Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Pengaruh Privasi, Keamanan, Kepercayaan Dan Pengalaman Terhadap Penggunaan Fintech Di Kalangan Masyarakat Kabupaten Tangerang Banten Gatot Efrianto; Nia Tresnawaty
Jurnal Liabilitas Vol 6 No 1 (2021): Volume 6 No.1, Februari 2021
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Satya Negara Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (376.4 KB) | DOI: 10.54964/liabilitas.v6i1.71

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh privasi, keamanan, kepercayaan dan pengalaman terhadap penggunaan fintech di kalangan mayarkat Kabupaten Tangerang, Banten. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili di wilayah Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang Banten. Sampel yang digunakan 450 responden dari 167.487 jumlah penduduk di Kecamatan Tigaraksa berdasarkan data statistik SIGA DP3A Kabupaten Tangerang tahun 2020. Data penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode sampling random. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh privasi dan keamanan tidak berpengaruh, sedangkan kepercayaan dan pengalaman berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggunaan fintech di kalangan masyarakat Kabupaten Tangerang Banten. Dan pengaruh privasi, keamanan, kepercayaan dan pengalaman secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggunaan fintech di kalangan masyarakat Kabupaten Tangerang, Banten sebesar 53,8%. Sedangkan sebagiannya sebesar 46,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model penelitian ini.
Implementasi Pengadilan Adat Dan Pengadilan Umum Terhadap Tindak Pidana Asusila Lokika Sanggraha I Dewa Gede Teguh Artawan; Ika Dewi Sartika Saimima; Gatot Efrianto
Jurnal Hukum Sasana Vol. 8 No. 2 (2022): December 2022
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v8i2.1572

Abstract

Dalam Hukum Adat Bali terdapat jenis-jenis delik adat yang menyangkut kesusilaan salah satunya adalah delik adat lokika sanggraha yaitu suatu aturan adat yang sudah mendasar di masyarakat, merupakan pembatasan kehidupan seksual. Di dalam aturan adat ini perbuatan pergaulan seks bebas antar pemuda dan pemudi, walaupun dilakukan dengan alasan saling menyukai dan mencintai. Padanumumnya setiapnpelanggaran terhadap hukum adat, baik yang bersifat keperdataan maupun kepidanaan akan diselesaikannolehnpara pemukanadat setempat. Rumusan masalah mengenai implementasi penegakan tindak pidana asusila lokika sanggraha di pengadilan adat dan pengadilan umum dan kendala penegakan tindak pidana aasusila lokika sanggraha di pengadilan adat dan pengadilan umum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (kepustakaan) yang didukung dengan wawancara narasumber untuk mendapatkan hasil analisa bahwa implementasi penegakan tindak pidana asusila lokika sanggraha di pengadilan adat belum memperhatikan korban dari perbuatan asusila dan untuk pengadilan umum dengan menerapkan Pasal 359 Kitab Adi Gama jo. Pasal 5 ayat (3) huruf (b) Undang-Undang Darurat. No. 1/Drt/ tahun 1951 agar dapat dipidana. Terdapat beberapa kendala dalam implementasi penegakan hukum tindak pidana lokika sanggraha yaitu belum ada aturan yang khusus mengenai perbuatan lokika sanggraha dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat serta adanya budaya yang menganggap aib keluarga apabila diketahui masyarakat lain bahwa anak perempuannya hamil diluar perkawinan. Kesimpulan dalam skripsi ini adalah belum terciptanya penegakan hukum terhadap tindak pidana lokika sanggraha dikarenakan terdapat kendala-kendala dalam penegakan hukumnya. Saran dalam skrpsi ini kepada Pemuka dan Ketua Adat di Bali apabila dalam menyelesaikan lokika sanggraha dapat mempertimbangkan pihak perempuan sebagai korban dari perbuatan asusila serta dapat meminta pertanggungjawaban pihak laki-laki.
PENYULUHAN HUKUM TENTANG PERATURAN POLRI NOMOR 8 TAHUN 2021 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF Rahman Amin; Gatot Efrianto; Octo Iskandar; Audy Pramudya Tama
Abdi Bhara Vol 2 No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/abhara.v2i1.2325

Abstract

Perubahan paradigma pemidanaan dari retributive justice yang bersifat penghukuman atau pembalasan kepada pelaku tindak pidana menjadi paradigma restorative justice atau keadilan restoratif merupakan suatu penyelesaian perkara yang lebih menekankan pada aspek pemulihan atau perbaikan terhadap akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana yang terjadi, sehingga diharapkan dapat memberikan keadilan semua pihak tanpa melepaskan tanggung jawab pelaku. Untuk memaksimalkan penerapan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana, Polri telah mengeluarkan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai dasar hukum dan pedoman dalam penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif. Namun kenyataannya, keadilan restoratif masih belum dapat diterapkan dengan maksimal, salah satunya karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman anggota Polri tentang substansi Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tersebut. Sasaran kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk penyuluhan hukum ini adalah anggota Polri yang berdinas di Polsek Pasar Rebo, Polres Metro Jakarta Timur, Polda Metro Jaya. Metode kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui penyuluhan hukum secara langsung, dimana dalam pelaksanaannya terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan. Hasil kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, Pertama pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk penyuluhan hukum tentang Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 berjalan dengan tertib dan lancar dari awal hingga akhir kegiatan tanpa ada hambatan dan kendala yang berarti; Kedua, kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini telah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman anggota Polsek Pasar Rebo tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif sehingga dapat menjadi bekal dalam pelaksanaan tugas di lapangan.
Registration of Ownership Rights Over Customary or Customary Land based on Law No. 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles Gatot Efrianto
International Journal of Social Service and Research Vol. 3 No. 7 (2023): International Journal of Social Service and Research (IJSSR)
Publisher : Ridwan Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/ijssr.v3i7.432

