Agus Rudi Asthuta
Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

KARAKTERISTIK PASIEN BENDA ASING ESOFAGUS DI RSUP SANGLAH DARI TAHUN 2013-2015 Putu Gede Agus Surya Mahardika; Agus Rudi Asthuta
E-Jurnal Medika Udayana Vol 9 No 2 (2020): Vol 9 No 02(2020): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.016 KB) | DOI: 10.24843/MU.2020.V09.i2.P08

Abstract

Latar Belakang: Benda asing esofagus adalah benda yang tajam maupun tumpul atau makanan yang tersangkut dan terjepit di esofagus karena tertelan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Peristiwa ini merupakan suatu kasus kedaruratan medis. Segala kalangan usia dapat tertelan benda asing di esofagus Di Indonesia sedikit penelitian terkait benda asing esofagus. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengatahui karakteristik pasien benda asing esofagus di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan desain cross sectional study yaitu dengan melakukan pengumpulan data satu kali dengan menggunakan data rekam medis. Dari segi waktu secara retrospektif, responden dalam penelitian ini dipilih melalui total sampling. Variabel yang diteliti pada penelitian ini antara lain jenis kelamin, umur, lokasi benda asing, dan jenis benda asing esofagus. Hasil: Benda asing esofagus ditemukan paling banyak pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 26 dari 42 orang (61,9%). Usia anak-anak yaitu umur 0-19 tahun merupakan jumlah kasus terbanyak yang berjumalah 22 (52,4%). adalah laki-laki anak-anak sebanyak 22 (52,4%). Berdasarkan lokasi, paling banyak ditemukan pada penyempitan pertama esofagus pada crycopharingeal vertebra C6 sebanyak 37 kasus (85,7%), serta tulang (47,6%) menjadi jenis benda asing esofagus terbanyak pada kasus. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan karakteristik pasien benda asing esofagus di Poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah dari tahun 2013-2015 adalah sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (61,9%), berada dalam kategori umur anak-anak (52,4%), lokasi tersering pada crycopharingeal pada tingkat vertebra C6 (85,7%), dan jenis benda asing terbanyak berupa tulang (47,6%). Kata Kunci : Karakteristik, Pasien, Benda Asing Esofagus
HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN TINGKAT STRES KERJA PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DAN DEALER DWIJATI MOTOR DENPASAR Made Me Lina Kenwa; I Made Wiranadha; Agus Rudi Asthuta
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 5 (2019): Vol 8 No 5 (2019): Vol 8 No 5 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.428 KB)

Abstract

Paparan kebisingan saat ini dapat dijumpai diberbagai tempat tak terkecuali tempat kerja. Adanyapaparan kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan auditorimaupun non-auditori pekerja. Salah satu gangguan non-auditori dari paparan kebisingan yangdapat mengganggu kinerja pekerja adalah stres kerja. Akan tetapi, jumlah penelitian mengenaiintensitas kebisingan dan tingkat stres kerja di Indonesia masih terbatas. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara intensitas kebisingan dengan tingkat stres kerjapada pekerja Bengkel Motor dan Dealer Dwijati Motor Denpasar. Jenis penelitian ini adalahpenelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penentuan sampelpenelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah sampel penelitian ini sebesar 30orang pekerja Bengkel Motor dan Dealer Dwijati Motor Denpasar. Pengumpulan data intensitaskebisingan dilakukan dengan menggunakan alat sound level meter dan data tingkat stres kerjadengan menggunakan kuesioner The Depression Anxiety Stress Scale (DASS). Data selanjutnyadianalisis dengan menggunakan uji univariat dan uji bivariat dengan Chi Square Test. Hasil ujiChi Square hubungan intensitas kebisingan dengan tingkat stres kerja memperoleh nilai p valuesebesar 0.464 (p > 0.05) dengan besar prevalence risk (PR) sebesar 1.313. Hasil analisis tersebutberarti tidak signifikan maka Ho diterima dan Ha ditolak. Simpulan yang dapat diambil adalahtidak terdapat hubungan antara intensitas kebisingan dengan tingkat stres kerja pada pekerjaBengkel Motor dan Dealer Dwijati Motor Denpasar. Kata kunci : Intensitas Kebisingan, Tingkat Stres Kerja
PREVALENSI KASUS OTITIS EKSTERNA BERDASARKAN USIA, JENIS KELAMIN DAN DIABETES MELITUS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2018 Putu Wahyu Dyatmika Tanaya; Agus Rudi Asthuta; Komang Andi Dwi Saputra; I Wayan Sucipta
E-Jurnal Medika Udayana Vol 9 No 3 (2020): Vol 9 No 03(2020): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2020.V09.i3.P16

