Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

TANGGUNG JAWAB HUKUM PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA TERHADAP PENGAWASAN KUALITAS AIR MINUM USAHA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG Rantung, Margereth Inof Riisyie; Sondakh, Jemmy; Lumunon, Theodorus H.
KESMAS Vol 6, No 2 (2017): Volume 6, Nomor 2, Maret 2017
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sesuai amanat Undang-undang bahwa merupakan tanggung jawab pemerintah untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”. Maka dalam pengaturannya, kualitas air minum yang dapat didistribusikan ke masyarakat ada di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Di dalam keputusan tersebut juga telah dijelaskan bahwa pengawasan telah menjadi tanggung jawab dinas kesehatan Kabupaten/Kota. Berdasar kasus-kasus yang terjadi sekarang ini, muncul suatu permasalahan tentang penyediaan air minum isi ulang yang depot-depotnya juga telah menjamur dikalangan masyarakat. Metode penelitian yang dipakai yaitu penelitisn hukum normatif yang bersifat yuridis normatif. Yang pendekatannya menggunakan peraturan perundang-undangan. Sumber data yang digunakan yaitu Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengawasan kualitas air minum. Pengumpulan data digunakan dengan cara studi kepustakaan. Hasil penilitian menyatakan bahwa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Minahasa terhadap kualitas air minum usaha Depot Air Minum Isi Ulang tidak maksimal. Hal ini terllihat dari sistem perizinan yang lemah karena didapati masih banyak DAMIU yang beroperasi saat ini tidak memiliki izin. Selain itu  implementasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya DAMIU yang tidak memiliki Sertfikat Laik Higiene, dimana sertifikat itu diperoleh dengan cara melakukan pemeriksaan sampel air DAMIU secara berkala oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa. Dapat disimpulkan bahwa merupakan tanggung jawab pemerintah Kabupaten Minahasa untuk melakukan pengawasan terhadap kualitas air minum Usaha Depot Air Minum Isi Ulang baik kepada Dinas Kesehatan kabupaten Minahasa maupiun kepada pelaku usaha.  Kata Kunci: Tanggung jawab, pemerintah daerah, pengawasan, kualitas air minum. ABTRACTIn accordance with the mandate of the Act that it is the responsibility of the government to plan, organize, organize, nurture, and oversee the implementation of health efforts that are equitable and affordable by the community. Therefore, in the regulation, the quality of drinking water that can be distributed to the public is in the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 492 / MENKES / PER / IV / 2010 on Water Quality Requirements. In the decree, it has also been explained that the supervision has been the responsibility of the Regency / City health office. Based on current cases, a problem arises about the provision of refill drinking water whose depots have also mushroomed among the community. The research method used is normative juridical normative law research. The approach uses legislation. Sources of data used are the 1945 Constitution, Law Number 9 Year 1999 on Consumer Protection, Law Number 36 Year 2009 on Health, Law Number 9 Year 2015 on the Second Amendment of Law Number 23 Year 2014 regarding Regional Government, and various laws related to water quality control. Sources of data are also taken from books and legal journals. The result of the research indicates that the supervisory form conducted by Minahasa Regency government on drinking water quality of drinking water drink business is not maximal. This is evident from the weak licensing system because there are still many DAMIUs operating today that do not have permits. In addition, the implementation of the Minahasa District Health Office did not work well. This can be seen from the number of DAMIU that do not have the Certificate of Hygiene Hygiene, where the certificate was obtained by conducting DAMIU water sampling periodically by the Minahasa District Health Office. It can be concluded that it is the responsibility of the Minahasa Regency government to supervise the drinking water quality of the Drinking Water Refill Depot both to the Minahasa District Health Office to the business actors.  Keywords: Responsibility, local government, supervision, drinking water quality.
State Liability to Fulfillment of Water Rights In Improving Public Health Degrees Lumunon, Theodorus H. W.
LEX ET SOCIETATIS Vol 9, No 2 (2021): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v9i2.35094

