Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

INSENCE COMBUSTIBLE SEREH, CENGKEH DAN JERUK SEBAGAI PENOLAK NYAMUK AEDES AEGYPTI Mulyani, Sri; Mulyaningsih, Budi; Lestari, Anindita Winda; Munawaroh, Fitri Ana; Anna, Diescendy Selly
Majalah Obat Tradisional Vol 18, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.532 KB) | DOI: 10.14499/mot-TradMedJ18iss3pp195-200

Abstract

Nyamuk merupakan salah satu serangga vektor penyakit seperti demam berdarah, malaria, filariasis, dan sebagainya. Penggunaan bahan yang memiliki aktivitas repelan (penolak) seperti sereh, daun jeruk, daun cengkeh merupakan salah satu cara untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Sediaan dupa (insence combustible) dikenal sebagai sediaan aromaterapi yang dapat digunakan setiap saat, yang umumnya digunakan pada acara-acara keagamaan. Pada penelitian ini dimaksudkan untuk membuat sediaan insence combustible (dupa) yang dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai penyegar ruangan juga dapat berfungsi sebagai repelan terhadap nyamuk Aedes aegypti. Penelitian dilakukan dengan membuat sediaan insence combustible dengan  bahan aktif herba sereh, daun cengkeh, dan jeruk, dengan 5 variasi kadar 0,10, 20, 40, 80%. Kemudian sediaan diujikan pada 25 ekor nyamuk, yang terdapat di dalam sangkar nyamuk dobel trap. Jumlah nyamuk di kotak A dan B  dihitung pada waktu 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit. Selanjutnya dihitung persentase aktivitas repelannya. Juga dilakukan pengujian profil kromatogram bahan uji dengan metoda mikrodestilasi tanur TAS dengan beberapa pereaksi identifikasi. Hasil menunjukkan, bahwa sediaan yang dibuat semua memiliki aktivitas penolak nyamuk dengan kadar efektif  untuk sereh adalah 40%, jeruk 20%, dan cengkeh 10%.  Profil kromatogram menunjukkan daun jeruk memperlihatkan bercak paling banyak untuk senyawa terpenoid dan fenolik, diikuti cengkeh dan sereh. Bercak sebagai senyawa dengan gugus karbonil (aldehid dan keton) hanya ditunjukkan oleh herba sereh.
The Phytochemical Analysis of Hay Infusions and Papaya Leaf Juice as an Attractant Containing Insecticide for Aedes Aegypti Cahyati, Widya Hary; Asmara, Widya; Umniyati, S Rahmah; Mulyaningsih, Budi
Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 12, No 2 (2017): Jurnal KEMAS Vol.12 No.2 : January 2017
Publisher : Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/kemas.v12i2.6223

Abstract

Aedes aegypti mosquito population could be controlled by using lethal ovitrap. The addition of hay infusions as a attractant greatly enhance Aedes aegypti eggs trapped, and papaya leaf juice may inhibit Aedes aegypti eggs evolve to larvae or a larvae to pupae stage. This study was conducted to find out the chemical compounds in hay infusion and papaya leaf juice. We used phytochemical test using UV-Vis Spectrophotometry, Thin Layer Chromatography, and High Performance Liquid Chromatoraphy (HPLC) method. The results showed that hay infusion contains 12,75 mg/L ammonium and <1,20 ppm (µg/mL) lactic acid and papaya leaf juice contains 0,25% alkaloid, 0,14% flavonoid, 0,30% saponin, ≤68 mg/L steroid and 11,34% tannin, but negative terpenoid. We concluded that hay infusion and papaya leaf juice contains chemical compounds that could be use as attractant and bioinsecticide to Aedes aegypti, respectively.
Larvicidal Activity of The Mixture of Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) and Aqueous Extract of Sapindus rarak DC Against Larvae of Culex quinquefasciatus Fauziah, Rahmi Safarina; Sudarsono, Sudarsono; Mulyaningsih, Budi
Biology, Medicine, & Natural Product Chemistry Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Sunan Kalijaga State Islamic University & Society for Indonesian Biodiversity

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (244.723 KB) | DOI: 10.14421/biomedich.2014.31.21-23

