Prananda Surya Airlangga
Departemen Anestesiologi Dan Reanimasi; Fakultas Kedokteran; Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo; Surabaya

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Hubungan Profil Lipid (Kadar Trigliserida, HDL, LDL, Total Kolesterol) dengan Jenis Infeksi Bakteri pada Pasien Sepsis Yopie Wiguna; Philia Setiawan; Prananda Surya Airlangga
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n3.2156

Abstract

Gangguan profil lipid berhubungan dengan peningkatan kejadian gagal organ dan kematian pada pasiensepsis. Gangguan profil lipid mungkin berbeda antarjenis infeksi bakteri (gram positif vs gram negatif),perbedaan ini mungkin jadi disebabkan oleh perbedaan klirens endotoksin yang berbeda dan mekanisme imunologis host yang berkaitan dengan metabolism lipid. Tujuan, menganalisis perbedaan profil kadar lipid (HDL, LDL, Trigliserida, total kolesterol) dengan jenis infeksi bakteri pada pasien sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Soetomo yang dilaksanakan pada bulan April–Juli 2020. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional pada pasien dewasa yang memenuhi kritera sepsis-3. Jenis infeksi bakteri diklasifikasikan menjadi infeksi bakteri gram negatif, infeksi bakteri gram positif, infeksi campuran, dan tidak tumbuh kuman. Penelitian ini menganalisis perbedaan profil kadar lipid antarjenis infeksi bakteri menggunakan analisis normalitas data dan analisis varian data. Hasil dari 38 pasien sepsis dewasa pada penelitian ini didapatkan 13 pasien infeksi bakteri gram negatif, 13 pasien infeksi gram positif, 5 pasien infeksi campuran gram positif dan negatif, dan tidak didapatkan pertumbuhan kuman pada 7 pasien. Kadar HDL lebih rendah pada infeksi bakteri gram negatif dan infeksi bakteri campuran gram positif-gram negatif (p<0,05). Kadar trigliserida lebih tinggi pada infeksi bakteri gram negatif dan infeksi bakteri campuran gram positif - gram negatif (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LDL dan total kolesterol antarjenis infeksi bakteri. Simpulan, kadar HDL plasma lebiH rendah dan kadar trigliserida lebih tinggi pada pasien sepsis infeksi bakteri gram negatif dan bakteri campuran gram positif–gram negatif disbanding dengan pasien sepsis infeksi bakteri gram positif dan tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Relationship of Lipid Profile (Levels of Triglyceride, HDL, LDL, Total Cholesterol) with Types of Bacterial Infection in Sepsis PatientsImpaired lipid profiles are associated with an increased incidence of organ failure and mortality in septic patients. Disorders of the lipid profile may differ between bacterial infection types (gram-positive vs gram-negative). Differences could be due to dissimilarities in different endotoxin clearance and host immunological mechanisms related to lipid metabolism. The study analyzed differences in lipid profiles (HDL, LDL, triglycerides, total cholesterol) with the bacterial infection type in septic patients in the intensive care room of Dr. Soetomo Hospital in April–July 2020. This study was an observational analytic study of 38 adult patients who met the criteria for sepsis-3. Bacterial infection types were classified into gram-negative bacterial infections, gram-positive bacterial infections, mixed infections and culture negative. This study analyzed differences in lipid profiles between bacterial infection types, and used data normality analysis and data variant analysis. Results showed that 13 patients had gram-negative bacterial infection, 13 patients were with gram-positive infection, five patients were with mixed gram-positive gram-negative infections, and seven patients had no germ growth. Plasma HDL levels were lower in gram-negative bacterial infections and mixed gram-positive gram-negative bacterial infections (p<0.05). Plasma triglyceride levels were higher in gram-negative bacterial infections and mixed gram-positive gram-negative bacterial infections (p<0.05). There was no significant difference in LDL levels and total plasma cholesterol between bacterial infections types. In conclusion, plasma HDL levels are significantly lower, and triglyceride levels were significantly higher in septic patients with gram-negative and mixed gram-positive bacterial infections than in sepsis patients with gram-positive bacterial infections and culture negative.
Diabetes Insipidus In Patients With Traumatic Severe Brain Injury Yudha Adi Prabowo; Prananda Surya Airlangga
Qanun Medika - Jurnal Kedokteran FK UMSurabaya Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (873.74 KB) | DOI: 10.30651/jqm.v3i2.2534

