Aditya Yuli Sulistyawan
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

FEMINIST LEGAL THEORY DALAM TELAAH PARADIGMA: SUATU PEMETAAN FILSAFAT HUKUM Aditya Yuli Sulistyawan
Masalah-Masalah Hukum Vol 47, No 1 (2018): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1422.444 KB) | DOI: 10.14710/mmh.47.1.2018.56-62

Abstract

Feminist Legal Theory(FLT) merupakan sebuah pemikiran yang melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum. Sebagai salah satu aliran pemikiran, kekhasan FLT memang tidak dapat dijelaskan secara bebas nilai kepada semua pembelajar hukum secara universal. Penjelasan terhadap hal ini hanya akan dilakukan secara tepat oleh 'filsafat payung' yang dinamakan paradigma. Melalui paradigma, FLT akan ditempatkan pada salah satu paradigma, sesuai ontologi, epistemologi, dan metodologinya. Secara ringkas, tujuan tulisan ini adalah melakukan sebuah pemetaan filsafat hukum terhadap FLT. Berdasarkan pembahasan, FLT akhirnya dapat dipetakan sebagai salah satu aliran di dalam paradigma Critical Theory et. al.
ARTI PENTING LEGAL REASONING BAGI HAKIM DALAM PENGAMBILAN PUTUSANDI PENGADILAN UNTUK MENGHINDARI “ONVOLDOENDE GEMOTIVEERD” Aditya Yuli Sulistyawan; Aldio Fahrezi Permana Atmaja
Jurnal Ius Constituendum Vol 6, No 2 (2021): OKTOBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v6i2.4232

Abstract

Hakim adalah sebuah profesi yang mulia (officium nobile) yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan dalam konteks penegakan hukum. Hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan keyakinannya atas suatu kebenaran, sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di muka pengadilan. Dalam memutus suatu perkara, hakim harus membangun penalaran yang memadai dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang dinyatakan di dalam putusannya, hal mana disebut sebagai legal reasoning. Kegagalan membangun legal reasoning dapat berimplikasi pada suatu putusan dikategorikan sebagai Onvoldoende Gemotiveerd atau kurang pertimbangan hukum. Maka dari itu sangatlah penting seorang hakim untuk cermat dalam menganalisis perkara berdasarkan fakta, hukum yang berlaku, yurisprudensi serta pertimbangan lainnya sehingga mengasilkan suatu putusan yang memiliki argumentasi yang kuat dalam setiap keputusannya agar tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum. Tujuan penulisan ini adalah untuk menunjukkan arti penting legal reasoning bagi hakim dalam pengambilan putusan di pengadilan untuk menghindari Onvoldoende Gemotiveerd. Hasil pembahasan menunjukkan legal reasoning dapat dilakukan oleh hakim dengan penemuan hukum melalui interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Hal ini dapat dilakukan untuk melengkapi pertimbangan hakim dalam suatu putusan, bilamana suatu aturan hukum kurang jelas, tidak jelas, atau tidak lengkap. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu putusan hakim harus memadai dalam pertimbangannya sehingga harus dibangun dengan legal reasoning yang kuat, dasar hukum dan penalaran yang logis dan cermat sebagai landasan rasional atas putusan yang dijatuhkan.
Time for Punishment with Subjectivity: Study Philosophy of Law Aditya Yuli Sulistyawan
Walisongo Law Review (Walrev) Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/walrev.2019.1.1.4754

Abstract

The dominance of legal positivism in thought and law enforcement is a reality. Saintism of legal science presents a law that is conceptualized as something that exists in sensory terms, along with its straightforward, rational, and objective nature. Law is always requested objectively. Objectivity is done by freeing the subject's mind to the legal reality that already exists as an object. Therefore, various legal cases such as the case of Asyani, Rasminah, Minah and others, are things that are easily proven as violating the law because it is a violation of the text of the article of law. Such a way of law, is now starting to become a public concern. So, when objectivity begins to be questioned, that's when the real subjectivity of asking begins to be considered - and this will be explained [only] in the study of legal philosophy, especially paradigmatic studies. This paper will discuss the possibility of subjectivity in law, which will be presented in the paradigmatic study.
Liberalisme dan Rasionalitas sebagai Basis Rule of Law: Perspektif Gerald Turkel Aditya Yuli Sulistyawan
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.836 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.173-200

