Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

Luaran Klinis Anak dengan Epilepsi yang Mengalami Relaps Setelah Penghentian Obat Antiepilepsi Agung Triono; Elisabeth Siti Herini; Irawan Mangunatmadja
Sari Pediatri Vol 20, No 6 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.059 KB) | DOI: 10.14238/sp20.6.2019.335-41

Abstract

Latar belakang. Penghentian obat antiepilepsi (OAE) yang terburu-buru meningkatkan risiko relaps. Risiko resistensi obat pada anak dengan epilepsi yang mengalami relaps sangat tinggi. Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai pengobatan kejang pasca relaps. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden relaps, karakteristik, prediktor, luaran, dan perjalanan elektroensefalografi (EEG) anak dengan epilepsi setelah mengalami relaps. Metode. Penelitian dilakukan pada Juni-Desember 2016. Desain studi adalah potong lintang, multisite dari rekam medis tahun 2012-2016. Subjek adalah anak dengan epilepsi yang mengalami relaps. Hasil. Epilepsi relaps terjadi paling banyak dalam tahun pertama setelah dosis OAE diturunkan, 41,3% relaps terjadi dalam 6 bulan, dan 31,7% antara 6-12 bulan. Riwayat waktu kejang terkontrol lama (≥1 tahun) pada kejang sebelumnya merupakan faktor yang memengaruhi (RP 1,846 95% IK 1,056 – 3,228) kejang yang tidak terkontrol dalam waktu 6 bulan pasca relaps. Sementara variabel lain tidak signifikan berpengaruh terhadap terkontrolnya kejang dalam 6 bulan pasca relaps. Kesimpulan. Anak dengan epilepsi relaps yang memiliki riwayat waktu terkontrol kejang lama (≥1 tahun) akan lebih sulit mencapai remisi kedua pasca relaps. 
Hubungan antara Kadar 25-OH D3 dengan Derajat Fungsi Ginjal pada Pasien Lupus Sistemik Eritematosus Aninditya Dwi Messaurina; Agung Triono; Retno Palupi Baroto; Cahya Dewi Satria; Sumadiono Sumadiono
Sari Pediatri Vol 21, No 4 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.4.2019.213-7

Abstract

Latar belakang. Defisiensi vitamin D banyak ditemukan pada anak lupus eritematosus sistemik (LSE) dibandingkan dengan anak normal. Berbagai penelitian membuktikan defisiensi vitamin D berkontribusi terhadap perkembangan chronic kidney disease. Belum ada penelitian hubungan vitamin D dengan derajat fungsi ginjal pada anak Lupus. Tujuan. Mengetahui hubungan antara 25-hidroksivitamin D dengan derajat fungsi ginjal pada anak Lupus.Metode. Menggunakan desain cross sectional dengan melibatkan 62 anak Lupus di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito yang telah mendapatkan protokol dari Januari 2014 sampai April 2018. Hubungan antara kadar serum 25-hidroksivitamin D dan derajat fungsi ginjal dianalisis menggunakan Independent T-test, sedangkan jenis kelamin, kalsium, steroid, dan aktivitas penyakit dengan uji chi-square. Defisiensi vitamin D didefinisikan konsentrasi 25-hidroksivitamin D<20 ng/ml, sedangkan gangguan ginjal didefinisikan GFR<90/ml/mnt/1.73m2.Hasil. Sebagian besar subyek berjenis kelamin perempuan, 93,5% vs 6,5% dengan rerata usia 14,6±3,1 tahun, dan rerata skor Mex-SLEDAI 7,6±5,6. Secara keseluruhan 66% subyek penelitian mengalami defisiensi vitamin D. Analisis dengan Independent T-tes menunjukkan rerata vitamin D yang mengalami gangguan ginjal 14,14±4,9 lebih rendah dibandingkan normal dengan rerata 19,43±10,3 dengan perbedaan yang bermakna p=0,004. Jenis kelamin, kalsium, steroid, dan aktivitas penyakit tidak berpengaruh signifikan terhadap derajat fungsi ginjal, p>0,05.Kesimpulan. Terdapat hubungan signifikan 25-hidroksivitamin D dengan derajat fungsi ginjal pada anak lupus.
Profil Klinis dan Laboratoris Infeksi Sitomegalovirus Kongenital di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Ruth Kania Permatasari; Agung Triono; Eggi Arguni
Sari Pediatri Vol 22, No 5 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.5.2021.297-303

