a legal vacuum regarding the regulation of Trading in influence in Indonesia, on the other hand it was found that there have been cases of corruption in the form of trading in influence. The absence of regulation regarding the form of corruption trading in influence in Indonesia's positive law causes law enforcement officers to often use bribery offenses. In fact, bribery and trading in influence are two different forms of corruption. If the subject of bribery, the perpetrator must be a civil servant or state administrator and must be related to his authority, while the subject of Trading Influence, the perpetrator does not have to be a state administrator, as long as in carrying out his actions the perpetrator uses his influence to influence policy makers. In essence, Trading Influence is a delictum sui generis (a standalone crime) so that if in a series of trading in influence, all actors must be qualified to commit a criminal act of trading influence and not be part of bribery. With this legal vacuum, it is necessary to regulate trading in influence through the revision of the Corruption Eradication Act.
PLURALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Adam Ilyas; Felix Ferdin Bakker; Dicky Eko Prasetio
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.453 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v10.i01.p13

Abstract

Kewenangan penyidikan dalam perkara korupsi di Indonesia ditangani oleh tiga lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui penelitian hukum yuridis-normatif ini, adapun tujuan penulis dalam melakukan kajian hukum ini adalah untuk mengetahui seberapa efektif penyelesaian tindak pidana korupsi di Indonesia yang memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi kepada tiga lembaga dibandingkan dengan keberhasilan penyelesaian perkara korupsi di Singapura yang hanya dilakukan oleh satu lembaga yakni Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Hasilnya pluralisme ini tidak efektif. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian maka kebijakan untuk melakukan perubahan peraturan perundang-undangan terkait untuk menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia dengan menempatkan KPK sebagai satu-satunya lembaga penegak hukum yang independen yang dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Hal lain yang perlu di kaji yaitu posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, maka diperlukan adanya KPK cabang provinsi agar sistem pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan efektif dan merata. The investigation authority in corruption cases in Indonesia is handled by three institutions, namely the Police, the Prosecutor's Office, and the Corruption Eradication Commission (KPK). Through this juridical-normative legal research, the author's aim in conducting this legal study is to find out how effective the settlement of corruption crimes in Indonesia is that gives the authority to investigate corruption crimes to three institutions compared to the successful completion of corruption cases in Singapore which one person only carried out. Institution, namely the Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). As a result, this pluralism is not adequate. Therefore, based on the research results, the policy is to make changes to the relevant laws and regulations to resolve corruption cases in Indonesia by placing the KPK as the only independent law enforcement agency that can conduct investigations and investigations of corruption cases. Another thing that needs to be studied is the position of Indonesia as an archipelagic country. It is necessary to have a provincial branch of the KPK so that the system for preventing and eradicating corruption can run effectively and evenly.
PRAKTIK PENERAPAN EXCLUSIONARY RULES DI INDONESIA Adam Ilyas
Masalah-Masalah Hukum Vol 50, No 1 (2021): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.50.1.2021.49-59

Abstract

Alat bukti merupakan sebuah komponen penting dalam hal untuk memutuskan suatu perkara tindak pidana karena dengan alat bukti itulah yang akan menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Karena pentingnya alat bukti sehingga penting pula adanya penerapan Exclusionary Rules. Dalam tulisan ini dibahas mengenai penerapan Exclusionary Rules, permasalahan dalam penerapan dan solusi atas permasalahan tersebut. Hasilnya, praktiknya di Indonesia belum secara mutlak menerapkan prinsip Exclusionary Rules ini karena permasalahan dari aturan dan penegak hukumnya, sehingga seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan hukum, dan bahkan membentuk kultur korup penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diperlukan adanya revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait perkuatan penerapan prinsip Exclusionary Rules untuk memberikan perlindungan terhadap integritas pengadilan dan hak asasi manusia.
Urgensi Kriminalisasi Pengguna Jasa Prostitusi Online Sebagai Upaya Penanggulangan Permasalahan Sosial di Indonesia Adam Ilyas; Maria Novita Apriyani
Jurnal Mulawarman Law Review VOLUME 6 ISSUE 2 DECEMBER 2021
Publisher : Faculty of Law, Mulawarman University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/mulrev.v6i2.687

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi kriminalisasi pengguna jasa prostitusi online. Metode penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian yuridis-normatif. Penelitian ini menghasilkan temuan adanya kekosongan hukum mengenai pengaturan kriminalisasi penggua jasa dan inkonsistensi hukum dalam penegakan dan penanggulangan prostitusi online. Pengguna jasa dalam praktek prostitusi online merupakan pihak yang terpenting karena telah menjadi prinsip dasar bahwa tidak akan ada penjual jika tidak ada pembelinya. Oleh karena itu, apabila pengguna jasa prostitusi online tidak segera dikriminalisasikan, maka pengguna prostitusi online akan tetap leluasa dan merasa aman melakukan praktek pelacuran yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya permasalahan sosial yang berdampak dalam bidang hak asasi manusia, social, agama, dan kesehatan karena prostitusi online merupakan perbuatan yang hina, immoral, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian diperlukan pembaharuan hukum pidana dengan mengkriminalisasikan pengguna jasa prostitusi online demi menanggulangi permasalahan sosial serta terciptanya keadilan dan kepastian hukum untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.
Problematika Peraturan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Adam Ilyas; Dicky Eko Prasetio
Jurnal Konstitusi Vol 19, No 4 (2022)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.438 KB) | DOI: 10.31078/jk1943

Abstract

The position of the Constitutional Court Regulation (PMK) in the hierarchy of laws and regulations is not strictly regulated, so it is not known where it is located, or which institution has the right to conduct a judicial review of it. Therefore, this study will examine three things, namely: (i) the position of PMK; (ii) the implications of PMK that have not been promulgated; and (iii) the institution entitled to conduct a judicial review of PMK. The research method used is the normative legal research method. The result is that PMK has a "conditional" position equivalent to a presidential regulation because it has the same function. Despite having the same "conditional" position, the PMK has so far not been able to be tested by any institution because it has not been promulgated in the State Gazette, which should also imply that it cannot bind the public. Therefore, PMK should be promulgated in the State Gazette to bind the public, and the institution entitled to examine it is the Supreme Court. That way, the parties to the proceedings at the Constitutional Court will obtain legal certainty and protection.