Abstract

The aim of this study was to evaluate the larvicidal activity of Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) against the Culex quinque fasciatus in larval stage. The CNSL was diluted in water by addition of aqueous extract of Sapindus rarak DC to increase its solubility. Larvae were exposed to varying concentrations of that mixture. The larvae mortality was observed after 24 h exposure. LC50 and LC90 value by extrapolation were 20,52 ppm and 55,41 ppm respectively. CNSL were specified by characterizing its physico-chemical properties and  anacardic acid as marker compound by High Performance Chromatography (HPLC). The results were the mixture of Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) and Aquous extract of Sapindus rarak DC had larvicidal activity against Cx. Quinque-fasciatus and further investigations were needed to identify the fatty acid derivative as active compound of CNSL which  responsible for larvicidal activity.
The Phytochemical Analysis of Hay Infusions and Papaya Leaf Juice as an Attractant Containing Insecticide for Aedes Aegypti Cahyati, Widya Hary; Asmara, Widya; Umniyati, S Rahmah; Mulyaningsih, Budi
KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 12, No 2 (2017)
Publisher : Department of Public Health, Faculty of Sport Science, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/kemas.v12i2.6223

Abstract

Aedes aegypti mosquito population could be controlled by using lethal ovitrap. The addition of hay infusions as a attractant greatly enhance Aedes aegypti eggs trapped, and papaya leaf juice may inhibit Aedes aegypti eggs evolve to larvae or a larvae to pupae stage. This study was conducted to find out the chemical compounds in hay infusion and papaya leaf juice. We used phytochemical test using UV-Vis Spectrophotometry, Thin Layer Chromatography, and High Performance Liquid Chromatoraphy (HPLC) method. The results showed that hay infusion contains 12,75 mg/L ammonium and <1,20 ppm (µg/mL) lactic acid and papaya leaf juice contains 0,25% alkaloid, 0,14% flavonoid, 0,30% saponin, ≤68 mg/L steroid and 11,34% tannin, but negative terpenoid. We concluded that hay infusion and papaya leaf juice contains chemical compounds that could be use as attractant and bioinsecticide to Aedes aegypti, respectively.
Resistance Status of Aedes albopictus (Skuse) on Malathion in Bengkulu City Triana, Dessy; Umniyati, Sitti Rahmah; Mulyaningsih, Budi
Unnes Journal of Public Health Vol 7 No 2 (2018): Unnes Journal of Public Health
Publisher : Universitas Negeri Semarang in cooperation with Association of Indonesian Public Health Experts (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.976 KB) | DOI: 10.15294/ujph.v7i2.20153

Abstract

Abstract Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease caused by dengue virus and transmitted by Aedes aegypti mosquito as the main vector and Aedes albopictus as secondary vector. In 2016, Bengkulu City was one of 3 cities that experiencing DHF outbreaks in Indonesia. Insecticides malathion have been used since 1990 in bulk in DHF control programs in Bengkulu City and have not had an evaluation report on Aedes sp. vulnerability to malathion. The purpose of this research was to know the resistance status of Ae albopictus mosquitoes from endemic and sporadic areas of DHF in Bengkulu City to malathion. The sample of the study was the Ae. albopictus adult female mosquitoes which collected from endemic and sporadic areas of DHF in Bengkulu City with ovitrap installation. The resistance test was performed by CDC Bottle Bioassay method with malation 96% and 50 μg/ml diagnostic dose of. The results of this study showed 1% mortality on endemic area and 5% on sporadic area. Aedes albopictus of both areas were resistant to malathion. &nbsp; Keywords: Ae. albopictus, bottle bioassay, malathion. &nbsp; Abstrak Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Pada tahun 2016, Kota Bengkulu merupakan 1 dari 3 kota yang mengalami KLB DBD di Indonesia. Insektisida malation telah digunakan sejak tahun 1990 secara massal dalam program pengendalian DBD di Kota Bengkulu dan belum memiliki laporan evaluasi mengenai kerentanan Aedes sp terhadap malation. Tujuan penelitian untuk mengetahui status kerentanan nyamuk Ae. albopictus dari daerah endemis dan sporadis DBD Kota Bengkulu terhadap malation. Sampel penelitian adalah nyamuk betina dewasa Ae. albopictus yang dikoleksi dari daerah endemik dan sporadis DBD Kota Bengkulu dengan pemasangan ovitrap. Uji kerentanan dilakukan dengan metode CDC Bottle Bioassay dengan malation 96% dan dosis diagnostik 50 µg/ml. Hasil penelitian ini&nbsp; menunjukkan mortalitas 1% untuk daerah endemis dan 5% untuk daerah sporadis. Aedes albopictus kedua daerah telah resisten terhadap malation. &nbsp; Kata Kunci: Ae. albopictus, bottle bioassay, malation.
Aktivitas Enzim Monooksigenase pada Larva Culex Quinquefasciatus di Kabupaten Brebes Nihayah, Husnatun; Mulyaningsih, Budi; Umniyati, Sitti Rahmah
BERKALA SAINSTEK Vol 8 No 3 (2020)
Publisher : Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/bst.v8i3.17656

