Diana Ch. Lalenoh
Universitas Sam Ratulangi

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Pola Pemberian Antimikroba pada Pasien Sepsis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari - Juni 2019 Taroreh, Reinhard C.; Tambajong, Harold F.; Lalenoh, Diana Ch.
e-CliniC Vol 7, No 2 (2019): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v7i2.26784

Abstract

Abstract: Sepsis is defined as organ dysfunction that threatens life due to disregulated response of vulnerable host to the infection agent. Antimicrobial therapy is one of the main therapies in the management of septic cases. Survival sepsis campaign guidelines in 2016 recommended antimicrobial administration in one hour after being diagnosed as sepsis. This study was aimed to determine the pattern of antimicrobial administration among septic patients in the Intensive Care Unit of RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. This was an observational analytical study with a cross-sectional design. Samples were intensive care unit patients of RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado diagnosed as sepsis and its classification obtained from the Medical Record Installation data for the period of January to June 2019. The results showed a total of 35 septic patients consisting of 16 females (45.7%) and 19 males (54.3%). The time of antimicrobial administration ≤1 hour was found in 21 cases (60%). The most frequent antimicrobial administered was ceftriaxone in 13 cases (37.1%). The mortality rate after >48 hours was 13 cases (59%). In conclusion, most antimicrobial administration was in 1 hour after being diagnosed as sepsis and ceftriaxone was the most frequent antimicrobial given. Mortality rate after administration of antimicrobial was still high.Keywords: sepsis, ICU, antimicrobial, mortality rate Abstrak: Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi respon penjamu terhadap infeksi. Terapi antimikroba merupakan salah satu terapi utama dalam penatalaksanaan kasus sepsis. Pedoman Survival Sepsis Campaign tahun 2016 menyatakan pemberian antimikroba yang direkomendasikan ialah satu jam setelah terdiagnosiss sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemberian antimikroba pada pasien sepsis di Intensive Care Unit RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jenis penelitian ialah analitik observasional dengan desain potong lintang. Sampel penelitian ialah pasien ICU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dengan diagnosis sepsis dan klasifikasinya, diperoleh dari data Bagian Instalasi Rekam Medik periode Januari-Juni 2019. Hasil penelitian mendapatkan total 35 pasien dengan diagnosis sepsis, terdiri dari 16 orang perempuan (45,7%) dan 19 orang laki-laki (54,3%). Waktu pemberian antimikroba ≤1 jam pada sebanyak 21 kasus (60%). Penggunaan antimikroba yang sering diberikan ialah ceftriaxone pada 13 kasus (37,1%). Angka kematian setelah >48 jam sebanyak 13 kasus (59%). Simpulan penelitian ini ialah sebagian besar pemberian antimikroba 1 jam setelah didiagnosis sepsis dengan ceftriaxone sebagai antimikroba yang paling sering diberikan. Angka kematian pasca pemberian antimikroba masih tinggi.Kata kunci: sepsis, ICU, antimikroba, angka kematian
Gambaran kadar hemoglobin pasien pra dan pasca operasi seksio sesarea yang tidak mendapat transfusi darah Tia, Herry Y.; Kumaat, Lucky T.; Lalenoh, Diana Ch.
e-CliniC Vol 4, No 2 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v4i2.14469

