Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search
Journal : JURNAL BIOMEDIK

SUBCORNEAL PUSTULAR DERMATOSIS IN A 47-YEAR-OLD WOMAN Ernaningtyas, Niken; Jayadi, Nana N.; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.7.3.2015.10442

Abstract

Abstrak: Subcorneal pustular dermatosis (SPD) adalah penyakit inflamasi kulit yang jarang dan kronik-rekuren. Penyakit ini umumnya didapatkan pada wanita usia diatas 40 tahun dengan etiologi belum diketahui. Gambaran klinis yang khas berupa pustul atau vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul di atas dasar kulit eritematosa, menyebar periferal, central healing, dan menyembuh meninggalkan area eritematosa berbentuk polisiklik disertai munculnya lesi baru. Lesi mengenai area intertriginosa, batang tubuh, dan daerah fleksural ekstremitas. Kami melaporkan kasus seorang perempuan usia 47 tahun dengan keluhan lepuh di hampir seluruh tubuh sejak setahun lalu. Lepuh mudah pecah dan meninggalkan erosi. Status dermatologis menunjukkan generalisata makula eritematosa et hiperpigmentasi, multipel, diskret, ukuran lentikular-plakat; vesikel multipel dan pustul di atasnya; dan pustul yang pecah dengan erosi dan krusta. Pada pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan laboratorium, serta biopsi kulit. Pemeriksaan Gram lepuh menunjukkan hanya terdapat leukosit PMN. Laboratorium darah lengkap normal, hitung eosinofil 1,9%, hitung limfosit 24,3%, LED 70 mm/jam, dan IgE total 831.000 IU/mL. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan spongiosis, lepuh subkorneal berisi fibrin, neutrofil, sedikit eosinofil di epidermis. Pada dermis tampak superficial perivascular inflammatory infiltration (neutrofil, limfosit, sedikit eosinofil). Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan histopatologik yang khas untuk SPD.Kata kunci: subcorneal pustular dermatosis, pemeriksaan histopatologikAbstract: Subcorneal pustular dermatosis (SPD) is a pustular eruption which is rare, chronic, and recurrent. This condition is commonly found in women over the age of 40 years with unknown etiology. It is characterized with symmetrical pustules/vesicles that quickly develop to pustules on erythematous skin with peripherally spreading. The pustules undergo central healing leaving polycyclic erythematous areas in which new pustules arise. The lesions typically involve the intertriginous areas, trunks, and flexor of limbs. We reported a case of a 47-year-old woman with blisters and pustules all of the body surface since a year ago. The blisters ruptured easily and became erosions. The dermatological status indicated generalized erythematous hyperpigmented macules which were multiple, discrete, lenticular-plaques in size, multiple vesicles with pustules on them, and ruptured pustules leaving erosions as well as crusted areas. Anamnesis, physical examination, laboratory examinations, and a skin biopsy were performed. The Gram staining of the blister showed only PMN leukocytes. There were a normal complete blood count, eosinophil count 1.9%, lymphocyte count 24.3%, elevated ESR 70 mm/hour, and the total IgE 831.000 IU/mL. The histopathological examination indicated spongiosis, subcorneal blister consisting of fibrin, neutrophils, and few eosinophils in the epidermis. The dermis revealed superficial perivascular inflammatory infiltration (neutrophils, lymphocytes, some eosinophils). These findings were typical for SPD. Conclusion: This case was diagnosed as subcorneal pustular dermatosis based on anamnesis, physical examination, and a histopathological examination.Keywords: subcorneal pustular dermatosis, histopathological examination
VAGINITIS GONORE PADA ANAK Kapari, Judith; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5554