Abstract

ABSTRACTTraumatic severe brain injury is a fatal injury, with a mortality rate of up to 50%. About 1.5 million people experience severe brain injury in the United States. There are more than 50,000 deaths and 500,000 incidents of permanent neurological sequelae. About 85% of mortality occurs in the first 2 weeks after the injury. One complication of a severe brain injury is diabetes insipidus. There are no definitive data on the incidence of diabetes insipidus in patients with traumatic severe brain injury of Indonesia so far. In this case report, a male, 45 years old, was taken to the Emergency Installation (IRD) after experiencing a traffic accident 12 hours before being hospitalized. After surgery, the signs of diabetes insipidus was presented by polyuria of 300cc / hour urine production and 149mmol / L hypernatremia, although the immediate administration of desmopressin, the patients clinical and hemodynamic was not shown any improvements. The patient passed away in the days five of treatment in the Intensive Care Unit (ICU). The main treatments for diabetes insipidus in traumatic severe brain injury are adequate rehydration and administration of desmopressin. Adequate hypovolemic, polyuric and hypernatremia corrections are the keys to the successful treatment of diabetes insipidus. Diabetes insipidus in cases of brain injury requires complicated treatment. Therefore, in the case of being handled improperly, it can bring death. Keywords: Diabetes insipidus, brain injury, hypernatremia, desmopressin, ICUCorrespondence: yud180987@yahoo.com ABSTRAKCedera otak berat traumatis adalah cedera fatal, dengan tingkat kematian hingga 50%. Sekitar 1,5 juta orang mengalami cedera otak berat di Amerika Serikat. Terdapat lebih dari 50.000 kematian dan 500.000 insiden gangguan neurologis permanen. Sekitar 85% kematian terjadi dalam 2 minggu pertama setelah cedera. Salah satu komplikasi dari cedera otak yang parah adalah diabetes insipidus. Tidak ada data pasti tentang kejadian diabetes insipidus pada pasien dengan cedera otak traumatis berat di Indonesia sejauh ini. Pada laporan kasus ini, seorang pria, 45 tahun, dibawa ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 12 jam sebelum dirawat di rumah sakit. Setelah operasi, tanda-tanda diabetes insipidus ditandai dengan adanya poliuria produksi urin 300cc / jam dan hipernatremia 149 mmol / L, meskipun segera diberikan desmopresin, kondis klinis dan hemodinamik pasien tidak menunjukkan perbaikan. Pasien meninggal pada hari kelima perawatan di Unit Perawatan Intensif (ICU). Perawatan utama untuk diabetes insipidus pada cedera otak berat traumatis adalah rehidrasi dan pemberian desmopresin yang adekuat. Koreksi hipovolemik, poliurik, dan hipernatremia yang adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan diabetes insipidus. Diabetes insipidus dalam kasus cedera otak membutuhkan perawatan yang rumit. Karena itu, jika ditangani dengan tidak tepat, bisa menyebabkan kematian.  Kata kunci: Diabetes insipidus, cedera otak, hipernatremia, desmopressin, ICUKorespondensi: yud180987@yahoo.com
Relationship between modified Nutrition Risk in the Critically Ill (mNUTRIC) Score and nutrition intake with quadriceps femoris muscle thickness in critically ill patients Mahendra Dwi Aditya Lopulalan; Prananda Surya Airlangga; Arie Utariani
Qanun Medika - Jurnal Kedokteran FK UMSurabaya Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/jqm.v5i2.6257