Abstract

Abstract: The occurence of increased or decreased levels of hemoglobin of post-caesarean patients depends on the intake of nutrients during pregnancy, bleeding, and anemia. In case of massive and life-threatening bleeding during the caesarean section, blood transfusion has to be administered to revive the patient in critical condition. This study was aimed to obtain the patients’ levels of hemoglobin in either pre- and post-operative caesarean section without blood transfusion. This was a retrospective descriptive study using data of medical records at the Installation of Medical Record Department of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from September 2015 to August 2016. There were 32 patients in this study. The result showed that the mean values of pre-operative Hb was 12.4 g/dL and of post-operative Hb was 11.5 g/dL with a difference of 0.9 g/dL. Decreased levels of hemoglobin occured in 28 patients. It is discerned that the mean value of pre-operative Hb was 12.4 g/dL while of post-operative Hb was 11.3 g/dL with a difference of 1.1 g/dL. Furthermore, increased levels of hemoglobin occured in 4 patients, showing that the mean value of pre-operative Hb was 12.1 g/dLwhereas of post-operative Hb was 12.5 g/dL with a difference of 0.4 g/dL. Based on the characteristics of pregnant women, 23 cases (71.9%), were in the age group of 20-35 years; 18 cases (56.3%) of hemorrhage of 500-1000 ml; and 25 cases (78.1%) of 6-10 days length of hospitalization. Conclusion: In this study, there was increased as well as decreased hemoglobin levels in caesarean patients who were not administered blood transfusion during surgery.Keywords: hemoglobin, caesarean section, blood transfusion Abstrak: Terjadinya peningkatan maupun penurunan kadar hemoglobin pada operasi seksio sesarea tergantung pada asupan zat-zat nutrisi saat kehamilan, perdarahan, dan anemia. Jika terjadi perdarahan hebat selama operasi seksio sesarea berlangsung yang mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin mendekati batasan untuk dilakukan transfusi darah, maka transfusi darah diberikan untuk menolong pasien pada kondisi kritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar hemoglobin pasien pra dan pasca operasi seksio sesarea yang tidak mendapat transfusi darah. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif menggunakan data rekam medik pasien seksio sesarea di Instalasi Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode September 2015 sampai Agustus 2016. Hasil penelitian memperlihatkan 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Nilai mean kadar Hb pra 12,4 g/dL dan kadar Hb pasca 11,5 g/dL dengan selisih 0,9 g/dL. Penurunan kadar hemoglobin terdapat pada 28 pasien dengan nilai mean kadar Hb pra 12,4 g/dL dan kadar Hb pasca 11,3 g/dL (selisih 1,1 g/dL). Peningkatan kadar hemoglobin terdapat pada 4 pasien dengan nilai mean kadar Hb pra 12,1 g/dL dan kadar Hb pasca 12,5 g/dL (selisih 0,4 g/dL). Karakteristik ibu hamil didapatkan terbanyak kelompok usia 20-35 tahun berjumlah 23 kasus (71,9%), perdarahan 500-1000 cc berjumlah 18 kasus (56,3%), dan lama rawat inap 6-10 hari berjumlah 25 kasus (78,1%). Simpulan: Pada pasien operasi seksio sesarea yang tidak mendapat transfusi darah dapat terjadi penurunan maupun peningkatan kadar hemoglobin. Kata kunci: hemoglobin, seksio sesarea, transfusi darah
PROFIL PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG DAN BERAT YANG DIRAWAT DI ICU DAN HCU Rawis, Maria L.; Lalenoh, Diana Ch.; Kumaat, Lucky T.
e-CliniC Vol 4, No 2 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.4.2.2016.14481

Abstract

Abstract: Traumatic brain injuries are still the leading cause of death and disability, and require care on Intensive Care Unit (ICU). A traumatic brain injury caused by mechanical mass from outside the body, leads to impaired cognitive and psychosocial function that can occur temporarily or permanently, and can cause loss of consciousness. This study aims to determine the profile of the patients with moderate and severe traumatic brain injuries treated in ICU and HCU, using retrospective descriptive study conducted in September to November 2016 in the Medical Record department of Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado. The sample size was determined by non-probability sampling method, a purposive sampling. Samples are ICU and HCU patients with the diagnosis of moderate to severe traumatic brain injury, who meet the inclusion criteria in the medical record of the data period September 2015 to August 2016. From the obtained sample of 40 patients, males dominate the gender category with 33 cases (83%). SIRS complications found in 23 cases (57.5%). Most patients are treated within 1?7 days, which also become the most patients who died within their length of stay. Patients who dies account for a total of 25 patients (62.5%) and most died after > 48 hours (72%) of treatment; out of the 25 deceased patients, 18 among them (45%) died from severe traumatic brain injury. Conclusion: The mortality rate is highest on severe head injury; most patients died after > 48 hours in the ICU and the HCU.Keywords: moderate traumatic brain injury, severe traumatic brain injury Abstrak: Cedera kepala masih merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan, dan memerlukan perawatan Intensive Care Unit (ICU). Cedera kepala disebabkan oleh massa mekanik dari luar tubuh yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dan psikososial, dapat terjadi sementara atau permanen, dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien cedera kepala sedang dan berat yang dirawat pada ICU dan HCU, menggunakan metode penelitian deskriptif retrospektif yang dilakukan pada September sampai dengan November 2016 di Instalasi Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado. Besar sampel ditentukan dengan metode non probability sampling yaitu purposive sampling. Sampel penelitian adalah pasien ICU dan HCU dengan diagnosa cedera kepala sedang dan berat yang memenuhi kriteria inklusi pada data Rekam Medik periode September 2015 sampai dengan Agustus 2016. Hasil penelitian didapatkan jumlah sampel 40 pasien, dengan jenis kelamin terbanyak laki-laki 33 orang (83%). Komplikasi SIRS ditemui pada 23 kasus (57,5%). Paling banyak pasien dirawat pada 1?7 hari dan pasien yang meninggal dunia terbanyak pada lama rawat 1?7 hari. Pasien meninggal dunia berjumlah 25 orang (62,5%) dan terbanyak meninggal dunia setelah > 48 jam (72%); dari 25 orang yang meninggal dunia pasien dengan cedera kepala berat sebanyak 18 orang (45%). Simpulan: Angka mortalitas tertinggi ada pada cedera kepala berat, dan pasien meninggal dunia paling banyak setelah > 48 jam di ICU dan HCU. Kata kunci: cedera kepala sedang, cedera kepala berat
Profil pasien preeklamsia berat dan eklamsia di ICU dan HCU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Patty, Vania Nita; Lalenoh, Diana Ch.; Wuisan, Debby D.
e-CliniC Vol 4, No 2 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v4i2.14461