Abstract

This research identifies the principles of State Liability for the fulfillment of the Water Rights in improving the public health degree and analyzes the State Liability under the principles of water rights, under human rights law and the concept of public health. The results of research indicate that as an independent right, the right to water is expressly recognized in international law and implied by the 1945 Constitution of The Republic Of Indonesia, so that this right is a real and concrete legal right. States liability for the fulfillment of the right to water and specifically for the fulfillment of the minimum water level of the right to water is a non derogable right so that the state is liability. The right to water is ambiguous, has links to the right to health and the right to life. By the nature of the ambiguity, this right has a strong legal position. Indonesia has ratified the International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) and accepted the United Nations (UN) Declaration on the right to water and sanitation, thus assuming responsibility for implementing the principles of water rights. Countries may be sued by courts for human rights violations of water because by law materially the right to water has been accepted as an international customary law. Violations of international law are not limited to the most serious human rights violations, but also include human rights violations in all sectors of life of the international community. Keywords: State Liability; Water Rights; Public Health Degrees
Implementasi dari Corporate Negligence dan Relevansi Quasi Economic Credentialing dalam Praktik di Rumah Sakit Swasta Theodorus Hendrik Willem Lumunon; Liju Zet Viany; Butje Tampi; Caecelia J. J. Waha
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 9 No 1 (2020)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (500.778 KB) | DOI: 10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p13

Abstract

The prevailing law of the hospital liability for every damage occured by the health professionals in hospital falls into very broad sense and leaving many critical questions about how this definition to be applied. The question addressed whether the hospital may defend it's position by proving that the negligence by the health professionals was caused beyond the hospital guidelines such as the theory of professional liability scheme?. Purpose: to explain the hospital liability based on the corporate negligence theory, and to identify the implementation of economic credential in private hospitals. Method: using the normative juridical method, through legislation approach, concepts and legal comparison and also supported by the data field such focus group discussion. Results: Health professionals can be liabiled if she/he has found deviate by the professional medical standards.The hospital was liabiled for every damage occured by the health professional based on the "vicarious liability" scheme. The medical negligence according to the perception of health law is different from the general negligence in the legal perception. The economic credentialing actually has exist with some modification such as “scheme target”, or what we called the "quasi economic credentialing". Rumah Sakit bertanggung gugat terhadap kerugian yang diakibatkan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Konsep ini menimbulkan pertanyaan mengenai beban pembuktian apakah pihak rumah sakit dapat mengelak dengan argumen bahwa kelalaian tenaga kesehatan itu sudah bertindak di luar skema tanggung jawab rumah sakit sebagaimana umumnya berlaku pada teori pertanggungjawaban. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tanggung gugat rumah sakit berdasarkan teori corporate negligence, dan mengidentifikasi bagaimana pelaksanaan economic credentialing di rumah sakit swasta. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan, perundang-undangan, konsep dan perbandingan hukum, dan data lapangan sebagai penunjang. Hasil penelitian menunjukkan staf medis dapat di mintakan tanggung gugat apabila menyimpang dari standar profesi kedokteran. Rumah Sakit, sebagai majikan dapat dimintakan tanggung gugat atas kerugian yang dilakukan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit sebagaimana skema pertanggungan jawab vicarious liability. Kelalaian medis menurut persepsi hukum kesehatan berbeda dengan kelalaian umum persepsi hukum. Kredensial ekonomi di rumah sakit tertentu telah dilaksanakan, meskipun dalam pengertian terbatas, disebut peneliti target skema (quasi economic credentialing).
PENGARUH KOMUNIKASI VERBAL DAN NON VERBAL ANTARA DOKTER-PASIEN BERFOKUS TERHADAP KEPUASAN PASIEN PADA PELAYANAN KESEHATAN DI RAWAT INAP RSUD ANUGERAH TOMOHON Natalia Gabriel Rantung; Billy J. Kepel; Theodorus H. W. Lumunon; Welong S. Surya; Marieska Y. Waworuntu
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 6 No. 3 (2022): DESEMBER 2022
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v6i3.8861