Abstract

Latar belakang. Sitomegalovirus (Cytomegalovirus/CMV) kongenital merupakan infeksi yang menimbulkan beban kesehatan yang berat bagi anak dan keluarga. Manifestasi infeksi CMV kongenital, antara lain, jaundice, trombositopenia, mikrosefali dan kalsifikasi intrakranial. Di Indonesia, data mengenai profil klinis dan laboratoris infeksi CMV kongenital belum banyak dilaporkan, terutama di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Tujuan. Mengetahui profil klinis dan laboratoris infeksi CMV kongenital pada pasien anak di RSUP Dr. Sardjito.Metode. Penelitian observasional ini dilakukan dengan melihat rekam medis pasien usia kurang dari 2 tahun dengan infeksi CMV kongenital, yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito dari Januari 2012 sampai Juli 2017. Hasil. Selama periode penelitian terdapat 36 pasien dengan infeksi CMV kongenital. Manifestasi klinis yang paling mendominasi adalah tetraparesis spastik (12,5%), mikrosefali (25,81%), hepatomegali (22,86%), sensory neural hearing loss (SNHL) (23,81%), atrofi cerebri (40,00%), dan kalsifikasi intrakranial (72,73%). Manifestasi laboratoris ditemukan IgG positif 100%, IgM positif 30,30%, antigenemia positif 100%, anemia 50,00%, neutropenia 40,00%, peningkatan SGPT 61,11%, dan bilirubinemia 75,00%. Kesimpulan. Manifestasi klinis berdasarkan pemeriksaan klinis yang paling banyak ditemui adalah mikrosefali dan manifestasi laboratoris yang paling banyak ditemui adalah IgG positif dan antigenemia positif.
Gangguan Tidur pada Anak dengan Epilepsi dan Faktor yang Memengaruhi Riona Sari; Agung Triono; Retno Sutomo
Sari Pediatri Vol 19, No 1 (2017)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp19.1.2017.7-13

Abstract

Latar belakang. Gangguan tidur merupakan salah satu komorbid yang sering dijumpai pada anak dengan epilepsi. Sampai saat ini data mengenai hal tersebut masih sangat terbatas.Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor yang memengaruhi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.Metode. Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang pada anak usia 3-18 tahun, yang telah didiagnosis epilepsi minimal 6 bulan. Pasien dengan palsi serebral, diabetes melitus, penyakit jantung, asma, hipertrofi adenotonsil dan anak dengan epilepsi yang telah bebas kejang lebih dari satu tahun dieksklusi dari penelitian. Subyek dipilih secara konsekutif selama periode November 2016 – Maret 2017 di Poliklinik Neurologi Anak RSUP Dr. Sardjito. Gangguan tidur dinilai dengan kuesioner sleep disturbance scale for children (SDSC). Hasil. Di antara 93 subyek, 63 (67,7%) mengalami gangguan tidur, terbanyak (63,2%) adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Tipe kejang umum, onset epilepsi kurang dari 3 tahun, monoterapi dan obat anti epilepsi fenobarbital paling sering mengalami gangguan tidur. Akan tetapi, hanya tipe kejang umum yang berhubungan dengan gangguan tidur (OR 5,2, IK95% 1,35-9,96, p=0,016). Kesimpulan. Prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi sangat tinggi, terbanyak gangguan memulai dan mempertahankan tidur dan berhubungan dengan tipe kejang umum.Gangguan tidur merupakan salah satu komorbid yang sering dijumpai pada anak dengan epilepsi. Sampai saat ini data mengenai hal tersebut masih sangat terbatas. 
Profil Klinis dan Laboratoris Ensefalopati Dengue pada Anak di RSUP Dr. Sardjito Afiarina Dhevianty; Eggi Arguni; Agung Triono
Sari Pediatri Vol 18, No 6 (2017)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp18.6.2017.423-9

Abstract

Latar belakang. Ensefalopati dengue merupakan manifestasi neurologis infeksi dengue yang paling sering. Belum banyak penelitian yang menjelaskan gambaran ensefalopati dengue pada anak.Tujuan. Mengetahui gambaran klinis dan laboratoris anak dengan ensefalopati dengue.Metode. Penelitian menggunakan metode retrospektif. Data diambil dari rekam medis anak (1-18 tahun) dengan ensefalopati dengue dengan luaran hidup maupun meninggal yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito sejak Januari 2010 hingga Desember 2016. Manifestasi yang diamati adalah perdarahan gastrointestinal, kejang, syok, hepatitis akut, gagal ginjal akut, pemanjangan prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT), kadar hematokrit, leukosit, dan trombosit. Rekam medis anak dengan riwayat gangguan fungsi ginjal, hati, dan koagulasi serta rekam medis yang tidak lengkap dieksklusi. Analisis data dengan uji independent t-test atau Mann Whitney.Hasil. Terdapat 81 anak dengan ensefalopati dengue dan 25 di antaranya meninggal. Mayoritas anak menunjukkan manifestasi perdarahan gastrointestinal, syok, sepsis, hepatitis ringan, dan gagal ginjal akut. Profil laboratoris memperlihatkan peningkatan SGOT yang lebih tinggi dari SGPT, pemanjangan PT dan kadar kreatinin yang lebih tinggi pada kelompok meninggal.Kesimpulan. Kelainan ensefalopati pada infeksi dengue merupakan suatu kondisi yang serius dengan angka kematian yang tinggi (30.86%). Perdarahan gastrointestinal, syok, sepsis, hepatitis ringan, gagal ginjal akut pada mayoritas pasien. Pemanjangan PT dan kadar kreatinin lebih tinggi pada kelompok meninggal. 
Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi Agung Triono; Elisabeth Siti Herini
Sari Pediatri Vol 16, No 4 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (70.492 KB) | DOI: 10.14238/sp16.4.2014.248-53

Abstract

Latar belakang. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama pada anak. Banyak faktor yangmemengaruhi kegagalan monoterapi epilepsi pada anak sehingga akan berdampak pada keberhasilan terapiepilepsi secara keseluruhan.Tujuan. Mengetahui faktor prognostik yang dapat digunakan untuk memprediksi kegagalan monoterapiepilepsi pada anakMetode. Penelitian kasus-kontrol pada pasien epilepsi usia 6 bulan sampai dengan 18 tahun yang berobatke Poli Anak RSUP Dr. Sardjito tahun 2009. Kasus adalah pasien epilepsi yang gagal dengan monoterapidan kontrol adalah pasien epilepsi yang berhasil dengan monoterapi.Hasil. Didapat 120 pasien dengan 60 pasien kelompok kontrol dan 60 kelompok kasus. Dilakukan analisisunivariat pada masing-masing faktor prognostik. Berdasarkan analisis univariat didapatkan beberapa faktorprognostik kegagalan monoterapi, yaitu terapi epilepsi yang tidak segera, frekuensi serangan kejang sebelumterapi, status epileptikus, adanya defisit neurologis, dan adanya kelainan neurologi penyerta. Setelah dianalisissecara multivariat, faktor frekuensi serangan kejang sebelum terapi >10 kali (OR 14,196, IK95%:3,576-56,348; p<0,01) dan adanya kelainan neurologi penyerta (OR 18,977, IK95%:3,159-113,994; p<0,01 )merupakan faktor prognostik kegagalan monoterapiKesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak epilepsi dengan serangan kejang lebih darisepuluh kali sebelum terapi dan adanya kelainan neurologi penyerta merupakan faktor prognostik kegagalanmonoterapi.
Luaran Terapi Gancyclovir dan atau Valgancyclovir pada Pasien Infeksi Cytomegalovirus di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito Agung Triono; Elisabeth Siti Herini; Braghmandita Widya Indraswari; Dian Kesumapramudya Nurputra; Sari Wardhani
Sari Pediatri Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.1.2020.1-6

Abstract

Latar belakang. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab tersering infeksi kongenital anak di negara berkembang. Infeksi ini dapat menyebabkan tuli sensorineural (SNHL) dan gangguan perkembangan. Di RSUP dr Sardjito, pasien dengan infeksi CMV aktif bergejala akan menjalani terapi 6 minggu Ganciclovir atau 2 minggu terapi Ganciclovir dilanjutkan 4 minggu terapi Valganciclovir. Namun, luaran terapi tersebut belum diteliti lebih lanjut.Tujuan. Melihat luaran terapi ganciclovir dan atau valganciclovir pada pasien infeksi Cytomegalovirus di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito.Metode. Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif dari data rekam medis pasien dengan diagnosis infeksi CMV aktif di Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr Sardjito periode Januari 2014 sampai dengan April 2018. Variabel luaran (BERA dan Denver II) dibandingkan antara pre dan post terapi ganciclovir. Analisis statistik data dasar menggunakan analsisi deskriptif. Untuk variable luaran menggunakan T test.Hasil. Didapatkan hasil yang signifikan untuk perbaikan fungsi pendengaran pada telinga kanan (p<0,001) dan kiri (p<0,03) dibandingkan dengan yang mengalami perburukan. Sementara untuk perbandingan gangguan perkembangan sebelum dan sesudah terapi ganciclovir tidak berbeda bermakna (p>0,05).Kesimpulan. Pemberian terapi ganciclovir dan valganciclovir dapat memperbaiki fungsi pendengaran (tes BERA), tetapi perbaikan tidak didapatkan pada aspek neurodevelopmental (tes Denver II) dari pasien dengan infeksi CMV.
Bacterial Meningeal Score (BMS) Sebagai Indikator Diagnosis Meningitis Bakterialis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Arydina Arydina; Elisabeth S Herini; Agung Triono
Sari Pediatri Vol 15, No 5 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (267.409 KB) | DOI: 10.14238/sp15.5.2014.274-80

Abstract

Latar belakang. Meningitis bakterialis merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada anak. Anak dengan meningitis biasa datang ke rumah sakit dan mendapat antibiotik intrakranial tanpa menunggu hasil kultur. Hal ini dilakukan karena membedakan meningitis bakterialis dan meningitis bukan bakteri pada awal perjalanan penyakit terkadang sulit. Beberapa indikator dapat digunakan untuk membedakan hal itu. Salah satunya adalah bacterial meningeal score (BMS), terdiri dari pengecatan gram cairan serebrospinal positif, protein cairan serebrospinal ≥80 mg/dL, neutrofil darah tepi ≥10.000 sel/mm3, riwayat kejang, neutrofil absolut cairan serebrospinal ≥1000 sel/ mm3.Tujuan. Mengetahui apakah bacterial meningeal score merupakan indikator yang baik untuk menegakkan diagnosis meningitis bakterialis akut pada bayi dan anakMetode. Uji diagnostik pada anak usia >1 bulan-18 tahun, yang dicurigai sebagai meningitis berdasarkan kriteria WHO, mulai Februari 2011 sampai dengan April 2011. Diagnosis meningitis bakterialis ditegakkan apabila hasil kultur ditemukan bakteri.Hasil. Di antara 31 anak subjek penelitian, 16 laki-laki. Semua datang dengan demam, kejang (29/31), penurunan kesadaran (15/31), dan tanda meningeal (17/31). Pengecatan gram positif pada 9/31 sampel dan kultur positif 12/31 sampel. Hasil analisis statistik didapatkan sensitivitas BMS 83,3%, spesifisitas 89,5%, nilai praduga negatif 83,3%, nilai praduga positif 89,5%, likelihood ratio positif 7,92, dan likelihood ratio negatif 0,186. Bakteri yang tumbuh dari hasil kultur adalah P. aerogenosa, S.epidermidis and Paracoccus sp, Bacillus. Sp dan Enterococcus sp.Kesimpulan. Bacterial meningeal score merupakan indikator yang baik untuk menilai meningitis bakteri pada bayi dan anak karena memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai praduga negatif, nilai praduga positif, likelihood ratio positif dan likelihood ratio negatif yang tinggi.
Sleep disorders in children with attention-deficit/hyperactivity disorder Medina Permatawati; Agung Triono; Mei Neni Sitaresmi
Paediatrica Indonesiana Vol 58 No 1 (2018): January 2018
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.176 KB) | DOI: 10.14238/pi58.1.2018.48-52

Abstract

Background Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) is a neurobehavioral abnormality that commonly occurs among children. Sleep disorders are comorbid with ADHD. Sleep disorders in Indonesian children with ADHD have not been widely studied.Objective To understand the proportion and factors that influence sleep disorders in children with ADHD. Methods This cross-sectional study involved 54 children aged 3-14 years who had been diagnosed with ADHD by a pediatric growth and development consultant using DSM-5 criteria. The subjects were consecutively selected from March to August 2017 at the Child Development Polyclinic, Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta. Sleep data were collected using the Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) and the Children’s Sleep Hygiene Scale (CSHS).Results Of the 54 children with ADHD (46 males and 8 females), 35 (64.8%) experienced sleep disorders. The majority (26 subjects, 48.1%) had the disorder of initiating and maintaining sleep. Children with the combined (inattention and hyperactive-impulsive) type of ADHD experienced significantly greater sleep disturbance compared to the inattention type or hyperactive-impulsive type (OR=3.750; 95% CI 1.133 to 12.41; P=0.027). Poor sleep hygiene was also significantly associated with more severe sleep disorders (r=-0.383, P=0.004).Conclusion The proportion of sleep disorder in children with ADHD is relatively high, with the majority having a disorder of initiating and maintaining sleep. Children with combined type ADHD experience a higher amount of sleep disorder than those with either the inattention or hyperactive-impulsive types of ADHD. Children with poor sleep hygiene have significantly more severe sleep disorders.
Low peripheral oxygen saturation as a risk factor for brain abscess in children with cyanotic congenital heart disease Nadia Qoriah Firdausy; Indah Kartika Murni; Agung Triono; Noormanto Noormanto; Sasmito Nugroho
Paediatrica Indonesiana Vol 58 No 5 (2018): September 2018
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.059 KB) | DOI: 10.14238/pi58.5.2018.252-6

Abstract

Background Brain abscess is a severe infection of brain parenchyma, which occurs in 25-46% of cases of uncorrected cyanotic congenital heart disease. Low arterial oxygen saturation is the main risk factor for brain abscess in children with cyanotic congenital heart disease, however, the arterial oxygen saturation test is invasive and not routinely done in our setting. Objective To evaluate low peripheral oxygen saturation as a risk factor for brain abscess in children with cyanotic congenital heart disease. Methods We conducted a matched, case-control study at Sardjito Hospital, Yogyakarta for children aged less than 18 years with cyanotic congenital heart disease, from 2010-2016. Case subjects were children with brain abscess complications. The control group had only cyanotic congenital heart disease, and were matched for age and sex to the case group. During hospitalization due to the brain abscess complication in the case group, data regarding peripheral oxygen saturation, polycythemia, pneumonia, sepsis, dental caries and restricted pulmonary blood flow were collected and compared between both groups. Results During the study period, 18 children with cyanotic congenital heart disease had brain abscesses. This group was compared to the control group of 36 children. Bivariate analysis revealed that the lowest level of peripheral oxygen saturation (OR 0.92; 95%CI 0.85 to 0.98; P=0.02) and dental caries (OR 3.3; 95%CI 1.01 to 11.18; P=0.04) were significant risk factors for brain abscess. However, in the multivariate analysis, the only statistically significant risk factor associated with brain abscess was the lowest level of peripheral oxygen saturation (OR 0.92; 95%CI 0.86 to 0.99; P=0.04). Conclusion Low peripheral oxygen saturation is a significant risk factor for brain abscess development in children with cyanotic congenital heart disease. A decrease of 1% peripheral oxygen saturation may increase the risk of brain abscess by 8%.