Abstract

Abstract: Preeclampsia was defined as hypertension in pregnancy that occurs after 20th weeks of pregnancy meanwhile eclampsia is the new onset of a grand mal seizure activity and is one of the complications of preeclampsia. Preeclampsia and eclampsia are still the major causes of high maternal and infant mortality in Indonesia (1.5% -25%). Severe preeclampsia becomes an indication of obstetric patients to be admitted to ICU. This study was aimed to obtain the profile of patients with severe preeclampsia and eclampsia admitted to the ICU and HCU Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital. This was a descriptive retrospective study. Data were obtained from the medical records of patients admitted to the ICU and HCU from September 2014 to August 2016. There were 33 patients that met the inclusion criteria consisted of 11 patients (33%) with severe preeclampsia and 22 patients (67%) with eclampsia. Most patients were aged ≤ 25 years and the median length of stay in this study was 2 days. HELLP syndrome was found in 9 patients (27.3%) and DIC in 1 (3%) patient. There were five patients with ventilator and three patients died due to eclampsia. Conclusion: Most patients in this study were patients with eclampsia and the mortality rate was 9.1%.Keywords: severe preeclampsia, eclampsia, ICU, HCU Abstrak: Preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi dalam kehamilan yang terjadi setelah minggu ke- 20 kehamilan, sedangkan eklamsia adalah onset baru aktifitas kejang grand mal dan merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia. Preeklamsia dan eklamsia masih menjadi penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia (1,5%-25%). Preeklamsia berat menjadi indikasi pasien obstetri masuk ke ICU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pasien preeklamsia berat dan eklamsia yang dirawat di ICU dan HCU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif. Data diperoleh melalui data rekam medik pasien yang dirawat di ICU dan HCU periode September 2014 - Agustus 2016 dan didapatkan sebanyak 33 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Total pasien preeklamsia berat ialah 11 orang (33%) dan eklamsia sebanyak 22 orang (67%). Usia ≤25 tahun ialah usia terbanyak dan median lama rawat dalam penelitian ini ialah 2 hari. Kejadian HELLP syndrome pada kasus ini sebanyak 9 orang (27,3%) dan DIC sebanyak 1 orang (3%). Pasien dengan ventilator sebanyak 5 orang dan pasien yang meninggal akibat eklamsia sebanyak 3 orang. Simpulan: Dalam penelitian ini pasien terbanyak ialah pasien eklamsia dengan angka kematian 9,1%. Kata kunci: preeklamsia berat, eklamsia, ICU, HCU
PERBANDINGAN PREMEDIKASI FENTANIL 1 mcg/kgBB IV DAN 2 mcg/kgBB IV TERHADAP TEKANAN DARAH DAN NADI AKIBAT INTUBASI JALAN NAFAS PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMBEDAHAN ELEKTIF DI RSUP Prof. Dr. R. D. KANDOU MANADO PERIODE NOVEMBER – DESEMBER 2014 Berhimpong, Marsela J. A.; Tambajong, Harold; Lalenoh, Diana Ch.
e-CliniC Vol 3, No 1 (2015): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v3i1.7397