Abstract

Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan salah satu vektor penular penyakit filariasis bancrofti. Kabupaten Brebes adalah salah satu daerah endemik filariasis di Jawa Tengah. Upaya untuk mengurangi angka kejadian filariasis adalah dengan mengendalikan vektor penularnya. Salah satu jenis insektisida yang sering digunakan di kalangan masyarakat adalah dari golongan permetrin. Penggunaan insektisida dalam waktu lama dapat memicu timbulnya resistensi pada serangga. Resistensi dari golongan sintetik piretroid dapat diketahui melalui aktivitas enzim monooksigenase. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas enzim monooksigenase pada populasi nyamuk Culex quinquefasciatus di Kabupaten Brebes. Nyamuk sampel berasal dari pemasangan ovitrap di daerah endemik dan nonendemik filariasis bancrofti di Kabupaten Brebes. Nyamuk dikembangbiakkan di Laboratorium Parasitologi Universitas Gadjah Mada sampai generasi ke dua. Uji aktivitas enzim monooksigenase dilakukan dengan metode yang dilakukan oleh Lee. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim monooksigenase pada daerah nonendemik sehingga statusnya menjadi toleran. Toleran terhadap insektisida sintetik piretroid pada populasi Culex quinquefasciatus di daerah nonendemik filariasis di Kabuaten Brebes disebabkan karena penggunaan insektisida piretroid yang juga digunakan sebagai insektisida pertanian di wilayah penelitian.
Repellency Test of Wet Tissue Containing DEET (N,N-diethyl- 3-metatoluamide) and Citronella Oil (Cymbopogon citratus) Againts Aedes Aegypti Mosquitoes Satoto, Tri Baskoro T.; Mulyaningsih, Budi; Sintorini, M.M.; Sugiarto, A.F.; Kesuma, B. A
Kesmas Vol. 5, No. 4
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Demam berdarah merupakan salah satu masalah utama kesehatan di Indonesia. Karena penyakit ini disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, berbagai cara telah dilakukan untuk memutus rantai pejamu, agen, dan lingkungan, termasuk mencegah kontak manusia dengan vektor dengan menggunakan bermacam-macam pengusir serangga. Uji ini membandingkan waktu proteksi N,N-diethyl-3-metatoluamide (DEET) dengan waktu proteksi minyak sitronella yang terkandungkan dalam tisu basah terhadap Aedes aegypti. Untuk uji ini, dibuat larutan 12,5% DEET dalam etanol dan larutan 20% minyak sitronella. Sejumlah tisu kering dicelupkan ke dalam masing-masing larutan ini, ditiriskan dalam udara terbuka, kemudian dibungkus dengan lembaran aluminium dan disimpan selama satu hari dan satu minggu. Sementara itu, sejumlah nyamuk Aedes aegypti betina yang bebas penyakit ditempatkan dalam sangkar. Tisu basah yang telah disimpan selama satu hari dan satu minggu diusapkan pada bagian tangan (dari sikut sampai pergelangan tangan) relawan, kemudian tangan yang telah diusap itu dimasukkan ke dalam sangkar nyamuk dalam tiga replikasi uji (25 ekor nyamuk per sangkar). Waktu antara pemasukan tangan sampai dengan gigitan nyamuk pertama dinyatakan sebagai waktu usir tisu basah. Ditemukan bahwa waktu usir rata-rata tisu basah 12,5% DEET dan 20% minyak sitronella yang disimpan satu hari masing-masing 4 jam 26 menit dan 14,24 menit, sedangkan untuk tisu basah yang disimpan satu minggu masing-masing 4 jam 6 menit dan 12, 57 menit. Uji Post Hoc menunjukkan bahwa penyimpanan tisu basah satu hari dan satu minggu tidak berbeda secara bermakna (p = 0,524 untuk DEET dan p = 0,681 untuk minyak sitronella). Dengue hemorrhagic fever has been one of the major health problems in Indonesia. As the disease spreads out by Aedes aegypti, a variety of ways has been conducted to disconnect host, agent, and the environment chain including prevention of human contact w ith the vector using by various repellents. The present test compared the complete protection time of N,N-diethyl- 3-metatoluamide (DEET) and citronella oil impregnated in wet tissue against Aedes aegypti. For this test, an ethanol-based 12.5% DEET and 20% citronella oil were prepared, into which dry tissue papers were immersed, drain in open air, and then stored in aluminum foil packs for one day and one week. Meanwhile, a number of disease-free adult female Aedes aegypti were placed in mosquito cages. The prepared one-day and oneweek stored wet tissues were used to swab volunteer adult human hands (from elbow to wrist) which were then inserted into the mosquito cage in three replicates (25 mosquitoes each cage). Elapsed time from first hand insertion to the first mosquito bite was calculated and expressed as repellency time of the impregnated repellent. It was found that the average repellency times of one-day stored 12.5% DEET and 20% citronella oil wet tissues were 4 hour 26 minutes and 14.24 minutes, respectively, while for oneweek stored were 4 hour 6 minutes and 12.57 minutes, respectively. Post Hoc test showed that the repellency time difference between one-day and one-week storage was not statistically significance (p = 0.524 for DEET and p = 0.681 for citronella oil).
ANALISIS SPASIAL DAN DETEKSI TRANSMISI TRANSOVARIAL VIRUS DENGUE PADA NYAMUK AEDES AEGYPTI DESA CIKUYA DAN PAREREJA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANJARHARJO, KECAMATAN BANJARHARJO, KABUPATEN BREBES, PADA TAHUN 2020 Amin, Siti Asiyah Fitria; Mulyaningsih, Budi; Umniyati, Sitti Rahmah
Berita Biologi Vol 22 No 1 (2023): Berita Biologi
Publisher : BRIN Publishing (Penerbit BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55981/beritabiologi.2023.808