Abstract

Land is the place where people of customary law communities live, and land also provides livelihood for them. Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles (UUPA), agrarian law that applies to earth, water, and space is customary law where the joints of the law come from the local customary law community, as long as it does not conflict with national and state interests based on national unity and Indonesian socialism. This research study is normative juridical as the main approach, considering that the discussion is based on laws and legal principles that apply in the issue of customary or customary land registration procedures. Customary land rights are authorities, which according to customary law are owned by customary law communities over certain areas that are the environment of their citizens. This position of authority allows communities to benefit from natural resources, including land, within the area for their survival. The Land Registry is called Recht Cadaster. Conversely, for land rights that are subject to customary law, land registration is not carried out so that it does not produce a certificate, but a proof of payment of tax on land, for example Girik, and even if a land registration is carried out for land rights subject to customary law, this is known as Fiscaal Cadaster. Although customary land is not the object of land registration, based on the provisions of the Minister of Agrarian State/Head of the National Land Agency Number 5 of 1999, Article 4 paragraphs (1) and (2) stipulate that customary land can be controlled by individuals and legal entities by registering as land rights if desired by the right holder, namely citizens of customary law communities according to the provisions of the applicable customary law.
Harmonisasi Hukum Pidana Adat Baduy Dalam Perseptif Hukum Nasional Gatot Efrianto
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (307.255 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v7i12.11100

Abstract

Pelaksanaan hukum di masyarakat adat pada dasarnya sama dengan aturan pada hukum positif yang dimana ketika ada yang melanggar maka akan di kenakan sanksi. Hukum adat mengatur tentang masalah-masalah adat yang terjadi di suatu adat tersebut agar terciptanya suatu keharmonisasian. Di dalam pelaksanaan adat baduy mereka menggunakan Ultimum Remedium yang dimana ketika ada yang melakukan pelanggaran aturan adat maka akan ada mediasi antara korban dan pelaku untuk mengambil jalan tengah agar terciptanya perdamaian, yang dimana masyarakat adat baduy masih mendalami bahwa hukum pidana adat merupakan suatu jalan terakhir bagi untuk penyelesaian perkara atau kasus-kasus. Ketika masyarakat baduy melanggar suatu penerapan peraturan adat tersebut maka pada hal itu mewajibkan orang tersebut dikenakan sanksi atau hukuman yang pelaksanaannya di lakukan secara musyawarah yang di pimpin oleh lembaga adat terhadap pelaku dan korban/terhadap peraturan adat baduy dengan pelaku. Peranan dari pemerintah daerah lebak, polsek Leuwidamar dan masyarakat luar baduypun sangat erat dan memperhatikan akan kelestarian di baduy karena baduy sendiri merupakan suatu warisan sejarah bangsa Indonesia yang harus untuk di jaga agar tidak punah dan tercemar dari lingkungan luar. Pelaksanaan pidana adat pada masyarakat adat baduy dikualifikasikan menjadi tindak pidana ringan dan berat. Tindak pidana ringan biasanya dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak pelaku dengan korban untuk di musyawarahkan guna penyelesaiannya dengan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut, tetapi dalam hal tindak pidana berat sebisa mungkin mengesampingkan proses hukum pidana (ultimum remedium) tetapi ketika tidak bisa dilakukan ultimum remedium maka akan diserahkan oleh lembaga adat untuk lakukannya hukuman dengan pengadilan adat oleh pu’un yang memutus permasalan tersebut dan hukuman yang terberatnya adalah dikeluarkan dari lingkungan adat tersebut.
The participation of indigenous community leaders in marriage based on Law No. 1 of 1974 concerning Marriage Gatot Efrianto; Arovah Windiani
Edunity: Social and Educational Studies Vol. 2 No. 9 (2023): Edunity : Social and Educational Studies
Publisher : PT Publikasiku Academic Solution

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57096/edunity.v2i9.151

Abstract

In each region, of course, there is a diversity of customs that apply in the indigenous people of an area, one of which is regarding marriages carried out customarily. Customary marriage is an important and sacred event for indigenous peoples, to live together as husband and wife with the aim of realizing the unity of a happy and eternal home, in which there is a great responsibility not only to the integrity of their household but also to the environment, society and also God. Regarding the issue of Indonesian customary law, it is very principled because adat is one of the mirrors for the nation, adat is an identity for the nation, and identity for each region. Indonesia is a country that adheres to plurality in the field of law, where the existence of western law, religious law and customary law is recognized. This research study is juridical normative as the main approach, considering that the discussion is based on laws and legal principles that apply in customary marriage issues. The Participation of Indigenous Peoples' Leaders in Marriage Of course, the community can maintain and preserve the culture of local wisdom and the values contained therein because the birth of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is a law that is a manifestation of many customary laws, ethnic groups in Indonesia that have privileges, which regulate all members of society who have reached adulthood who will carry out marriage