Abstract

Abstract: Intubation is a patent measure of securing and maintaining the airway. Fentanyl is a synthetic opioid that effectively blunts the sympathetic response to intubation and surgical stimulus. Fentanyl is often the primary choice of premedication and induction agent in general anesthesia due to its little depressant effect on cardiovascular system. Objective: To analyze the differences in blood pressure and pulse rate during intubation after administration of premedication fentanyl 1 mcg / kg iv premedication compared to fentanyl 2 mcg / kg iv. Methods: This is a prospective analytical study. The samples are 28 patients who were undergoing elective surgeries and were selected using purposive sampling method. The statistical test used is the average non-parametric test. Result: There is a change in blood pressure and pulse rate in patients who were given premedication fentanyl 1 mcg / kg iv and 2 mcg / kg iv (p <0.05). The use of fentanyl 1 mcg / kg iv and 2 mcg / kg iv showed no significant difference (p> 0.05), since both fentanyl 1 mcg / kg iv and 2 mcg / kg iv can lower both blood pressure and pulse rate. Conclusion: There is a change in blood pressure and pulse rate as a result of airway intubation in elective surgery patients who were given fentanyl 1mcg / kg iv and fentanyl 2 mcg / kg iv as premedications (p <0.05).Keywords: intubation, fentanyl, blood pressure, pulse rateAbstrak: Intubasi merupakan tindakan pengaman dan pemeliharaan jalan nafas paling paten. Fentanil adalah opioid sintesis yang efektif menumpulkan respon simpatis pada intubasi serta stimulus pembedahan. Fentanil seringkali menjadi pilihan utama agen premedikasi dan induksi dalam anestesia umum karena sedikit mendepresi kardiovaskular. Tujuan: Untuk menganalisis perbedaan tekanan darah dan laju nadi pada tindakan intubasi setelah pemberian premedikasi fentanil 1 mcg/kgbb iv dibandingkan dengan premedikasi fentanil 2 mcg/kgbb iv. Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian analisis prospektif. Sampel ialah 28 pasien yang menjalani bedah elektif. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Uji statistik menggunakan uji rerata non parametrik. Hasil penelitian: terdapat perubahan tekanan darah dan nadi pada pasien yang diberikan premedikasi fentanil 1 mcg/kgbb iv dan 2 mcg/kgbb iv (p < 0,05). Penggunaan fentanil 1 mcg/kgbb iv dan 2 mcg/kgbb iv menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05), baik fentanil 1 mcg/kgbb iv dan 2 mcg/kgbb iv keduanya dapat menurunkan tekanan darah dan laju nadi. Simpulan: Terdapat perubahan tekanan darah dan laju nadi akibat intubasi jalan nafas pada pasien pembedahan elektif yang diberikan premedikasi fentanil 1mcg/kgbb iv dan fentanil 2 mcg/kgbb iv (p < 0,05).Kata kunci: intubasi, fentanil, tekanan darah, laju nadi
Kode Biru pada Pasien Sepsis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou selang Juni 2018 sampai Juli 2019 Rawis, Daniel; Lalenoh, Diana Ch.; Laihad, Mordekhai L.
e-CliniC Vol 7, No 2 (2019): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v7i2.26785