Abstract

Abstract: Gonorrhoeae is a common human sexually transmitted infection caused by Neisseria gonorrhoeae. Vaginitis gonorrhoeae is a gonorrhoeae infection which commonly occurs in children after the neonatal period. Its manifestation in girls can be asymptomatic as well as some urethral or vaginal discharge. A Gram staining, culture and a serologic test should be performed for confirming the diagnosis. A gonorrhoeae suspected case in prepubertal girls may lead to a sexual abuse. We reported a 9-year-old girl complaining yellowish and large amount leukorrhea since 3 weeks ago. The Gram stain showed intracellular and extracellular negative Gram diplococcus with abundance of polymorphonuclear leucocytes >30/high magnification. Treatment with a single dose of cefixime 200 mg orally showed significant improvement aftter 3 days. Conclusion: A case of vaginitis gonorrhoeae was established based on the anamnesis, physical examination, and laboratory test. Treatment with a single dose of cefixime gave a satisfactory result. Keywords: vaginitis gonorrhoeae, Neisseria gonorrhoeae, cefixime   Abstrak: Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae. Vaginitis gonore merupakan bentuk gonore pada anak yang paling sering terjadi setelah masa neonatus. Manifestasi klinis infeksi gonore pada anak perempuan dapat asimtomatik maupun simtomatik berupa adanya duh tubuh dari uretra dan vagina, yang meninggalkan bekas di celana dalam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pewarnaan Gram, kultur, dan tes serologik. Bila dicurigai adanya infeksi gonore pada anak perempuan prapubertas maka kekerasan atau pelecehan seksual harus dipikirkan. Kami melaporkan satu kasus vaginitis gonore pada seorang anak perempuan berusia 9 tahun dengan keluhan keputihan berwarna kuning kental dalam jumlah cukup banyak sejak 3 minggu lalu. Pada pewarnaan Gram didapatkan kuman diplokokus intrasel dan ekstrasel serta leukosit PMN >30/LPB. Perbaikan signifikan terlihat dalam 3 hari setelah pemberian terapi sefiksim 200 mg dosis tunggal. Simpulan: Telah dilaporkan kasus vaginitis gonore dengan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi sefiksim dosis tunggal memberikan hasil yang memuaskan. Kata kunci: vaginitis gonore, Neisseria gonorrhoeae, sefiksim
Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut Pandaleke, Thigita A.; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.3.2017.17334

Abstract

Abstract: Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) is a rare skin disorder commonly caused by drugs. Skin lesions can occur within 1-2 days after drug consumption in the form of sterile pustules on erythematous skin base and accompanied by fever. Mortality rate reaches 5%, especially in elderly patients who have significant comorbid factors. Etiopathogenesis is still unclear, presumed to be drugs (beta-lactam and macrolide antibiotics), although it can also be caused by infection and hypersensitivity to mercury. Incidence of AGEP approximately 1-5 million cases per year. It can occur at all ages, and more common in females than in males. The typical clinical features are non-follicular pustules erupting on erythematous skin and fever. In most cases, the skin lesions begin from the face or intertriginous areas and then within a few hours the pustules will spread to the lower trunk and limbs, accompanied by mild burning and minimal itching complaints. Histopathology provides an overview of sub-corneal spongiform and or intraepidermal pustules which are often accompanied by edema of the dermal papilla and perivascular neutrophil infiltration along with exocytosis of eosinophils. The management of AGEP is to stop the suspected drugs, continued with symptomatic therapy. Prognosis PEGA is generally good, unless secondary infection is present.Keywords: AGEP, sterile pustulesAbstrak: Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan kelainan kulit langka yang umumnya disebabkan oleh obat. Lesi kulit dapat timbul dalam 1-2 hari setelah mengonsumsi obat berupa pustul steril di atas dasar kulit yang eritematosa dan disertai dengan keluhan sistemik berupa demam. Angka kematian akibat PEGA mencapai 5% terutama pada pasien usia lanjut dengan faktor komorbid yang jelas. Etiopatogenesis PEGA belum jelas, diduga obat (antibiotik golongan beta laktam dan makrolid), meskipun juga dapat diakibatkan oleh infeksi dan hipersensitivitas terhadap merkuri. Insiden terjadinya PEGA kurang lebih 1-5 juta kasus pertahun, dapat terjadi pada semua usia, dan lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Gambaran klinis khas PEGA ialah pustul-pustul non-folikular yang timbul diatas kulit yang eritematosa dan disertai demam. Pada kebanyakan kasus keluhan kulit diawali dari area wajah atau lipatan kemudian dalam beberapa jam pustul akan menyebar ke trunkus dan ekstremitas bagian bawah, kadang disertai rasa terbakar ringan dan gatal minimal. Gambaran histopatologik menunjukkan pustul spongiformis subkorneal dan atau pustul intraepidermal disertai dengan edema pada papila dermis dan infiltrasi neutrofil perivaskular bersamaan dengan eksositosis eosinofil. Penatalaksanaan PEGA ialah menghentikan obat yang dicurigai, dilanjutkan dengan terapi simptomatik. Prognosis umumnya baik dan dapat sembuh sendiri, kecuali bila terdapat infeksi sekunder.Kata kunci: PEGA, pustul steril
Psoriasis Gutata - Laporan Kasus Dotulong, Julieta D. P.; Korompis, Charly M. M.; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 2 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.2.2018.20093