Abstract

ABSTRAK Otitis eksterna merupakan permasalahan dan kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok (THT), merupakan kasus yang tergolong umum dan sering ditemui oleh dokter dalam praktek di lapangan baik dalam usia anak-anak maupun dewasa, dimana dari tahun ke tahun kasus tersebut terus mengalami peningkatan. Studi deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi kasus otitis eksterna berdasarkan usia, jenis kelamin dan diabetes melitus di Poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018. Desain penelitian cross-sectional dengan metode pengambilan melalui teknik total sampling di Poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2018. Total 70 sampel yang ada, hasil menunjukan kelompok usia tertinggi pasien otitis eksterna adalah pada masa Remaja Akhir (17-25 tahun) sebesar 24,3%. Pasien otitis eksterna berjenis kelamin laki-laki (60%) lebih banyak terdiagnosis otitis eksterna dan sebagian besar pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus (97,1%). Diagnosis otitis eksterna yang sering ditemukan adalah otitis eksterna akut terlokalisir (95,7%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, masih perlu dilakukan studi yang lebih lanjut dan mendalam untuk mengetahui hubungan dari otitis eksterna dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kata Kunci: prevalensi, otitis eksterna, THT, RSUP Sanglah
KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI PEMERIKSAAN PENDENGARAN DI POLIKLINIK THT-KL RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2018 Kadek Kristian Dwi Cahya; Komang Andi Dwi Saputra; Agus Rudi Asthuta; Sari Wulan Dwi Sutanegara
E-Jurnal Medika Udayana Vol 10 No 8 (2021): Vol 10 No 08(2021): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2021.V10.i8.P10

Abstract

Gangguan pendengaran ialah keadaan kurang mampu mendengarkan sebagian atau bisa juga keseluruhan pada salah satu atau kedua telinga. Kejadian gangguan pendengaran insidennya 40-45% pada lansia diatas 75 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita yang menjalani pemeriksaan pendengaran di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018. Deskriptif merupakan jenis pada penelitian ini dengan rancangan studi potong-lintang. Total sampling merupakan teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dan terkumpul sebanyak 331 sampel terbanyak terjadi pada laki-laki sebanyak 208 orang (62,8%) kemudian paling sering pada golongan usia 0-5 tahun tercatat sebanyak 127 orang (38,4%), paling banyak melakukan tes pemeriksaan audiometri sebanyak 190 orang (57,4%) dengan diagnosis gangguan pendengaran yang lebih dominan tercatat sebanyak 118 orang (35,6%) dan hasil pemeriksaan paling sering adalah tuli sangat berat sebanyak 75 orang (22,7%) pada telinga kanan, sedangkan pada telinga kiri didominasi oleh hasil pemeriksaan normal sebanyak 88 orang (26,6%). Lebih dari 50% penderita gangguan pendengaran berjenis kelamin laki – laki dan dengan pemeriksaan audiometri sebanyak 57%. Untuk kelompok usia, diagnosis yang paling sering ditemukan serta hasil pemeriksaan berturut turut dengan kelompok usia 0-5 tahun tertinggi sebanyak 127 orang, diagnosis yang paling sering ditemukan pada telinga kanan adalah tuli derajat berat sedangkan pada telinga kiri ditemukan dominan dalam keadaan normal. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan spesifik sehingga menjadi pengembangan bagi penelitian analitik selanjutnya. Kata Kunci: Gangguan Pendengaran, usia, jenis kelamin, diagnosis, jenis pemeriksaan, hasil pemeriksaan audiometri, RSUP Sanglah Denpasar
Anthropometric study of nasal index of Bali Aga population Agus Rudi Asthuta; I Putu Yupindra Pradiptha
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 49, No 1 (2019): Volume 49, No. 1 January-June 2019
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.727 KB) | DOI: 10.32637/orli.v49i1.273