Abstract

Abstract  Muscle wasting in critical illness is seen from inadequate nutrition intake and stress catabolism. Modified Nutrition Risk in the Critically Ill (NUTRIC) Score is a screening tool that measures starvation, inflammation, disease severity, and organ dysfunction. Relationship between muscle strength and muscle thickness causes the evaluation of muscle thickness is quite relevant. This study aimed to analyze the relationship between modified NUTRIC score and nutrition with muscle wasting in critically ill patients. The study was conducted on 30 patients in the ICU Dr Soetomo Hospital Surabaya. Nutritional intake and thickness of the quadriceps femoris muscle were monitored for one week. There was a relationship between mNUTRIC score with quadriceps femoris muscle thickness on days 3rd, 5th, and 7th. In the comparison between the low risk group and the high-risk group, it was found that there was a significant difference in the change in the percentage of muscle thickness difference on the 3rd, 5th and 7th day observation. There is a relationship between protein debt with quadriceps femoris muscle thickness (p = 0.008) with a positive correlation with moderate correlation strength (r = 0.477) on day 7. In conclusion, the modified NUTRIC Score had a moderate relationship with quadriceps femoris muscle thickness in critical patients from day 3rd until day 7th. The calorie intake not had a relationship with quadriceps femoris muscle thickness. Protein intake had a moderate relationship with quadriceps femoris muscle thickness only on day 7th measurement in critical patients. Keywords             : Modified NUTRIC Score, Nutrition, Quadriceps Femoris muscleCorrespondence   :           mdr.lopulalan@gmail.com
Kesulitan “Weaning” pada Kasus Flail Chest Akibat Fraktur Sternum yang Tidak Teridentifikasi Pesta Parulian Maurid Edwar; Prananda Surya Airlangga; Agustina Salinding; Bambang Pujo Semedi; Teguh Sylvaranto; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 1 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1377.541 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i1.20667

Abstract

Latar Belakang:Trauma toraks menyebabkan 20% dari semua kematian akibat trauma. Salah satu yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi adalah flail chestdan fraktur sternum merupakan sebagian kecil dari penyebab flail chest. Mengingat kejadiannya yang sangat jarang maka fraktur sternum sering menjadi jebakan diagnostik yang terlupakan pada flail chest.Laporan Kasus:Terdapat 2 kasus yang dilaporkan dengan trauma toraks. Kasus pertama adalah multitrauma dengan Injury Severity Score(ISS) 50, trauma kepala, trauma abdomen dan trauma ekstremitas. Setelah dilakukan stabilisasi hemodinamik selama 3 hari, pasien sulit disapih dari ventilasi mekanik. Setelah tidak ditemukan lagi sumber perdarahan dan hemodinamik stabil pasien segera disiapkan operasi daruratdan ditemukan penyebabnya adalah fraktur sternum yang tidak teridentifikasi sebelumnya. Kasus kedua adalah trauma toraks dengan ISS 17, secara klinis tampak flail chestdan foto toraks antero-posterior yang normal. Setelah dilanjutkan CT scantoraks ditemukan fraktur sternum yang menyebabkan  pernafasan tidak adekuat. Segera dilakukan fiksasi eksternal dan hasilnya  memuaskan.Diskusi: Fraktur sternum seringkali disebabkan oleh mekanisme trauma toraks anterior yang berat dan dapat menimbulkan manifestasi flail chestsehingga dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas terlebih lagi bila disertai adanya trauma pada sistem organ lain serta penggunaan ventilator mekanik jangka panjang dan sepsis. Kejadian fraktur sternum sangat jarang dan foto toraks lateral pada kasus trauma juga jarang dilakukan sehingga seringkali fraktur sternum tidak teridentifikasi. Dengan mengetahui mekanisme trauma, gejala klinis yang tidak sesuai dengan gambaran foto toraks antero-posterior dan sulitnya penyapihan dari ventilasi mekanik  maka penggunaan ultrasonografi untuk skrining diharapkan dapat membantu menghindari jebakan terlambatnya identifikasi fraktur sternum.Kesimpulan:Pada trauma toraks dengan adanya fail chest, diagnostik dini diikuti fiksasi eksternal akan mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien fraktur sternum.
Gambaran Gastrointestinal Dysmotility pada Pasien Kritis Fauzana Fauzana; Prananda Surya Airlangga; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 2 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (20.247 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i2.22115

