Suprapto Suprapto
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Published : 19 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

Penerapan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior dalam Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Mustika, Cindyva Thalia; Suprapto, Suprapto; Faishal, Achmad
Banua Law Review Vol 3, No 1 (2021): April
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.112 KB) | DOI: 10.32801/balrev.v2i2.16

Abstract

Keterbukaan Informasi Publik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Sering kali terjadi sengketa antara pemerintah atau badan publik sebagai pengelola informasi dengan masyarakat sebagai pencari informasi. Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dihadapkan dengan persoalan konflik norma, yaitu antara UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PERKIP Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam situasi ini, mematuhi salah satu norma berakibat pada pelanggaran terhadap norma lainnya sehingga untuk dapat melaksanakan salah satu norma diperlukan adanya apa yang disebut sebagai derogasi atau peniadaan validitas norma lainnya yaitu asas lex superior derogate legi inferiori. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
ASPEK HUKUM TENTANG REKLAMASI PERTAMBANGAN BATUBARA STUDI DI KECAMATAN SATUI TANAH BUMBU Suprapto Suprapto
Syiar Hukum Vol 13, No 3 (2011): Syiar Hukum : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/sh.v13i3.659

Abstract

Coal mining on the one hand bring benefits in terms of economics, but on the other hand can cause a variety of environmental problems, one of which caused the rise of mining without a permit in scattered districts in South Borneo, one of them in the Land of Spices, especially Sub District Satui. This research is a normative juridical research. Function of law in the field of environmental conservation is a social enginering. In this field are expected to create a behavior that is oriented to the preservation of the environment, natural resources and ecosystems for the benefit of present and future. Based on Law Number 4 Year 2009 on mineral and coal mining, reclamation place, as one of the obligations of the company's Mining Permit holders.
Eksistensi Prinsip Fiktif Positif Di Bidang Hukum Administrasi Suprapto Suprapto
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.37

Abstract

Hakikat prinsip fiktif positif di bidang administrasi pemerintahan adalah demi kepastian hukum. Permohonan keputusan dan/atau tindakan Aparatur Pemerintahan yang telah diterima secara lengkap oleh Aparatur Pemerintahan yang berwenang dan diabaikan dalam waktu tertentu atau 10 hari kerja, masih perlu upaya ke PTUN menimbulkan ketidakpastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji eksistensi prinsip fiktif positif di bidang administrasi pemerintahan guna kepastian hukum. Penelitian dilakukan melalui penelitian hukum normatif dengan melakukan beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, perbandingan, dan pendekatan kasus. Hasil dari penerlitian ini mengungkapkan bahwa hakikat Prinsip Fiktif Positif yaitu bahwa ‘diam berarti setuju’. Persyaratan permohonan harus telah diterima secara lengkap dan dikaitkan dengan asas hukum yang terdampak menjadi alasan tidak perlu keterlibatan lembaga peradilan. Di sisi lain pengadilan diperlukan justru untuk memberi perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan atas terbitnya keputusan yang lahir dari proses fiktif positif. Kemajuan teknologi dapat digunakan sebagai sarana pembuktian adanya keputusan fiktif positif yang sepenuhnya menjadi kewenangan organ pemerintahan
KEDUDUKAN KOMISI KODE ETIK POLRI DALAM PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI POLRI PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM Saparyanto Saparyanto; Mulyani Zulaeha; Anang Sophan Tornado; Ifrani Ifrani; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v7i1.14074