Abstract

Background: Anthropometry is the measurement of human and more inclined to focus on the dimensions of the human body. Nasal indexes can be used to help determine personal identity, especially race, ethnic and gender differences. Purpose: The general objective of this study was to find out the results of nasal index anthropometric studies on Bali Aga populations in Tenganan. Methods: In this study, 20 samples (4 male and 16 female) within age group of 17-30 years old of Bali Aga population in Tenganan Village were measured strictly on Frankfort’s plane with the help of a sliding caliper. Results: The results of nasal anthropometry measurements obtained an average width of the nose of 38.790 mm, the average nose length of 45.490 mm and nasal index measurements obtained an average of 85.6416. Conclusion: Nasal index can be used to help determine personal identity, especially race, ethnic and gender differences. The result of nasal index in Bali Aga population in Tenganan Village is the Platyrrhine nose (wide nose). Latar belakang: Antropometri adalah pengukuran manusia dan lebih cenderung terfokus pada dimensi tubuh manusia. Nasal indeks dapat digunakan untuk membantu menentukan identitas personal, terutama perbedaan ras, etnis, dan jenis kelamin. Tujuan: Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil studi antropometri nasal index pada populasi Bali Aga di Tenganan. Metode: Studi ini melibatkan, 20 sampel (4 laki-laki dan 16 perempuan) dari penduduk Bali Aga Desa Tenganan yang diukur pada Frankfort’s plane dengan bantuan jangka sorong. Hasil: Pada hasil pengukuran antropometri hidung didapatkan rata-rata lebar hidung sebesar 38.790, rata-rata panjang hidung sebesar 45.490 serta pengukuran nasal index didapatkan rata-rata 85.6416. Kesimpulan: Nasal indeks dapat digunakan untuk membantu menentukan identitas personal, terutama perbedaan ras, etnis, dan jenis kelamin. Hasil nasal index pada populasi bali aga di Desa Tenganan adalah jenis hidung Platyrrhine (hidung lebar).
Karakteristik penderita polip hidung di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018 I Made Surya Vedo Wirananda; Agus Rudi Asthuta; Komang Andi Dwi Saputra
Intisari Sains Medis Vol. 10 No. 3 (2019): (Available online: 1 December 2019)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.85 KB) | DOI: 10.15562/ism.v10i3.454

Abstract

Introduction: Nasal polyps might trigger physical disorders and disrupt the normal function of daily life, causing decreases in productivity. Prevention and good management of nasal polyp cases become important. Therefore, information related to socio-demographic information is necessary even though the data available were still lacking.Method: This descriptive research was done using a cross sectional design, which data were collected retrospectively. The research data were secondary data of patients’ medical records in ENT poly in RSUP Sanglah Denpasar. This research describes the data related to nasal polyp patients in Sanglah Depansar, 2018 based on age, sex, main symptoms, comorbidities, and therapy. Research samples were selected using total sampling technique, in which the whole population that matched the predetermined criteria were involved in this research as samples.Result: 27 data met the inclusion criteria. Nasal polyp mostly occurred in the group of 40-60 years old patients as many as 11 persons (40.7%), with the youngest patient aged 10 years old. The results also indicated that the number of Nasal polyp in males reached 20 patients (74.1%) than in females of 7 people (25.9%). Nasal congestion was the main symptoms experienced by 15 people (55.6%), while sinusitis was the highest risk factor that occurred to 16 patients (59.3%). It was also found that rhinitis allergy was experienced by 7 patients (25.9%). Furthermore, 4 patients (14.8%) patients had rhinitis & sinusitis risk factor. There were 9 patients (33.3%) who underwent medical therapy, while 18 patients (66.7%) had undergone medical therapy and surgery.Conclusion: The highest frequency of polyp patient in RSUP Sanglah Denpasar of 2018 was found in the group of patients aged between 46-50 years old (40.7%), The number of Nasal polyps was found higher in male patients (74.1%). Nasal congestion was the most common complaint (55,6%), while the most frequently-risk factor was sinusitis (59.3%). This research has confirmed that medicine and surgery were the most preferred nasal polyps therapy (66.7%).Latar Belakang: Polip hidung dapat menyebabkan gangguan fisik dan gangguan fungsi normal kehidupan sehari-hari sehingga menyebabkan penurunan produktivitas. Pencegahan dan penanganan yang tepat terhadap polip nasi sangat penting, sehingga informasi mengenai faktor sosio-demografi polip nasi sangat dibutuhkan walaupun data yang tersedia masih jarangMetode: Rancangan penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif. Data yang digunakan berupa data sekunder yang didapat dari rekam medis pasien poli THT RSUP Sanglah Denpasar. Rancangan penelitian ini bertujuan untuk dapat menggambarkan penderita Polip Nasi di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018 berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan utama, penyakit penyerta dan terapi. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah total sampling dimana seluruh populasi target yang memenuhi kriteria dimasukan sebagai sampel.Hasil: Sebanyak 27 data yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan kelompok usia angka kejadian terbanyak terjadi pada kelompok usia 46-60 tahun (40,7%) dengan usia termuda yaitu 10 tahun. Angka kejadian pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan yaitu jumlah angka kejadian pada laki-laki sebanyak 20 orang (74,1%), perempuan 7 orang (25,9%). Hidung tersumbat merupakan keluhan utama yang paling banyak terjadi yaitu pada 15 orang (55,6%) dengan sinusitis sebagai faktor resiko tertinggi yang terjadi pada 16 orang (59,3%), sedangkan faktor resiko berupa rhinitis allergi didapatkan data sebanyak 7 orang (25,9%) dan pada faktor resiko rhinitis & sinusitis didapatkan 4 orang (14,8%). Pasien yang melakukan terapi medikamentosa didapatkan sebanyak 9 orang (33,3%), pada terapi medikamentosa & pembedahan didapatkan sebanyak 18 orang (66,7%).Simpulan: Distribusi frekuensi penderita polip nasi di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018 terbanyak berdasarkan kelompok usia yaitu kelompok usia 46-60 tahun (40,7%), angka kejadian pada laki-laki lebih banyak (74,1%), hidung tersumbat merupakan keluhan utama yang paling sering terjadi (55,6%) dengan sinusitis sebagai faktor resiko yang paling sering ditemukan (59,3%) dan terapi polip nasi berupa medikamentosa & pembedahan (66,7%).
Kualitas hidup anak usia 12-15 tahun yang menderita tonsilitis kronis Sang Ayu Putu Novi Krisna Dewi KN; Komang Andi Dwi Saputra; Agus Rudi Asthuta; Sari Wulan Dwi Sutanegara
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 2 (2020): (Available online: 1 August 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.753 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i2.650

