Nastiti Kaswandani
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Profil Pubertas dan Pertumbuhan Linear pada Hiperplasia Adrenal Kongenital dalam Pengobatan Serial Kasus Nurul Iman Nilam Sari; Bambang Tridjadja; Nastiti Kaswandani; Damayanti Rusli Sjarif; Sukman Tulus Putra; Hartono Gunardi
Sari Pediatri Vol 16, No 5 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (749.122 KB) | DOI: 10.14238/sp16.5.2015.356-64

Abstract

Latar belakang. Terapi yang adekuat pada hiperplasia adrenal kongenital (HAK) diharapkan dapatmenghasilkan perkembangan pubertas dan pertumbuhan linear yang optimal. Saat ini, di Indonesia, belumada data profil pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK yang sedang menjalani terapi.Tujuan. Mengetahui profil pubertas dan pertumbuhan linear pada HAK di Indonesia yang sedang menjalaniterapi.Metode. Studi serial kasus terhadap 14 kasus HAK yang memasuki masa pubertas di Departemen IlmuKesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama bulan November 2012 hingga April2013. Pencatatan data berisi anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi boneage.Hasil. Hasil penelitian ini merupakan riset pendahuluan (preliminary research) terhadap 14 kasus HAK.Mayoritas subjek adalah perempuan, berusia di atas 8 tahun, HAK tipe Salt-Wasting (SW), dan terdiagnosissejak kurang dari satu tahun. Tujuh dari 14 subjek mengalami obesitas. Undertreatment terjadi pada 11/14subjek memiliki bone age accelerated dengan perhitungan tinggi badan dewasa yang pendek. Tiga belas subjeksudah pubertas dan 10/14 subjek mengalami pubertas prekoks. Rekomendasi dosis glukokortikoid yangdiberikan (median 18,12 mg/m2/hari) dengan median durasi terapi 8,1 tahun. Kontrol metabolik denganmenggunakan parameter 17-OHP bervariasi pada rentang 0,2-876 nmol/L (rerata 166,9 nmol/L).Kesimpulan. Sebagian besar subjek mendapatkan undertreatment sehingga memiliki bone age accelerateddengan estimasi tinggi badan dewasa pendek. Pubertas prekoks dialami oleh sebagian besar subjek.Pemberian glukokortikoid dengan dosis yang direkomendasikan. Ditemukan ketidakteraturan pengobatandan pemantauan yang buruk.
Penyakit Respiratorik pada Anak dengan HIV Finny Fitry Yani; Arwin AP Akib; Bambang Supriyatno; Darmawan B. Setyanto; Nia Kurniati; Nastiti Kaswandani
Sari Pediatri Vol 8, No 3 (2006)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (105.355 KB) | DOI: 10.14238/sp8.3.2006.188-94

Abstract

Latar belakang. Kejadian AIDS pada anak meningkat seiring dengan peningkatan kasusdewasa. Gejala dan manifestasi klinis sering tidak khas, sehingga menyebabkanunderdiagnosis. Anak HIV sering datang dengan keluhan yang berasal dari infeksioportunistik, bahkan infeksi oportunistik banyak ditemukan sebagai penyebab kematian.Salah satu infeksi oportunistik yang sering terjadi adalah infeksi respiratorik.Tujuan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola penyakit respiratorikpada anak HIV yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan RS Dr. Cipto Mangunkusumo(RSCM), Jakarta.Metoda. Data berasal dari rekam medis anak HIV tahun 2002-2005. Penelitiandilakukan dengan desain potong lintang. Kriteria inklusi adalah anak usia 0-13 tahun,dengan HIV positif dan menderita penyakit respiratorik. Data yang dicatat meliputiumur, jenis kelamin, faktor risiko, status gizi, parut BCG, diameter uji tuberkulin, riwayatkontak dengan pasien tuberkolosis, kategori HIV, diagnosis penyakit respiratorik,outcome. Data klinis khusus meliputi batuk kronik berulang, demam lama, sesak nafas,laboratorium rutin, foto torak, dan kadar CD4, PCR.Hasil. Sejak Januari 2002-Desember 2005, telah dirawat 85 anak yang terinfeksi HIV,dengan 13 orang (15,2%) di antaranya meninggal. Tiga belas orang (13/35) didiagnosisHIV berdasarkan serologi dan PCR, 24/35 hanya dengan serologi, dan 1/35 orang denganPCR. Sebanyak 38 (44,7%) orang menderita infeksi respiratorik dengan pola penyakit: TB47,3%, pneumonia 44,7%, pneumocytis corinii pneumonia (PCP) 13,1%. Pada penelitianini, didapatkan bahwa 3/38 (7,8%) anak HIV dengan penyakit paru meninggal karenapneumonia berat, dengan 2/3 di antaranya pada kelompok umur 1-5 tahun. Penyebabkematian lainnya adalah PCP 2/38 pasien (5,2%), dan tersangka sepsis pada 2 pasien (5,2%).Kesimpulan. Pada anak HIV, TB merupakan penyakit respiratorik terbanyak, diikutipneumonia, sedangkan penyebab kematian terbanyak adalah pneumonia. Penyakitrespiratorik pada anak HIV dapat menjadi pembuka jalan untuk diagnosis anak HIV.
Perbandingan Respons Klinis dan Efek Samping Semprot Hidung Salin Isotonik (Air Laut) dengan Tetes Hidung Salin Isotonik pada Anak Balita dengan Common Cold Widodo Tirto; Nastiti Kaswandani; Murti Andriastuti
Sari Pediatri Vol 16, No 1 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp16.1.2014.64-70