Abstract

Abstract: Guttate psoriasis (GP) is a variant of psoriasis with typical drop-shaped lesions sized 0.5-1 cm in diameter, localized especially in the upper part of the body and proximal extremities. It usually occurs in young adult. We reported a female,11 years old, with red, itchy, and scaly patches distributed nearly all over the body. There was a history of sore throat. Dermatologic status showed multiple erythematous plaques which were miliar to numular, discrete, and were covered with layered silvery white scales. The Auspitz sign, wax spot phenomenon, and ASTO were positive. The histopathologic examination showed para-keratosis and Munro microabcesses. The patient treated with topical steroid for 4 weeks made improvement. Conclusion: In this case, diagnosis of guttate psoriasis was based on anamnesis, examination, and supporting examinations. Streptococcal infection was suspected as the trigger factor due to the positive ASTO examination. Topical steroid as the first line therapy for mild to moderate psoriasis made great improvement.Keywords: guttate psoriasis, streptococcal infectionAbstrak: Psoriasis gutata (PG) merupakan varian dari psoriasis. Gambaran khasnya seperti tetesan air dengan diameter 0,5-1 cm, di badan bagian atas dan ekstremitas proksimal. Sering terjadi pada dewasa muda. Kami melaporkan kasus seorang perempuan berusia 11 tahun dengan bercak merah meninggi, bersisik, disertai gatal pada hampir seluruh tubuh. Riwayat nyeri menelan positif. Riwayat pengobatan sebelumnya disangkal. Status dermatologis ditemukan plak eritem, multipel, miliar-numular, diskret, ditutupi skuama berlapis warna putih keperakan. Pemeriksaan tanda Auspitz, fenomena bercak lilin, dan ASTO positif. Pada pemeriksaan histopatologik didapatkan adanya parakeratosis dan mikroabses Munro. Terapi steroid topikal potensi tinggi selama 4 minggu menunjukkan perbaikan. Simpulan: Pada kasus ini diagnosis psoriasis gutata ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang khas. Infeksi streptokokus diduga sebagai faktor pencetus berdasarkan hasil pemeriksaan ASTO. Terapi steroid topikal merupakan lini pertama untuk psoriasis ringan sampai sedang memperlihatkan perbaikan yang nyata.Kata kunci: psoriasis gutata, infeksi streptokokus
FASIITIS NEKROTIKAN TIPE II Sondakh, Oktavia R. L.; Tangkidi, Damayanti; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.7.3.2015.10443