Abstract

This paper is intended to discuss Gerald Turkel’s thoughts on liberal society, rationality, and rule of law, as well as the author’s analysis of the paradigms that underlie these thoughts. This article focuses on the scope of social change by analyzing how rule of law has made the change from classical liberalism and competitive capitalism to corporate liberalism and corporate capitalism in the United States. Through the study of literature, the author can conclude that there is a common thread between the relationship between classical liberalism, competitive capitalism and the rule of law ideology, in this case the rule of law is explained based on the typology of legal decision making put forward by Max Weber and his views on rationality and social action. Next, a philosophical study by the author paradigmatically against the thought of Turkel concluded that Turkel’s writings were still in the understanding of the positivism paradigm. However, this paradigmatic study is not the only one because through this writing, the reader is invited to slowly (but surely) enter the “world” paradigm of critical theory et. al. Therefore, among the paradigmatic ranges, Turkel actually rests on the post-positivism paradigm. Abstrak Artikel ini membahas pemikiran Gerald Turkel mengenai masyarakat liberal, rasionalitas, dan rule of law, serta paradigma yang memayungi pemikiran tersebut. Artikel ini difokuskan pada lingkup perubahan sosial dengan menganalisis bagaimana rule of law telah membuat perubahan dari liberalisme klasik dan kapitalisme kompetitif menuju liberalisme korporasi dan kapitalisme korporasi di Amerika Serikat. Melalui studi literatur, artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat benang merah hubungan antara liberalisme klasik, kapitalisme kompetitif dan ideologi rule of law, dalam hal ini rule of law yang dijelaskan berdasarkan tipologi pengambilan keputusan hukum yang dikemukakan oleh Max Weber dan pandangannya tentang rasionalitas dan tindakan sosial. Telaah filsafati yang dilakukan secara paradigmatik terhadap pemikiran Turkel menyimpulkan bahwa tulisan Turkel masih berada dalam pemahaman paradigma positivisme. Namun demikian, telaah paradigmatik ini bukanlah satu-satunya, karena melalui tulisan tersebut pembaca diajak untuk secara perlahan-lahan (namun pasti) memasuki “dunia” paradigma critical theory. Oleh karena di antara rentang paradigmatik itu, Turkel sejatinya berpijak pada paradigma post-positivisme.
Examine The Constitutionality Of Regulations Under Laws That Are Not Contrary To The Law But Contrary To The Constitution Aditya Yuli Sulistyawan; I Putu Eka Cakra
Administrative Law and Governance Journal Vol 3, No 1 (2020): Administrative Law & Governance Journal
Publisher : Administrative Law Department, Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (566.68 KB) | DOI: 10.14710/alj.v3i1.104-113

Abstract

Kewenangan untuk memeriksa UU terhadap Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian hukum dan peraturan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24 A paragraf 1 dan 24 C paragraf 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, dalam perumusan pasal a quo ternyata masih menyisakan masalah, yaitu belum mengatur mekanisme pengujian norma yang terkandung dalam undang-undang di bawah undang-undang jika ternyata tidak bertentangan dengan undang-undang tetapi bertentangan dengan konstitusi. Tulisan ini membahas pengujian norma-norma undang-undang melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang kewenangan peradilan di casu a quo pasal 24 A ayat 1 dan 24 C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata kunci: otoritas, hukum, konstitusi. Abstract The authority to examine the Law against the Constitution is carried out by the Constitutional Court and the testing of the laws and regulations under the Law on the Law is carried out by the Supreme Court as regulated in article 24 A paragraph 1 and 24 C paragraph 1 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, in the formulation of the article a quo it turns out still leaves a problem, namely not yet regulating the norm testing mechanism contained in the legislation under the legislation if it turns out it is not contrary to the law but contrary to the constitution. This paper analyzes the testing of the norms of the legislation through the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Republic IX concerning judicial authority in casu a quo article 24 A paragraph 1 and 24 C paragraph 1 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Keyword: authority, law, the constitution.
Gender Construction in Islamic Perspective Aditya Yuli Sulistyawan; Siti Sarah Nurfaidah
Ijtimā`iyya: Journal of Muslim Society Research Vol 5 No 1 (2020)
Publisher : Postgraduate Program, State Institute on Islamic Studies Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.966 KB) | DOI: 10.24090/ijtimaiyya.v5i1.4000

