Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Peningkatan Pemahaman Masyarakat Tentang Hoax (Berita Bohong) di Desa Jatisela Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Laely Wulandari; Lalu Parman; Lubis Lubis; Abdul Hamid
Warta Pengabdian Vol 15 No 1 (2021): Warta Pengabdian
Publisher : LP2M Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/wrtp.v15i1.14524

Abstract

Dalam masa-masa teretentu, frekuensi hoax semakin meningkat. Misalnya dalam masa pemilihan langsung. Baik pemilihan kepala daerah, Presiden dan wakil presiden serta pemilihan legeslatif. Hoax ini sering dilakukan untuk menjatuhkan pihak lawan. Namun bukan hanya pada saat itu saja, hoax juga banyak beredar pada saat bencana yang berakibat membuat masyarakat semakin panik, atau hoax beredar tentang informasi kesehatan dan pertistiwaperistiwa kriminal hingga masyarakat menjadi resah. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai Hoax (berita bohong) beserta akibat hukum bagi pelaku penyebar Hoax. Metode penyuluhan yang digunakan adalah metode ceramah yang diikuti dengan tanya jawab. Metode ceramah merupakan salah satu metode penyampain materi kepada para peserta. Setelah ceramah disampaikan kemudian dibuka sesi tanya jawab. Peserta dapat bertanya kepada anggota tim penyuluh tentang hal-hal yang belum jelas atau belum dimengerti. Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat dewasa ini sudah sangat dekat dengan teknologi pada umumnya dan media sosial pada khusunya. Mereka mebgetahui bahwa ada dampak positif dan negative yang dibawa oleh media sosial. Namun, mereka tidak banyak yang mengetahui bahwa tidak semua berita yang disajikan adalah sebuah kebenaran. Begitu pula dengan pemahaman tentang tindakan yang bersinggungan dengan hukum pidana.
Penanggulangan Tindak Pidana Pemilu (Studi Di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat) Lalu Parman; Rodliyah Rodliyah; M. Natsir
Jurnal Kompilasi Hukum Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v5i1.46

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis penanggulangan dan kendala penanganan tindak pidana pemilu di Pulau Lombok. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris dengan lokasi penelitian pada Bawaslu Prov. NTB dengan cakupan wilayah di Pulau Lombok. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan sosiologis. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kasus tindak pidana pemilu di Bawaslu Prov. Nusa Tenggara Barat (NTB) pada wilayah pulau Lombok adalah sebesar 59 kasus. Dari total 59 kasus tersebut, sebesar 50 kasus tidak terpenuhi unsur sesuai ketentuan UU No. 7 Tahun 2017, sedangkan 9 kasus telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Mekanisme penanganan yang dilakukan adalah: Pertama, menginvestigasi informasi awal atas dugaan pelanggaranPemilu di wilayah provinsi. Kedua, memeriksa dan mengkaji dugaan pelanggaran pemilu diwilayah provinsi. Ketiga, menyerahkan penyidikan tindak pidana pada Sentra Gakkumundu dalam hal ini dilakukan Kepolisian. Keempat, menyampaikan hasil pengawasan. Penyelesaian tindak pidana pemilu di wilayah pulau Lombok sebagian besar tidak terpenuhi unsur formil dan materil. Kendala penanggulangan: Pertama, kendala substansi hukum meliputi adanya perbedaan interpretasi terhadap ketentuan tindak pidana pemilu, pemenuhan unsur formil dan materil, pembatasan waktu, minim pengaturan administrasi, manajemen, dan keadilan pemilu. Kedua, kendala penegak hukum yaitu masih minimnya pemahaman hukum, seperti kekeliruan pemahaman mengenai operasi tangkap tangan dalam tindak pidana pemilu yang di Bawaslu dikenal dengan hasil pengawasan. Ketiga, kendala masyarakat yaitu keberpihakan masyarakat pada calon tertentu yang melakukan pelanggaran dan masih toleran terhadap politik uang.
PENERAPAN KETENTUAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN SEMA NOMOR 3 TAHUN 2018 Dena Murdiawati; Lalu Parman; Ufran .
Jurnal Education and Development Vol 8 No 3 (2020): Vol.8.No.3.2020
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (81.064 KB)

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Penerapan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 serta Implikasi Yuridis terhadap kepastian dan keadilan Hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan Pustaka dan peraturan-peraturan yang terkait dengan Penerapan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 serta Implikasi Yuridis SEMA Nomor 3 Tahun 2018 terhadap kepastian hukum dan keadilan. Pendekatan yang dilakukan adalah Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teori yang digunakan adalah teori Kepastian hukum, teori keadilan dan teori hierarki peraturan perundang-undangan Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Penerapan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 2 dan pasal 3 berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tidak digantungkan berdasarkan kualitas pribadi seseorang tetapi dilihat berdasarkan kerugian negara yang ditimbulkan apabila kerugian negara diatas Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) maka akan dikenakan Pasal 2 dan jika kerugian keuangan negara dibawah Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) akan dikenakan Pasal 3. Kemudian bagaimanakah Implikasi Yuridisi dari Sema Nomor 3 Tahun 2018 terhadap keadilan dan kepastian hukum.
DIVERSI DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI WILAYAH LOMBOK UTARA Rosadi Purwohadi; Rodliyah .; Lalu Parman
Jurnal Education and Development Vol 8 No 4 (2020): Vol.8.No.4.2020
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (93.774 KB)