Abstract

Abstract: Necrotizing fasciitis, often called flesh eating bacteria, is a progressive necrosis in subcutaneous fat and fascia. Type II necrotizing fasciitis caused by Acinetobacter baumannii is rarely found. Predisposing factors of necrotizing fasciitis include elderly, immunocompromised condition, chronic diseases, alcoholism, and trauma. We reported a case of a 68-year-old male complained of dark red swelling accompanied by pain in the left thigh. On examination of the left femoral region, there was a diffuse macula, plaque sized, erythematous to black colored, with erosion, excoriation, and necrotic tissue. Hematological examination showed the LRINEC score of 6. The pus culture result was Acinetobacter baumannii. The patient was given systemic antibiotics and debriedement was performed. The lesion did not extend anymore and the patient's general condition became better. Post debridement, the ulcer was treated with hydrogel wound dressings containing honey. After 60 days, the ulcer healed with a hypertrophic scar. Conclusion: This case was diagnosed as type II necrotizing fasciitis caused by Acinetobacter baumannii based on anamnesis, physical examination, hematological examination, and pus culture which were typical for this diagnosis.Keywords: type II necrotizing fasciitis, LRINEC scoreAbstrak: Fasiitis nekrotikan (FN) atau sering disebut “flesh eating bacteria” adalah nekrosis progresif di lemak sub kutan dan fasia. Fasiitis nekrotikan tipe II yang disebabkan oleh Acinetobacter baumanii jarang ditemukan. Faktor predisposisi FN antara lain usia lanjut, imunokompromais, penyakit kronik, alkoholisme, dan trauma. Kami melaporkan seorang laki-laki berusia 68 tahun dengan bengkak merah kehitaman yang disertai nyeri di paha kiri. Pada pemeriksaan regio femoralis sinistra terdapat makula difus, ukuran plakat, eritem sampai kehitaman, disertai erosi, eskoriasi, dan jaringan nekrotik. Pemeriksaan hematologik menunjukkan skor LRINEC 6. Hasil kultur pus ialah Acinetobacter baumanii. Pasien mendapatkan antibiotik sistemik dan dilakukan debrideman. Lesi tidak meluas dan keadaan umum pasien baik setelah penanganan dengan antibiotik dan debrideman. Ulkus paska debrideman dirawat dengan balutan luka hidrogel mengandung madu. Ulkus sembuh dengan meninggalkan skar hipertrofik setelah 60 hari. Simpulan: Pada kasus ini, diagnosis fasiitis nekrotikan tipe II yang disebabkan oleh Acinetobacter baumanii ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hematologik, dan kultur pus yang khas.Kata kunci: fasiitis nekrotikan tipe II, skor LRINEC
PSORIASIS VULGARIS PADA BAYI Gaspersz, Shienty; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4166

Abstract

Abstract: Psoriasis may begin at any age but most often after puberty and only about 2% occurs in less than 2 years of age. The age of onset plays an important role because early onset psoriasis accompanied by a psoriasis family history is more severe and has a tendency to relapse. The treatment for mild psoriasis is topical and phototherapy. The first-line treatment is topical emollient, glucocorticoids, and vitamin D3 analog. We reported a case of a 3-month-old female infant presenting erythematous plaques with scales on scalp, face, neck, chest, tummy, armpit, back, buttock, and groin accompanied with irritability that had occured for a week. The Psoriasis Area Severity Index score (PASI) was 7% and laboratory examinations were within normal limits. Treatment with topical desonide 0.05% for 1 week did not result in any improvement. The treatment was changed to topical mometason furoat 0.1%. After 7 weeks of therapy, the plaques became flattened and less pigmented, and the PASI score decreased to 0.9%.Keywords: psoriasis vulgaris, infant  Abstrak: Usia awitan psoriasis bervariasi dari bayi hingga usia lanjut, namun sebagian besar timbul setelah pubertas dan hanya sekitar 2% terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Usia awitan perlu diketahui karena semakin dini usia awitan disertai adanya riwayat keluarga dengan psoriasis, perjalanan penyakit akan makin berat dan makin sering kambuh. Pilihan pengobatan pada psoriasis ringan (< 10%) ialah pengobatan topikal dan fototerapi. Pengobatan topikal lini pertama ialah emolien, glukokortikoid, dan analog vitamin D3. Kami melaporkan seorang bayi perempuan berusia 3 bulan yang datang dengan plak eritematosa, berbatas tegas, ukuran bervariasi, dengan skuama pada kepala, wajah, leher, dada, perut, ketiak, punggung, bokong, dan selangkangan, disertai rewel sejak 1 minggu lalu. Perhitungan Psoriasis Area Severity Index (PASI) 7%. Pemeriksan laboratorium masih dalam batas normal. Pasien diterapi dengan krim desonide 0,05%, namun setelah 1 minggu tidak terdapat perbaikan yang memuaskan, sehingga diganti dengan krim mometason furoat 0,1%. Setelah 7 minggu menggunakan mometason furoat, bercak merah yang awalnya meninggi menjadi hipopigmentasi dan mendatar serta perhitungan PASI menjadi 0,9%.Kata kunci: psoriasis vulgaris, bayi
Profil penyakit infeksi kulit karena virus pada anak di Divisi Dermatologi Anak Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode tahun 2013 - 2015 Wibawa, Anthony S.; Gunawan, Ellen; Pandaleke, Herry E. J.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.1.2017.15319

