Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Legalitas Hukum Pihak Penggugat Dalam Mengajukan Gugatan Di Pengadilan Dengan Akta Pengikatan Jual Beli Ahmad Mubarak; Mulyani Zulaeha; Anang Shophan Tornado
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.32

Abstract

Penelitian ini menjelaskan adanya perbedaan aturan yang saling bertentangan mengenai peralihan hak atas tanah antara ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 sehingga menimbulkan konflik hukum yang menjadi adanya ketidakpastian terhadap status hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli berdasarkan akta perjanjian pengikatan jual beli. Sehingga ketika timbulnya sengketa tanah pihaknya merasa haknya dirugikan oleh orang lain yang telah menguasai tanah sebagai objek sengketa tersebut tanpa adanya persetujuan dari orang yang mempunyai hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Jadi penelitian bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai peralihan terhadap pihak pembeli selama masih dalam perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual sebelum membuat akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan juga menganalisis legal standing yang dimiliki penggugat/pihak pembeli dalam mengajukan gugatan di pengadilan berdasarkan jual beli dan kuasa menjual. Hasil Penelitian ini menjelaskan pada dasarnya tunduk pada ketentuan peraturan mengenai pendaftaran tanah yang mengatur bahwa peralihan hak atas tanah kecuali lelang hanya dapat dibuktikan dengan Akta dari IPPAT dan didaftrkan ke Kantor Pertanahan. Dalam melakukan dan apabila dalam penyelesaian sengketa ketika mengajukan gugatan seorang penggugat harus memiliki syarat formil dan syarat materil. Jadi langkah hukum yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan dengan non-litigasi. Jika tidak tercapai juga dalam penyelesaian sengketa nya maka langkah terahkir yang dilakukan menggunakan jalur litigasi
PENYADAPAN (WIRETAPPING) OLEH PENYIDIK DALAM RANGKA MENGUMPUL BUKTI MENURUT PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM DETO ADITYAN SUBAGJA; ANANG SHOPHAN TORNADO; IFRANI; MUHAMMAD RIZKI ANUGERAH
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 16 No 2 (2021): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/jhsk.v16i2.3426

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis batasan penyidik melakukan penyadapan dalam tahap penyidikan dan Pengujian terhadap keabsahan tindakan penyidik dalam melakukan penyadapan. Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Pertama Batasan penyidik melakukan penyadapan dalam tahap penyidikan adalah mengacu kepada Standar Operasional Prosedur yang telah diatur dalam undang-undang khususnya masing-masing. Pada pokoknya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 menyatakan pada pokoknya penyadapan (interception) adalah sebuah perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia. Sehingga batasan penyidik dalam melakukan penyadapan harus diawasi dengan ketat dalam aturan yang berlevel undang-undang. Dan Kedua, Penyadapan atau intersepsi merupakan salah satu upaya penegak hukum yang istimewa dalam usaha menemukan bukti-bukti yang cukup guna proses penyidikan. Pengujian terhadap keabsahan tindakan penyidik dalam melakukan penyadapan masih belum jelas diatur. Terhadap penyadapan yang dilakukan penyidik diluar prosedur yang ditentukan masih memungkin terjadi, hal ini disebabkan tidak adanya mekanisme yang dapat menguji keabsahan penyidik dalam melakukan penyadapan.
IMPLEMENTASI HUKUM DAMPAK LINGKUNGAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI DESA TATAH BELAYUNG BARU KABUPATEN BANJAR Muhammad Erham Amin; Anang Shophan Tornado
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.031 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v6i1.14039