Abstract

Latar Belakang: Gastrointestinal (GI) dysmotility merupakan kejadian yang sering ditemui di intensive care unit (ICU), dengan angka kejadian cukup besar mencapai 60% pada pasien kritis. Hal ini juga merupakan prediktor peningkatan mortalitas dan lama tinggal di ICU. GI dysmotility dapat merupakan kelainan primer seperti pada pasien dengan diabetes mellitus dan sepsis atau merupakan efek sekunder dari terapi yang diberikan seperti efek dari resusitasi cairan dalam jumlah besar, penggunaan vasopressor atau obat-obatan yang menurunkan motilitas usus seperti opioid. Manifestasi klinis GI dysmotility dapat sangat luas dan dibagi menjadi upper GI dysmotility dan lower GI dysmotility.Kasus: 2 laporan kasus berikut mewakili upper dan lower GI dysmotility. Kasus 1, laki laki 18 tahun dengan diagnosa guliian barre syndrome (GBS) yang mengalami infeksi berulang. Gastroparesis dan produksi cairan lambung yang massive, dicetuskan oleh sepsis dan mengakibatkan metabolik alkalosis yang berat, kesulitan memulai nutrisi enteral dan kesulitan weaning dari ventilasi mekanik.Kasus 2, wanita 56 tahun dengan diagnosa obesity hypoventilation syndrome (OHS) dan edema paru. Terdapat diare dan ileus paralitik selama perawatan di ICU yang menyebabkan peningkatan tekanan intrabadomen.Pembahasan: Diagnosa dini dan tatalaksana yang tepat sangat penting. Mencari dan mengatasi penyebab GI dysmotility, koreksi cairan, elektrolit dan asam basa harus segera dilakukan. Obat-obatan yang meningkatkan motilitas usus dan mobilisasi dini dapat diberikan pada upper dan lower GI dysmotility sedangkan dekompressi abdomen efektif dalam mengurangi tekanan intrabdomen pada lower GI dysmotility.Kesimpulan: Diagnosa dan penanganan dini pada GI dysmotility dapat memperbaiki outcome dan mengurangi komplikasi. Apapun penyebabnya GI dysmotility harus di terapi secara tepat dan sistematis.
Tantangan Kompleksitas Manajemen Cedera Ledakan Bom: Pengalaman Dari Rumah Sakit Swasta Tipe B Surabaya A.K Wisnu Baroto Sutrisno Putro; Prananda Surya Airlangga; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (589.318 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.22947

