Rafli, Achmad
Department Of Child Health, Faculty Of Medicine, Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta, Indonesia.

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Perbandingan Efektifitas dan Keamanan Midazolam Buccal dengan Diazepam Intravena dalam Tata Laksana Kejang Akut pada Anak Achmad Rafli; Setyo Handryastuti
Sari Pediatri Vol 19, No 4 (2017)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp19.4.2017.231-6

Abstract

Latar belakang. Literatur terbaru menunjukkan bahwa midazolam yang diberikan secara non-intravena memungkinkan untuk pemberian yang lebih cepat, sama efektif, dan aman bila dibandingkan dengan diazepam IV dalam mengatasi kejang akut pada anak.Tujuan. Mengetahui efektivitas dan keamanan midazolam buccal dibandingkan dengan diazepam terutama IV sebagai terapi kejang akut pada anak.Metode. Penelusuran pustaka database elektronik yaitu Pubmed, Cochrane, MEDLINE, Embase dan Google Scholar.Hasil. Telaah sistematis dan meta-analisis menunjukkan menunjukkan bahwa angka kejadian berhentinya kejang dalam 10 menit pada subyek yang diberikan midazolam buccal sama dengan yang diberikan diazepam IV dengan relative risk (RR) 0,92, 95% interval kepercayaan (IK) 0,81-1,05; waktu yang dibutuhkan untuk mengontrol episode kejang setelah pemberian obat anti-kejang pada subyek yang diberikan midazolam buccal lebih tinggi dengan mean difference 0,63; 95% IK 0,38-0,89; efek samping signifikan yang timbul setelah pemberian diazepam IV lebih tinggi, yaitu apnea pada 4/60 subyek. Midazolam buccal memiliki efektivitas dan keamanan yang sama dengan diazepam IV dalam mengatasi kejang.Kesimpulan. Midazolam buccal memiliki efektivitas dan keamanan yang sama dengan diazepam IV dalam mengatasi kejang. Berdasarkan penelitian ilmiah yang telah dipaparkan, efek samping midazolam buccal seperti depresi napas maupun hipotensi jarang terjadi bila dibandingkan dengan diazepam IV.
The role of clinical diagnostic criteria for anti-N-methyl-D-aspartate receptor encephalitis in children: A case report Irawan Mangunatmadja; Ricca Fauziyah; Achmad Rafli
Paediatrica Indonesiana Vol 62 No 1 (2022): January 2022
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi62.1.2022.66-71

Abstract

Encephalitis is a neurological disorder that develops rapidly into a progressive encephalopathy caused by inflammatory processes in the brain. The incidence of encephalitis in developed countries is 5-10 per 100,000 per year. Encephalitis can affect all ages and cause long-term effects on patients, their families, and society.1-3 Autoimmune encephalitis, including anti-N-methyl-D-aspartate receptor (anti-NMDAR) encephalitis, is increasingly recognized as a cause of encephalitis in children and has a considerable mortality rate of 5-7%.4 Physicians should suspect anti-NMDAR encephalitis in patients with prominent neuropsychiatric symptoms and movement disorder.1-3 We report here a case of anti-NMDAR encephalitis and discuss the role of clinical criteria in diagnosing anti-NMDAR encephalitis in children.
Dampak COVID-19 pada Anak dengan Epilepsi: Perspektif Orangtua dan Pengasuh Setyo Handryastuti; Irawan Mangunatmadja; Amanda Seobadi; Asep Aulia Rachman; Iqbal Taufiqqurrachman; Achmad Rafli
Sari Pediatri Vol 24, No 4 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp24.4.2022.232-8