Abstract

Abstract: Viral skin infection can occur in all ages, especially in children. These viruses can cause skin lesions due to the viral replication in the epidermis or as a secondary effect of viral replication in other part of the body. This study was aimed to obtain the profile of viral skin infections in Pediatric Dermatology Division of Dermatovenereology Clinic, Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from 2013 to 2015. This was a retrospective study using medical records of new pediatric patients with viral skin diseases, aged 0-14 years from 2013 to 2015. The results showed that there were 113 pediatric patients (12.71%) with viral skin infections. The majority of cases were 5-14 years old (73.45%), followed by 1-4 years old (25.66%) and 0-1 years old (0.88%); females (52,21%) were more commonly found. The viral skin diseases in this study were moluscum kontagiosum (47.79%), verucca vulgaris (29.20%), varicella (8.85%), herpes zoster (7.97%), and hand foot mouth disease (6.19%). Conclusion: Skin viral diseases in children were found in 12.71% of new patients, most common in females and aged 5-14 years. Moluscum contagiosum was the most common skin viral disease in all ages.Kata kunci: penyakit kulit, infeksi virus, anakAbstrak: Penyakit infeksi kulit karena virus dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih banyak pada anak-anak. Virus dapat menyebabkan timbulnya lesi kulit sebagai hasil dari replikasi virus di epidermis atau sebagai efek sekunder replikasi virus di tempat lain pada tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penyakit infeksi kulit karena virus pada anak di Divisi Dermatologi Anak Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selama periode tahun 2013-2015. Jenis penelitian ialah retrospektif menggunakan rekam medik pasien anak baru dengan infeksi kulit karena virus, berusia 0-14 tahun periode tahun 2013-2015. Hasil penelitian mendapatkan 113 pasien anak (12,71%) dengan penyakit infeksi kulit karena virus, paling sering pada kelompok usia 5-14 tahun (73,45%), diikuti dengan usia 1-4 tahun (25,66%) dan usia 0-1 tahun (0,88%); lebih banyak pada anak perempuan (52,21%). Penyakit infeksi kulit karena virus terdiri dari moluskum kontagiosum (47,79%), veruka vulgaris (29,20%), varisela (8,85%), herpes zoster (7,97%), dan hand foot mouth disease (6,19%). Simpulan: Penyakit infeksi kulit karena virus pada anak didapatkan sebanyak 12,71% dari pasien baru, terbanyak pada kelompok usia 5-14 tahun dan jenis kelamin perempuan. Moluskum kontagiosum ditemukan terbanyak pada semua kelompok usia.Kata kunci: penyakit kulit, infeksi virus, anak
SELULITIS DENGAN ULKUS VARIKOSUM Mitaart, Andravita F.; Pandaleke, Herry E. J.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4165

