Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KINERJA SUB SEKTOR PERIKANAN DAN PARIWISATA BAHARI DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PESISIR Mira Mira; Cornelia Mirwantini Witomo
Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 11, No 1 (2016): Juni (2016)
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Eonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1344.75 KB) | DOI: 10.15578/jsekp.v11i1.3169

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kinerja perikanan dan bahari pada wilayah pesisir.Apakah sub sektor tersebut termasuk unggulan/terbelakang/potensial/berkembang, apakah prospektifdan memiliki keunggulan komparatif. Penelitian berlangsung pada tahun 2014 di Kabupaten Brebesdan Kabupaten Sumbawa. Penelitian menggunakan metode analisis ”shift share”. Hasil analisismengindikasikan, pertama pada analisis profil pertumbuhan, sub sektor perikanan di Kabupaten Brebestermasuk sektor yang terbelakang/mundur (kuadran 4); sedangkan di Sumbawa termasuk padakategori sektor yang potensial. Guna menggenjot sub sektor perikanan ke sektor unggulan, BappedaKabupaten Sumbawa sudah membuat klaster perikanan budidaya, garam, dan tangkap yang sejalandengan program Minapolitan. Pemerintah Kabupaten Sumbawa harus meningkatkan nilai tambahpada sub sektor perikanan supaya masuk pada kategori produktif atau potensial dengan penguasaaanteknologi yang tepat guna. Sektor pariwisata bahari pada Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Brebestermasuk pada kategori sektor unggulan. Kedua, pada analisis pertumbuhan pangsa wilayah, subsektor perikanan dan wisata bahari termasuk pada sektor yang memiliki keunggulan komparatifkarena hanya sedikit komponen input yang diimpor, karena keuggulan komparatif pada suatu wilayahadalah bagaimana wilayah tersebut menghasilkan komoditas/jasa yang bahan bakunya berdasarkansumberdaya yang dimiliki bukan impor dari negara lain. Akan tetapi, sub sektor perikanan di KabupatenBrebes tidak memiliki daya saing karena adanya abrasi di pantai utara Brebes yang menyebabkanhilangnya tambak di beberapa wilayah dan menurunnya hasil tangkapan, hanya sektor wisata bahariyang memiliki keunggulan komparatif.Title: Fisheries and Tourism Sub Sectors Performance in Economic Structure of Coastal AreaThe objective of this research is to analyze performance of fisheries and marine tourism atcoastal area. Performance were assessed to understanding whether sub-sector featured/backward/potential/ developing, whether these sub sector had a prospective and comparative advantagecategory. This research was conducted on 2014 in Brebes and Sumbawa District. This researchwas using shift share analysis. The result showed that Brebes fisheries sector was in quadrant 4or backward condition, whereas in Sumbawa included in the category of potential sectors. In orderto boost the fisheries sub-sector to the superior sector, Regional Planning Agency of SumbawaDistrict already made cluster aquaculture, salt, and capture fisheries line with minapolitan program.Sumbawa District Government should increase the value added in the fisheries sub-sector in orderto enter the category of productive or potential authorization appropriate technologies. Marine tourismsector in Sumbawa and Brebes included in the category of leading sectors. Second, the analysis ofthe share region growth, sub sector of fisheries and marine tourism, including in sectors that have acomparative advantage because only a few imported inputs components, because comparativeexcellence to an area is how the region produces commodities / services with raw materials based onthe resources they have not import from other countries. However, the fisheries sub-sector in Brebes isnot competitive because of their abrasion on Brebes north coast which causes a loss of ponds in someareas and declining catches, only the marine tourism sector has a comparative advantage.
VALUASI NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI BANDA NEIRA Mira Mira; Subhechanis Saptanto; Hikmah Hikmah
Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 12, No 1 (2017): JUNI 2017
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Eonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1203.977 KB) | DOI: 10.15578/jsekp.v12i1.6284