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui dan menganalisis kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki Komisi Kode Etik Polri dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri dan (2) untuk mengetahui dan menganalisis putusan Komisi Kode Etik Polri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian preskriftif, Kemudian dengan menggunakan beberapa pendekatan, berupa: (1) Peraturan Perundang-undangan (statute approach), (2) Pendekatan sejarah (historis approach), (3) Pendekatan kasus (case approach), dan (4) Pendekatan konseptual (conceptual approach). Pembentukan Komisi Kode Etik Polri hanya berdasarkan pada jabatan dan kepangkatan semata tanpa adanya syarat formil gelar kesarjanaan dalam hal ini Sarjana Hukum (S.H.), serta tidak mensyaratkan adanya batas usia, memiliki pelatihan atau pendidikan hakim dan lulus ujian hakim, sebagaimana syarat menjadi hakim pada Peradilan Negeri maupun Peradilan Militer. Mengingat Komisi Kode Etik Polri juga bertindak dan mempunyai kewenangan seperti hakim yaitu memeriksa dan memutus perkara pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota Polri. Sehingga jika disandingkan dengan hakim pada Peradilan Umum atau Peradilan Militer. Putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri tidak memenuhi rasa keadilan, bukan dikarenakan Komisi Kode Etik Polri yang tidak bisa berlaku adil atau karena memihak/berat sebelah kepada salah satu pihak, akan tetapi karena jenis sanksi yang sudah ditentukan oleh Perkap. Sedangkan putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri berupa penjatuhan hukuman jika bersalah dan direhabilitasi serta dikembalikan hak-haknya jika tidak bersalah setelah dibuktikan melalui mekanisme Sidang Komisi Kode Etik Polri, mencerminkan adanya Kepastian Hukum. Kata Kunci: Komisi Kode Etk Polri, Keadilan, Kepastian Hukum
Kepastian Hukum Tentang Pengaturan Penegakan Pidana Mengenai Kewajiban Membayar Upah Pekerja poppy rezki adiatma; Rahmida Erliyani; Suprapto Suprapto; Muhammad Hendri Yanova
Badamai Law Journal Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v7i1.14137

Abstract

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaturan pidana dalam penyelesaian sengketa terhadap upah yang tidak di bayar oleh pengusaha. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sifat penelitian preskriptif yakni menguji kembali menurut teori hukum terhadap norma yang dianggap masih kabur. Hasil penelitian ini menunjukkan sejatinya dalam hal pekerja/buruh melakukan upaya hukum untuk mendapatkan perlindungan terhadap upah pekerja/buruh yang dengan sengaja/ lalai tidak di bayar oleh pengusaha saat ini menurut pengaturan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan melaui prosedur pidana, dalam proses pengaduan pihak pekerja/buruh kepada dinas ketenagakerjaan sampai pada proses mediasi baik itu perundingan dengan pengusaha atau sering juga di sebut perundingan bippartit atau perundingan dengan melibatkan pihak pengawas & Pembinaan ketenagakerjaan sebagai mediator/perundingan tripartit.sehingga dalam hal penolakan yang di sampaikan pihak pengusaha dalam perundingan tersebut mediator membuat anjuran tertulis apakah akan di lanjutkan ke PHI atau ditempuh melalui pidana Selanjutnya tentu saja proses yang dianut sekarang tidak mencerminkan ketidak pastian hukum, yang mana hukum pidana itu sendiri menganut prinsip asas ultimum remedium. Yang seharusnya aturan dibuat guna mempermudah pekerja melakukan upaya hukum dalam mendapatkan haknya kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Keadilan Nisa Amalina Adlina; Rahmida Erliyani; Suprapto Suprapto
Banua Law Review Vol. 4 No. 2 (2022): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i2.44

Abstract

Pengaturan batas waktu dua tahun SP3 KPK pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 KPK menimbulkan polemik sehingga menjadi persoalan dalam memberikan nilai keadilan atau tidak dengan batasan waktu tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan asas equality before the law yang disini terdapat diskriminasi antara pelaku tindak pidana umum dengan koruptor karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime yang penyidikannya membutuhkan cara yang luar biasa dan waktu yang cukup lama sehingga bagi negara dan masyarakat sebagai hal yang tidak mengandung nilai keadilan maka tidak perlu adanya batasan waktu pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK dan harus tetap mengacu kepada Pasal 109 Ayat (1) KUHAP. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
PENGATURAN REHABILITASI SESEORANG TERHADAP PEMBERITAAN MEDIA ONLINE KETIKA DIPUTUS BEBAS DAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP Gusti Muhammad Raja; Mulyani Zulaeha; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v5i2.10460

Abstract

Rehabilitasi itu sendiri menurut Pasal 1 ayat 23 Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana atau biasa disingkat dengan KUHAP adalah Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (kitab Undang-Undang hukum acara pidana) apabila terdakwa di vonis bebas oleh pengadilan maka secara bulat harus di rehabilitasi. Hal ini terdapat di dalam pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusan nya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Konsep rehabilitasi itu sendiri tentunya seiring perkembangan Zaman harus menyesuaikan keadaan yang ada, cara atau upaya yang dapat ditempuh oleh tersangka/terdakwa terhadap putusan hakim yang menyatakan mereka bebas. adapun menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari terdakwa yang dibebaskan atau lepas dari segala tuntutan hukum hanya sebatas bentuk Penetapan Hakim, atau pengumuman di dinding informasi Pengadilan Negeri. Di Zaman era globalisasi 4.0 ini yang semuanya serba menggunakan teknologi sebagai media penyampaian informasi, hal ini tentu masih merugikan tersangka ataupun terdakwa yang mana seharusnya pemberian rehabilitasi nama baik tidak hanya melalui penetapan pengadilan, tentu juga harus melalui penghapusan pemberitaan di media online terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan tersangka ataupun terdakwa padahal tersangka ataupun terdakwa tersebut diputus bebas dari segala tuntutan hukum.
ASAS TERBUKA UNTUK UMUM DALAM PERSIDANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH AGUNG Zainal Arifin; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v6i2.10940