Abstract

Abstract: Code blue is an emergency code used by hospitals throughout the world for handling emergency cases such as cardiac and pulmonary arrest. The code blue has to be announced immediately whenever someone is diagnosed as heart or respiratory attack; therefore, the hospital prepares a special team for implementation of this code. Sepsis is an inflammatory response of severe infection that can cause organ damage and even death. This study was aimed to determine the code blue in septic patients at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado. This was a retrospective and observational study conducted at the Medical Record Installation of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado. Samples were code blue patients diagnosed as sepsis during the period of June 2018 to July 2019. There were 34 septic patients as samples. The highest number/percentages of the samples were, as follows: ages of >50 years in 29 patients (72.5%), female sex in 22 patients (55%), response time <5 minutes in 33 patients (97%), and death <24 hours after the code blue in 34 patients (100%). In conclusion, with response time less than 5 minutes, the code blue mortality rate among septic patients was still high which was 100% within the first 24 hours.Keywords: code blue, sepsis Abstrak: Kode biru adalah suatu kode darurat yang digunakan rumah sakit di seluruh dunia untuk penanganan kasus darurat seperti henti jantung dan paru. Kode biru harus segera dimulai kapan saja seseorang ditemukan dengan serangan jantung atau pernapasan sehingga dibentuk tim khusus oleh rumah sakit. Sepsis merupakan respon inflamasi dari infeksi berat yang dapat menyebabkan kerusakan organ hingga kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kode biru pada pasien sepsis di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jenis penelitian ialah observasional retrospektif. Sampel penelitian ialah pasien kode biru di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dengan diagnosis sepsis yang memenuhi kriteria inklusi pada data rekam medik periode Juni 2018 sampai Juli 2019. Hasil penelitian mendapatkan jumlah total 34 pasien. Jumlah/persentase tertinggi dari pasien setelah dilakukan tindakan kode biru didapatkan pada usia >50 tahun yaitu 29 orang (72,5%); jenis kelamin perempuan yaitu 22 orang (55%); response time <5 menit yaitu 33 orang (97%); dan pasien yang meninggal dunia <24 jam yaitu 34 orang (100%). Simpulan penelitian ini ialah dengan response time <5 menit, angka kematian pasien sepsis dengan kode biru masih tetap tinggi yaitu mencapai 100% dalam waktu <24 jam.Kata kunci: kode biru, sepsis
GAMBARAN LAMA KERJA ROKURONIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESIA UMUM DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO Dewi, Ni Wayan Ira L.; Tambajong, Harold; Lalenoh, Diana Ch.
e-CliniC Vol 2, No 2 (2014): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v2i2.5028

Abstract

Abstrak: Intubasi endotrakeal merupakan salah satu tindakan yang sering dilakukan, khususnya pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesia umum. Intubasi endotrakeal dilakukan dengan memasukan pipa endotrakeal ke dalam trakea. Keberhasilan pemasangan pipa endotrakeal tergantung beberapa hal seperti relaksasi otot, kedalaman anestesia, dan keterampilan operator. Penggunaan obat pelumpuh otot khusunya pelumpuh otot non-depolarisasi lebih sering digunakan karena menghasilkan kondisi intubasi yang cepat dengan efek samping yang lebih minimal. Rokuronium merupakan salah satu obat pelumpuh otot yang banyak digunakan di Indonesia. Lama kerja obat perlu diketahui dengan pasti agar relaksasi otot cukup optimal untuk dilakukannya pembedahan dan derajat kelumpuhan otot dapat dipertahankan dengan melakukan penambahan dosis obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama kerja dari obat pelumpuh otot rokuronium agar dapat menentukan waktu penambahan dosis obat yang tepat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan sampel sebanyak 10 orang. Hasil penelitian didapatkan lama kerja rokuronium yaitu 34,90 menit. Lama kerja pada laki-laki lebih lama daripada perempuan. Kelompok berat badan 66-75 kg dan kelompok umur 41-47 tahun memiliki lama kerja yang paling panjang. Kata kunci: Lama kerja, rokuronium.     Abstract: Endotracheal intubation is one of the most common procedure, especially on a patient undergoing surgery with general anesthesia. Endotracheal intubation is done by inserting endotracheal tube into trachea. The success of endotracheal tube insertion depends on several things such as muscle relaxation, the depth of anesthesia, and the operator’s skill. The use of muscle relaxant drugs especially non-depolarization muscle relaxant is more frequently because it produces rapid intubation conditions with minimal side effect. Rocuronium is a muscle relaxant drug that is widely used in Indonesia. Duration of action of drugs need to be known for certain so the optimal muscle relaxation sufficient to do the surgery and the degree of muscle paralysis can be maintained by adding a dose of the drug. This study aims to determine the duration of action of rocuronium in order to determine the time to administer proper dose addition. This study used a descriptive method with a sample of 10 people. The results showed that the duration of action of rocuronium is 34,90 minutes. The duration of action on men is longer than women. Longest duration of action occurs on 66-75 Kg weight group and 41-47 age group Keyword: Duration of action, rocuronium.
PENANGANAN PERIOPERATIF PADA ASMA Suhartono, Christina; Tambajong, Harold F; Lalenoh, Diana Ch.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.1.2013.2039