Abstract

Banda Neira merupakan salah satu wilayah yang berada di Provinsi Maluku. Wilayah ini kayaakan potensi sumber daya perikanan karena memiliki ekosistem terumbu karang, pelagis dan demersal.Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji nilai ekonomi terumbu karang di Banda Neira. Penelitianini dilakukan pada tahun 2015 di Banda Neira. Nilai Ekonomi Total (TEV) terumbu karang di kawasanTNKpS dihitung dengan mengagregasi nilai pemanfaatan dan nilai non pemanfaatan. Berdasarkan hasilpenelitian, Pertama, nilai pemanfaatan tidak langsung dari terumbu karang adalah pelindung pantai,dimana panjang pantai yang dilindungi oleh karang pada wilayah Banda Neira diperkirakan mencapai10.562 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp.1.936.366.667 atau setara dengan Rp.4.588.547/ha karang. Kedua, nilai keberadaan terumbu karang adalah sebesar rata-rata Rp.113.162,-/tahun. Jikadikalikan jumlah populasi dibagi luas terumbu karang, maka WTP Rp.2.580.733,-/orang/ ha/ tahun.Ketiga, nilai pemanfaatan langsung perikanan sebesar Rp.323.071.865,- per pelaku usaha perikanan,nilai pemanfaatan langsung untuk pariwisata sebesar Rp.482.654.114,10. Jadi total, nilai total ekonomiterumbu karang di Banda Neira mencapai lebih dari 17 triliun rupiah. Sebagian besar masih disumbangdari sumber daya ikan yang telah dimanfaatkan khususnya pelagis. Nilai ekosistem secara ekologiberdasarkan parameter-parameter yang diukur hanya menyumbang kurang dari 1% dengan nilai sekitarempat miliar rupiah per tahun. Kecilnya kontribusi nilai pariwisata terhadap pemanfaatan langsung karenasulitnya aksesibilitas Banda Neira, sistem transportasi yang kurang mendukung seperti penerbanganudara hanya satu kali seminggu. Diharapkan pemerintah memperbaiki aksesibilitas ke Banda Neira,dengan memperbanyak frekuensi transportasi udara.Title: Economic Values Valuation Of Coral Reefs In Banda NeiraBanda Neira is one of the areas located in Maluku Province. This region has potential fisheriesresources because of coral reef ecosystems, pelagic and demersal. The purpose of this study wasto analyze the economic value of coral reefs in Banda Neira. The study was conducted in 2015 inBanda Neira district, Maluku Province. The Total Economic Value (TEV) of coral reefs in the TNKpSarea is calculated by aggregating the value of utilization and non utilization. Based on the results ofthe research, First, the indirect use value of coral reefs is coastal protection, where the length of coralprotected beaches in the Banda Neira region was estimated to reach 10,562 meters so that the valuewas 1,936,366,667 IDR or equivalent to 4,588,547 IDR / ha corals. Secondly, the value of coral reefswas an average of 113.162 IDR, - / year. If multiplied by the total population divided by coral reef area,then the WTP value was 2.580.733 IDR, - / person / ha / year. Third, direct fishery utilization value was323,071,865 IDR, - per fishery business actor, direct use value for tourism was 482.654.114,10 IDR.So that total economic value of coral reefs in Banda Neira reaches more than 17 trillion rupiah. Most ofit is still contributed from fish resources that have been utilized, especially pelagic. Ecological value ofecosystem based on measured parameters only contribute less than 1% with value of about 4 billionrupiah per year. The small contribution of tourism value to direct use because of difficulty of Banda Neiraaccessibility, less supportive transportation system like air flight only once a week . The government isexpected to improve accessibility to Banda Neira, by increasing the frequency of air transport.
PENGARUH KEBIJAKAN PERUBAHAN TARIF IMPOR TERHADAP KINERJA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN Mira Mira; subhechanis Saptanto
Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 7, No 1 (2017): JUNI 2017
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (603.046 KB) | DOI: 10.15578/jksekp.v7i1.5745