Abstract

Background: Inflammation that occurs in palatine tonsils is often called tonsillitis. The incidence of tonsillitis in Indonesia around 23% according to the Ministry of RI. In Bali, for oral health problems of 21.6% that occur in children aged 5-9 years and in children aged 10-14 years by 20.6% based on data from Riskesdas 2007.Aim: This study aims to determine the quality of life of children aged 12 -15 years old suffering from chronic tonsillitis in SMP Negeri 1 Kintamani.Methods: This descriptive study uses a cross sectional study design. This sample collection uses a descriptive conservative sample whose data is taken from a questionnaire taken at SMP Negeri 1 Kintamani with the conditions of inclusion and exclusion criteria.Results: Samples obtained 20 samples, as many as 11 people (55%) women were found to suffer the most from chronic tonsillitis, then the age group of 14 years 9 people (45%). Based on the type of tonsils most patients have T2 tonsil type as many as 16 people (80%). In terms of quality of life, almost all samples of 17 people (85%) had a normal quality of life. Based on the type of quality of life of a total of 17 samples with normal quality of life as many as 15 people (88.24%) had mild symptoms of tonsillitis while 2 people (11.76%) the rest had symptoms of moderate and severe tonsillitis.Conclusion: There was no significant difference was found in the proportion of tonsillitis symptoms in the sample group based on quality of life (p = 1.00) in SMP Negeri 1 Kintamani. Inflamasi yang terjadi pada tonsil palatina sering disebut dengan tonsilitis. Kejadian tonsilitis di Indonesia sekitar 23% berdasarkan Departemen RI. Di Bali, untuk masalah kesehatan mulut sebesar 21,6% yang terjadi pada anak berusia 5-9 tahun dan pada anak usia 10-14 tahun sebesar 20,6% berdasarkan data dari Riskesdas 2007.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui  kualitas hidup anak usia 12-15 tahun yang menderita tonsilitis kronis di SMP Negeri 1 Kintamani.Metode: Penelitian deskriptif ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Pengumpulan sampel ini menggunakan deskriptif conservative sampel yang datanya diambil dari kuesioner yang diambil di SMP Negeri 1 Kintamani dengan syarat kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.Hasil: Sampel yang didapatkan 20 sampel, sebanyak 11 orang (55%) perempuan ditemukan paling banyak menderita tonsilitis kronis, kemudian kelompok usia 14 tahun 9 orang (45%). Berdasarkan tipe tonsilnya paling banyak pasien memiliki tipe tonsil T2 sebanyak 16 orang (80%). Ditinjau dari kualitas hidupnya hampir seluruh sampel sebanyak 17 orang (85%) memiliki kualitas hidup yang normal. Berdasarkan jenis kualitas hidupnya dari total 17 orang sampel dengan kualitas hidup normal sebanyak 15 orang (88,24%) memiliki gejala tonsilitis yang ringan sementara 2 orang (11,76%) sisanya memiliki gejala tonsilitis yang sedang dan berat.Kesimpulan: Perbedaan bermakna tidak ditemukan dari proporsi gejala tonsilitis pada kelompok sampel berdasarkan kualitas hidupnya (p= 1,00) di SMP Negeri 1 Kintamani.
Anthropometric study of nasal index of Bali Aga population Agus Rudi Asthuta; I Putu Yupindra Pradiptha
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 49 No. 1 (2019): Volume 49, No. 1 January-June 2019
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v49i1.273