Abstract

Abstract: The management of a patient with asthma during surgery requires a special treatment based on thorough clinical and laboratory examinations to reduce complications during surgery and the post-operative state. Asthma is characterized by a difficulty in breathing due to spastic contractions of bronchiolar smooth muscles, which partially block the bronchioles’ airways. The evaluation of asthma patients before anesthesia and surgical procedures is essential to prevent or control the occurence of asthma attacks during intra-operation and post-operation. Patients with histories of chronic asthma or frequent exacerbations of asthma have to be treated to achieve an optimal condition or a condition in which asthma symptoms are minimal. Patients with frequent bronchospasms should be treated. The selection of drugs and anesthetic procedures should be considered meticulously to avoid a stimulation of  bronchospasm or an asthma attack. Keywords: asthma, perioperative management, patient.   Abstrak: Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan penanganan khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang saksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca pembedahan. Asma adalah kesukaran bernapas yang ditandai dengan kontraksi spastik otot polos bronkiolus, yang menyumbat bronkiolus secara parsial. Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk mencegah atau mengendalikan kejadian serangan asma, baik selama pembedahan maupun pasca pembedahan. Pasien dengan riwayat asma berulang atau kronis memerlukan pengobatan hingga tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi dimana gejala-gejala asma sudah minimal. Pasien dengan  bronkospasme berulang harus diobati terlebih dahulu. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesia perlu dipertimbangkan dengan cermat untuk menghindari terjadinya bronkospasme atau serangan asma. Kata kunci: asma, penanganan perioperatif, pasien.
Gambaran Pasien Stroke Iskemik Akut dengan COVID-19 yang Masuk Ruang Perawatan Intensif Thambas, Anastasia T.; Lalenoh, Diana Ch.; Kambey, Barry I.
e-CliniC Vol 9, No 1 (2021): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.9.1.2021.32302

Abstract

Abstract: Acute ischemic stroke (AIS) has been reported in patients with coronavirus disease 2019 (COVID-19). The cause of AIS in COVID-19 patients has not been fully understood, but COVID-19 is known to cause hypercoagulation characterized by increased d-dimer levels, and cytokine storms.  Some AIS patients with COVID-19 require intensive care. This study was aimed to determine the description of AIS patients with COVID-19 admitted to the intensive care unit. This was a literature review study using three databases, as follows: Pubmed, ClinicalKey, and Science Direct. The keywords used were acute ischemic stroke AND COVID-19 AND intensive care unit. The results showed that after being selected based on inclusion and exclusion criteria, 10 literatures were obtained. There were 20 subjects and most were female (55%) and age group of 60-69 years old (35%). The most common cardiovascular risk factor was hypertension (80%, n=10). There were some increases in the levels of LDH, CRP, d-dimer, ferritinin, and fibrinogen. On radiological examination performed, there were cases with bilateral pulmonary infiltrate (33%) and ground-glass opacities (67%) (n = 6). In conclusion, the characteristics of AIS patients with COVID-19 admitted to the intensive care room were mostly female, age group 60-69 years, had cardiovascular risk factors for hypertension, had elevated levels of LDH, CRP, d-dimer, ferritinin, and fibrinogen, and had ground-glass opacity on radiological imaging.Keywords: acute ischemic stroke, COVID-19, intensive care unit Abstrak: Stroke iskemik akut telah dilaporkan pada pasien dengan coronavirus disease 2019 (COVID-19). Penyebab stroke iskemik akut pada COVID-19 belum diketahui secara menyeluruh, tetapi COVID-19 dapat menyebabkan kejadian hiperkoagulasi ditandai dengan peningkatan kadar d-dimer serta menyebabkan badai sitokin. Beberapa pasien stroke iskemik akut dengan COVID-19 membutuhkan perawatan di ruang perawatan intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pasien stroke iskemik akut dengan COVID-19 yang masuk di ruang perawatan intensif. Jenis penelitian ialah literature review dengan pencarian data menggunakan tiga database yaitu Pubmed, ClinicalKey dan Science Direct dengan kata kunci acute ischemic stroke AND COVID-19 AND intensive care unit. Hasil penelitian mendapatkan 10 literatur dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 20 orang, jenis kelamin terbanyak ialah perempuan (55%) dengan kelompok usia terbanyak ialah 60-69 tahun (35%). Faktor risiko kardiovaskular yang paling banyak dimiliki subyek penelitian ialah hipertensi (80%, n=10). Terdapat peningkatan kadar LDH, CRP, d-dimer, ferritinin, dan fibrinogen. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan bilateral pulmonary infiltrate (33%) dan ground-glass opacitiy (67%) (n=6). Simpulan penelitian ini ialah karakteristik pasien stroke iskemik akut dengan COVID-19 yang masuk ruang perawatan intensif paling banyak ialah perempuan, usia 60-69 tahun, memiliki faktor risiko kardiovaskular hipertensi, mengalami peningkatan kadar LDH, CRP, d-dimer, ferritinin, fibrinogen, dan ditemukan ground-glass opacitiy pada gambaran radiologi.Kata kunci: Stroke iskemik akut, COVID-19, ruang perawatan intensif
Penanganan Pasien Perdarahan Intraserebral di Ruang Rawat Intensif Ibrahim, Rian; Lalenoh, Diana Ch.; Laihad, Mordekhai L.
e-CliniC Vol 9, No 1 (2021): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.9.1.2021.31705

