Rismutia Hayu Deswati
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

POSISI PRAKTEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL Nendah Kurniasari; Christina Yuliaty; Rismutia Hayu Deswati
Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 6, No 2 (2016): DESEMBER 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (256.723 KB) | DOI: 10.15578/jksekp.v6i2.3324

Abstract

Masyarakat hukum adat masih belum terlihat eksistensinya meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai perundang-undangan terkait pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Tulisan ini bertujuan memberikan penjelasan sejauhmana posisi praktek pengelolaan sumberdaya kelautan dan Perikanan berbasis hukum adat dari perspektif perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dan content analysis. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengakuan tersebut merupakan pengakuan bersyarat, dimana persyaratan seringkali tidak konsisten antar satu perundang-undangan dengan perundang-undangan lainnya. Dari perspektif Undang-Undang No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014, terdapat beberapa ketidakselarasan antara praktek pengelolaan SDKP berbasis hukum adat dengan UU tersebut, diantaranya adalah 1) posisi peran masyarakat yang setara dengan dunia usaha, 2) persyaratan dalam pemberian hak istimewa kepada masyarakat hukum adat dalam mengelola sumberdaya KP tidak terjabar secara jelas, 3) mekanisme legalisasi hukum adat jelas baik dari pengertian masyarakat hukum adat sendiri maupun lembaga yang melakukan legalisasi dan verifikasi, dan 4) belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur wilayah pemanfaatan dari setiap masyarakat adat. Oleh karenanya perlu ditentukan proporsi keterlibatan pemerintahan daerah, masyarakat dan dunia usaha, perlu menentukan ormas mana yang dapat mejadi wadah aspirasi masyarakat sesuai dengan Permen No 40/2014, perlu penjelasan makna “kepentingan nasional” yang menjadi prasyarat diberikannya hak pengelolaan SDKP kepada masyarakat adat, perlu ditentukan lembaga verifikator masyarakat hukum adat, perlu peraturan daerah yang mengatur batas wilayah pada setiap kesatuan masyarakat hukum adat, dan perlu membuat trace bundle mengenai sejarah dan tata hukum adat.Title: The Position Of Marine And Fisheries Resources Management Practices Based On Adat Law In National Law PerspectiveCustomary law community has not shown its existence, though the government has enacted several legislations concerning the recognition of  the community. This paper aims to provide an explanation regarding the position of marine and fisheries resources management practices based on customary law in national law perspective.  The study used a qualitative descriptive analysis and content analysis.The results showed that the recognition is a conditional one and it is inconsistent among laws. There are several contradictions between practices and Law number 27/2007 juncto Law Number 1/2014. They are 1) posistion of the community role is equivalent to business world, 2) requirements in granting privileges to the customary law community in terms of marine and fisheries resources management are not clearly defined, 3) legalization mechanism of customary law is clearly explained, both customary law community definition and institutions which perform legalization and verification, and 4) the absence of legislation governing the use of the territory of each of indigenous communities. Therefore, it is necessary to determine the proportion of local government, community, and business world involvement. It is also important to determine the community organizations which may be an an inspiration of the community in accordance with Ministerial Regulation Number 40/2014. Besides that, it needs an explanation of the meaning of “national interest” which is a prerequisite to indigenous communities in order to have marine and fisheries resources management rights. Furthermore, it is important to determine the customary law community verifier institutions. Other than that, setting regional regulations governing borders of each customary law community territory is needed. Last, creating a trace bundle concerning history and customary law system is also necessary.  
PERSEPSI TERHADAP KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN KEMBALI IZIN KAPAL IKAN BUATAN LUAR NEGERI DI PERAIRAN INDONESIA Rismutia Hayu Deswati; Irwan Muliawa; Risna Yusuf; Tenny Apriliani
Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 11, No 1 (2021): JUNI 2021
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jksekp.v11i1.9493