Abstract

Background: Anthropometry is the measurement of human and more inclined to focus on the dimensions of the human body. Nasal indexes can be used to help determine personal identity, especially race, ethnic and gender differences. Purpose: The general objective of this study was to find out the results of nasal index anthropometric studies on Bali Aga populations in Tenganan. Methods: In this study, 20 samples (4 male and 16 female) within age group of 17-30 years old of Bali Aga population in Tenganan Village were measured strictly on Frankfort’s plane with the help of a sliding caliper. Results: The results of nasal anthropometry measurements obtained an average width of the nose of 38.790 mm, the average nose length of 45.490 mm and nasal index measurements obtained an average of 85.6416. Conclusion: Nasal index can be used to help determine personal identity, especially race, ethnic and gender differences. The result of nasal index in Bali Aga population in Tenganan Village is the Platyrrhine nose (wide nose). Latar belakang: Antropometri adalah pengukuran manusia dan lebih cenderung terfokus pada dimensi tubuh manusia. Nasal indeks dapat digunakan untuk membantu menentukan identitas personal, terutama perbedaan ras, etnis, dan jenis kelamin. Tujuan: Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil studi antropometri nasal index pada populasi Bali Aga di Tenganan. Metode: Studi ini melibatkan, 20 sampel (4 laki-laki dan 16 perempuan) dari penduduk Bali Aga Desa Tenganan yang diukur pada Frankfort’s plane dengan bantuan jangka sorong. Hasil: Pada hasil pengukuran antropometri hidung didapatkan rata-rata lebar hidung sebesar 38.790, rata-rata panjang hidung sebesar 45.490 serta pengukuran nasal index didapatkan rata-rata 85.6416. Kesimpulan: Nasal indeks dapat digunakan untuk membantu menentukan identitas personal, terutama perbedaan ras, etnis, dan jenis kelamin. Hasil nasal index pada populasi bali aga di Desa Tenganan adalah jenis hidung Platyrrhine (hidung lebar).
Surgical Approaches for Orbital Floor Fractures: A Meta-Analysis of Clinical Outcomes and Complication Rates Comparing Transconjunctival, Subciliary, and Endoscopic Techniques Disa Saraswati; Agus Rudi Asthuta
Open Access Indonesian Journal of Medical Reviews Vol. 5 No. 4 (2025): Open Access Indonesian Journal of Medical Reviews
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/oaijmr.v5i4.761