Abstract

Latar belakang. Pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS CoV-2) telah memengaruhi pelayanan kesehatan. Hal ini dapat berdampak pada keterlambatan diagnosis dan terapi termasuk pelayanan kesehatan pada anak dengan epilepsi. Hal ini menimbulkan risiko anak dengan epilepsi tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal yang dapat menyebabkan kambuhnya kejang dan penurunan kualitas hidup anak dengan epilepsi.Tujuan. Untuk mengetahui dampak COVID-19 terhadap pelayanan kesehatan anak dengan epilepsi dari perspektif orangtua atau pengasuh.Metode. Penelitian deskriptif dilakukan dengan metode potong lintang. Sampel diperoleh dengan metode survei wawancara langsung menggunakan kuesioner yang terdiri dari 23 pertanyaan pada bulan Februari-April 2022 kepada 252 orangtua/pengasuh yang berasal dari beberapa rumah sakit besar dan klinik di Jakarta.Hasil. Sebagian besar pasien tidak memiliki masalah perilaku (58,3%), tidak terdapat gangguan tidur (59,1%) serta tidak terdapat perubahan kepatuhan berobat (63,1%).Mayoritas pasien tidak pernah mendapat terapi diazepam rektal untuk mengatasi kekambuhan kejang (61,9%) selama pandemi. Masalah terbesar bagi orang tua dan pengasuh adalah rasa takut mengunjungi rumah sakit (27,4%%) dan lebih memilih untuk berkonsultasi secara langsung (86,9%) dibandingkan telekonsultasi atau tidak kontrol. Manfaat telekonsultasi bervariasi, antara lain, penurunan kebutuhan pergi keluar rumah (24,7%), hemat waktu (28,6%), dan menurunkan biaya transportasi (28,6%). Terdapat beberapa kekurangan telekonsultasi, yaitu miskomunikasi antara dokter dan pasien (39,4%). Kualitas pelayanan poliklinik neurologi masih cukup baik (68,3%), dengan pelayanan elektroensefalografi dan perawatan rehabilitasi selama pandemi masih berjalan seperti biasa (96% dan 46%). Sekitar 45,2% orang tua dan pengasuh setuju bahwa anak perlu divaksinasi, meskipun baru 22,2% dari seluruh subyek telah memperoleh vaksinasi.Kesimpulan. Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada manusia, melainkan juga pada sistem pelayanan kesehatan khususnya anak dengan epilepsi. Oleh karena itu, modifikasi pelayanan kesehatan selama pandemi COVID-19 merupakan kunci untuk mempertahankan kualitas pelayanan anak dengan epilepsi seperti, telekonsultasi.
Peran Puasa Ramadhan pada Anak dengan Epilepsi: Studi Pendahuluan Achmad Rafli; Ryan Pramana Putra; Irawan Mangunatmadja; Setyo Handryastuti; Amanda Soebadi
Sari Pediatri Vol 25, No 3 (2023)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.3.2023.170-3

Abstract

Latar belakang. Pada bulan Ramadhan semua umat Muslim diwajibkan untuk berpuasa, menahan diri untuk tidak makan, minum, atau meminum obat dari terbit hingga tenggelamnya fajar. Keadaan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi anak dengan epilepsi yang berpuasa, berupa kontrol frekuensi kejang, perubahan jadwal minum obat, dan kepatuhan minum obat. Berpuasa dapat menyebabkan perubahan metabolisme otak yang berdampak pada peningkatan fungsi otak dalam hal kognitif, peningkatan neuroplastisitas dan ketahanan terhadap cedera dan penyakit. Adanya perubahan metabolisme otak pada saat berpuasa dapat membantu dalam mengontrol kejang pada anak dengan epilepsi.Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai frekuensi kejang dan efek samping pada anak dengan epilepsi yang berpuasa di bulan Ramadhan tahun 2023. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional prospektif yang dilakukan selama 1 bulan. Sampel pada penelitian ini merupakan semua anak dengan epilepsi yang berpuasa pada bulan Ramadhan, April 2023. Anak dengan epilepsi yang berpuasa dipantau frekuensi kejang, jadwal minum obat dan kepatuhannya (sebelum dan setelah berpuasa). Hasil. Total pasien pada penelitian ini adalah dua belas (6 laki-laki, 6 perempuan, rentang usia 6-17 tahun). Jenis kejang absans merupakan jenis kejang yang paling banyak (50%). Tujuh pasien mendapatkan antiepilepsi monoterapi (58,33%) dengan variasi pemberian antiepilepsi 1-4 jenis. Frekuensi kejang pada seluruh pasien mengalami penurunan selama puasa Ramadhan dibandingkan dengan satu bulan sebelumnya sebesar 27%. Tidak ada efek samping yang timbul akibat berpuasa dan perubahan jadwal minum obat. Kesimpulan. Puasa Ramadhan bermanfaat menurunkan frekuensi kejang bagi anak dengan epilepsi.
Co-Infection of Tuberculosis and COVID-19 in Children: A Case Report Madeleine Ramdhani Jasin; Talitha Rahma Ayuningtyas; Achmad Rafli; Irawan Mangunatmadja; Wahyuni Indawati; Nastiti Kaswandani
Jurnal Respirologi Indonesia Vol 44, No 1 (2024)
Publisher : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/The Indonesian Society of Respirology (ISR)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36497/jri.v44i1.323

Abstract

Background: Coinfection of TB and COVID-19 might occur, yet few evidence has been reported. Current COVID-19 pandemic also results in disruption at TB management in the community.Case: A 5-month-old boy came with recurrent seizure, with history of persistent cough and fever for 1 month prior, also positive possible TB contact. He was diagnosed with disseminated TB, involving miliary appearance in chest Xray also meningitis, coinfected with COVID-19.Discussion: During COVID-19 pandemic, TB service in the community is disrupted, resulting in delay in TB diagnosis, as observed in this patient, leading to severe manifestation. Coinfection of TB and COVID-19 can occur and may lead to more severe symptoms in either both diseases. Management of TB COVID-19 coinfected children is similar to those without COVID-19. Our patient received treatment consisting of 2 RHZE then 10 RH. Monitoring of symptoms and possible sequelae is necessary.Conclusion: Coinfection TB and COVID-19 may occur in children, and both can lead to more severe manifestation of each condition, particularly if diagnosis is delayed. Strengthening TB care in the community is essential so that there will be no delay in diagnosis, also no disruption in treatment and monitoring.
Clinical manifestations and prognosis of tuberculous spondylitis in an adolescent with disseminated tuberculosis: a case report Handryastuti, Setyo; Kaswandani, Nastiti; Hendriarto, Andra; Tobing, Singkat Dohar Apul Lumban; -, Pebriansyah; Rafli, Achmad
Paediatrica Indonesiana Vol. 64 No. 2 (2024): March 2024
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi64.2.2024.176-83