Abstract

Abstract: Cellulitis is an acute bacterial infection of dermis and subcutaneous tissue which manifests as an erythematous lesion with an undefined border accompanied with inflammatory signs. It is mainly found in the elderly; more frequently in females than males; with a history of malaise, fever, and pain as the prodromal signs, and enlargement of local lymph nodes. Cellulitis can occur in any body region, most commonly on the lower limbs, followed by the arms, head, and, neck. It tends to occur in sites with prior lesions such as dermatitis, static ulcers (including varicose ulcers), animal bites, or trauma. A varicose ulcer is an ulcer located on the lower limb caused by a disturbance in the venous blood flow. We reported an 80-year-old woman, presented with cellulitis and varicose ulcers. The diagnosis was based on history, clinical signs, and laboratory findings. The therapy consisted of limb elevation; oral antibiotic clindamycin (300 mg), mefenamic acid (500 mg), and mebhydroline napadisilate (50 mg), each three times daily; and a topical therapy that was comprised of a wound dressing using NaCl 0.9% for 30 minutes three times daily and an application of sodium fusidate cream twice daily. After ten days of therapy, there were clinical improvements with wound healing without any sign of cellulitis.Keywords: cellulitis, varicose ulcer  Abstrak: Selulitis merupakan infeksi bakteri akut pada dermis dan jaringan subkutan yang ditandai lesi kemerahan berbatas tidak jelas dan disertai tanda-tanda radang. Umumnya selulitis ditemukan pada usia lanjut, perempuan lebih sering daripada laki-laki, dengan riwayat lesu, demam, dan rasa nyeri sebagai gejala prodromal, disertai pembesaran kelenjar getah bening setempat. Selulitis dapat terjadi pada bagian tubuh manapun dengan predileksi pada tungkai bawah diikuti lengan, kepala, dan leher. Selain itu, selulitis biasanya timbul pada lokasi dengan lesi yang telah ada sebelummya, yaitu dermatitis, ulkus stasis (termasuk ulkus varikosum), luka tusuk, gigitan binatang, atau trauma. Ulkus varikosum ialah ulkus pada tungkai bawah yang disebabkan gangguan aliran darah venosa. Kami melaporkan kasus seorang perempuan berusia 80 tahun dengan selulitis dan ulkus varikosum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaannya ialah elevasi tungkai; antibiotik oral klindamisin 300 mg, asam mefenamat 500 mg, dan mebhidrolin napadisilat 50 mg, masing-masing 3 kali sehari; kompres solusio NaCl 0,9% selama 30 menit 3 kali sehari, dan natrium fusidat krim dioleskan 2 kali sehari. Setelah 10 hari paska terapi, terdapat perbaikan klinis berupa luka yang mulai mengering tanpa disertai tanda-tanda selulitis.Kata kunci: selulitis, ulkus varikosum
POLA DAN INSIDENS PENYAKIT INFEKSI KULIT KARENA VIRUS DI DIVISI DERMATOLOGI ANAK POLIKLINIK KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO TAHUN 2008 – 2012 Tanamal, Rita S.; Lasut, Mariani V.; Pandaleke, Herry E. J.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 1 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.7.1.2015.7293