Abstract

 Penelitian ini dilakukan mengenai implementasi AMDAL di daerah perumahan di Tatah Belayung Baru. Lokasi yang dipilih sebagai penelitian merupakan lokasi yang terdampak perubahan lahan pertanian yang berubah menjadi lahan perumahan. Target dari kegiatan ini dilakukan untuk Pemerintah Daerah, Developer dan Masyarakat yang berada di lingkungan tersebut. Implementasi AMDAL ini berpengaruh untuk kebijakan mengenai perizinan yang ada di Tatah Belayung Baru disebabkan daerah tersebut dibuat perumahan. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah adalah izin yang wajib dimiliki oleh setiap warga masyarakat yang akan mengubah tanah pertanian menjadi non pertanian. Fungsi dari izin peruntukan penggunaan tanah adalah untuk menekan serta pengendalian alih fungsi lahan yang terjadi. Tanah sawah (tanah pertanian) yang akan diubah ke non-pertaniantentunya haruslah sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah di Tatah Belayung Baru agar terjadi kesimbangan dimasa mendatang. Adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan penyusutan jumlah lahan pertanian terus berkurang, hal ini menjadi masalah bagi pemerintah sendiri untuk menyediakan pasokan pangan. Berkurangnya lahan pertanian dalam arti untuk penyediaan bahan-bahan pangan, juga berakibat rusaknya ekosistem alam sebagai tempat penyerapan air hujan sebagai pencegah banjir.Kata-Kunci: Implementasi AMDAL, Lahan Pertanian, PerizinanThis research was conducted on the implementation of AMDAL in a residential area in Tatah Belayung Baru. The location chosen as the research is a location that is affected by changes in agricultural land that are turned into residential land. The target of this activity is for the Regional Government, Developers and Communities in the environment. The implementation of this AMDAL has an effect on policies regarding existing permits in Tatah Belayung Baru because the area is made into housing. Land Use Permit is a permit that must be owned by every citizen who will convert agricultural land into non-agricultural land. The function of the land use permit is to suppress and control the land conversion that occurs. Paddy land (agricultural land) which will be converted to non-agricultural land must of course be in accordance with the spatial and regional planning in Tatah Belayung Baru so that there is a balance in the future. The conversion of agricultural land into housing causes the shrinkage of the amount of agricultural land to continue to decrease, this is a problem for the government itself to provide food supplies. The reduction of agricultural land in the sense of providing food, also results in the destruction of natural ecosystems as a place to absorb rainwater as a flood prevention.Keywords: AMDAL Implementation, Agricultural Land, Licensing
PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN PRINSIP KEADILAN Anang Sophan Tornado
Al-Adl : Jurnal Hukum Vol 10, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (27.812 KB) | DOI: 10.31602/al-adl.v10i2.1366

Abstract

Dalam upaya memperoleh kebenaran pihak aparat penegak hukum tidak akan ragu-ragu untuk melakukan tindakan yang akan melanggar hak-hak tersangka bahwa perbuatan yang sedemikian rupa akan berakibat suatu kondisi yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan tersangka. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan yang dianut dalam KUHAP dimana dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Indonesia sebagai penganut model due process model seharusnya mengutamakan hak-hak tersangka di dalam proses beracaranya demi pembuktian ketidakbersalahan mereka. Akan tetapi dengan sistem yang dianut dalam lembaga praperadilan saat ini belum dirasa masih mendukung terpenuhinya hak-hak tersangka. Sebab untuk mengajukan permohonan praperadilan seseorang harus tahu betul mengenai cara berproses di dalah dunia hukum, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki seorang penasehat hukum. Kebijakan Hukum Pidana yang terdapat dalam Lembaga Praperadilan di Indonesia sebenarnya ditujukan sebagai suatu Kontrol terhadap aparat penegak hukum khususnya dalam tahap penyidikan. Akan tetapi lembaga praperadilan saat ini masih belum mencerminkan adanya suatu keadilan khususnya bagi tiap tersangka sebaba hanya masyarakat yang benar-benar mengerti hukum yang dapat mengajukan praperadilan.
KEDUDUKAN KOMISI KODE ETIK POLRI DALAM PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI POLRI PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM Saparyanto Saparyanto; Mulyani Zulaeha; Anang Sophan Tornado; Ifrani Ifrani; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v7i1.14074