Abstract

Moratorium izin operasional kapal ikan yang dibangun di luar negeri, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014, merupakan kebijakan strategi untuk memberantas praktik IUU Fishing di perairan Indonesia. Tahun 2020 atau lima tahun setelah kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan wacana untuk memberlakukan kembali izin operasional bagi kapal-kapal yang terkena moratorium. Wacana ini mengundang respon beragam dari para pengusaha perikanan yang terdampak. Untuk itu penelitian ini dilaksanakan, dengan tujuan untuk melakukan analisis terhadap persepsi pengusaha terhadap kebijakan tersebut, dengan harapan bahwa kebijakan lebih baik dapat dirumuskan untuk waktu yang akan datang. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan pengusaha perikanan terdampak untuk mewakili pelaku usaha, dan pengawas perikanan untuk mewakili pelaksana kebijakan. Lokasi penelitian adalah DKI Jakarta, Bitung dan Bali, mewakili lokasi di mana kapal terdampak berlabuh Hasil penelitian menunjukkan terdapat 3 kategori persepsi responden terkait kebijakan pemberlakuan izin kapal ikan tersebut: (1) responden setuju pengaktifan kembali izin kapal ikan tersebut dengan catatan diikuti pembatasan alat tangkap yang digunakan, area operasi penangkapan ikan, ukuran kapal dan jenis komoditas hasil tangkapan, sebanyak 47%; (2) responden setuju sebanyak 33 %, dan (3) responden tidak setuju sebanyak 20 %. Berdasar itu, kebijakan yang direkomendasikan adalah: (1) mengefektifkan komunikasi antara pemerintah dengan pemilik kapal dalam penyusunan kebijakan, (2) memperbaiki koordinasi hulu ke hilir ketika kebijakan telah dijalankan dan (3) menguatkan komitmen dan konsistensi pelaksanaan kebijakan oleh pelaku usaha dan pemerintah. Ketiga strategi tersebut dilaksanakan agar keberadaan kapal ikan buatan luar negeri itu dapat mendorong peningkatan produktifitas dan ekspor. Tittle: Perception of Reenacting Permit Policy For Foreign Made Fishing Vessels in Indonesian WaterThe moratorium on the issuance of foreign-made fishing boat permits, as stated in the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 56 of 2014, is a strategy taken by the Indonesian government in respond to the practice of IUU fishing in Indonesian waters. In 2020, or five years after the policy, a discourse to reimpose the operational permits for vessels affected by the moratorium has been raised up. Various responses emerged from the affected fishery entrepreneurs. Therefore, the purpose of the research is to describe the perception of the entrepreneurs regarding the plan for better policy. Primary data were collected through interviews with the affected fishery entrepreneurs as representatives of business actors, and with fisheries supervisors at the research location as representatives of the government. The research were conducted in Jakarta, Bitung and Bali, which represent the locations of moratorium on dock permit. The results of this study pointed out the 3 categories of respondents’ perceptions on the policy of fishing boat permit: 1). 47% of respondents agreed to the reactivation of the fishing boat license on condition with the restricted fishing gear, fishing area, vessel size and type of catch commodities; 2). 33% of respondents agreed; and (3) 20% of respondents disagreed. This study recommend: to involve the ship owner in policy making for better and more effective communication between government and ship owners 2). to encourage a good coordination in the upstream to downstream once the policies have been implemented, and; 3). to strengthen commitment and consistency between the business actors and government to implement the policies. Therefore, the presence of foreign-made fishing vessels will encourage the productivity and exports.
SERTIFIKAT MUTU SEBAGAI SALAH SATU JENIS HAMBATAN NON TARIF PERDAGANGAN TUNA DAN UDANG: DEFINISI, JENIS DAN PERMASALAHANNYA rismutia hayu deswati; Tajerin Tajerin; Budi Wardono
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2, No. 2, Tahun 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.939 KB) | DOI: 10.15578/marina.v2i2.4962

Abstract

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tuna dan udang tertinggi dengan negara tujuan USA, UE dan Jepang. Setiap tahunnya volume ekspor tuna dan udang mengalami peningkatan dengan pasar yang semakin luas. Pada dunia perdagangan internasional dikenal dua jenis hambatan ekspor yaitu hambatan tarif dan non tarif. Di kala berita mengenai hilangnya hambatan tarif sebenarnya di satu sisi meningkatkan jumlah hambatan non tarif yang diberlakukan negara pengimpor. Salah satu jenis hambatan non tarif yang sedang menjadi topik hangat adalah mengenai sertifikat mutu ikan yang terdiri atas berbagai jenis. Tujuan dari penelitian ini untuk memaparkan jenis-jenis sertifikat mutu yang secara sukarela bisa dilengkapi untuk memperluas peluang pasar bagi ekspor tuna dan udang. Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat berbagai jenis sertifikat mutu yang harus dilengkapi eksportir diantaranya SKP, HACCP, BRC, BAP, MSC, ASC dan ISO 22000. Setiap sertifikat mengeluarkan biaya yang mahal dengan jangka waktu berlakunya sertifikat tidak lama antara 1-2 tahun saja. Permasalahan terkait pengurusan sertifikasi mutu jika tidak dibantu oleh Pemerintah Pusat ke depannya akan menjadi hambatan non tarif yang mengancam keberlanjutan usaha pengolahan tuna dan udang yang ada di Indonesia. Oleh karena itu butuh peran serta dan sinergi yang baik antara Pemerintah pusat dan eksportir untuk mengakomodir permasalahan ini.Title: Identification Of Quality Certificate As One Type Of Tuna Tradebarriers To Non Rates And ShrimpIndonesia is one of the highest exporter of tuna and shrimp products with destination markets such as USA, EU and Japan. Each year, the tuna and shrimp export volume increased by an expand broad market. There are two types of export barriers in international trade, tariff and non tariff barriers. Elimination of tariff barriers did not necessarily make reduced international trade barriers, non-tariff barriers actually increased. One of non-tariff barriers is the quality certificates of fish consisting of various types. The purpose of this study to describe the types of voluntary quality certificate can be equipped to expand market opportunities for the export of tuna and shrimp. The result showed that there are different types of quality certificate exporters must have, such as : SKP, HACCP, BRC, BAP, MSC, ASC and ISO 22000. Each certificate is highly cost and  only have a validity period of 1-2 years. Problems related to the maintenance of quality certification if it is not helped by the central government in the future, will become non-tariff barriers that threaten the sustainability of tuna and shrimp processing business in Indonesia. Therefore, need the participation and synergy between the central government and exporter to form a certification body to accommodate a wide range of export certification services.
Keragaan Penerapan Teknologi dan Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Ikan Tuna di Kabupaten Pacitan Rismutia Hayu Deswati; Hikmah Hikmah
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2, No. 1, Tahun 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.833 KB) | DOI: 10.15578/marina.v2i1.3278