Abstract

Latar Belakang: Di seluruh dunia, kasus pengeboman meningkat dan seringkali dipakai sebagai metode terorisme. Ledakan adalah penyebab paling umum jatuhnya korban. Minggu, 13 Mei 2018, tiga buah bom meledakkan tiga gereja di Surabaya.  Dilaporkan ada 43 korban dan telah mengakibatkan 13 orang tewas saat itu juga.Kasus: Terdapat 3 kasus dilaporkan sebagai korban ledakan bom. Kesemuanya kasus dengan luas luka bakar lebih dari 50%. Kasus pertama dan ketiga disertai trauma inhalasi sehingga perlu intubasi dan ventilator. Ketiga kasus diresusitasi dengan formula Baxter dan segera mendapatkan tindakan debridement luka bakar. Pada kasus pertama dan ketiga ditemukan debris logam pada bagian tubuh pasien. Kasus pertama pasien meninggal 20 jam pasca ledakan. Kasus kedua dan ketiga tetap bertahan setelah menjalani perawatan di intensive care unit (ICU) masing-masing selama 10 dan 29 hari.Pembahasan: Trauma ledakan bom mempunyai 4 tahapan efek, yaitu primary (efek langsung tekanan), secondary (efek proyektil ledakan), tertiary (structure collapse dan terlemparnya korban), dan quarternary (luka bakar, trauma inhalasi, eksaserbasi penyakit kronis). Penanganan pasien luka bakar akibat cedera high order explosive pada hakekatnya sama dengan penanganan pasien luka bakar umumnya, berdasarkan tahapan primary dan secondary survey. Berdasar riwayat, penilaian awal dan penampakan klinis diduga ada trauma thermal jalan napas atas, proteksi jalan napas dengan intubasi segera dilakukan. Manajemen cairan kasus luka bakar untuk mempertahankan perfusi jaringan fase awal burn shock.Kesimpulan: Korban cedera ledakan seringkali menunjukkan kombinasi 4 jenis trauma (ledakan, tumpul, tembus dan thermal). Dengan mengenali gambaran unik cedera ledakan, dokter akan lebih baik dan cepat menangani korban.
Pengukuran Optical Nerve Sheath Diameter (ONSD) untuk Monitoring Tekanan Intrakranial (TIK) di Intensive Care Unit (ICU) Muhammad Husni Thamrin; Prananda Surya Airlangga
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.879 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.21064

Abstract

Latar Belakang: Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) adalah kegawatan pada sistem neurologis yang dapat menyebabkan kematian, akibat keganasan di otak, cedera kepala tertutup, gangguan aliran liquor cerebro spinal (LCS), sumbatan pada sinus venosus utama dan yang bersifat idiopatik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa monitoring TIK dapat meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup pasien-pasien yang mengalami peningkatan TIK. Metode pengukuran TIK non invasif seperti pengukuran optical nerve sheath diameter (ONSD) jarang dilakukan di Indonesia meskipun memiliki nilai manfaat yang besar bagi penatalaksanaan pasien di ICU.Kasus: Kami melaporkan 4 kasus ICU di RSUD Dr. Moewardi, Solo, Jawa Tengah: laki-laki, 54 tahun dengan cedera kepala berat (CKB), ICH regio temporal dan edema cerebri, mendapatkan terapi konservatif; wanita 52 tahun, dengan CKB, SDH regio frontotempororoparietal, ICH regio temporoparietal dekstra dan edema cerebri; wanita 44 tahun mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dengan EDH regio parietotemporal dextra, closed fracture clavicula dextra dan dilakukan kraniotomi  evakuasi EDH; laki-laki 45 tahun dengan stroke hemoragik,dekstra, patah tulang tertutup, klavikula kanan dan dilakukan evakuasi EDH pascaoperasi ICH. Pada keempat pasien di atas kami lakukan pengukuran ONSD pada kedua bola mata dengan hasil yang berbeda-beda. ONSD > 5 mm kami anggap pasien mengalami peningkatan TIK, TIK > 20 mmHg, dan terapi di ICU disesuaikan dengan hasil ini untuk menurunkan TIK nya.Pembahasan: Laporan kasus kami ini memberikan gambaran bahwa pemeriksaan sonografi bola mata pasien yang dilakukan oleh klinisi ICU dapat memperkirakan tekanan intrakranial pasien secara cepat dan akurat. ONSD dengan cut off > 5 mm dapat memperkirakan TIK > 20 mmHg. Pada pasien kasus 1, 2, 4 didapatkan ONSD melebihi 5 mm pada kedua bola mata dan TIK diperkirakan melebihi 20 mmHg. Segala terapi yang bertujuan menurunkan TIK telah dilakukan kecuali kraniotomi dekompresi pada 2 pasien (kasus 1, dan kasus 2). Pemeriksaan ONSD juga memberikan informasi kepada klinisi tentang prognosis pasien. Hal ini menjadi penting saat memberikan informasi kepada keluarga pasien dan untuk rencana terapi selanjutnya. Pengukuran ONSD akan sangat bermanfaat dalam merubah keluaran pasien jika diukur pada fase awal dan dapat merubah terapi sesuai hasil ONSD. Pemeriksaan ONSD juga memeiliki keterbatasan yaitu sangat tergantung pada kemampuan operator sonografinya.Kesimpulan: Ini adalah laporan pertama di unit perawatan intensif kami berkenaan dengan metode pengukuran TIK non invasif. Diperlukan penelitian prospektif mengenai akurasi hasil antara pemeriksa, dan kegunaannya pada fase awal pasien cidera kepala (di ruang resusitasi) atau pasien yang beresiko mengalami peningkatan TIK.
Komplikasi Edema Paru pada Kasus Preeklampsia Berat dan Eklampsia Agus Harman Setiawan; Prananda Surya Airlangga; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (808.165 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.23911