Abstract

Abstract: Viral skin infections are commonly found among people of all ages, however, they are more often in infants and children. Viral diseases may manifest in mucocutaneus areas either as the result of viral replication in the epidermis or as a secondary effect of viral replication elsewhere in the body. This study aimed to describe the pattern and incidences of viral skin infections. This was a retrospectives study using medical records of new patients with viral skin infection between the age of 0-14 years in Pediatric Dermatology Division at Dermatoveneneorology Clinic of Prof. Dr. R. D. Kandou General Hospital Manado from 2008 to 2012, based on the incidence, age group, gender, and type of viral skin infections. The results showed that the viral skin infection was the third highest rank of skin diseases in children with the incidence of 14.88%. Males (61.03 %) were more frequently affected than females (38.97%), with a ratio of 1.56 : 1. The most affected age group was 5-14 years old (77.33%). The most frequent found was moluscum contagiosum (52.59%) followed by verucca vulgaris (24.21%),  varicela (17.83%), herpes zoster (3.28%), and hand foot mouth disease (1.89%). Conclusion: In this study,  viral skin infections in males and in the age group of 5-14 years. Moluscum contagiosum was the most frequent found among all age groups, followed by verucca vulgaris, varicela, herpes zoster, and hand foot mouth disease. Keywords: infection, viral, children     Abstrak: Penyakit infeksi kulit karena virus dapat terjadi pada segala usia, tetapi lebih banyak pada anak-anak. Virus dapat menyebabkan timbulnya lesi kulit sebagai hasil dari replikasi virus di epidermis ataupun sebagai efek sekunder replikasi virus di tempat lain pada tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan insidens penyakit  infeksi kulit karena virus. Penelitian  dilakukan secara  retrospektif dengan mengumpulkan catatan medis  pasien  baru  infeksi kulit karena virus  yang berusia 0-14 tahun di Poliklinik Kesehatan  Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode tahun 2008-2012, yang meliputi jumlah kasus baru, usia, jenis kelamin, dan jenis penyakit  infeksi kulit karena virus. Hasil penelitian memperlihatkan penyakit infeksi kulit karena virus menempati urutan ke-3 penyakit kulit terbanyak pada anak dengan insidens 14,88%, laki-laki (61,03%) dan perempuan (38,97%), dengan rasio 1,56:1. Kelompok usia terbanyak 5-14 tahun (77,33%). Jenis penyakit infeksi kulit karena virus ialah: moluskum kontagiosum (52,59%), veruka vulgaris (24,21%),  varisela (17,83%), herpes zoster (3,28%), dan hand foot mouth disease (1,89%). Simpulan: Dalam penelitian ini, pasien anak dengan penyakit infeksi kulit akibat virus lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan kelompok usia 5-14 tahun. Moluskum kontagiosum merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan dan juga terbanyak pada semua kelompok usia, diikuti oleh veruka vulgaris, varisela, herpes zoster, dan hand foot mouth disease. Kata kunci: infeksi, virus, anak
Herpes Zoster pada Anak – Laporan Kasus Pandaleke, Thigita A.; Pandaleke, Herry E. J.; Susanti, Ratna I.; Dotulong, Julieta D. P.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.1.2018.19005

Abstract

Abstract: Herpes zoster (HZ) is an acute vesicular eruption caused by latent varicella zoster virus (VVZ) reactivation in sensory ganglia after primary infection. Its incidence increases with age and it is rarely found in children. We reported a case of 10-year-old male with blisters on the right side of his stomach and back 3 days ago. The patient was suffered from fever, common cold, and cough a week before, and had a history of varicella at 5 years old. Dermatologic status showed multiple vesicles on erythematous base at the anterior dan posterior sides of his right lumbar region. The Tzank test showed multinucletaed giant cells. Acyclovir resulted in significant improvement after 7- day therapy. Conclusion: Diagnosis of herpes zoster was based on anamnesis, physical examination, and laboratory findings. Antiviral drugs was aimed to reduce complications and viral shedding.Keywords: Herpes zoster, childAbstrak: Herpes zoster (HZ) merupakan erupsi vesikuler akut yang disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisela zoster (VVZ) laten pada ganglia sensoris yang sebelumnya terpajan dengan infeksi primer varisela. Insiden HZ meningkat seiring pertambahan usia dan jarang ditemukan pada anak-anak. Kami melaporkan kasus seorang anak laki-laki, 10 tahun, dengan bintil-bintil berair di perut dan punggung sebelah kanan sejak 3 hari lalu. Riwayat demam, batuk dan pilek 1 minggu sebelum timbul lesi. Riwayat varisela pada usia 5 tahun. Status dermatologis ditemukan vesikel multipel berisi cairan jernih yang tersusun bergerombol di atas kulit yang eritema di regio lumbar dekstra anterior dan posterior. Tes Tzank memperlihatkan sel raksasa berinti banyak. Pasien diterapi dengan asiklovir oral selama 7 hari dan menunjukkan perbaikan yang bermakna. Simpulan: Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kasus ini khas untuk herpes zoster. Pemberian obat antiviral bertujuan untuk mengurangi komplikasi dan menurunkan viral shedding.Kata kunci: herpes zoster, anak