Abstract

Kabupaten Pacitan selain memiliki produksi perikanan tangkap yang tinggi juga saat ini terkenal dengan tingginya usaha pengolahan hasil perikanan. Pengolahan tahu tuna merupakan salah satu usaha olahan yang tergolong berhasil dan hingga saat ini memberikan dampak positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung analisis secara finansial usaha pengolahan ikan tuna agar bisa menjadi bahan pertimbangan untuk keberlanjutan dari usaha pengolahan ikan tuna ini. Metode penelitian menggunakan alat analisis finansial usaha yang secara sederhana. Hasil dari penghitungan menunjukkan bahwa usaha pengolahan memiliki R/C ratio sebesar 1,55 yang artinya setiap Rp 1.000 biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi olahan tersebut menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.550.Title: Performance Identification Technology Application And Feasibility Analysis Of Tuna Fish Processing In The District PacitanPacitan in addition to having a high capture fisheries production is also famous for the high current fishery product processing business. Processing tofu tuna is one of the enterprises belonging processed successfully and to this day have a positive impact in improving the welfare of society. This study aims to calculate the financial analysis tuna fish processing business in order to be taken into consideration for the sustainability of the tuna fish processing business. The research method uses financial analysis tools. The results of calculation show that the processing business has R/C ratio of 1.55, which means every USD 1.000 costs incurred to produce the processed produce revenues of Rp 1,550. 
Identifikasi Kegiatan Penangkapan Ikan di Desa Batilap, Kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan Rismutia Hayu Deswati
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 8, No. 1, Tahun 2013
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (769.466 KB) | DOI: 10.15578/marina.v8i1.3014

Abstract

Sungai Barito merupakan salah satu tipologi perairan umum daratan di Indonesia yang memiliki sumber daya ikan berlimpah. Daerah Aliran Sungai Barito bagian tengah mempunyai produksi perikanan yang tinggi dengan jenis keragaman yang banyak, dimana bagian tengah tersebut melewati provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Desa Batilap di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang dilalui oleh aliran Sungai Barito dan anak sungainya. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan hasil identifikasi kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan Desa Batilap di Sungai Barito. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei dan wawancara dengan nelayan yang bersangkutan. Kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan nelayan Desa Batilap menggunakan berbagai jenis alat tangkap namun mayoritas yang digunakan adalah selambau, rengge, tempirai dan bubu. Jenis ikan yang diperoleh dari masing-masing alat tangkap yaitu selambau sebanyak 8 jenis, rengge 6 jenis, tempirai 5 jenis dan bubu sebanyak 3 jenis.
Profil Budidaya dan Kelembagaan Pemasaran Rumput Laut (Grasillaria Sp) fi Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat Rismutia Hayu Deswati; Estu Sri Luhur
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 9, No. 1, Tahun 2014
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.575 KB) | DOI: 10.15578/marina.v9i1.231

Abstract

Rumput laut Gracilaria sp di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dibudidayakan di tambak dengan sistem polikultur dengan Ikan Bandeng atau Udang. Namun, permasalahan terkait dengan sulitnya pembudidaya mengakses harga dan informasi serta sulitnya memenuhi kualitas rumput laut yang diminta konsumen masih dihadapi oleh pembudidaya rumput laut. Kajian ini bertujuan untuk menggambarkan kegiatan budidaya rumput laut dan rantai pemasaran mulai dari hulu sampai hilir di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kajian ini dilakukan pada tahun 2014 dengan menggunakan metode survei melalui observasi dan wawancara dengan kuesioner terstruktur. Data yang digunakan adalah data primer terkait kegiatan usaha rumput laut dan data sekunder terkait dokumen penunjang dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bekasi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat dua saluran pemasaran rumput laut, yaitu (1) pembudidaya menjual ke pedagang pengumpul kemudian dilanjutkan ke PPTP lalu dijual ke perusahaan agar-agar; dan (2) pembudidaya menjual ke pengumpul kemudian dilanjutkan ke pedagang besar di luar Kabupaten Bekasi. Kajian juga menunjukkan adanya masalah kualitas rumput laut yang masih termasuk kelas 2 dan terjadinya ketimpangan informasi sehinggapembudidaya sulit mengakses informasi harga dan pasar. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah diperlukan dalam memperkuat koordinasi antar stakeholder daerah dalam rangka mengembangkan budidaya rumput laut dengan sistem polikultur ini.