Abstract

Indonesia termasuk negara tropis sekaligus negara endemis tinggi penyakit Demam Berdarah Dengue. Nyamuk Ae. aegypti merupakan salah satu vektor virus dengue. Penularan virus dengue dapat terjadi dimulai dari fase nyamuk masih dalam bentuk telur yang dinamakan penularan secara transmisi transovarial. Kepadatan penduduk yang tinggi dapat membuat penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) lebih intensif karena jarak rumah yang berdekatan memudahkan nyamuk menyebarkan virus dengue. Penelitian ini dilakukan di Desa Parereja dan Cikuya yang merupakan daerah endemis tinggi DBD. Pengambilan sampel dilakukan di wilayah yang padat dan jarang penduduknya. Penelitian dilakukan secara observasional deskriptif menggunakan desain cross sectional untuk menganalisis pola sebaran kasus DBD berdasarkan analisis Average Nearest Neighbor (ANN). Pendeteksian transmisi transovarial virus dengue dilakukan dengan metode imunositokimia dan real time PCR. Hasil penelitian menunjukkan pola sebaran kasus DBD adalah berkerumun terutama di daerah padat penduduk dengan jarak rata-rata antar kasus adalah 100,616 meter. Angka Indeks Transmisi Transovarial (ITT) di Desa Parereja adalah 13,3% yang diperoleh dari metode deteksi imunositokimia dan nilai Cq 33,88 < NTC (Not Template Control) 35,74 diperoleh dari metode real time PCR. Sedangkan di Desa Cikuya nilai ITT 0% dan Cq 38,78 > NTC 35,74. Sebagai kesimpulan pola sebaran kasus DBD berkerumun terutama dijumpai di daerah yang padat penduduknya dan transmisi transovarial virus berpotensi terjadi.