Abstract

Latar Belakang: Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi dengan jumlah 305 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Angka ini menjadikan AKI Indonesia lebih tinggi daripada AKI negara Asia Tenggara lainnya. Preeklampsia merupakan penyumbang terbesar nomer dua pada kasus keguguran atau kematian janin. Edema paru merupakan komplikasi berat dari preeklampsia dengan angka kejadian 2,9-5%.Kasus: Terdapat 3 kasus yang dilaporkan. Kasus pertama adalah PEB dengan edema paru, dilakukan terminasi kehamilan, ventilasi mekanik dan diuretik, didapatkan respon penyapihan ventilasi mekanik. Pada kasus kedua adalah PEB disertai dengan dengue haemorhagic fever (DHF) grade II dan edema paru dilakukan terminasi kehamilan, ventilasi mekanik dan diuretik, respon kemajuan berlangsung cepat. Pada kasus ketiga adalah eklampsia dengan ganguan fungsi ginjal dan anuria walaupun telah diberikan diuretika, analisa gas darah yang asidosis metabolik berat disertai peningkatan ureum dan serum kreatinin, setelah dilakukan hemodialisa dan ultrafiltrasi pasien dapat disapih dari ventilasi mekanik.Pembahasan: Preeklampsia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu hamil di Indonesia. Edema paru adalah salah satu komplikasi utama yang berhubungan dengan kematian ibu hamil. Dengan mengetahui etiologi edema paru pada PEB dan eklampsia, dapat diberikan terapi yang tepat. Penggunaan ventilasi mekanik sebagai komponen oksigenasi PEEP dan ventilasi, restriksi cairan, diuretik dan keseimbangan cairan yang negatif dapat mempercepat proses penyembuhan edema paru.Kesimpulan: Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien PEB dan eklampsia adalah edema paru. Dengan memahami etiologi edema paru pada pasien preeklampsia, diharapkan pola pemberian terapi dapat dilakukan dengan tepat sehingga morbiditas dan mortalitas ibu hamil dapat diturunkan.
Hipoglikemia Berat pada Pasien Syok Sepsis karena Perforasi Gaster Andre Ferdinand Karema; Eddy Rahardjo; Prananda Surya Airlangga; Bambang Pujo Semedi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (849.706 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.23947

