Armen Zulham
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

BISNIS LOBSTER DI SIMEULUE: KERAGAAN PERDAGANGAN DAN KEBIJAKAN INOVASI BUDIDAYA Armen Zulham; Zahri Nasution
Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 6, No 2 (2016): DESEMBER 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (430.075 KB) | DOI: 10.15578/jksekp.v6i2.3068

Abstract

Lobster merupakan salah satu komoditas penopang ekonomi rumah tangga perikanan di Simeulue. Disparitas harga Lobster antara pusat produksi (Simeulue) dan pasar tujuan (Jakarta) mendorong dinamika eksploitasi populasi Lobster di Simeulue. Manfaat ekonomi dari dinamika eksploitasi Lobster yang diperoleh nelayan dan pedagang pengumpul di Simeulue masing-masing masing-masing sekitar 19% dari total nilai transaksi Rp. 914,1 Juta setiap bulan. Informasi utama bisnis Lobster diperoleh dari hasil Survey pada bulan April 2016. Survey dilakukan pada 15 pedagang pengumpul di Teupah Selatan dan 3 Pedagang Besar di Sinabang dan Teluk Dalam. Informasi tambahan diperoleh dari diskusi dengan para pemangku kepentingan sampai Bulan Oktober 2016. Hasil penelitian ini menunjukkan: penangkapan Lobster ukuran karapas < 8 Cm (< 2 Ons)  dan bertelur masih tetap ditemukan. Suplai Lobster asal Simeulue  ke pasar tujuan sekitar 2,4 Ton per Bulan dan kemampuan suplai  itu terus menurun dari Januari 2016 sampai Juli 2016. Oleh sebab itu diperlukan inovasi untuk meningkatkan pasokan Lobster tersebut. Untuk mendapatkan Lobster Pedagang Besar (antar pulau)  di Simeulue membangun Jaringan Sosial,  agar bisnis Lobster tetap berlanjut. Namun, keberlanjutan bisnis Lobster, tergatung pada  kebijakan implementasi inovasi model sosial entrepreneur dalam industri Lobster. Kebijakan tersebut pada dasarnya untuk:  mempercepat penggunaan  teknologi baru (renovasi teknologi) budidaya Lobster, menciptakan iklim usaha tentang pentingnya pemulihan stok Lobster melalui asistensi bisnis.  Model Sosial Enterpreneur akan membantu mengembangkan kluster budidaya Lobster di perairan Teluk Sibigo dan  Teluk Dalam serta pada sebagian perairan di Teupah Selatan.Abstract: Lobster Business In Simeulue: Trade Performed And  Cultivation Innovation Policy Lobster is one of the commodities that support fisheries household economy in Simeulue. The disparity of lobster prices between Simeulue and Jakarta trigger the dynamics exploitation of lobster population  in Simeulue. Economical benefit from the exploitation of Lobster potency obtained by fishermen and collecting traders in Simelue are around 19% each from monthly transaction of Rp 914,1 million, respectively. Main information of this report was obtained from survey on April 2016. Survey was onducted on 15 collecting traders in South Teupah Distric and three inter island traders in Sinabang and Teluk Dalam. Additional information was obtained from discussion with stakeholders until October 2016. This research showed that: the fishing of lobster with carapace size <8 cm and hatching eggs were still found. The supply of Simeulue lobster to target market was around 2,4 tons per month and the supply ability kept decreasing since January 2016 to July 2016. An innovation to increase the production level of lobster is needed. To get the lobster, the inter island  traders build social network in order to make his business continue. However, the continuation of lobster business depends on the implementation policy of social entrepreneur innovation model  in lobster industry. The policy was basically made for: accelerating new technology use (technology renovation) of lobster cultivation, creating a business climate about the importance of lobster stock recovery through business assistance. The social entrepreneur model will help to develop lobster cultivation cluster in Sibigo Bay and Teluk Dalam Bay as well as some coastal  waters area in South Teupah Distric.
Assesment Blue Economy: Implementasi Integrated Multi-Tropic Aquaculture (IMTA) pada Kawasan KIMBis Cakradonya di Banda Aceh Armen Zulham; Estu Sri Luhur; Joni Haryardi; Freshty Yulia Arthatiani
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 8, No. 2, Tahun 2013
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1498.504 KB) | DOI: 10.15578/marina.v8i2.3021