Abstract

Latar belakang. Keunggulan semprot hidung salin isotonik air laut pada anak balita dengan common cold masih kontroversi, dan studi pada anak balita masih sedikit.Tujuan. Membandingkan respons klinis dan efek samping semprot hidung salin (air laut) dan tetes hidung salin pada pasien dengan common cold, melalui a) penurunan skor gejala hidung, b) penurunan skor suhu tubuh, c) lama sakit, dan d) efek samping (epistaksis).Metode. Suatu opened-label randomized clinical trial, dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Kalideres dengan subjek anak berusia 12-60 bulan. Subjek diberikan semprot hidung salin air laut dan sirup parasetamol (kelompok eksperimen) atau tetes hidung salin dan parasetamol (kelompok eksperimen) atau hanya parasetamol (kontrol) berdasarkan alokasi random. Semprot hidung salin (air laut) diberikan 3 kali sehari 1 semprot tiap lubang hidung selama 7 hari, tetes hidung salin diberikan 3 kali sehari 2 tetes tiap lubang hidung selama 7 hari, dan parasetamol sirup diberikan 10 mg/kgbb tiap 4 jam bila suhu tubuh ≥38ºC. Penilaian skor gejala hidung, skor suhu tubuh, dilakukan sebelum dimulai pengobatan sampai dengan hari ke delapan. Lama sakit dan efek samping obat dinilai dari awal pengobatan sampai sembuhHasil. Didapat 68 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi menjadi kelompok eksperimen (semprot hidung salin air laut dan tetes hidung salin) atau kontrol. Pada hari kedelapan pengobatan, tidak terdapat perbedaan bermakna pada penurunan skor gejala hidung (p=0,976), skor suhu tubuh (p=0,884), dan lama sakit (p=0,805) antara ketiga kelompok penelitian. Tidak didapatkan efek samping berupa epistaksis.Kesimpulan. Pada anak balita dengan common cold yang diberikan semprot hidung salin (air laut) dibandingkan dengan tetes hidung salin dan kontrol tidak terdapat perbedaan bermakna pada respons klinis dan efek samping.
Studi Pilot: Peran Heat Shock Protein 60 (Hsp60) dan Kontrol Metabolik terhadap Infeksi Tuberkulosis pada Anak dan Remaja dengan Diabetes Mellitus Tipe-1 Aman Bhakti Pulungan; Karina Sugih Arto; Nastiti Kaswandani
Sari Pediatri Vol 21, No 2 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (141.065 KB) | DOI: 10.14238/sp21.2.2019.121-8

Abstract

Latar belakang. Heat shock protein 60 (Hsp60) ditemukan pada individu dengan Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 dan merupakan mimikri molecular Hsp65 pada mycobacterium. Fenomena ini dapat menyebabkan penundaan identifikasi mycobacterium dan memperparah kondisi DM tipe-1. Tujuan. Studi ini bertujuan untuk meneliti peran Hsp60 dalam kontrol metabolik terhadap infeksi tuberkulosis (TB) pada anak dan remaja dengan DM tipe-1.Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilaksanakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Anak dan remaja dengan DM tipe I memenuhi kriteria inklusi. Setelah memperoleh data dasar, dilakukan pemeriksaan HbA1c, Hsp60, dan IGRA. Dilakukan analisis data.Hasil. Sebanyak 32 subjek dengan DM tipe-1 diidentifikasi. Insidens infeksi TB yang terdeteksi dengan IGRA pada anak dan remaja dengan DM tipe-1 adalah 12,5%. Tiga dari empat pasien dengan hasil IGRA positif memiliki nilai HbA1c >9.0. Nilai rerata Hsp60 pada subjek IGRA positif lebih rendah dibandingkan subjek IGRA negatif (1.16 ± 0.59 vs 115.18 ± 364.73), dengan nilai P>0,05.Kesimpulan. Tidak didapatkan hubungan signifikan antara Hsp60 dan control glikemik dengan insidens TB pada anak dan remaja dengan DM tipe-1. Hasil ini mungkin dipengaruhi oleh jumlah subjek yang sedikit, penggunaan IGRA untuk mendiagnosis TB pada anak, dan reaktivitas rendah Hsp60 dengan Hsp65.
Hubungan Jaringan Parut Bacillus Calmette-Guerin dengan Kejadian Tuberkulosis Ekstraparu pada Anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara tahun 2015-2017 Angela Kimberly Tjahjadi; Nastiti Kaswandani
Sari Pediatri Vol 22, No 6 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.6.2021.331-5