Abstract

Karakteristik hukum acara persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA dapat dilihat dari objeknya yaitu peratuaran perundang-undangan di bawah UU. Peraturan perudang-undangan di bawah UU yang menjadi wewenang MA sejatinya hanya hirarkinya saja yang berbeda yaitu berada di bawah UU, sedangkan sifatnya sebagai peraturan perundang-undangan sama, akan tetapi hukum acara dan proseduralnya berbeda terutama persidangan dalam penerapan prinsip terbuka untuk umum hanya saat pembacaan putusan akhir (Pasal 40 (1) UU MA), tidak terbuka untuk umum saat pemeriksaan persidangan sejak awal sebagaimana di MK dan sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari aspek kententuan umum-khusus memang lebih khusus UU MA, sedangkan UU Kekuasaan Kehakiman lebih bersifat umum, namun secara prinsip terbuka untuk umum guna menjamin akuntabilitas publik maka UU Kekuasaan kehakiman lebih menjamin prinsip dimaksud.Alasan pentingnya persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA di selenggarakan secara terbuka untuk umum adalah bahwa antara pengujian undang-undang di MK dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di MA dari aspek objek yang diuji yaitu peraturan perundang-undangan, maka sifatnya yang umum dan abstrak mengandung unsur kepentingan publik (Public Interst), sekalipun dimohonkan oleh pihak yang merasa dirugikan, menjadi alasan penting asas terbuka untuk umum dalam proses persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang pada MA, tidak hanya saat pembacaan putusan
KEWAJIBAN BALAI PEMASYARAKATAN MENYERAHKAN HASIL PENELITIAN KEMASYARAKATAN KEPADA PENYIDIK BERDASARKAN ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK deni nofrizal; Suprapto Suprapto; Rahmida Erliyani
Badamai Law Journal Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v6i2.11484

Abstract

Tujuan penulisan hukum ini adalah membahas masalah fungsi laporan hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) oleh balai pemasyarakatan (bapas) dalam proses penyidikan dan implikasi pengaturan batas waktu penyerahan hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) oleh balai pemasyarakatan (bapas) dalam perspektif kepastian hukum.  Untuk membahas permasalahan tersebut digunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan metode penulisan hukum kepustakaan (Library Research) yaitu dengan meneliti suatu peraturan perundang-undangan, bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat  hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, hasil penelitian kemasyarakatan berfungsi sebagai pertimbangan Aparat Penegak Hukum mengambil kebijakan demi kepentingan yang terbaik bagi anak dalam penyelesaian proses pidana berdasarkan sistem peradilan anak.. Kedua, kewajiban penyerahan hasil Litmas oleh pembimbing kemasyarakatan yang melewati batas waktu yang ditentukan kepada penyidik, berimplikasi terhambatnya kepentingan terbaik bagi anak dalam penyelesaian perkara pidana.
PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP Rosyid Ari Prabowo; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v7i2.14874

Abstract

Tujuan dari penulisan ini untuk dapat mengetahui maupun permasalahan serta pembahasan mengenai pengertian penduduk, lingkungsn hidup dan kerusakan lingkungan hidup serta bagaimana cara menanggulangi penecemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yuridis, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute apporach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Adapun hasil penelitiannya yaitu: Pertama. Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup  menyatkan bahwa lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Kedua. Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Ketiga. Masalah kependudukan yang dapat merusak lingkungan dapat diidentifikasi sebagai berikut: pertama adanya peningkatan humlah penduduk dan urbanisasi, kedua penduduk yang masih menerapkan prinsip berpindah tempat dan membuka lahan tanpa adanya reboisasi, ketiga dengan peningkatan jumlaha penduduk akhirnya terjadi peningkatan pula pada sampah / limbah. Keempat terjadinya eksplorasi / eksploitasi besar besaran terhadap lingkungan maupun SDA.