Abstract

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh kebijakan perubahan tarif impor terhadap kinerja sektor kelautan dan perikanan. Data dari tabel Input dan Output dianalisis dengan menggunakan computable general equilibrium mode (CGE).  Simulasi dilakukan dengan Focus Group Discussion, pertama menggunakan tarif impor yang berlaku saat ini untuk produk perikanan yaitu sebesar 5%, kedua menggunakan tarif impor 10 persen jika tarjadi peningkatan tarif, dan ketiga menggunakan tarif 0 % dimana terjadi penurunan tarif impor karena kesepakatan kerjasama regional (Masyarakat Ekonomi Asean). Akibat pemberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (kebijakan penurunan tarif impor) terhadap kinerja makro sektor kelautan dan perikanan meningkatkan pendapatan pemerintah (GDP) sebesar 0.009%, dan peningkatan ekspor 0.040%. Kebijakan penurunan tarif impor akibat pemberlakukan MEA hanya berpengaruh negatif pada indikator neraca pembayaran, dimana penurunan tarif impor menyebabkan penurunan neraca pembayaran 0.070%. Kebijakan penurunan tarif impor  meningkatkan nilai tambah  produk TTC, patin, kerapu, dan garam, masing-masing sebesar 0.047%, 0.004%, 0.003%, dan 0.039%. Selain itu, kebijakan penurunan tarif impor akibat pemberlakukan MEA menyebabkan ekspor TTC naik sebesar 3.367%., sedangkan impor perikanan ikan kering dan ikan olahan naik secara signifikan menjadi 11.498% dan 11.010%.  Sebaliknya kebijakan peningkatan tarif impor (dalam hal ini menjadi sebesar 10%) maka membuat penurunan pada output ikan kering dan ikan olahan  impor masing-masing turun adalah sebesar 18.502% dan -17.873%. Kebijakan peningkatan tarif impor malah menyebakan peningkatan input produksi untuk ikan olahan dan ikan kering dimana masing-masing sebesar 32% dan 34,5%. Dampak kebijakan peningkatan tarif impor terhadap input produk olahan selaras dengan tujuan kebijakan pengenaan tarif impor untuk meningkatkan nilai tambah komoditas, maka diharapkan pemerintah masih mengenakan tarif impor terutama untuk komoditas yang memiliki daya saing.Title: Effect of Import Tariff Change Policy On Marine and Fisheries Sector PerformanceThis research was aimed to analyze the effect of import tariff change policy on marine and fisheries sector performance. Data was collected from Input and Output tables anddata analyzed using Computable General Equilibrium method (CGE). The simulation was conducted by Focus Group Discussion approach method, first simulation using current import tariff for fisheries product 5%, secondly using import tariff of 10% if there is increase ofimport tariff, and third using tariff 0% where there is decrease of import tariff because agreement of regional cooperation ASEAN Economic Community. As a result of the implementation of the ASEAN Economic Community (import tariff reduction policy) on the macro performance of marine and fisheries sector increased government revenue (GDP) by 0.009%, and 0.040% export increase. The import tariff reduction policy due to the imposition of the MEA only negatively affects the balance of payments indicator, where the decline in import tariffs leads to a 0.070% decrease in the balance of payments. The import tariff reduction policy increases the added value of TTC (tuna alike), catfish, grouper and salt products by 0.047%, 0.004%, 0.003% and 0.039% respectively. In addition, the import tariff reduction policy due to the introduction of the MEA caused TTC exports to increase by 3.367%, while dry fish and fish processing imports increased significantly to 11.498% and 11.010%. On the contrary, the policy to increase import tariff (in this case become 10%), the decrease of dried fish and imported fishes decreased by 18.502% and -17,873% respectively. The policy to increase import tariffs led to increased production inputs for processed fish and dried fish which were 32% and 34.5%, respectively. The impact of the policy on increasing import tariffs on refined product inputs is in line with the objective of import tariff policy to increase commodity-added value, it is expected that the government still impose import tariffs, especially for competitively priced commodities.
Pengembangan Energi Terbarukan pada Pulau-Pulau Kecil Mira Mira; Rizky Muhartono; Siti Hajar Suryawati
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2, No. 1, Tahun 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (535.551 KB) | DOI: 10.15578/marina.v2i1.3277

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat optimasi potensi pengembangan energi terbarukan dengan melihat aspek  dari  sisi suplai (potensi energi) dan dari sisi demand (potensi konsumen). Metode analisis data yang digunakan adalah analisis multikriteria dengan membuat prioritasi melalui bobot dan scoring. Hasil analisis skala prioritas wilayah pengembangan energi terbarukan mengindikasikan dari 5 wilayah yang disurvei, wilayah yang menjadi prioritas pengembangan energi gelombang dan arus laut dari prioritas tertinggi sampai terendah dengan skala prioritas masing-masing (0.76, 0.67, 0.65, 0.61, 0.51) adalah Raja Ampat , Larantuka, Bawean, Nusa Penida, dan Kabupaten Bangka. Sedangkan wilayah yang menjadi kurang prioritas dalam pengembangan energi terbarukan adalah Kabupaten Bangka, di Kecamatan Belinyu. Hal ini disebabkan dari sisi potensi arus tidak masuk dalam Arus Laut Indonesia (Arlindo) yang berpotensi untuk pengembangan energi arus.  Guna mengoptimalkan potensi energi terbarukan seperti gelombang dan arus laut maka  pengembangan energi terbarukan (arus dan gelombang laut) diharapkan secara teknis mudah dilaksanakan oleh masyarakat (kalau bisa teknologi yang digunakan harus disederhanakan), hal ini berkaitan dengan perawatan pasca pengembangan energi terbarukan terutama di pulau-pulau kecil.Title: Development Renewable Energi for Small Islands : Supply and Demand SideThe purpose of this study is to analyze the optimization potential renewable energi with a view aspects of the supply side (potential energi) and the demand side (potential consumers). Data analysis method used was multi-criteria analysis to make prioritization through weighting and scoring. The results of the analysis of priorities indicated from five regions surveyed, priority areas the development of energi waves and ocean currents from highest priority to lowest priority scale respectively (0.76, 0.67, 0.65, 0.61, 0.51) is Raja Ampat, Larantuka, Bawean Nusa Penida, and Bangka. Instead region becomes less priority in the development of renewable energi is Bangka, in the District Belinyu, because Bangka not included in the Indonesian Seas Flow (Arlindo). Development of renewable energi is expected to be technically easy to implement by the community (if it can be simplified technology used), it relates to the post-treatment of renewable energi development, especially in small islands.  
Pengaruh Program Minapolitan Terhadap Kelembagaan Usaha Budidaya Rumput Laut di Pulau Sumbawa Mira Mira
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1, No. 1, Tahun 2015
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (356.685 KB) | DOI: 10.15578/marina.v1i1.1015