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui dan menganalisis kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki Komisi Kode Etik Polri dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri dan (2) untuk mengetahui dan menganalisis putusan Komisi Kode Etik Polri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian preskriftif, Kemudian dengan menggunakan beberapa pendekatan, berupa: (1) Peraturan Perundang-undangan (statute approach), (2) Pendekatan sejarah (historis approach), (3) Pendekatan kasus (case approach), dan (4) Pendekatan konseptual (conceptual approach). Pembentukan Komisi Kode Etik Polri hanya berdasarkan pada jabatan dan kepangkatan semata tanpa adanya syarat formil gelar kesarjanaan dalam hal ini Sarjana Hukum (S.H.), serta tidak mensyaratkan adanya batas usia, memiliki pelatihan atau pendidikan hakim dan lulus ujian hakim, sebagaimana syarat menjadi hakim pada Peradilan Negeri maupun Peradilan Militer. Mengingat Komisi Kode Etik Polri juga bertindak dan mempunyai kewenangan seperti hakim yaitu memeriksa dan memutus perkara pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota Polri. Sehingga jika disandingkan dengan hakim pada Peradilan Umum atau Peradilan Militer. Putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri tidak memenuhi rasa keadilan, bukan dikarenakan Komisi Kode Etik Polri yang tidak bisa berlaku adil atau karena memihak/berat sebelah kepada salah satu pihak, akan tetapi karena jenis sanksi yang sudah ditentukan oleh Perkap. Sedangkan putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri berupa penjatuhan hukuman jika bersalah dan direhabilitasi serta dikembalikan hak-haknya jika tidak bersalah setelah dibuktikan melalui mekanisme Sidang Komisi Kode Etik Polri, mencerminkan adanya Kepastian Hukum. Kata Kunci: Komisi Kode Etk Polri, Keadilan, Kepastian Hukum
EKSISTENSI LELANG TERHADAP BARANG BUKTI TINDAK PIDANA PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN YANG HASILNYA DIMANFAATKAN UNTUK KEPENTINGAN SOSIAL Indra Agung Perdana Putra; Anang Shophan Tornado
Badamai Law Journal Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v5i1.9973

Abstract

hasil penelitian ini adalah bahwa pada dasar prosedur pemanfaatan barang bukti tindak pidana penggunaan kawasan hutan dapat dimanfaat selain untuk dimusnahkan akan tetapi dengan lelang. Untuk pemanfaatan kepentingan sosial dapat tanpa lelang namun dengan syarat harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Barang bukti tindak pidana penggunaan kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial yaitu berupa barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial pada tiga kegiatan yaitu berupa, a. bantuan penanggulangan bencana alam; b. Infrastruktur umum bagi masyarakat; atau c. Infrastruktur rumah dan sarana prasarana bagi warga miskin.
PROBLEMATIKA PENGAWASAN TERHADAP ORGANISASI ADVOKAT DI LUAR PERADI Maya Sari; Anang Shophan Tornado
Badamai Law Journal Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dikatakan bahwa Organisasi Advokat selain PERADI tetap diakui keberadaannya, maka hal ini menunjukkan bahwa terdapat begitu banyak Organisasi Advokat di Indonesia yang tetap bisa eksis termasuk 8 (delapan) Organisasi Advokat pendiri PERADI tersebut. dengan banyaknya Organisasi Advokat di luar PERADI, secara eksplisit tidak ada yang mengatur mengenai pengawasan terhadap Organisasi Advokat di luar PERADI. Dengan tidak adanya pengawasan tersebut maka tidak heran apabila dalam setiap tahunnya Organisasi Advokat itu sendiri jumlahnya akan semakin bertambah.manfaat :1. Untuk menganalisa tentang pola pengawasan terhadap Organisasi Advokat di Indonesia.2. Untuk menganalisa tentang urgensi atau fungsi akreditasi terhadap suatu Organisasi Advokat.Hasil :Baik didalam UU Advokat maupun UU MA tidak ditemukan adanya pengawasan terhadap Organisasi Advokat yang ada di Indonesia. Selain itu, akreditasi mempunyai peran penting dalam rangka meningkatkan kualitas dan kinerja yang dimiliki suatu organisasi.
PROBLEMATIKA PUTUSAN PRA PERADILAN PASCA PUTUSAN LEPAS MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Gesang Yoga Madyasto; Anang Shophan Tornado
Badamai Law Journal Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v6i1.11749