Abstract

The optimal surgical pathway for the remediation of orbital floor fractures persists as a topic of considerable deliberation among ophthalmic and maxillofacial surgeons. The primary surgical modalities—transconjunctival, subciliary, and endoscopic techniques—each present a unique profile of advantages and inherent limitations with respect to surgical exposure, aesthetic outcomes, and the incidence of postoperative complications. This meta-analysis was undertaken to conduct a comparative evaluation of the clinical outcomes and complication rates associated with these three principal surgical approaches employed in the repair of orbital floor fractures. A meticulous and systematic search of prominent medical databases, including PubMed, Embase, and the Cochrane Library, was performed to identify relevant comparative studies published between January 2014 and December 2024. These studies were required to evaluate transconjunctival, subciliary, and/or endoscopic techniques for the repair of orbital floor fractures. Data from seven heterogeneous comparative studies were ultimately synthesized for this analysis. The primary outcome measures assessed were the incidence of postoperative persistent diplopia and the occurrence of significant enophthalmos, defined as globe retrodisplacement of 2 mm or greater. Secondary outcomes encompassed a range of complication rates, specifically including infraorbital nerve (ION) hypoesthesia, lower eyelid malpositions such as ectropion and entropion, and postoperative surgical site infections. Pooled odds ratios (ORs) or risk ratios (RRs) with their corresponding 95% confidence intervals (CIs) were calculated, employing a random-effects model to account for inter-study variability. The analysis incorporated seven studies, comprising a total of 850 patients who underwent surgical correction for orbital floor fractures. The distribution of patients across the surgical modalities was as follows: 300 patients were managed via a transconjunctival approach, 350 patients via a subciliary approach, and 200 patients via an endoscopic approach. The findings indicated that the transconjunctival approach was associated with a statistically significant lower rate of postoperative ectropion (OR 0.25, 95% CI 0.10-0.65) when compared to the subciliary approach. No statistically significant differences were observed in the rates of persistent diplopia (Transconjunctival vs. Subciliary: OR 0.90, 95% CI 0.55-1.48; Transconjunctival vs. Endoscopic: OR 1.10, 95% CI 0.60-2.01) or significant enophthalmos among the three surgical groups. Endoscopic approaches demonstrated a trend towards lower rates of new or worsened ION hypoesthesia (OR 0.60, 95% CI 0.30-1.19 vs. combined transcutaneous approaches), although this did not achieve statistical significance. In conclusion, this meta-analysis suggests that the transconjunctival approach may offer a superior lower eyelid cosmetic outcome by substantially reducing the risk of ectropion relative to the subciliary approach. All three evaluated techniques demonstrated comparable efficacy in addressing the primary functional objectives of resolving diplopia and correcting enophthalmos. The selection of an appropriate surgical approach should, therefore, be an individualized decision, meticulously considering surgeon experience and expertise, the specific characteristics and complexity of the fracture, and pertinent patient-related factors and preferences. There remains a compelling need for further high-quality, large-scale randomized controlled trials to definitively establish the potential superiority of one approach over the others across a broader range of outcomes.
Non-Keratinizing Sinonasal Squamous Cell Carcinoma Extending to the Skull Base: Surgical Management with Total Maxillectomy - A Case Study Anak Agung Wira Ryantama; Eka Putra Setiawan; Wayan Lolik Lesmana; Agus Rudi Asthuta; Komang Andi Dwi Saputra; Luh Sartika Sari
Archives of The Medicine and Case Reports Vol. 6 No. 3 (2025): Archives of The Medicine and Case Reports
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/amcr.v6i3.745

Abstract

Sinonasal squamous cell carcinoma (SNSCC) is an uncommon malignancy arising within the nasal cavity and paranasal sinuses, representing approximately 3% of head and neck cancers. The non-keratinizing subtype (NKSCC) presents unique diagnostic and therapeutic challenges, particularly when exhibiting locally advanced disease with extension towards critical structures like the skull base. Management typically involves a multimodal approach centered around surgical resection, often followed by adjuvant therapy. We present the case of a 51-year-old female, employed in the wood furniture industry, presenting with a progressively enlarging right nasal mass initially noted four years after removal of a right cheek lesion. Symptoms included unilateral nasal obstruction, epistaxis, anosmia, and loosening of maxillary teeth. Clinical examination revealed a large, friable mass obliterating the right nasal cavity and extending onto the palate. Computed tomography confirmed an extensive destructive mass involving the right nasal cavity, maxillary sinus, ethmoid sinus, extending to the nasopharynx, parapharyngeal space, masticator space, buccal space, frontal sinuses, and abutting the right internal carotid artery. Biopsy confirmed Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. The patient was staged as T4bN2cM0 according to the AJCC 8th edition criteria. Following neoadjuvant chemotherapy, the patient underwent total maxillectomy via a Weber-Ferguson approach with Lynch modification, including placement of a dental obturator. In conclusion, advanced NKSCC involving the skull base requires aggressive, multidisciplinary management. This case highlights the necessity of radical surgical resection, such as total maxillectomy via extended approaches like the Weber-Ferguson with Lynch modification, to achieve oncologic control in extensive T4b disease. Despite the challenges posed by proximity to vital structures, surgery remains the cornerstone of treatment, often requiring adjuvant therapy to optimize outcomes. Long-term follow-up is crucial due to the inherent risk of recurrence.