Abstract

Gender issues are still a topic that is often discussed in society. Gender is related to the social construction of the division of activities between women and men. Along with the development of times there are many assumptions that say that women still accept injustice and are still discriminated against so that many are demanding gender equality for women. In the Qur'an many verses describe justice and equality between women and men in their responsibilities and carrying out their role, but there are still many people who do not understand the contents of the verses in question. The public or broad audience needs to understand gender construction in this Islamic perspective to be able to realize the ideal gender construction in life, especially in the context of Islamic society.
EPISTEMOLOGI HUKUM (YANG) SUBJEKTIF SEBAGAI JALAN MEWUJUDKAN HUKUM YANG BERPERI-KEMANUSIAAN Aditya Yuli Sulistyawan
Jurnal Hukum Progresif Vol 7, No 1 (2019): Volume: 7/Nomor1/April/2019
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (495.531 KB) | DOI: 10.14710/hp.7.1.98-107

Abstract

Penegakan hukum yang dipengaruhi oleh dominasi paradigma positivisme memaparkan potret penegakan hukum yang tidak berperi-kemanusiaan karena dianggap tidak mengedepankan keadilan, khususnya bagi rakyat kecil. Kasus-kasus hukum seperti pencurian tiga biji kakao oleh Nenek Minah di Banyumas, pencurian setandan pisang oleh Mbah Klijo di Yogyakarta hingga kasus Baiq Nuril yang oleh Putusan MA divonis bersalah melanggar UU ITE. Sepertinya hukum memang tidak didesain untuk memanusiakan manusia. Penegak hukum seperti hanya menjalankan tugasnya untuk merealisasikan teks-teks semata, sekaligus di saat yang sama mengabaikan konteksnya. Ciri demikian sejatinya adalah hakikat hukum yang ber-ontologi realisme naif sebagaimana diyakini oleh pemeluk paradigma positivisme dalam memaknai realitas. Melihat kenyataan paradigmatik yang ada, sejatinya hukum yang ber-epistemologi subjektif adalah sebuah tawaran untuk mewujudkan hukum yang berperikemanusiaan. Apa dan bagaimanakah paradigma yang memberi kemungkinan mewujudkan itu adalah permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Melalui tradisi kualitatif dan paradigma yang menuntun penulis, pembahasan atas permasalahan ini menghadirkan jawaban pada pilihan dua paradigma yang berepistemologi subjektif, yakni: Critical Theory et. al. atau Konstruktivisme. Lantas, perlukah kemudian terjadi shifting paradigm sebagai solusi (?).
URGENSI HARMONISASI HUKUM NASIONAL TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM GLOBAL AKIBAT GLOBALISASI Aditya Yuli Sulistyawan
Jurnal Hukum Progresif Vol 7, No 2 (2019): Volume: 7/Nomor2/Oktober/2019
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (90.516 KB) | DOI: 10.14710/hp.7.2.171-181