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis menganalisa penggunaan lembaga praperadilan pascaputusan lepas dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dan untuk menganalisis menganalisis konstruksi hukum dalam putusan Praperadilan dengan objek ganti kerugian terhadap putusan lepas dari mahkamah agung. Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah jenis penelitian yang bersifatnormatif. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Pertama, Pengaplikasian lembaga praperadilan dalam memeriksa dan memutus objek ganti kerugian atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum oleh mahkamah agung dirasakan masih belumtepat, Pasal 95 KUHAP menegaskan menggunakan acara praperadilan, yang dapat ditafsirkan menggunakan acara seperti memeriksa objek praperadilan lainnya seperti sah tidak penangkapan dan lain-lain. Kedua, Konstruksi hukum dalam putusan Praperadilan dengan objek ganti kerugian terhadap putusan lepas dari mahkamah agung adalah mengikuti arahan yang adalah peraturan pemerintah dengan mengunakan hukum acara praperadilan.
BATAS WAKTU TEMBUSAN SURAT PERINTAH PENANGKAPAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XI/2013 TANGGAL 30 JANUARI 2014 Ryan Kushervian Rasyid; Anang Shophan Tornado
Badamai Law Journal Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v6i2.11810

Abstract

Bahwa Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa frasa “segera” yang termuat dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP dimaknai tidak lebih dari tujuah hari. Sebab kata “segera” itu tidak ada kepastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013 ini langsung berlaku efektif tanpa ada amar pencabutan oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Memang frasa kata “segera” dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP untuk menyampaikan tembusan surat penanggapan telah melanggar HAM, maka frasa “ segera” diwujudkan tidak lebih dari tujuh hari agar keluarga yang ditangkap segera mengetahui keberadaannya.
Provision Of Assistance By Legal Advisors/Advocates To Witnesses In The Investigation Stage Examination Anang Shophan Tornado
International Journal of Law, Environment, and Natural Resources Vol. 2 No. 1 (2022): April Issue
Publisher : Scholar Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51749/injurlens.v2i1.69

Abstract

The Criminal Procedure Code only provides an opportunity for legal advisers to accompany the suspect in the Minutes of Examination with limited provisions, only to see and hear during the examination, this is regulated in Article 54 of the Criminal Procedure Code. Meanwhile, there is no regulation for witnesses in the Criminal Procedure Code. The problem in examining witnesses is when the witness being examined has the potential to become a suspect, where the concept of a witness who has the potential to become a suspect has become known as the concept of a potential suspect. So that it will be very urgent when the rights of witnesses being examined must really have their rights protected, one of the efforts to protect it is the presence of a legal adviser or advocate. The problem can be narrowed down to how witnesses who have the potential to become suspects in the investigation stage become more cooperative and "tame" towards investigators' summons to be examined, this of course needs to be made in a method that gains strong legitimacy at the norm level. In Article 27 paragraph (1) letter a Regulation of the Chief of Police Number 8 of 2009 concerning Implementation of Human Rights Principles and Standards in the Implementation of Duties of the Indonesian National Police firmly states that "every officer who conducts examination of witnesses, suspects or examinees is obliged to: a. provide an opportunity for witnesses, suspects or being investigated to contact and be accompanied by a lawyer before the examination begins.