Abstract

Tujuan dari penelitian ini menganalisis pengaruh program minapolitan terhadap karakteristik kelembagaan usaha budidaya rumput laut di Pulau Sumbawa. Aspek yang dilihat adalah kelembagaan aktor dan pola hubungan, kelembagaan aturan, kebijakan pemerintah pusat, kebijakan pendukung internal, dan kebijakan eksternal. Dari sisi kelembagaan aktor terlihat bahwa sebelum program minapolitan usaha budidaya rumput laut bersifat perorarangan, akan tetapi setelah program minapolitan budidaya rumput laut berkelompok. Hal inilah yang menjadi kelemahan dari motivasi pembudidaya rumput laut di Pulau Sumbawa, dimana hanya wahana pencairan bantuan. Pada sisi kelembagaan aturan, sebelum program minapolitan harga ditentukan oleh pengepul karena adanya ikatan utang. Setelah program minapolitan bargaining position pembudidaya naik sehingga harga ditentukan berdasarkan kesepakan pembudidaya dan pengepul. Pada dimensi kebijakan internal pemerintah: pemerintah daerah menindak lanjuti kebijakan pemerintah pusat dalam bantuan PUMP untuk pembudidaya rumput laut dengan fasilitasi berupa pembentukan kelompok pembudidaya rumput laut, penentuan penerima bantuan, dan pembuatan aturan yang terkait zonasi. Pada dimensi kebijakan eksternal berupa bantuan dari pihak perbankan untuk penguatan kelembagaan dimana Bank Bukopin menginisiasi pembentukan koperasi “Algae Bersaing” dengan bantuan modal untuk petani rumput laut sebesar Rp. 900 juta. Diharapkan pemerintah membenahi motivasi berkelompok pembudidaya rumput laut, yaitu untuk mencapai tujuan yang sama, tapi di Pulau Sumbawa setelah pencairan bantuan kelompok pembudidaya banyak yang bubar.
Penerapan Prinsip Blue Economy pada Masyarakat Pesisir di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Mira Mira; Maulana Firdaus; Elly Reswati
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 9, No. 1, Tahun 2014
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (713.719 KB) | DOI: 10.15578/marina.v9i1.213

Abstract

Konsep blue economy sudah menjadi perhatian dalam pembangunan sektor perikanan di Indonesia. Hal ini diindikasikan dengan dirumuskannya sebuah konsep pengembangan blue economy untuk kelautan dan perikanan Indonesia. Pada tahun 2013 Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBSEKP) melakukan identifikasi penerapan prinsip blue economy pada lokasi sasaran pengembangan Klinik Iptek Mina Bisnis (KIMBIS) di wilayah pesisir Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder yang dianalisis dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga usaha perikanan dan kelautan yang telah menerapkan prinsip-prinsip blue economy di lokasi penelitrian, yaitu: usaha longyam, polikultur, dan usaha pengolahan kulit ikan menjadi kerupuk. Untuk lebih meningkatkan tingkat penerapan prinsip blue economy pada ketiga usaha tersebut, perlu dukungan pemerintah baik berupa sarana maupun prasarana yang lebih baik dengan disertai upaya pendampingan yang lebih intensif.