Abstract

Indonesia is one of the countries with the highest number of tuberculosis (TB) cases globally. Around 10-20% of adolescents with TB infection progress to pulmonary TB, and less than 0.5% develop miliary or central nervous system TB. TB spondylitis occurs in only 5.6% of extrapulmonary TB patients. The clinical manifestations of disseminated and TB spondylitis are heterogeneous and insidious, with several potential risk- and prognostic factors. We report the case of a 16-year-old male admitted with abdominal distension, paraplegia, and urinary retention. He was diagnosed with disseminated TB with TB spondylitis. This case was unique because the patient had no classic symptoms of pulmonary TB. This report focuses on the diagnosis, comprehensive management, and prognosis of TB spondylitis, as well as the risk factors for disseminated TB. The management consisted of antituberculous agents and surgery. The prognosis is influenced by the patient’s age, severity of kyphosis deformity, number of vertebrae involved, lesion site, and patient’s health status, including nutritional status.
Efek Penggunaan Deksametason Ajuvan untuk Meningitis Bakteri pada Anak Handryastuti, Setyo; Rafli, Achmad; Wicaksono, Yuda Satrio; Mangunatmadja, Irawan; Soebadi, Amanda; Santoso, Dara Ninggar
Sari Pediatri Vol 25, No 6 (2024)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.6.2024.405-13

Abstract

Latar belakang. Meningitis bakterial pada anak, umumnya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus influenzae tipe b. Penggunaan deksametason sebagai terapi ajuvan untuk antibiotik masih menjadi perdebatan pada kasus meningitis bakterialis anak karena adanya bukti yang kontradiktif mengenai dampaknya terhadap hasil luaran klinis.Tujuan. Meninjau literatur yang ada mengenai efek dari penggunaan deksametason pada meningitis bakteri pada anak, dengan fokus pada morbiditas, mortalitas, dan efek samping.Metode. Pencarian literatur sistematis dilakukan menggunakan database Pubmed, EMBASE, Scopus, dan Cochrane. Studi yang memenuhi kriteria inklusi adalah uji klinis acak atau meta-analisis, diterbitkan dalam bahasa Inggris, dilakukan dalam 10 tahun terakhir, dan membandingkan efek penggunaan deksametason pada meningitis bakterial anak.Hasil. Lima meta-analisis disertrakan dalam tinjauan ini. Tidak terdapat penurunan signifikan dalam mortalitas dengan penggunaan deksametason dibandingkan plasebo. Konsistensi temuan menunjukkan manfaat deksametason pada fungsi pendengaran pasien meningitis bakteri. Efek terhadap kelainan neurologis masih belum jelas, dan efek samping cenderung serupa antara kelompok yang diobati dan tidak.Kesimpulan. Bukti menunjukkan potensi manfaat deksametason pada fungsi pendengaran anak dengan meningitis bakteri. Namun, dampak terhadap mortalitas dan kelainan neurologis masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Keputusan penggunaan deksametason harus dipertimbangkan dengan hati-hati oleh dokter, sementara penelitian lanjutan, terutama dosis optimal untuk hasil neurologis, diperlukan.
Co-Infection of Tuberculosis and COVID-19 in Children: A Case Report Jasin, Madeleine Ramdhani; Ayuningtyas, Talitha Rahma; Rafli, Achmad; Mangunatmadja, Irawan; Indawati, Wahyuni; Kaswandani, Nastiti
Jurnal Respirologi Indonesia Vol 44 No 1 (2024)
Publisher : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/The Indonesian Society of Respirology (ISR)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36497/jri.v44i1.323

Abstract

Background:Coinfection TB and COVID-19 might occur, yet few evidence has been reported. Current COVID-19 pandemic also results in disruption at TB management in the community. Case: A 5-month-old boy came with recurrent seizure, with history of persistent cough and fever for 1 month prior, also positive possible TB contact. The diagnosis was disseminated TB (miliary and meningitis), coinfected with COVID-19.Discussion: During COVID-19 pandemic, TB service in the community is disrupted resulting in delay in TB diagnosis, as observed in this patient, leading to severe manifestation. Coinfection of TB and COVID-19 can occur and may lead to more severe symptoms in either both diseases. Management of TB COVID-19 coinfected children is similar to those without COVID-19. Our patient received treatment consisting of 2 RHZE then 10 RH. Monitoring of symptoms and possible sequelae is necessary.Conclusion: Coinfection TB and COVID-19 may occur in children, and both can lead to more severe manifestation of each condition, particularly if diagnosis is delayed. Strengthening TB care in the community is essential so that there will be no delay in diagnosis, also no disruption in treatment and monitoring.Keywords COVID-19, tuberculosis, coinfection, children