Abstract

Latar Belakang: Secara umum pasien kritis dengan syok septik mengalami hiperglikemia. Hipoglikemia berat sangat jarang terjadi pada pasien kritis. Pada penelitian Bagshaw dkk, hipoglikemia berat terjadi sekitar  1,4 % dari populasi pasien kritis. Hipoglikemia berat disebabkan gagal hati fulminan atau gagal adrenal,  syok septik, dan  komorbid berat (malnutrisi, sirosis hati, gagal ginjal kronik).Pasien perforasi gaster  yang dirawat di ruang intensif emergensi RSUD Dr. Sutomo selama  satu tahun (2017)  berjumlah  11 pasien. Pada laporan kasus ini 3  pasien mengalami hipoglikemia dimana 2 diantaranya hipoglikemia berat.Pada umumnya pasien kritis dengan syok sepsis mengalami hiperglikemia, namun pada 3 pasien  terjadi hipoglikema dan 2 di antaranya hipoglikemia berat .Kasus: Tiga kasus dilaporkan sebagai pasien hipoglikemia berat yang mengalami  syok septik disebabkan perforasi gaster. Ketiga pasien dengan mengalami acute kidney injury, hipoalbumin, serta mendapat support ventilator.Diskusi: Hipoglikemia harus segera diatasi untuk mencegah komplikasi yang tidak diinginkan. Pasien yang tidak mendapat asupan glukose selama 2 hari harus segera diberikan asupan. Bila hipoglikemia terjadi maka mortalitas akan meningkat 40% dan hipoglikemia berat akan meningkat sampai 80%. Penyebab Hipoglikemia paling banyak antara lain  acute kidney injury, hipoalbumin, dan ventilasi mekanik.Kesimpulan: Apabila dijumpai pasien kritis perforasi gaster, laparatomi, acute kidney injury, puasa dan menggunakan mekanikal ventilator sebaiknya kadar gula darah diperiksa seawal mungkin dan berulang. Apabila pasien mengalami hipoiglikemia, pasien diterapi secepatnya untuk meningkatkan gula darah, serta perlu diberikan asupan glukosa yang memadai. 
Pencegahan Terjadinya Delayed Cerebral Ischemia (DCI) pada Pasien Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage (aSAH) di Intensive Care Unit Daryanto Tri Winarko; Prananda Surya Airlangga; Eddy Rahardjo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.487 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.24303

Abstract

Latar Belakang: Penyebab subarachnoid hemorrhage (SAH) non trauma terbanyak adalah pecahnya aneurisma (75%-85%). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perawatan neurokritikal, sedangkan delayed cerebral ischemia (DCI) merupakan komplikasi serius dari SAH dan berhubungan dengan hasil neurologis yang merugikan. Vasospasme serebral adalah penyebab utama terjadinya DCI, paling sering terjadi pada hari ke 7-8 setelah perdarahan. Penderita tekanan darah tinggi, perokok, peminum, wanita dan usia 40-60 tahun berisiko menderita aneurysmal subarachnoid hemorrhage (aSAH).Kasus: Terdapat 3 kasus aSAH yang dilaporkan. Kasus pertama dan ketiga tidak mengalami penurunan kesadaran yang menurut skala modifikasi fisher berisiko terjadi vasospasme berskala 2 atau berisiko sedang dan angka mortalitas (menurut Hunt dan Hess) keduanya sebesar 40%. Sedangkan kasus ke 2 terjadi penurunan kesadaran yang mempunyai  risiko terjadi vasospasme berskala 2 yakni berisiko sedang, namun angka mortalitasnya 50%. Ketiga kasus setelah diagnose SAH ditegakkan segera mendapatkan terapi nimodipin untuk pencegahan terjadinya vasospasme disamping status cairan harus euvolemi dan tekanan darah sistole 120-140 mmHg.Pembahasan: aSAH mempunyai angka kematian dan tingkat kecacatan permanen yang tinggi. Aneurisma serebri dapat terdeteksi ketika pecah atau saat pemeriksaan CT scan dan magnetic reconance imaging (MRI) yang tidak disengaja. Kematian biasanya disebabkan oleh cedera neurologis akibat perdarahan awal, perdarahan ulang (rebleeding) dan DCI. Tujuan pengelolaan pecahnya aSAH adalah untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang dan DCI dengan menggunakan terapi nimodipin, mempertahankan volume darah normal (euvolume) dan mempertahankan tensi sistolik sekitar 120-140 mmHg.Kesimpulan: Untuk pencegahan aSAH tindakan skrining aneurisma akan lebih baik dan dapat menghemat biaya. Sedangkan pencegahan terjadinya DCI pada aSAH dilakukan dengan pemberian obat nimodipin, mempertahankan sirkulasi darah normal dan tekanan darah sligh hipertensi (120-140 mmHg).