Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam

MEMAHAMI KONSEP NIAT DALAM BERIBADAH HINGGA ISTITHA’AH HAJI DALAM STUDI FIQH Rinwanto; Shofiyullahul Kahfi
Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam Vol 13 No 2 (2019): Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam
Publisher : Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jt.v13i2.59

Abstract

Fiqih menawarkan sebuah jawaban yang beragam terhadap berbagai fenomena kehidupan masyarakat baik dalam peribadatan maupun dalam muamalah. Menurut Syekh Zainudin Al-Malibari di dalam kitab Mandhûmatu Hidâyatil Adzkiyâ’ ilâ Tharîqil Auliyâ’, di mana kitab ini diberi penjelasan oleh Sayid Bakri Al-Makki dalam kitab Kifâyatul Atqiyâ’ wa Minhâjul Awliyâ’, bahwa ada 3 (tiga) ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang Muslim dengan kewajiban fardlu ‘ain. Ketiga ilmu itu adalah ilmu yang menjadikan ibadah menjadi sah, ilmu yang mengesahkan aqidah, dan ilmu yang menjadikan hati bersih. Dalam kitab itu Al-Malibari menuturkan: وعقيدة ومزكي القلب اصقلا وتعلمن علما يصحح طاعــة واعمل بها تحصل نجاة واعتلا هذا الثلاثة فرض عين فاعرفن Pelajarilah ilmu yang mengesahkan ketaatan mengesahkan aqidah serta mensucikan hati Ketiganya ini fardlu ain hukumnya, ketahuilah amalkanlah, maka terwujud keselamatan dan kehormatan Inilah tiga ilmu yang setiap orang Islam wajib mempelajarinya. Ilmu yang menjadikan sahnya ibadah kepada Allah adalah ilmu fiqih yang membahas tentang bagaimana semestinya seorang Muslim beribadah kepada Allah. Sebagai contoh, setiap Muslim wajib mempelajari ilmu tentang bagaimana caranya shalat yang benar dan baik. Juga ia wajib mempelajari berbagai ilmu yang berkaitan dengan keabsahan shalat, seperti caranya bagaimanakah niat dalam beribadah, tata cara dan sarana yang digunakan untuk bersuci, cara mensucikan berbagai macam najis, bertayamum, beristinja dan lain sebagainya. Seorang Muslim juga wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu ini fardlu ain hukumnya untuk dipelajari mengingat amalan seseorang yang tidak didasari dengan ilmu maka amalan yang dilakukannya itu menjadi batal, tak diterima. Sebagaimana dituturkan Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad: وكل من بغير علم يعمل أعماله مردودة لا تقبل Setiap orang yang beramal tanpa ilmu Maka amalnya tertolak, tak diterima Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode kepustakaan.Yaitu dengan membaca, memahami, dan menyimpulkan data-data yang dikumpulkan dari sumber-sumber yang bisa diakses.
PEMBAHASAN FIQIH WANITA DALAM PERSPEKTIF MAŻHAB SYAFI’IY DI PONDOK PESANTREN Shofiyullahul Kahfi; Yudi Arianto
Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam Vol 14 No 1 (2020): Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam
Publisher : Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jt.v14i1.69

Abstract

Ada begitu banyak alasan mengapa dibutuhkan kajian khusus tentang fiqih wanita. Salah satunya yaitu karena Allah SWT menciptakan wanita berbeda dengan laki-laki, baik secara fisik maupun psikis. Dan pada akhirnya syariat atau hukum-hukum yang Allah SWT turunkan kepada manusia juga banyak yang berbeda antara wanita dan laki-laki. Misalnya dalam permasalahan wanita saat menjadi saksi, dimana ketika seorang wanita menjadi saksi maka kesaksian tersebut dalam fiqih harus diperkuat dengan wanita lainnya. Sehingga jika wanita menjadi saksi dalam fiqih maka setidaknya dibutuhkan minimal dua wanita sebagai saksi, Itulah satu diantara sekian banyak alasan, begitu juga wanita secara psikis memang tidak bisa disamakan dengan psikis atau kejiwaan laki-laki. Hal tersebut menjadikan dalam Fiqih psikis wanita dan laki-laki mempunyai peran serta fungsi yang sangat berbeda dari keduanya. Dan dalam lingkup Mażhab Sya>fi’iy yang kita anut di Indonesia, ada beberapa rangkaian hukum yang khusus berlaku bagi wanita, yang perlu dibahas secara detail oleh para santri khususnya pembahasan di Pondok Pesantren.
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PADA SURAU DAN PONDOK PESANTREN HIDAYATUL ISLAMIYAH TUBAN Arif, Much.Machfud; Sa’diyah, Emi Nur; Kahfi, Shofiyullahul
Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam Vol 16 No 2 (2022): Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam
Publisher : Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jt.v16i2.654

Abstract

Perkembangan pendidikan Islam ditandai dengan kemunculan pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam. Kehadian pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Oleh karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitas yang dilakukan di pesantren mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat. Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sejak kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam abad-abad pertama Hijriyah, kemudian di kurun Wali Songo sampai permulaan abad 20. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan yaitu berdasarkan hasil data serta informasi yang saya peroleh dapat ditarik kesimpulan bahwa pondok pesantren Hidayatul Islamiyah Sumberagung Tuban bersifat dinamis/berkembang dari waktu kewaktu, tidak bersifat statis. Metode diterapkan yaitu metode ceramah, tanya jawab, diskusi, nasehat, teladan, kisah-kisah dan pembiasaan. Kemudian para santri juga diberi tugas untuk mamakiah. Sebagai bekal untuk terjun ke masyarakat, dimana metode ini diterapkan berdasarkan kondisi bahwa santri perlu mendapatkan pengetahuan umum bersifat nyata namun masih dalam konteks menambah pengetahuan yang ada kaitannya dengan ilmu agama. jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian (imtihan) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kekitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia, tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.