Abstract

Banyaknya kasus kecelakaan lalulintas yang pelakunya adalah anak di Kabupaten Lombok Utara sehingga dalam penanganannya Polri selaku pihak yang bertanggung jawab secara profesional tentunya akan berupaya untuk menangani perkara tersebut dan mendamaikan para pihak yang mengalami kecelakaan. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur tentang sistem pemidanaan anak dalam pengenaan hukuman kepada anak melalui jalur Diversi. Penerapan diversi oleh Penyidik Laklantas di Polres Lombok Utara dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dengan menghadirkan anak dan orang tua/wali anak, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat/Tokoh Adat. Musyawarah Diversi dipimpin oleh Penyidik sebagai fasilitator. Penyidik memaparkan gambaran singkatkemudian Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan hasil Penelitian Kemasyarakatan baru mendengarkan keinginan dari orang tua pelaku dan orang tua/keluarga korban, kemudian kemudian menghasilkan kesepakatan. Hambatan pelaksanaan Diversi pada kasus Lakalantas di Polres Lombok Utara yaitu terletak pada masih kurangnya kurangnya tenaga Pembimbing Kemasyarakatan untuk melakukan penelitian kemasyarakat, masih kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Diversi, dan kesepakatan Diversi lebih berorientasi pada kepuasan keluarga korban mengenai ganti kerugian.
KEWENANGAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI NOMINAL KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PALING SEDIKIT SATU MILIAR RUPIAH PADA KEJAKSAAN Hasri Ratna Utari; Lalu Parman; Ufran .
Jurnal Education and Development Vol 8 No 4 (2020): Vol.8.No.4.2020
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (91.497 KB)

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum dan konsekuensi yuridis terhadap kewenangan Kejaksaan melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi nominal kerugian keuangan Negara paling sedikit satu miliar rupiah pada Kejaksaan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kewenangan penuntutan tindak pidana korupsi nominal kerugian keuangan Negara diatas satu miliar pada Kejaksaan. Pendekatan yang dilakukan adalan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum dan teori kewenangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara umum yang mempunyai kewenangan melakukan penuntutan adalah Kejaksaan, namun untuk penuntutan tindak pidana korupsi nominal kerugian keuangan Negara paling sedikit satu milyar rupiah kewenangannya dimiliki oleh KPK berdasarkan pasal 11 Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 berdasarkan asas “lex specialis derogate legi generalis”. Konsekuensi yuridis tindakan Kejaksaan terhadap kewenangannya melakukan penuntutan tindak pidana korupsi nominal kerugian keuangan Negara paling sedikit satu milyar rupiah sah menurut hukum, sebagai bentuk kerja sama antara KPK dengan Kejaksaan berdasarkan Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantsan Korupsi, Kejaksaan dan Kepolisian Nomor SPJ-97/01-55/03/2017, Nomor KEP-087/A/JA/03/2017 dan Nomor B/27/III/2017 tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemberlakuan Asas Paraduga Tidak Bersalah Dalam Penangkapan Terduga Terorisme Di Bima Abdul Hasan; Lalu Parman; Rina Khairani Pancaningrum
Unizar Law Review (ULR) Vol 4 No 2 (2021): Unizar Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini difokuskan pada pengungkapan secara deskriptif-analisis mengenai: 1) praktek penangkapan terduga terorisme di Bima. 2) penerapan asas praduga tidak bersalah dalam penangkapan terduga terorisme di Bima. Jenis penelitian adalah penelitian empiris. Sumber data adalah beberapa informan kunci yang terdiri dari 2 (Dua) orang penyidik kepolisian, 1 (satu) orang kepala Desa, 1 (satu) orang masyarakat, 1 (satu) orang keluarga Korban dan 2 (dua) orang mantan narapidana terorisme. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara, studi dokumentasi, serta penelusuran terhadap undang-undang dan peraturan lainnya, kemudian diuraikan dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama praktek penangkapan terduga terorisme di Bima masih banyak di temukan, aparat penegak hukum mengabaikan asas parduga tidak bersalah dan sering terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia pada saat melakukan penangkapan terduga terorisme di lapangan. kedua penerapan asas praduga tidak bersalah dalam penangkapan terduga terorisme di Bima, seringkali aparat penegak hukum mengabaikan asas praduga tidak bersalah tersebut. Seakan-akan seseorang yang telah diduga keras teroris adalah seseorang yang bersalah dengan kejahatan yang besar tanpa memperhatikan hak-hak seorang terduga teroris itu. Permasalahan yang timbul dari uraian di atas adalah ketidaksesuaiannya UU No. 5 Tahun 2018 dengan praktek di lapangan, masih banyak ketentuan-ketentuan mengenai penerapan asas praduga tidak bersalah yang tidak diterapkan oleh aparat penegak hukum dalam proses penegakkan hukum tindak pidana terorisme
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Viktimologi Kritis Ufran Ufran; Rodliyah Rodliyah; Lalu Parman
Jurnal Kompilasi Hukum Vol. 7 No. 2 (2022): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v7i2.115

Abstract

Artikel ini membahas kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif viktimolgoi kritis. Ia merupakan fenomena yang mempunyai konsekuensi fisik dan psikologis. Korban kekerasan dalam rumah tangga masih menghadapi berbagai stereotipe dan sikap menyalahkan korban ketika mengungkapkan pengalamannya. Persepsi publik tentang derajat kesalahan yang dilakukan korban cenderung masih sangat bervariasi. Banyak korban kemudian dianggap sebagai korban ideal karena posisi mereka yang rentan dan lemah. Sebaliknya, korban juga seringkali dianggap berkontribusi pada viktimisasi yang mereka alami karena berbagai persoalan kontruksi sosial tertentu. Kepelikan ini menyebabkan korban kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak menerima pengakuan sosial yang layak. Mereka menjadi korban sesungguhnya karena mereka berada pada posisi yang rentan dan tidak bersalah. Bias dalam menentukan derajat kesalahan korban ini menyebakan kekeliruan membebankan tanggung jawab untuk mengakhiri viktimisasi kekerasan lebih sering kepada korban daripada pada pelakunya.