Abstract

Abstract: Intracerebral haemorrhage is a type of intracranial haemorrhage that occurs due to rupture of blood vessels in the brain tissue which is caused by trauma, hypertension, and nonhypertension. The intensive care unit is a separate section within the hospital that treats patients with life-threatening conditions, undergoing resuscitation, requiring intensive care and monitoring, and containing equipment and medicines to maintain normal body functions. All patients who are treated with intracerebral haemorrhage in intensive care unit should receive attention in terms of radiological evaluation, maintaining adequate respiration and circulation, controlling intracranial pressure, controlling blood pressure, preventing hyperglycemia, hypotension, and fever, controlling neurosurgical surgeries as well as preventing seizures. Surgery is performed to evacuate the accessible hematoma, depending on the location of the hematoma in intracerebral. In general, management of the patients aims to minimize nerve damage, prevent and treat systemic complications, speed recovery, and prevent or slow down recurrences and complications. Outcome of patient with intracerebral haemorrhage will be better if the patient is treated specifically in the intensive care unit.Keywords: management, intracerebral haemorrhage, intensive care unit Abstrak: Perdarahan intraserebral terjadi akibat robeknya pembuluh darah dalam jaringan otak yang dapat disebabkan oleh trauma, hipertensi, dan non hipertensi. Ruang rawat intensif merupakan bagian tersendiri di dalam rumah sakit yang merawat pasien dengan kondisi mengancam jiwa, yang sedang menjalani resusitasi, membutuhkan perawatan dan pemantauan secara intensif, serta yang didalamnya terdapat peralatan maupun obat-obatan yang berguna untuk menjaga fungsi tubuh seperti normal. Semua penderita yang dirawat dengan perdarahan intraserebral di ruang rawat intensif harus mendapat perhatian dalam hal evaluasi radiologik, menjaga adekuatnya respirasi dan sirkulasi, pengendalian tekanan intrakranial, pengendalian tekanan darah, pencegahan hiperglikemi, hipotensi dan demam, pengontrolan terhadap operasi pembedahan saraf dan pencegahan kejang. Pembedahan dilakukan untuk evakuasi hematom yang dapat dijangkau, tergantung lokasi hematoma di intraserebral. Penanganan yang dilakukan bertujuan untuk meminimalkan kerusakan saraf, mencegah dan mengobati komplikasi sistemik yang terjadi, mempercepat pemulihan dan mencegah atau memperlambat kekambuhan dan komplikasi. Outcome pasien perdarahan intraserebral akan lebih baik, jika pasien dirawat khusus di ruang rawat intensif.Kata kunci: penanganan, perdarahan intrasereberal, ruang rawat intensif