Abstract

Salah satu prinsip dari ekonomi biru (blue economy) adalah memanfaatkan limbah berbagai usaha kelautan dan perikanan pada masyarakat menuju zero waste. Tiga prinsip lain yang mendukung pencapaian zero waste adalah teknologi yang digunakan harus inovatif dan adaptif, usaha tersebut harus memiliki inklusi sosial dan mampu mendorong multiplier effect yang luas dalam perekonomian. Dengan empat prinsip tersebut pada tahun 2013, KIMBis Cakradonya di Banda Aceh melakukan implementasi ekonomi biru dengan menggunakan teknologi Integrated Multitropic Aquaculture (IMTA). Teknologi ini mengutamakan budidaya kepiting soka sebagai komoditas target, diintegrasikan dengan komoditas bandeng dan rumput laut sebagai komoditas non-target. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran hasil pelaksanaan implementasi prinsip ekonomi biru dengan menggunakan teknologi IMTA. Hasil implementasi menunjukkan bahwa kondisi perairan kawasan implementasi IMTA sangat baik untuk dikembangkan budidaya kepiting soka, rumput laut dan bandeng secara terpadu. Sementara itu, data pertambahan berat kepiting soka selama 45 hari adalah: 11 gram per ekor dengan tingkat kematian 10%. Pertambahan berat rumput laut menunjukkan hasil yang sangat baik karena mengalami pertambahan 100% dibandingkan dengan berat awal penanaman. Namun, ikan bandeng tidak mengalami pertumbuhan yang cukup baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan nener bandeng dibesarkan di kolam pada umumnya. Penerapan prinsip Blue Economy pada budidaya kepiting soka berpotensi menghasilkan limbah cangkang kepiting sekitar 1 kuintal per hektar per hari, sehingga jika usaha ini berkembang sekitar 100 hektar akan terdapat potensi limbah yang dapat dimanfaatkan sebanyak 100 kuintal per hari (10 ton). Implementasi Blue Economy ini sangat bergantung pada tingkat partisipasi para pemangku kepentingan di luar satker litbang. Oleh sebab itu, hasil kegiatan ini mengusulkan perlu dilakukan sosialisasi lanjutan kepada SKPD dan masyarakat, termasuk enterpreneur agar level partisipasi mereka dalam kegiatan KIMBis berada pada level involvement. Dengan level partisipasi tersebut maka implementasi blue economy dapat memenuhi prinsip-prinsip minimize waste, inklusi sosial, teknologi inovatif dan adaptif serta memiliki multiplier effect yang luas.
Industri Perikanan di Bitung Armen Zulham
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 6, No. 2, Tahun 2011
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (851.8 KB) | DOI: 10.15578/marina.v6i2.5814

Abstract

Bitung merupakan kawasan industri perikanan yang telah berkembang sejak dua dasawarsa lalu. Berkembangnya Bitung sebagai kawasan industri perikanan tidak lepas dari investasi yang dilakukan pemerintah dengan membangun Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung. Tulisan ini memberi gambaran perkembanganindustri perikanan di Bitung dengan memanfaatkan data yang dikumpulkan melalui teknik Rapid Rural Appraisal (RRA). Hasil penelitian menunjukkan di Bitung terdapat perusahaan pengolah hasil perikanan yang didukung oleh armada tangkap yang baik., infrastruktur juga cukup memadai. Namun untuk keberlanjutan industri perikanan di Bitung perlu dilakukan langkah-langkah terobosan seperti membangun jalan raya bebas hambatan untuk menjamin arus barang dan jasa dari dan ke Bitung, pembangunan pembangkit listrik untuk meningkatkan pasokan listrik ke berbagai aktivitas ekonomi di Bitung, serta membangun sistim distribusi ikan untuk mengintegrasikan sentra produksi dan sentra pasar.
Potensi Pemanfaatan Limbah Perikanan di Banda Aceh Estu Sri Luhur; Armen Zulham; Joni Haryadi
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2, No. 1, Tahun 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (530.338 KB) | DOI: 10.15578/marina.v2i1.3276