Abstract

Latar belakang. Meskipun vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) telah menjadi program vaksinasi wajib di Indonesia, tuberkulosis (TB) pada anak tetap prevalen. Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi jaringan parut BCG dan hubungannya dengan kejadian TB ekstraparu (TB-EP) pada anak.Metode. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto-Mangunkusumo Kiara dengan metode potong-lintang pada populasi anak terdiagnosis TB berdasarkan kriteria WHO dan konsensus IDAI.Hasil. Dari 246 pasien anak jangkauan usia 2 bulan -18 tahun terdiagnosis TB, 127 (51,6%) anak mengalami TB-EP dengan prevalensi TB tulang, KGB dan abdomen secara berurutan 13%, 10,9%, dan 6,6%. Mayoritas pasien TB EP adalah laki-laki (55,2%) dan berada dalam kelompok usia 6-14 tahun (60%). Riwayat kontak dengan kasus TB-EP ditemukan pada 49 kasus (51,5%). Penyakit komorbid penyerta dengan mayoritas keganasan (25,6%) dan infeksi HIV (23,1%) ditemukan pada 21 kasus TB-EP (35%). Status jaringan parut BCG positif ditemukan pada 140 kasus (56,9%). Dari 106 anak tanpa jaringan parut BCG, 38 (35,8%) anak memiliki TB paru dan 68 (64,2%) memiliki TB-EP. Tidak adanya jaringan parut BCG memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB-EP pada anak (p<0,01) dengan OR: 2,457 (IK95%: 1,46 - 4,131).Kesimpulan. Kejadian TB- EP anak yang tinggi pada proporsi tanpa jaringan parut BCG berhubungan signifikan secara statistik.
Imunodiagnosis Tuberkulosis dengan Interferon Gamma Release Assay dan Uji Tuberkulin pada Anak dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus Nastiti Kaswandani; Dhyniek Nurul FLA; Jose R.L. Batubara
Sari Pediatri Vol 22, No 5 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.5.2021.261-9

Abstract

Latar belakang. Tuberkulosis (TB) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak. Diagnosis dini penting untuk menurunkan angka mortalitas TB pada infeksi HIV. Uji tuberkulin dan interferon gamma release assay [IGRA, QuantiFERON®-TB Gold In-Tube (QFT-GIT)] diharapkan dapat mendeteksi lebih dini adanya infeksi TB pada HIV. Laporan akurasi QFT-GIT dan uji tuberkulin pada anak dengan infeksi HIV bervariasi. Tujuan. Mengetahui akurasi diagnostik dari QFT-GIT dan uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB pada anak usia 1 bulan-15 tahun dengan infeksi HIV. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada 48 pasien HIV tersangka TB usia 1 bulan-15 tahun. Pengambilan data dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks, uji tuberkulin, QFT-GIT, dan pemeriksaan bakteriologis (Xpert MTB/RIF dan biakan MGIT). Hasil. Angka kejadian TB adalah 20,9% (confirmed TB 4,2% dan possible TB 18,7%). Gambaran klinis anak yang terdiagnosis TB adalah batuk lama (90%), penurunan BB (80%), penurunan aktivitas (80%), pembesaran KGB (60%), dan demam lama (50%). Sensitivitas QFT-GIT terhadap possible TB adalah 38% (IK 95%: 12-77%), spesifisitas 100% (IK 95%: 98-100), NDP 100% (IK 95%: 98-100), sedangkan NDN 88% (IK 95%: 76-94). Sensitivitas uji tuberkulin terhadap possible TB adalah 29% (IK 95%: 8-64%), spesifisitas 97% (IK 95%: 87-100), NDP 67% (IK 95%: 21-94), sedangkan NDN 88% (IK 95%: 76-95%). Sensitivitas QFT-GIT terhadap pemeriksaan bakteriologis 50% (IK 95%: 9-91%), spesifisitas 96% (IK 95%: 85-99%), NDP 33% (IK 95%: 6-79%), sedangkan NDN 98% (IK 95%: 88-100%). Hasil akurasi uji tuberkulin terhadap pemeriksaan bakteriologis tidak dapat dinilai. Kesimpulan. Pemeriksaan dengan QFT-GIT untuk mendeteksi TB pada anak dengan infeksi HIV sedikit lebih unggul dibandingkan uji tuberkulin sehingga dalam pelayanan kedua pemeriksaan ini dapat menjadi pilihan sesuai ketersediaan dan kenyamanan pasien. 
Uji Kesahihan dan Keandalan Kuesioner Childhood Asthma Control Test versi Indonesia pada Anak Usia 4-11 Tahun Cynthia Utami; Mardjanis Said; Nastiti Kaswandani; Dwi Putro Widodo
Sari Pediatri Vol 16, No 2 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.357 KB) | DOI: 10.14238/sp16.2.2014.103-9