Abstract

Pengaruh globalisasi dalam tatanan hukum nasional Indonesia sangatlah besar. Hal ini harus disikapi dengan keinginan kuat dari segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan hukum  nasional yang lebih baik. Hal demikian semakin dapat dipahami mengingat globalisasi merupakan suatu gejala yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh negara mana pun yang tidak ingin terkucil dalam percaturan internasional. Misalnya sejak ratifikasi terhadap Agremeent Establishing The World Trade Organization (WTO), Indonesia harus mengharmonisasikan seluruh hukum nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam WTO. Selain itu, lahirnya berbagai Undang-Undang mengenai HAM di Indonesia adalah implikasi lahirnya instrumen-instrumen HAM internasional, utamanya Statuta Roma 1998.
DINAMIKA KETATANEGARAAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM Bakhrul Amal; Aditya Yuli Sulistyawan
Masalah-Masalah Hukum Vol 51, No 4 (2022): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.51.4.2022.346-354

Abstract

Pemindahan sebuah Ibu Kota Negara bukanlah hal baru dalam persoalan ketatanegaraan baik di Indonesia maupun dunia. Beberapa negara di dunia, selain Indonesia, pernah melakukan hal tersebut. Proses memindahkan Ibu Kota Negara dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah perpindahan Ibu Kota Negara tentu harus didahului dengan analisis. Kedua adalah proses pembentukan aturan hukum sebagai dasar hukum dari perpindahan Ibu Kota Negara tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif. Metode itu ditinjau dengan pendekatan historis. Perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan ternyata telah melalui analisa yang panjang. Proses pembentukan UU IKN juga telah melalui proses yang ditentukan oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi proses tersebut dinilai masih banyak kekurangan salah satunya adalah tidak mampu menyerap partisipasi publik.
Kekerasan Seksual dan Cara Berpakaian Perempuan: Telaah Filsafat Hukum Dalam Paradigma Critical Theory, Et. Al. Aditya Yuli Sulistyawan; Robiah Adawiyah; Shefia Ariesta Fernanda; Adya Paramita Prabandari
Jurnal Ius Constituendum Vol 8, No 2 (2023): JUNE
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v8i2.6093

Abstract

This study aims to dismantle the wrong perspective regarding the occurrence of sexual violence which is associated with the way women dress, through the paradigm of Critical Theory, et. al. as a study of legal philosophy. As we know, the phenomenon of sexual violence in Indonesia occurs because of gender discrimination, where society always makes women as objects that are always blamed for this action. This perspective is considered patriarchal because it favors men over women. One of the current virtual realities shows that people's thoughts about how to dress women can be considered as the main factor in the existence of sexual violence. The research method used is the philosophy of law research through a paradigmatic study approach. The novelty of this research lies in the paradigmatic analysis used in solving the problem. The results of this study prove that the way women dress does not have a correlation with the occurrence of acts of violence sexual. A change of view is needed as the thinking of Critical Theory, et. al. who want to unravel the mistake of thinking that women and the way they dress are always the cause of sexual violence. Penelitian ini bertujuan untuk membongkar cara pandang yang salah yang mengenai terjadinya kekerasan seksual yang dikaitkan dengan cara berpakaian perempuan, melalui paradigma Critical Theory, et. al. sebagai suatu telaah filsafat hukum. Sebagaimana kita ketahui, fenomena kekerasan seksual di Indonesia terjadi karena diskriminasi gender, di mana masyarakat selalu menjadikan perempuan sebagai objek yang selalu disalahkan dalam terjadinya tindakan ini. Cara pandang tersebut dianggap patriarki karena lebih memihak kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Salah satu realitas virtual saat ini menunjukkan bahwa pemikiran masyarakat mengenai cara berpakaian perempuan dapat dianggap sebagai faktor utama dari adanya kekerasan seksual, padahal belum dapat dipastikan bahwa hal tersebut sepenuhnya benar. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian filsafat hukum melalui pendekatan studi paradigmatik. Kebaruan penelitian ini terletak dalam telaah paradigmatik yang digunakan dalam mengurai permasalahan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa cara berpakaian perempuan tidak memiliki korelasi dengan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Tindakan tersebut terjadi murni atas dasar pikiran kotor dari para laki-laki. Diperlukan perubahan pandangan sebagaimana pemikiran Critical Theory et. al. yang ingin membongkar kesalahan berpikir bahwa perempuan dan cara berpakaiannya selalu menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual.