Irawan Mangunatmadja
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

Published : 51 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

FAKTOR RISIKO EPILEPSI INTRAKTABEL PADA ANAK DENGAN EPILEPSI UMUM Mangunatmadja, Irawan; Mulyani, Dina Indah; Pardede, Sudung O; Tridjadja, Bambang; Wulandari, Harjanti F
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 69 No 2 (2019): Journal of the Indonesian Medical Association Majalah Kedokteran Indonesia Volum
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan: Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan faktor risiko untuk terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi fokal dan umum. Tujuan: Mengetahui apakah faktor risiko awal atau faktor evolusi pada pasien epilepsi anak dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi umum. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis pasien epilepsi umum usia 1 bulan sampai 18 tahun yang berobat di Poliklinik Neurologi Anak dan Poliklinik Anak Swasta Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM antara Januari 2010 - Desember 2013 dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat. Hasil: Angka kejadian epilepsi umum intraktabel adalah 21% dari 102 subjek. Pada analisis bivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna adalah usia awitan kejang <1 tahun, frekuensi awal serangan, respon awal terapi buruk, evolusi status perkembangan motor kasar buruk dan evolusi epileptiform pada EEG buruk. Analisis multivariat hanya mendapatkan respon awal terapi buruk (p<0,001) dan usia awitan kejang < 1 tahun(p<0,001) merupakan faktor risiko yang berperan untuk terjadinya epilepsi intraktabel. Kesimpulan: Faktor risiko yang sangat berperan untuk terjadinya intraktabel pada epilepsi umum anak adalah respon terapi awal buruk dan usia awitan kejang <1 tahun.
Plasmaferesis Sebagai Terapi Sindrom Guillain-Barre Berat pada Anak Vimaladewi Lukito; Irawan Mangunatmadja; Antonius H. Pudjiadi; Tatang M. Puspandjono
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.6.2010.448-55

Abstract

Plasmaferesis atau plasma exchange merupakan salah satu pilihan terapi bagi sindrom Guillain-Barreberat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa plasmaferesis dan imunoglobulin intravena (IVIg) sebagaiterapi sindrom Guillain-Barre memiliki efektivitas yang sama, namun penggunaan plasmaferesis padapasien anak lebih jarang dilakukan karena membutuhkan peralatan dan persiapan yang lebih kompleks.Tujuan dari laporan kasus untuk melaporkan terapi sindrom Guillain-Barre berat dengan menggunakanplasmaferesis pada pasien anak. Seorang anak perempuan usia 10 tahun dirawat di RSUPN. Dr. CiptoMangunkusumo dengan diagnosis sindrom Guillain-Barre. Pada hari kedua perawatan pasien mengalamiparalisis otot pernafasan sehingga pernafasan harus dibantu dengan ventilasi mekanik. Faktor ekonomi danketersediaan alat menyebabkan plasmaferesis dipilih sebagai terapi, dibandingkan dengan pengobatan IVIg.Plasmaferesis dilakukan empat kali dalam waktu satu minggu dengan menggunakan fraksi protein. Efeksamping plasmaferesis berupa hipotensi dan sepsis yang ditangani dengan pemberian cairan dan antibiotik.Fungsi motorik pasien berangsur membaik dalam waktu satu minggu. Ventilasi mekanik dilepas setelahduapuluh enam hari dan pasien dipulangkan setelah dua bulan perawatan. Plasmaferesis dan IVIg memilikiefektifitas yang sama sebagai terapi sindrom Guillain-Barre berat. Keputusan untuk memilih salah satu terapitersebut berdasarkan pada keadaan klinis pasien, sistem penunjang, dan kemampuan ekonomi orang tuapasien.
Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi Lily Rundjan; Idham Amir,; Ronny Suwento; Irawan Mangunatmadja
Sari Pediatri Vol 6, No 4 (2005)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.191 KB) | DOI: 10.14238/sp6.4.2005.149-54

Abstract

Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahasa,kognitif, masalah sosial, dan emosional. Identifikasi gangguan pendengaran secara dinidan intervensi yang sesuai sebelum usia 6 bulan terbukti dapat mencegah segalakonsekuensi tersebut. The Joint Committee on Infant Hearing tahun 1994merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulandan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Otoacoustic emissions (OAE) dan/atau automated auditory brainstem response (AABR) direkomendasikan sebagai metodeskrining pendengaran pada neonatus. Pemeriksaan ABR telah dikenal luas untuk menilaifungsi nervus auditorius, batang otak, dan korteks pendengaran. Pemeriksaan OAEsebagai penemuan baru dilaporkan dapat menilai fungsi koklea, bersifat non invasif,mudah dan cepat mengerjakannya, serta tidak mahal.
Faktor yang Berhubungan dengan Hiperglikemia dan Luarannya pada Anak Sakit Kritis Rosary Rosary; Imral Chair; Pustika Amalia; Agus Firmansyah; Irawan Mangunatmadja; Mulyadi M. Djer
Sari Pediatri Vol 15, No 1 (2013)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp15.1.2013.32-8

Abstract

Latar belakang. Hiperglikemia pada sakit kritis berhubungan dengan luaran yang lebih buruk, seperti lama penggunaan ventilasi mekanik, dan obat vasoaktif lebih panjang, serta derajat disfungsi organ yang lebih berat.Tujuan. Mengetahui hubungan karakteristik subjek dengan hiperglikemia serta mengetahui perbedaan proporsi subjek yang mengalami hiperglikemia antara kelompok subjek yang memakai ventilasi mekanik, mendapat obat vasoaktif, serta dengan disfungsi organ berat, dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak.Metode. Studi analitik potong lintang dilakukan pada anak sakit kritis di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) usia 1 bulan-18 tahun, dilakukan antara Maret-Juni 2011.Hasil. Didapatkan 87 subjek penelitian, 60 di antaranya laki-laki. Hiperglikemia ditemukan pada 25/87 (28,7%) subjek dengan median kadar glukosa darah 121 (37-443) mg/dL Hiperglikemia ditemukan lebih banyak pada laki-laki, usia >1-5 tahun, gizi kurang, dan pasca-bedah, tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna. Subjek yang menggunakan ventilasi mekanik dan vasoaktif memiliki proporsi lebih besar mengalami hiperglikemia dibandingkan dengan subjek yang tidak, tetapi perbedaan ini juga tidak bermakna. Enam dari 10 subjek yang memiliki skor Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) tinggi mengalami hiperglikemia. Proporsi ini lebih besar dibandingkan subjek dengan skor PELOD rendah, yaitu 19/77 subjek (p=0,03).Kesimpulan. Proporsi subjek yang mengalami hiperglikemia lebih besar pada anak dengan disfungsi organ berat daripada disfungsi organ ringan. Karakteristik subjek tidak berhubungan dengan hiperglikemia pada sakit kritis. Tidak terbukti adanya perbedaan proporsi subjek yang mengalami hiperglikemia pada anak sakit kritis yang menggunakan ventilasi mekanik dan obat vasoaktif dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak.
Luaran Klinis Anak dengan Epilepsi yang Mengalami Relaps Setelah Penghentian Obat Antiepilepsi Agung Triono; Elisabeth Siti Herini; Irawan Mangunatmadja
Sari Pediatri Vol 20, No 6 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.059 KB) | DOI: 10.14238/sp20.6.2019.335-41

Abstract

Latar belakang. Penghentian obat antiepilepsi (OAE) yang terburu-buru meningkatkan risiko relaps. Risiko resistensi obat pada anak dengan epilepsi yang mengalami relaps sangat tinggi. Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai pengobatan kejang pasca relaps. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden relaps, karakteristik, prediktor, luaran, dan perjalanan elektroensefalografi (EEG) anak dengan epilepsi setelah mengalami relaps. Metode. Penelitian dilakukan pada Juni-Desember 2016. Desain studi adalah potong lintang, multisite dari rekam medis tahun 2012-2016. Subjek adalah anak dengan epilepsi yang mengalami relaps. Hasil. Epilepsi relaps terjadi paling banyak dalam tahun pertama setelah dosis OAE diturunkan, 41,3% relaps terjadi dalam 6 bulan, dan 31,7% antara 6-12 bulan. Riwayat waktu kejang terkontrol lama (≥1 tahun) pada kejang sebelumnya merupakan faktor yang memengaruhi (RP 1,846 95% IK 1,056 – 3,228) kejang yang tidak terkontrol dalam waktu 6 bulan pasca relaps. Sementara variabel lain tidak signifikan berpengaruh terhadap terkontrolnya kejang dalam 6 bulan pasca relaps. Kesimpulan. Anak dengan epilepsi relaps yang memiliki riwayat waktu terkontrol kejang lama (≥1 tahun) akan lebih sulit mencapai remisi kedua pasca relaps. 
Prediktor Klinis Perdarahan Intrakranial Traumatik pada Anak Msy Rita Dewi MS; Irawan Mangunatmadja; Yeti Ramli
Sari Pediatri Vol 9, No 2 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (107.723 KB) | DOI: 10.14238/sp9.2.2007.132-7

Abstract

Latar belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab anak sering di rumah sakit. Berdasarkanprosedur American Academy of Pediatric (AAP), CT-scan direkomendasikan pada anak trauma kepaladengan riwayat kehilangan kesadaran minimal < 1 menit. Namun sulit saat anamnesis tentang kehilangankesadaran. Sampai saat ini CT-scan belum tersedia pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia sehinggaperlu parameter klinik yang dapat membantu memprediksi adanya perdarahan intrakranial traumatik.Tujuan penelitian. Mengetahui prediktor klinik adanya perdarahan intrakranial traumatik pada anak.Metode. Studi retrospektif, dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam kurun waktu 18 bulan(Januari 2004-Juli 2005) pada semua pasien berusia < 15 tahun yang datang berobat dan mempunyai hasilCT-scan. Data dianalisis dan diuji kemaknaan dengan uji Chi square dan dihitung rasio odd, analisismultivariat dengan logistik regresi. Nilai p < 0,005 dianggap bermakna.Hasil. Terdapat 503 kasus cedera kepala berusia < 15 tahun yang datang berobat namun hanya 196 kasusyang mempunyai hasil CT-scan. Dari hasil analisis terdapat 37 (18,9%) kasus penderita dengan perdarahanintrakranial, 159 (81,1%) tanpa perdarahan. Faktor yang dapat dijadikan prediktor perdarahan intrakranialadalah fraktur tengkorak dengan nilai p = 0,005, OR = 2,980. Konfiden interval 95% (CI =1,399-6,351)dengan statistik Wald 8,003 serta skala koma Glasgow dengan p = 0,01, OR = 0,350; 95% CI = 0,157 –0,781 dengan statistik Wald 6,581.Kesimpulan. Fraktur tengkorak dan SKG merupakan prediktor perdarahan intrakranial traumatik. Halini berhubungan dengan sifat plastis tengkorak anak yang tidak mudah fraktur oleh benturan ringan. Bilabenturan kuat, tengkorak yang elastis dapat mengabsorbsi energi dan tengkorak yang lunak menyebabkanlebih mudah terjadi kompresi dan distorsi otak
Laporan kasus berbasis bukti: Efektifitas Pemberian Calcium Channel Blocker pada Perdarahan Subaraknoid Akibat Trauma Kepala Irawan Mangunatmadja; Anton Dharma Saputra
Sari Pediatri Vol 22, No 4 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.4.2020.243-51

Abstract

Latar belakang. Efektifitas pemberian calcium channel blocker (CCB) pada pasien trauma kepala dengan perdarahan subaraknoid masih kontroversial. Tujuan. Melakukan telaah kritis untuk melihat efektifitas CCB pada perdarahan subaraknoid. Metode. Pencarian artikel dilakukan secara daring menggunakan instrumen kata kunci yang sesuai melalui basis data New England journal of medicine (NEJM), Pubmed dan Cochrane pada bulan Mei-Juli 2019. Hasil. Didapatkan 2 artikel berupa studi meta-analisis dan laporan kasus. Hasil analisis sub-kelompok tSAH pada meta-analisis, tingkat kematian 23% pada kelompok uji dan 32% pada kelompok plasebo, tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Hasil studi kasus serial pemberian nimodipine oral pada pasien anak dengan perdarahan subaraknoid tidak mengurangi kejadian vasospasme serebral, ataupun infark. Kesimpulan. Penggunaan nimodipin pada kasus perdarahan subaraknoid akibat trauma kepala masih dapat dipertimbangkan. 
Faktor Risiko Eksternal terhadap Keterlambatan Motorik Kasar pada Anak Usia 6-24 Bulan: Studi Kasus-Kontrol Kristian Kurniawan; Irawan Mangunatmadja
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (78.763 KB) | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.24-30

Abstract

Latar belakang. Keterlambatan perkembangan merupakan kondisi ketidakmampuan anak mencapai milestone perkembangan seusianya. Perkembangan motorik kasar dapat memprediksi tingkat maturasi sistem saraf pusat fungsional sehingga keterlambatan pada domain ini akan berdampak pada keterlambatan penguasaan domain perkembangan lainnya. Tujuan. Mengidentifikasi faktor risiko eksternal terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak 6-24 bulan.Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kasus-kontrol pada populasi anak usia 6-24 bulan menggunakan data primer yang diperoleh di RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara, Jakarta Pusat dan Klinik Anakku, Jakarta Selatan.Hasil. Diperoleh subjek sebesar 128 anak, dengan perbandingan kasus-kontrol 1:1 pada kelompok rentang usia yang sesuai. Dari hasil analisis pearson kai-kuardat diperoleh 2 faktor signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar, yakni: status gizi kurang/buruk (p<0,001; OR=6,576; IK 95%=2,705-13,986) dan tidak diberikannya ASI eksklusif (p=0,032; OR=2,180; IK95%=1,065-4,460).Di sisi lain, faktor urutan anak, usia ibu saat kehamilan, dan cara kelahiran menunjukkan hasil tidak bermakna terhadap keterlambatan motorik kasar. Kemudian, dari analisis multivariat dengan regresi logistik biner, menunjukkan bahwa status gizi kurang/buruk merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kejadian keterlambatan motorik kasar pada anak (p<0,001; OR=6,159; IK 95%=2,512-15,099). Kesimpulan. Status gizi kurang/buruk merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar yang paling berpengaruh.
Perbandingan Melatonin dan Prosedur Deprivasi Tidur untuk Persiapan Pemeriksaan Elektroensefalografi pada Anak Setyo Handryastuti; Lenny S. Budi; Irawan Mangunatmadja; Taralan Tambunan; Agus Firmansyah; Dwi P. Widodo; Alifiani H. Putranti
Sari Pediatri Vol 19, No 6 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp19.6.2018.328-34

Abstract

Latar belakang. Elektroensefalografi (EEG) adalah pemeriksaan penunjang epilepsi yang dilakukan saat anak sadar dan tidur alami. Melatonin merupakan premedikasi EEG yang diharapkan menimbulkan awitan tidur lebih cepat, lama tidur cukup, tidak memengaruhi stadium tidur, timbulnya gelombang epileptiform, efek samping lebih kecil dibanding prosedur deprivasi tidur parsial (DTP). Tujuan. 1. Mengetahui perbandingan melatonin dan prosedur DTP dalam hal awitan, stadium dan lama tidur, timbulnya gelombang epileptiform, kegagalan pemeriksaan EEG. 2. Mengetahui perbedaan efek samping pemberian melatonin dibandingkan DTP. Metode. Uji klinik acak tersamar tunggal pada 76 subyek berusia 1-18 tahun yang menjalani pemeriksaan EEG di Departemen IKA-RSCM. Subyek dibagi 2 kelompok, yaitu kelompok melatonin per oral dan DTP. Dilakukan pencatatan awitan, stadium dan durasi tidur, timbulnya gelombang epileptiform, efek samping yang timbul.Hasil. Rerata awitan tidur kelompok DTP 42,39 menit, melatonin 33,97 menit (p≤0,01). Rerata lama tidur kelompok DTP 22,58 menit, melatonin 25,09 menit (p=0,144). Stadium tidur, timbulnya gelombang epileptiform dan efek samping pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Kesimpulan. Awitan tidur kelompok melatonin lebih cepat dibandingkan DTP. Durasi, stadium tidur, gelombang epileptiform kedua kelompok mirip dengan tidur alamiah dan tidak ada perbedaan efek samping. Kegagalan EEG pada kelompok melatonin lebih kecil dibandingkan prosedur DTP. Disimpulkan melatonin dapat digunakan sebagai premedikasi EEG pada anak.
Perbandingan Plasmaferesis dan Imunoglobulin untuk Terapi Miastenia Gravis Juvenil Irawan Mangunatmadja; Susanti Himawan; Dheeva Noorshintaningsih
Sari Pediatri Vol 21, No 6 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.6.2020.386-93

Abstract

Latar belakang. Manfaat imunomodulasi dengan plasmaferesis dan / atau imunoglobulin telah dibuktikan dalam beberapa penelitian tetapi efektivitas komparatifnya sebagai terapi, terutama pada miastenia gravis juvenil, belum diteliti secara luas.Tujuan. Membandingkan efektifitas dan efisiensi terapi miastenia gravis general juvenil dengan plasmaferesis dan imunoglobulin. Metode. Penelusuran pustaka database elektronik, yaitu Pubmed dan Cochrane, dengan kata kunci “Juvenile myasthenia gravis”, “immunoglobulin”, dan “plasmapheresis”.Hasil. Penelusuran literatur diperoleh 2 artikel yang terpilih kemudian dilakukan telaah kritis. Studi oleh Gajdos dkk, dengan level of evidence 1b, menemukan bahwa plasmaferesis dan imunoglobulin tidak memiliki perbedaan keefektifitasan yang bermakna untuk terapi miastenia gravis juvenil general, dengan efek samping pada plasmaferesis ditemukan lebih banyak dibandingkan pada imunoglobulin.Kesimpulan. Berdasarkan penelitian ilmiah yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa imunoglobulin lebih efisien dalam hal harga, prosedur, teknik, dengan efek samping yang lebih sedikit dan keefektifitasan terapi yang sama dibandingkan dengan plasmaferesis.
Co-Authors A. C. Van Huffelen Abdul Latief Adrian Prasetya Sudjono Agatha Geraldyne Agung Putra Agung Triono Agus Firmansyah Agus Firmansyah Agus Firmansyah Alan Roland Tumbelaka Alifiani H. Putranti Aman Pulungan Amanda Seobadi Andreas, Yana Anna Tjandradjani Anton Dharma Saputra Antonius H. Pudjiadi Antonius Pudjiadi Aryono Hendarto Asep Aulia Rachman Ayuningtyas, Talitha Rahma Bambang Tridjadja, Bambang Bambang Tridjaja AAP, Bambang Tridjaja Budiati Laksmitasari Citra Raditha Conny Tanjung Cut Nurul Hafifah Daisy Widiastuti Danu, Nugroho Darlan, Dewi M. Darmawan B. Setyanto Daulay, Rini S. Deasy Grafianti Dedy Rahmat Dheeva Noorshintaningsih Dina Indah Mulyani, Dina Indah Dini Prima Utami Dwi P. Widodo Dwi Putro Widodo Dwi Putro Widodo Dwi Putro Widodo E S Herini Elisabeth Siti Herini Endang Windiastuti Eva Devita Harmoniati Evita Bermansyah Ifran Fathy Pohan Fatmawaty Fatmawaty Fijri Auliyanti H F Wulandari Hardiono D Pusponegoro Hardiono D. Pusponegoro Hardiono D. Pusponegoro Hardiono D. Pusponegoro, Hardiono D. Hartono Gunardi Hartono Gunardi Haryanti Fauziah Wulandari Herlina Herlina Hidra Irawan Satari Hikari Ambara Sjakti, Hikari Ambara I. Budiman Idham Amir, Imral Chair Inez Ayuwibowo Sangwidjojo Iqbal Taufiqqurrachman Irene Yuniar, Irene Irma Rochima Puspita Iskandar Japardi Isman Jafar Ismy, Jufitriani Jasin, Madeleine Ramdhani Joanna Erin Hanrahan KHOIRUL ANAM Kristian Kurniawan Lenny S. Budi Lily Rundjan Luh Karunia Wahyuni, Luh Karunia Mardjanis Said Mardjanis Said Marissa Tania Stephanie Pudjiadi Masayu Rita Dewi Melinda Harini Merci Monica br Pasaribu Mulya Rahma Karyanti, Mulya Rahma Mulyadi M. Djer Murti Andriastuti, Murti Muzal Kadim Nahari Arifin Najib Advani Nastiti Kaswandani Nia Kurniati Nur Hayati Pamungkas, Indra Parmaditya Partini Pudjiastuti Trihono Purboyo Solek Pustika Amalia Pustika Amalia Putri, Armitha Putri, Shally Adhina Adhina R. H. J. M Gooskens Rachmawati, Elvie Zulka Kautzia Rafli, Achmad Rina W Sundariningrum Rinawati Rohsiswatmo Rini Sekartini Risma Kerina Kaban Rismala Dewi Rizal Agus Tiansyah Ronny Suwento, Ronny Rosalina Roeslani Rosary Rosary Rulina Suradi Rulina Suradi Rulina Suradi Rusda, Muhammad Safarina G. Malik Santoso, Dara Ninggar Sari, Teny T. Setyanto, Darmawan Budi Setyo Handryastuti Setyo Handryastuti Setyo Handryastuti Setyo Handryastuti, Setyo Sisca Silvana, Sisca Soebadi, Amanda Soedjatmiko Soepardi Soedibyo Sri Rezeki Hadinegoro Sri Sofyani, Sri Sudigdo Sastroasmoro Sudjatmiko Sudjatmiko Sudung O Pardede, Sudung O Sudung O. Pardede Sudung O. Pardede, Sudung O. Sukman Tulus Putra Sukmono, Suryawati Susanti Himawan Tantri, Aida Rosita Taralan Tambunan Taralan Tambunan Taralan Tambunan Taralan Tambunan Tatang M. Puspandjono Teny Tjitra Sari Titis Prawitasari, Titis Tri Lestari Handayani Tuty Victor Prasetyo Poernomo Vimaladewi Lukito Wahyuni Indawati, Wahyuni Wicaksono, Yuda Satrio Winny N Wishwadewa Wulandari, Harjanti F Wulandari, Harjanti F Yazid Dimyati Yeti Ramli Yeti Ramli Yuliarti, Klara Zizlavsky, Semiramis