Abstract

Tujuan tulisan ini memaparkan hasil identifikasi dan potensi pemanfaatan limbah perikanan di Banda Aceh. Hasil kajian menunjukkan bahwa limbah yang dihasilkan dari usaha perikanan (penangkapan, budidaya, pengolahan) dan usaha non-perikanan sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. Limbah yang dihasilkan dari usaha penangkapan adalah limbah padat berupa sisa ikan hasil pembongkaran dengan status sudah dimanfaatkan untuk pakan unggas. Limbah dari usaha pengolahan antara lain limbah padat berupa sisa ikan bagian kepala, isi perut dan tulang dengan status belum dimanfaatkan karena terbatasnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengadopsi teknologi. Limbah dari usaha budidaya berupa padatan yang sudah dimanfaatkan sebagai pupuk kompos, sedangkan limbah dari budidaya kepiting soka belum dimanfaatkan. Jenis usaha yang berpotensi untuk dikembangkan dengan memanfaatkan limbah tersebut adalah: 1) usaha tepung ikan; 2) usaha pembuatan pakan ikan dan unggas; 3) usaha olahan makanan ringan (snack) tulang ikan; 4) usaha kerajinan aksesoris berupa tas atau dompet; 5) usaha pembuatan tepung bahan baku citosan.Title: Potential Use of Fisheries Waste in Banda AcehThis paper aimed to describe the identification of fisheries waste management in Banda Aceh. Results showed that waste from fisheries (catching, aquaculture, fish processing) and non-fisheries activities largely untapped optimally. Solid waste from marine captured fisheries is demolition of the remaining fish with status already used for poultry feed. Waste from processing businesses include solid waste such as leftover fish head, entrails and bone status untapped due to limited knowledge and skills in adopting technology. Waste from aguaculture  in the form of solids that have been used as compost, while soft-shelled crab waste from aquaculture untapped. Type of business which have potential to be developed by utilizing the waste are: 1) business of fish meal; 2) business of making fish feed and poultry; 3) business of processed snack fish bone; 4) craft business accessories such as handbags or wallets; 5) business of making starch feedstock citosan.
Why Indonesia Should Develop Tuna Sea Farming to Overcome Overfishing? A Review of Two Sides Argument Maharani Yulisti; Rizky Muhartono; Armen Zulham
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 9, No. 2, Tahun 2014
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (294.948 KB) | DOI: 10.15578/marina.v9i2.431

Abstract

Tuna is the mainstay of fisheries export commodities in Indonesia with a total export amounted to 201.159 tons and export value of 750 million dollars in 2012. The high demand tuna improve the practice of tuna captured in the sea, causing a decline in tuna stocks both in the number and size of tuna caught. This condition triggers the experts to culture tuna in laboratory scale to reduce the impact of overexploitation (overfishing). However, the tuna sea farming is under the spotlight because in practice, some countries do tuna farming without hatching of the parent tuna but merely enlarge a baby tuna are caught from the wild to market size. This gives rise to a difference of opinion of many experts on tuna farming practices. Therefore, this article highlights the pros and cons of experts on tuna farming from environmental, economic and technical, to determine whether Indonesia needs to develop tuna farming to cope with overfishing. The method used in this research is the study of literature writings on tuna farming and analyzed descriptively. Results of the analysis showed that despite the many negative opinions about the tuna sea farming, the Indonesian government should support the of tuna sea farming with tuna breeding research, as has been done by the Research Institute for Marine Fisheries Gondol. If the tuna breeding is successful, will have a great impact on the problems of the world tuna demand which increasing every year.
Evaluasi Kinerja Pendampingan dan Pengawalan Teknologi pada KIMBis Cakradonya, Banda Aceh Estu Sri Luhur; Armen Zulham
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 8, No. 1, Tahun 2013
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1902.341 KB) | DOI: 10.15578/marina.v8i1.3010

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dari kegiatan pendampingan dan pengawalan teknologi yang telah dilakukan pada KIMBis Cakradonya di Banda Aceh. Evaluasi dilakukan mencakup kegiatan yang dilaksanakan selama periode Agustus – November 2012. Evaluasi kinerja ini diukur dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan jawaban yang tertutup untuk mengetahui persepsi peserta terhadap kegiatan yang dilaksanakan. Pelaksanaan evaluasi kegiatan dilaksanakan pada 38 responden. Aspek yang dievaluasi terdiri dari aspek peran pengurus KIMBis, keragaman materi, kemampuan instruktur, keseriusan peserta dan aspek lainnya. Hasil evaluasi menunjukkan kegiatan pendampingan teknologi yang dilakukan telah sangat baik. Aspek yang dinilai adalah aspek peran pengurus, isi materi dan kemampuan instruktur karena materi yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan peserta dan mampu ditransfer dengan baik oleh instruktur. Namun, aspek yang dinilai cukup adalah aspek jumlah peserta kegiatan. Aspek ini menunjukkan bahwa jumlah peserta perlu ditambah karena materi yang diberikan sangat bermanfaat bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Aspek lain yang perlu diperhatikan bahwa peralatan dan bahan praktek yang disediakan pengurus dinilai masih terbatas. Evaluasi ini merekomendasikan untuk pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan penyediaan alat dan bahan dan pengurus KIMBis harus berkoordinasi dengan SKPD terkait di Kota Banda Aceh.