Abstract

Latar belakang. Childhood Asthma Control Test (CACT) merupakan kuesioner penilaian terkendalinya asma pada anak yang cepat dan mudah digunakan. Di Indonesia, penggunaan CACT masih terbatas karena kendala bahasa dan budaya. Sampai saat ini, belum ada kuesioner CACT versi Indonesia (terjemahan CACT ke dalam bahasa Indonesia) yang terbukti sahih dan andal.Tujuan. Mengetahui kesahihan (validity) dan keandalan (reliability) kuesioner CACT versi Indonesia.Metode. Menerjemahkan tujuh pertanyaaan kuesioner CACT menjadi kuesioner CACT versi Indonesia. Studi potong lintang dilakukan terhadap 66 subjek usia 4-11 tahun yang dipilih secara konsekutif. Semua subjek menjalani uji fungsi paru dan pemeriksaan peak expiratory flow berkala. Analisis statistik menggunakan uji Cronbach’s α dan uji korelasi Pearson/ Spearman.Hasil. Rerata usia subjek penelitian 7,89 tahun (5,25 -11,83) tahun dengan proporsi jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sebagian besar subjek penelitian yaitu 60,4% memiliki status asma tidak terkendali (nilai kuesioner CACT ≤19). Kuesioner CACT versi Indonesia mempunyai keandalan (Cronbach’s α 0,762) dan kesahihan konstruksi (r= 0,384-0,545) yang baik. Tidak terdapat korelasi bermakna antara kuesioner CACT versi Indonesia dengan nilai FEV1 (r=-0,024; p=0,846) dan nilai variabilitas mingguan PEF (r=-0,218; p=0,079).Kesimpulan. Kuesioner CACT versi Indonesia mempunyai kesahihan dan keandalan yang baik untuk menilai terkendalinya asma. Kuesioner ini tidak mempunyai korelasi dengan uji fungsi paru sehingga CACT tidak dapat menggantikan peran uji fungsi paru sebagai salah satu komponen penilaian terkendalinya asma.
Infeksi Influenza A dan B pada Anak dengan Influenza Like Illness (ILI) atau Pneumonia di Jakarta Wahyuni Indawati; Darmawan B Setyanto; Nastiti Kaswandani
Sari Pediatri Vol 16, No 2 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.593 KB) | DOI: 10.14238/sp16.2.2014.136-42

Abstract

Latar belakang Secara global, influenza merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak serta menimbulkan beban ekonomi yang cukup besar. Manifestasi infeksi ini secara klinis sulit dibedakan dengan penyebab lain pada pasien dengan Influenza Like Illness (ILI) atau pneumonia.Tujuan. Menilai proporsi infeksi influenza A dan B pada anak dengan ILI dan pneumonia, mengetahui karakteristik subjek dengan infeksi influenza serta faktor yang memengaruhinya.Metode. Penelitian potong lintang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo dan Puskesmas Kecamatan Pulo Gadung sejak Januari 2010 hingga Oktober 2010. Pada anak berusia 0-14 tahun dengan diagnosis ILI atau pneumonia sesuai kriteria WHO dilakukan rapid test untuk influenza dengan menggunakan bahan usapan nasofaring. Data karakteristik klinis, demografi, dan lingkungan dicatat dalam formulir penelitian.Hasil. Didapatkan proporsi infeksi influenza A dan B pada anak dengan ILI dan pneumonia 14/167 (8,3%). Sebagian besar menderita infeksi influenza B (12/14 subjek). Usia >5 tahun berhubungan dengan kejadian infeksi influenza yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia ≤5 tahun (p=0,012). Selain demam, gejala lain berupa batuk, sakit kepala, nyeri otot, lesu, dan nyeri tenggorok lebih banyak didapatkan pada subjek dengan infeksi influenza.Kesimpulan. Pada anak dengan ILI dan pneumonia, proporsi infeksi influenza 8,3%, terutama didapatkan infeksi Influenza B. Usia merupakan faktor yang memengaruhi infeksi influenza. Karakterustik klinis subjek dengan infeksi influenza sesuai dengan manifestasi klasik penyakit tersebut.
Akurasi Polymerase Chain Reaction (PCR) Dibandingkan dengan Uji Tuberkulin untuk Diagnosis Tuberkulosis pada Anak Nastiti Kaswandani; Darmawan B Setyanto; Nastiti Noenoeng Rahajoe
Sari Pediatri Vol 12, No 1 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp12.1.2010.42-6