Abstract

Masalah dalam komunikasi dokter dan pasien yang belum efektif disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari segi pelayanan kesehatan sampai kepada tingkat efektifitas komunikasi tentunya dapat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh komunikasi verbal dan non verbal antara dokter-pasien terhadap kepuasaan pasien di RSUD Anugerah Tomohon. Sampel ialah jumlah pasien rawat inap sebanyak 50 orang, dengan cara accidental sampling. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan, pengolahan data dilakukan secara univariat, bivariat, dan uji regresi linier berganda dan melihat nilai koefisien determinasi menggunakan SPPS versi 23. Hasil penelitian diperoleh nilai kepuasan pasien sebesar 39,424 dan koefisien regresi sebesar 1,022, nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0,006<0,05. Nilai kepuasan pasien sebesar 37,131 dan koefisien regresi sebesar 1,325, nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0,004<0,05. Nilai kepuasan pasien adalah sebesar 19,600, koefisien regresi variabel X1 sebesar 0,772 dan koefisien regresi variabel X2 adalah sebesar 1,020. Berdasarkan hasil nilai R square sebesar 0,476 atau 47,6%, maka komunikasi verbal dan komunikasi non verbal dalam memberikan pengaruh terhadap kepuasan pasien sebesar 47,6%. Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara komunikasi verbal dokter-pasien berfokus terhadap kepuasan pasien, terdapat pengaruh yang signifikan antara komunikasi non verbal dokter-pasien berfokus terhadap kepuasan pasien, terdapat pengaruh yang signifikan antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal dokter-pasien secara bersama-sama terhadap kepuasan pasien, dan nilai koefisien determinasi sebesar 0,476 atau 47,6% terhadap kepuasaan pasien pada pelayanan kesehatan di rawat inap RSUD anugerah Tomohon.
Implementing of Green Building Policy: From Supervision to Self-Regulatory System Ronny Adrie Maramis; Theodorus H.W Lumunon
Hasanuddin Law Review VOLUME 8 ISSUE 3, DECEMBER 2022
Publisher : Faculty of Law, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20956/halrev.v8i3.4134