Abstract

Latar belakang. Penegakan diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak sangat sulit, oleh karena gejalanya yang tidak khas serta sulitnya mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologis. Uji tuberkulin telah lama digunakan sebagai salah satu pemeriksaan penunjang yang penting untuk diagnosis TB anak. Beberapa tahun terakhir telah dikembangkan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi TB.Tujuan. Menilai akurasi pemeriksaan PCR dalam penegakan diagnosis TB anak serta perbandingannya dengan uji tuberkulin.Metode. Penelitian uji diagnosis yang menilai akurasi PCR terhadap baku emas diagnosis TB yaitu basil tahan asam (BTA) dan/atau biakan di RS Cipto Mangunkusumo, RSIA Harapan Kita, RS Budhi Asih, dan RS Persahabatan, tahun 2005-2007. Dilakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan pengambilan spesimen dari dahak, bilasan lambung, cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening (dengan jarum halus), atau cairan serebrospinal untuk diperiksa PCR, sediaan langsung basil tahan asam dan biakan Mycobacterium tuberculosis.Hasil. Dari 181 pasien anak tersangka TB (suspected TB), didapatkan 13 pasien yang didiagnosis pasti TB (confirmed TB) sehingga didapatkan prevalens 7,2%. Sensitivitas dan spesifisitas PCR berturut-turut adalah 69% dan 57%, sedangkan sensitivitas dan spesifisitas uji tuberkulin berturut-turut adalah 77% dan 55%. Rasio kemungkinan positif (positive likelihood ratio) PCR dan uji tuberkulin berturut-turut adalah 1,62 dan 1,7.Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan bahwa PCR tidak lebih superior dibandingkan dengan uji tuberkulin untuk mendiagnosis TB pada anak.
Adverse events following immunization (AEFI) reports of extended program immunization (EPI) in Indonesia during 1998-2002 Nastiti Kaswandani; Sri Rezeki Hadinegoro; Rulina Suradi
Paediatrica Indonesiana Vol 44 No 4 (2004): July 2004
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (458.4 KB) | DOI: 10.14238/pi44.4.2004.153-9

Abstract

Background The incidence of adverse events following immuni-zation (AEFI) increased in correlation with the number of vaccinedoses. Meanwhile AEFI reports should be managed properly tomaintain the compliance and immunization coverage.Objectives The aims of this study were to investigate the inci-dence and profile of AEFI, its onset, severity, classification, andoutcome.Methods This study was a passive surveillance of AEFI reportsreceived by the National Committee on AEFI, Ministry of Health ofIndonesia, during 1998 to 2002.Results Two hundreds and four AEFI cases were reported; 4 casesas zero reports, 182 cases as individual reports, and 18 clusterreports. The AEFI incidence was 0.44 per 1 million doses of vac-cines. Vaccine reaction rate was 1 per 2.3 million vaccine doses.The most common vaccines reported as the causes of AEFI wereDTP, Polio, and TT. Among 182 reported cases, local or mild AEFIreactions were observed in 45, moderate in 49, and severe in 88.Based on WHO field classification, this study reported that 84 casesbelonged to coincidence, 72 to vaccine reactions, 13 to program-matic errors, 7 to injection reactions, and 6 to unclassified reac-tions. Forty-seven patients died, 12 had some sequelae, and 123completely recovered. Meanwhile, among the death cases, 70%occurred coincidently, 17% due to vaccine reactions, and 6 wereunclassified.Conclusions The incidence of AEFI in the extended program im-munization (EPI) in Indonesia during the period of 1998-2002 were182 cases, thus vaccine reaction rate was 1 per 2.3 million vac-cine doses. The most common vaccine which caused AEFI wasDTP. Most AEFI with severe symptoms happened in 4-24 hoursafter immunization.