Abstract

The implementation of green building policies has not shown problems of effectiveness and legal level and has not gained a good momentum socially as a social movement. The introduction of policies and program implementation through the involvement of various sectors and stakeholders is necessary. General understanding of green building and its policies and enforcement is still low, but in related sectors such as civil engineering and architecture professionals as well as planning consultants have adequate knowledge. This article aims to reveal the complexity of the problems and implementation of green building in Indonesia. This study uses a normative juridical method, with a conceptual approach and field data as support. The results show that an effective way to promote, implement and monitor green building policies is to utilize a self-regulatory mechanism, a system that delegates green building regulatory to professional groups in the fields of civil engineering, architecture and contractor associations.
TANGGUNG GUGAT BPJS KESEHATAN ATAS MALADMINISTRASI BERDASARKAN PASAL 1 AYAT 3 UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN Priscilia Octavia; Theodorus H.W. Lumunon; Jeany Anita Kermite
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 3 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan memperjelas penafsiran bentuk-bentuk maladministrasi pada pelayanan publik dibidang kesehatan terkhususnya maladministrasi yang terjadi didalam pelayanan bpjs kesehatan berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman. Ketika pasien bpjs mengalami perbuatan maladministrasi, bpjs dapat bertanggung gugat akibat perbuatan maladministrasi yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan ( rs,puskemas,klinik, praktek mandiri dokter ) yang membangun kontrak dengan bpjs. Pasien dapat melakukan upaya hukum yakni melakukan pengaduan dan mediasi pada unit pengendali mutu dan penanganan pengaduan peserta yang dibentuk oleh bpjs, apabila tidak dapat diselesaikan dapat melapor kepada lembaga ombudsman dan ombudsman akan melakukan penerimaan pemeriksaan, penyelesaian laporan serta memberikan rekomendasi. Dalam upaya hukum yang dapat dilakukan melalui lembaga ombudsman penulis juga merasa perlu pengoptimalan ketentuan dalam menjalankan rekomendasi ombudsman menjadi lebih jelas, tegas dan mengikat untuk memperkuat kewenangan ombudsman dalam menyelesaikan masalah maladministrasi. Kata kunci : Tanggung Gugat, BPJS, Maladministrasi, Ombudsman
PROTOKOL WORLD HEALTH ORGANIZATION DALAM PENANGANAN PANDEMI COVID-19 DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KEKARANTINAAN NOMOR 6 TAHUMN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN Greyti Virza Celine Antameng; Theodorus H. W. Lumunon; Victor Demsy Kasenda
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Protokol Covid-19 adalah protokol yang dikeluarkan oleh organisasi kesehatan internasional yang sebagai organisasi memiliki tugas dalam penaganan pandemi Covid-19 di negara-negara. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa yang menjadi Prinsip-Prinsip penanganan covid-19 menurut hukum kesehatan internasional dan Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengaturan hukum dalam penanganan covid-19 berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dimana hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books), selanjutnya data dan infomasi yang diperoleh sebagai bahan primer dan sekunder sebagai bahan rujukan bidang hukum kemudian dideskripsikan dan diintegrasikan agar memperoleh informasi yang akurat untuk menjawab permasalahan. Adapun hasil penelitian protokol covid-19 di negara indonesia bentuk pengaturannya penanganan covid-19 di negara Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam International Health Regulation. Kata Kunci : Protokol Covid-19, Prinsip-prinsip, pengaturan penanganan
PERLINDUNGAN TERHADAP PASIEN MATI OTAK DARI PENCABUTAN ALAT PENUNJANG HIDUP DITINJAU DARI HUKUM DI INDONESIA Kartini Tungkagi; Herlyanty Y. A. Bawole; Theodorus H. W. Lumunon
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana metode untuk mendiagnosis mati otak terhadap pasien menurut prinsip hukum kesehatan serta untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien dari pencabutan alat penunjang hidup. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1.Metode mendiagnosis mati otak terhadap pasien menurut prinsip hukum Kesehatan dimaksudkan menjadi sebuah acuan sebagai langkah-langkah yang boleh dan dapat dilakukan oleh tenaga medis untuk memastikan kematian batang otak yang lebih pasti dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. 2. Perlindungan hukum pada pasien bertujuan untuk melindungi segala hak yang dimiliki oleh pasien. Hak atas informasi medis dan memberikan persetujuan, hak atas rahasia medis, hak untuk menolak pengobatan dan tindakan medis, hak atas second opinion atau pendapat kedua, dan hak untuk mengetahui isi rekam medik. Pencabutan alat penunjang hidup adalah suatu upaya untuk menghentikan (withdrawing) semua terapi bantuan hidup kepada pasien yang berada dalam keadaan tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang diderita atau akibat kecelakaan parah yang mana tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile). Pada kasus pasien yang tidak sadarkan diri, persetujuan tindakan medis dilimpahkan kepada keluarga dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Kata Kunci : pasien mati otak, pencabutan alat penunjang hidup
ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN ORGAN TUBUH SEBAGAI OBJEK WASIAT DIKAITKAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN KESEHATAN Veisy Anathasya Pontoh; Theodorus H. W. Lumunon; Vonny A. Wongkar
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif yang dimana dilakukannya penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui kedudukan organ tubuh jika diwasiatkan kepada orang lain dalam kaitannya dengan Pasal 65 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan serta prosedurnya dalam pendonoran organ melalui sebuah wasiat. Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 serta kesehatan dari pendonor yang bersangkutan dan mendapatkan persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya yang di saksikan oleh dua orang saksi. 2. Prosedur Transplantasi juga tidak terlepas dari standar operasional medis yang di tetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Transplantasi dan Jaringan Tubuh yang mengatur alur pelayanan medis terkait dengan bedah organ tubuh. Kata Kunci : transplantasi, organ tubuh, wasiat, prosedur bedah.
Doktrin Corporate Negligence Pertanggunggugatan Entitas Hukum Rumah Sakit di Indonesia Theodorus Hendrik Willem Lumunon; Ronny A Maramis
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 12 No 3 (2023)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2023.v12.i03.p07

Abstract

Article 46 of Law No. 44 of 2009 on Hospitals regulates corporate counterclaims involving hospitals as legal entities under the vicarious liability doctrine. However, these regulations do not fully align with hospitals' distinct characteristics. Hospitals have a unique structure with three functional units: the supervisory board, the board of directors, and various professional groups, each with distinct responsibilities. This writing examines issues surrounding Article 46, including whether hospitals should be held accountable for damages caused by healthcare human resources. It explores when hospital corporations should face litigation and when healthcare human resources should assume liability based on professional responsibility. Despite the clarity of Article 46's text, its application doesn't entirely consider hospitals' organizational uniqueness. The objective is to establish regulations and legal principles to address challenges in applying Article 46, contributing to an ideal concept of corporate counterclaims involving hospitals. The research adopts a normative juridical approach, including legislative analysis, conceptual exploration, case study, and comparative law. The research suggests a concept of hospital liability as a legal entity, contingent on four conditions: the hospital has an obligation based on the corporate negligence doctrine, breach of these obligations occurs, quantifiable losses result, and a demonstrable causal connection exists between the breach and resulting damages.